Share

Bab 2. Kok Sudah Pulang Jam Segini?

"Lho, Mas kok jam segini sudah pulang?" tanyaku heran ketika Mas Bryan keluar dari mobil, aku yang tadi tengah mencuci baju sekesiap berlari ke depan karena mendengar deru mobil Mas Bryan. Betapa tidak heran sekarang masih menunjukkan pukul 10.00 pagi.

"Iya, seluruh karyawan di suruh pulang sama pimpinan." jawabnya sambil berlalu masuk ke dalam rumah dengan wajah kusut.

"Lho, lho kenapa? Kok bisa?" aku pun mengekor dari belakang.

"Monaa! Bisa diam nggak sih! Kamu jangan seperti Nenek lampir!" Mas Bryan membalikkan badannya dan membentakku. "Aku pusing, please jangan banyak tanya dulu." dia pun melanjutkan langkah memasuki kamar tak lupa dia membanting pintu.

"Astagfirullah, Mas. Salahku apa coba?" aku bergumam masih di posisi mematung, seumur kenal dari pendekatan, pacaran, hingga menikah baru kali ini Mas Bryan membentakku. Bulir bening tanpa permisi sudah berjatuhan membasahi pipiku.

Memang dua minggu belakangan ini sejak Indonesia dilanda virus meresahkan itu aku agak protektif dengan Mas Bryan. Sikapku yang yinyir selalu memaksanya untuk membawa bekal sarapan dan makan siang supaya tidak jajan sembarangan di luar. Hanya satu aku sungguh khawatir dengannya.

Tubuhku masih gemetar tergiang kata-kata yang dilontarkan Mas Bryan, tapi aku masih berusaha mengumpulkan energi dengan jalan tertatih menuju pintu kamar, "Mas, buka pintunya." panggilku dengan mengetuk pintu kamar. Tidak ada sahutan dari dalam. Padahal sudah tiga kali aku memanggilnya dan terus mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum," ucap Rara dengan wajah murung memasuki rumah. 

"Waalaikumsalam, lho kok kamu juga pulang Ra?" tanyaku heran, tadi Mas Bryan, sekarang Rara. Apa ada kaitannya?

"Iya." jawabnya singkat dan dia pun berlalu lewat di depan ku tanpa menoleh sedikitpun dan masuk ke dalam kamarnya. Kamar Rara berada di sebelah kamar ku dan Mas Bryan. Tadi sekilas ku lihat matanya sembab seperti orang abis menangis.

Tapi ada yang lebih membuatku tambah bertanya-tanya, aku tak mendengar suara motor Rara terparkir di depan rumah. Sedangkan pagi tadi dia mengendarai sepeda motor sendiri ke kampus.

"Ra, buka pintunya! Kakak mau ngomong." panggilku sembari terus mengetuk. Tapi wanita berkulit kuning langsat dengan rambut sepanjang bahu itu tak menyahut panggilanku.

Ku biarkan soal Mas Bryan dan Rara, lalu beranjak menuju dapur masih banyak pekerjaan rumah tangga yang musti ku selesaikan padahal sesungguhnya hatiku masih nyeri bagai teriris sembilu setiap tergiang bentakan Mas Bryan tadi.

Selesai berkutat di dapur kurang lebih dua jam mulai dengan meneruskan cucian tadi dan memasak hingga urusan perdapuran rumah tangga tuntas menjelang siang. Ketika hendak bertolak ke kamar ingin mandi, ternyata Mas Bryan membukakan pintu ini yang namanya kebetulan atau, "Mas, kamu mau kemana? Kok rapih begitu?" aku terperangah melihat lelaki berambut coklat itu berlalu keluar dari kamar dengan stellan yang berbeda.

"Mas, jawab aku. Kamu kemana?" aku terus mengekor di belakang Mas Bryan. Jangankan jawabannya manis yang ku terima malah satu bentakan lagi yang dia suguhkan.

"Nggak usah banyak tanya!" dia pun menyentakkan tangannya yang sempat ku tahan.

Tak lama terdengar deru mobil Mas Bryan dengan sekejap hilang dari pendengaran ku. Kecepatannya seperti tidak stabil, apakah dia masih emosi denganku? Atau mungkin dia sedang ada masalah? Ah sudahlah.

Ketika membalikkan badan hendak menutup pintu, tampak lah Rara keluar dari kamarnya, tentu saja dengan pakaian yang rapih juga.

"Kamu mau kemana lagi Ra? Kok udah rapih lagi?"

"Ada urusan kak," dia pun juga berlalu, sekarang tak ku tahan seperti Mas Bryan tadi. Percuma juga. Ku tutup pintu utama ketika Rara sudah keluar, tak lupa ku intip dari lewat jendela sekedar ingin tahu dengan siapa dia pergi. Tapi ternyata abang ojek online yang menjemputmataku

Apa jangan-jangan Mas Bryan dan Rara janjian di suatu tempat? Apalagi keluar dari rumah hanya selang berapa menit saja. Rasaku tak karuan, mengingat perkataan Yuyul teman semasa kuliah ku dulu. Rasa suudzon menari-nari dipelupuk mataku.

Segera ku mandi dan berkemas lebih rapi bukan untuk mengintai mereka tapi ingin mengecek minimarket ku. Beginilah kesibukanku jikalau urusan rumah tangga dan perdapuran udah kelar dikerjakan. Memantau minimarket sesekali menggantikan Rienna jikalau dia sedang istirahat makan.

Karyawan ku tak banyak hanya ada Rienna bagian kasir, Anto bagian kebersihan minimarket, Riko bagaian angkat-angkat barang apalagi ada pelanggan yang belanja bulanan otomatis banyak bawaannya dan juga sekaligus membantu jikalau ada pelanggan yang kebingungan mencari sesuatu.

Walaupun minimarket yang ku dirikan ini baru berjalan enam bulan, tetapi omzet dari tiap bulannya meroket tajam. Dua minggu virus ini melanda belum ada penurunan yang signifikan. Jual beli masih seperti sebelum-sebelumnya.

💙💙💙

Sudah pukul 21.00 malam tanda-tanda kepulangan Rara atau pun Mas Bryan belum tercium juga. Aku masih menunggu dengan hati penuh gelisah, walaupun bentakan dari Mas Bryan tadi sesekali masih terngiang di telingaku.

Sudah puluhan chat WA dan panggilan telfon untuk Mas Bryan dan Rara tapi tak satu pun dari mereka yang meresponnya. Apakah nasib Yuyul akan ku rasakan juga? Adik kandung Yuyul saja berani menghancurkan rumah tangga kakaknya. Apalagi aku dengan Rara hanya sebatas sepupu, karena Mama Rara adalah adik dari Mamaku.

"Ya Allah, aku tak ingin bersuudzon, tapi melihat keadaan rasanya seperti..." Mona tenang, istighfar, jangan sama kan apa yang menimpa Yuyul akan sama dengan kamu. Istighfar Momon, istighfar.

Tepat pukul 21.15 malam deru mesin motor Rara dan mobil Mas Bryan di halaman rumah. Segera ku intip dari jendela terlihat mereka saling tertawa satu sama lain ketika berjalan menuju pintu utama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status