"Lho, Mas kok jam segini sudah pulang?" tanyaku heran ketika Mas Bryan keluar dari mobil, aku yang tadi tengah mencuci baju sekesiap berlari ke depan karena mendengar deru mobil Mas Bryan. Betapa tidak heran sekarang masih menunjukkan pukul 10.00 pagi.
"Iya, seluruh karyawan di suruh pulang sama pimpinan." jawabnya sambil berlalu masuk ke dalam rumah dengan wajah kusut."Lho, lho kenapa? Kok bisa?" aku pun mengekor dari belakang."Monaa! Bisa diam nggak sih! Kamu jangan seperti Nenek lampir!" Mas Bryan membalikkan badannya dan membentakku. "Aku pusing, please jangan banyak tanya dulu." dia pun melanjutkan langkah memasuki kamar tak lupa dia membanting pintu."Astagfirullah, Mas. Salahku apa coba?" aku bergumam masih di posisi mematung, seumur kenal dari pendekatan, pacaran, hingga menikah baru kali ini Mas Bryan membentakku. Bulir bening tanpa permisi sudah berjatuhan membasahi pipiku.Memang dua minggu belakangan ini sejak Indonesia dilanda virus meresahkan itu aku agak protektif dengan Mas Bryan. Sikapku yang yinyir selalu memaksanya untuk membawa bekal sarapan dan makan siang supaya tidak jajan sembarangan di luar. Hanya satu aku sungguh khawatir dengannya.Tubuhku masih gemetar tergiang kata-kata yang dilontarkan Mas Bryan, tapi aku masih berusaha mengumpulkan energi dengan jalan tertatih menuju pintu kamar, "Mas, buka pintunya." panggilku dengan mengetuk pintu kamar. Tidak ada sahutan dari dalam. Padahal sudah tiga kali aku memanggilnya dan terus mengetuk pintu."Assalamu'alaikum," ucap Rara dengan wajah murung memasuki rumah. "Waalaikumsalam, lho kok kamu juga pulang Ra?" tanyaku heran, tadi Mas Bryan, sekarang Rara. Apa ada kaitannya?"Iya." jawabnya singkat dan dia pun berlalu lewat di depan ku tanpa menoleh sedikitpun dan masuk ke dalam kamarnya. Kamar Rara berada di sebelah kamar ku dan Mas Bryan. Tadi sekilas ku lihat matanya sembab seperti orang abis menangis.Tapi ada yang lebih membuatku tambah bertanya-tanya, aku tak mendengar suara motor Rara terparkir di depan rumah. Sedangkan pagi tadi dia mengendarai sepeda motor sendiri ke kampus."Ra, buka pintunya! Kakak mau ngomong." panggilku sembari terus mengetuk. Tapi wanita berkulit kuning langsat dengan rambut sepanjang bahu itu tak menyahut panggilanku.Ku biarkan soal Mas Bryan dan Rara, lalu beranjak menuju dapur masih banyak pekerjaan rumah tangga yang musti ku selesaikan padahal sesungguhnya hatiku masih nyeri bagai teriris sembilu setiap tergiang bentakan Mas Bryan tadi.Selesai berkutat di dapur kurang lebih dua jam mulai dengan meneruskan cucian tadi dan memasak hingga urusan perdapuran rumah tangga tuntas menjelang siang. Ketika hendak bertolak ke kamar ingin mandi, ternyata Mas Bryan membukakan pintu ini yang namanya kebetulan atau, "Mas, kamu mau kemana? Kok rapih begitu?" aku terperangah melihat lelaki berambut coklat itu berlalu keluar dari kamar dengan stellan yang berbeda."Mas, jawab aku. Kamu kemana?" aku terus mengekor di belakang Mas Bryan. Jangankan jawabannya manis yang ku terima malah satu bentakan lagi yang dia suguhkan."Nggak usah banyak tanya!" dia pun menyentakkan tangannya yang sempat ku tahan.Tak lama terdengar deru mobil Mas Bryan dengan sekejap hilang dari pendengaran ku. Kecepatannya seperti tidak stabil, apakah dia masih emosi denganku? Atau mungkin dia sedang ada masalah? Ah sudahlah.Ketika membalikkan badan hendak menutup pintu, tampak lah Rara keluar dari kamarnya, tentu saja dengan pakaian yang rapih juga."Kamu mau kemana lagi Ra? Kok udah rapih lagi?""Ada urusan kak," dia pun juga berlalu, sekarang tak ku tahan seperti Mas Bryan tadi. Percuma juga. Ku tutup pintu utama ketika Rara sudah keluar, tak lupa ku intip dari lewat jendela sekedar ingin tahu dengan siapa dia pergi. Tapi ternyata abang ojek online yang menjemputmatakuApa jangan-jangan Mas Bryan dan Rara janjian di suatu tempat? Apalagi keluar dari rumah hanya selang berapa menit saja. Rasaku tak karuan, mengingat perkataan Yuyul teman semasa kuliah ku dulu. Rasa suudzon menari-nari dipelupuk mataku.Segera ku mandi dan berkemas lebih rapi bukan untuk mengintai mereka tapi ingin mengecek minimarket ku. Beginilah kesibukanku jikalau urusan rumah tangga dan perdapuran udah kelar dikerjakan. Memantau minimarket sesekali menggantikan Rienna jikalau dia sedang istirahat makan.Karyawan ku tak banyak hanya ada Rienna bagian kasir, Anto bagian kebersihan minimarket, Riko bagaian angkat-angkat barang apalagi ada pelanggan yang belanja bulanan otomatis banyak bawaannya dan juga sekaligus membantu jikalau ada pelanggan yang kebingungan mencari sesuatu.Walaupun minimarket yang ku dirikan ini baru berjalan enam bulan, tetapi omzet dari tiap bulannya meroket tajam. Dua minggu virus ini melanda belum ada penurunan yang signifikan. Jual beli masih seperti sebelum-sebelumnya.💙💙💙Sudah pukul 21.00 malam tanda-tanda kepulangan Rara atau pun Mas Bryan belum tercium juga. Aku masih menunggu dengan hati penuh gelisah, walaupun bentakan dari Mas Bryan tadi sesekali masih terngiang di telingaku.Sudah puluhan chat WA dan panggilan telfon untuk Mas Bryan dan Rara tapi tak satu pun dari mereka yang meresponnya. Apakah nasib Yuyul akan ku rasakan juga? Adik kandung Yuyul saja berani menghancurkan rumah tangga kakaknya. Apalagi aku dengan Rara hanya sebatas sepupu, karena Mama Rara adalah adik dari Mamaku."Ya Allah, aku tak ingin bersuudzon, tapi melihat keadaan rasanya seperti..." Mona tenang, istighfar, jangan sama kan apa yang menimpa Yuyul akan sama dengan kamu. Istighfar Momon, istighfar.Tepat pukul 21.15 malam deru mesin motor Rara dan mobil Mas Bryan di halaman rumah. Segera ku intip dari jendela terlihat mereka saling tertawa satu sama lain ketika berjalan menuju pintu utama."Momon, Assalamu'alaikum, Mas pulang sayang, bukain pintunya." panggil Mas Bryan sembari terus mengetuk pintu."Kak, Kak Momon buka pintunya," sambung Rara.Aku yang tadinya sempat mengintip mereka lewat jendela langsung memasuki kamar bukan karena aku takut ketahuan mengintip, hanya saja aku berpura-pura tidak melihat sikap mereka yang tampak mencurigakan di pelupuk mataku."Kompak banget kalian sampai bergantian memanggilku, enak ya sambil berdiri dekat-dekatan di depan pintu memang tak punya malu, bisa tidak untuk menghargaiku," gerutu ku dalam hati. Aku menggerutu diujung bibir ranjang.Aku merasa semakin parno apalagi Yuyul menjelaskan secara detail perselingkuhan antara mantan suaminya dan adik kandungnya sendiri padaku. Dan sekarang, yang kulihat berbau hampir mirip dengan cerita Yuyul, belum lagi bentakan Mas Bryan tadi siang. Giliran sama Rara dia malah senyum-senyuman."Astagfirullah, Monalisa, istighfar. Semua belum tentu benar." aku mencoba menepis semua pikiran buruk yang
"Mon, Mas udah selesai nih bersih-bersih. Maafin Mas soal yang tadi siang ya. Lagi banyak kerjaan dan masalah aja di kantor." aku terbangun dari lamunan ketika Mas Bryan menepuk pundakku."Kalau banyak masalah dan kerjaan nggak harus segitunya juga kali, Mas!" serangku."Iya, Mas minta maaf." dia tampak mencoba merayu ku, dengan bertekuk lutut di hadapanku yang sedang duduk di bibir ranjang."Ini bukan sekedar minta maaf aja, Mas. Kalau di biarin jadi kebiasaan. Seumur kenal baru kemarin lho kamu bentak aku seperti itu. Apa mungkin itu sifat asli kamu?""Astagfirullah, tidak Mon.""Itu beneran masalah kantor atau kamu sedang bermain api di belakang ku, Mas?!" lebih baik ku tanyakan perihal kegundahan yang menyesakan dada."A-anu, enggak, hmm, iya masalah kerjaan dek." Mas Bryan yang tadinya bertekuk lutut sontak berdiri salah tingkah."Dek? Sejak kapan kamu manggilnya Dek ke aku, Mas? Biasa juga manggil Dek ke Rara." gumamku."Oh." aku pun beranjak lalu merebahkan tubuh penat ini di a
"Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar."Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya."Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar."Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teri
Aku masih berkutat di dapur, sedangkan Mas Bryan baru dengan virtual dengan rekan kantornya. Sembari asyik menggoreng kentang, terdengar suara pintu kamar Rara sepertinya dia sudah bangun. Pintu kamar Rara memang agak mandet mungkin tukangnya kurang pas memasang pada saat rumah ini dibangun.Gegas aku menemui Rara, ku tarik dia sampai ke dapur. Tidak mungkin juga aku ngocehin Rara di depan pintu kamarnya, sedangkan Mas Bryan sedang melakukan virtual di depan laptop."Kak, apaan sih narik-narik? Sakit tau." Rara memijat-mijat pergelangan tangannya yanh ku pegang dengan sedikit erat, hingga ada bekas merah berbentuk jari-jariku.Aku sudah merasa gondok dengan dia, sikap Rara yang sudah mulai tidak sopan kalau dibiarkan akan membuat semuanya semakin parah, terparahnya aku bisa usir dia dari sini."Kenapa jam segini baru bangun, Ra?" bisikku pelan."Ooh, semalam aku begadang bikin tugas. Tidurnya udah subuh kak, lagian hari ini juga kuliahnya lewat virtual makanya aku bisa nyantai dikit."
"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore."Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan a
"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama