"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan.
"Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat tenaga dan hemat waktu juga.""Enak sih enak Mon, tapi aku bosen." Keluhnya sembari memainkan gawai."Baru juga sehari, Mas. Masa udah bosen. Tapi ya wajar aja, perubahan yang belum terbiasa. Lagian juga nanti-nanti makin terbiasa. Banyak keuntungan sebenarnya Mas, makan kamu lebih teratur, kalau capek langsung bisa istirahat, meminimalisir terjangkitnya virus. Banyak lagi, Mas." Jelasku."Heleeehh, Mas ke atas dulu. Mau lanjut virtual," tanpa mengindahkan aku dia berlalu beranjak dari duduknya."Mas, sholat dulu baru virtual. 'Kan belum mulai juga." "Mas, sholatnya di atas. Siapin makan malam ya, Mas mau makannya di atas aja." Ujarnya sambil terus menaiki anak tangga, bahkan dia masih asyik memainkan gawai."Ya Allah, sabar kan aku menghadapi perilaku Mas Bryan." Gumamku.***Sudah pukul 22.00 malam Mas Bryan belum juga turun dari lantai dua, aku hanya seorang diri duduk di ruang tamu. Sedangkan Rara sedari tadi juga di dalam kamar. Rasa gundah semakin menyelimuti hatiku, pikiran buruk semakin menghantui. Apa Mas Bryan sedang bermain api?Mana mungkin sudah jam segini masih melakukan virtual dengan klien kecuali memang kliennya spesial. Tak ingin berselimut gundah dan rasa curiga lebih lama kuputuskan untuk menaiki anak tangga. Dada rasa bergemuruh."Mas, buka pintunya!" panggilku ketika terus mengetuk pintu kamar atas karena pas kucoba menekan handle pintu tapi terkunci."Mas, kamu masih kerja?" lagi dan lagi tak ada sahutan.Aku pun menuruni anak dan masuk ke kamar mengambil gawai pipih milikku. Lebih baik ku video call Mas Bryan memastikan memang dia tertidur atau tidak.Tit... Tit... Tit...Ku lihat layar handphone [Sayangku sedang dalam panggilan lainnya] Dengan siapa malam-malam begini Mas Bryan melakukan video call? Sedangkan aku mengetuk pintu saja tak ada sahutan darinya. Jantungku semakin berdegup kencang, tanganku gemetar. Yaa Rabb.Sekarang aku mencoba untuk menghubungi Rara lewat sambungan video call hanya sekedar memastikan. Hal yang sama pun terjadi, Rara juga sedang melakukan panggilan lainnya. Apakah mereka? "Ra, buka pintunya!" panggilku dengan sekuat tenaga sembari mengetuk pintu kamar Rara. Hal ini tak bisa kubiarkan lebih lama."Ra, Rara, buka pintunya!""Ra, Rara, buka pintunya!"Kret,"Ada apa kak? Malam-malam gedor pintu kayak gitu kali," tanya Rara ketika pintu kamar sudah dibukanya, bahkan dengan mengucek-ngucek kedua matanya. Tapi pintu kamar hanya sedikit dia buka, aku berusaha mengintip dari luar, berhubung lampu kamarnya dimatikan semua tampak gelap."Kamu lagi apa?""Aku tidur kak, kakak kenapa? Apa yang terjadi?" "Tidur? Terus kenapa kakak nggak bisa telfon kamu via WA?"Keningnya mengerut, "Nelfon? Buat apa kakak nelfonku? Handphone ku lagi di chas kak, jaringan kali kak. Kakak ni ada-ada aja, aku tidur dulu.""Ta-tapi, Ra..." belum selesai aku berbicara Rara sudah menutup pintu kamarnya.Rasaku semakin berkecamuk, apakah Rara bisa kupercaya? Inginku pasang kamera CCTV tapi bagaimana caranya sedangkan mereka di rumah terus. Atau lebih baik handphone Mas Bryan dan Rara ku sadap saja atau aku harus mencari cara yang lain untuk membongkarnya?Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama
"Makasih, Ma." Tangisku kembali pecah tatkala Mama memeluk.Di saat rapuh dan tak punya tempat untuk curhat selain Allah, kehadiran Mama sungguh memberikan energi, ditambah Mama yang berada di pihakku.Di saat menantu-menantu lainnya tak dapat perlakuan elok dari sang mertua, aku tentu beruntung bisa memiliki mertua sebaik dan se-care Mama Merta."Semoga saja ini hanya pikiran burukku saja, Ma. Semoga saja apa yang kutakutkan tidak terjadi," ucapku penuh harap. Sekalipun gerak-gerik Mas Bryan sangat mencurigakan malah terang-terangan sikapnya jelas tampak berbeda, aku tetap berharap Mas Bryan benar-benar terbebani oleh pekerjaannya."Iya, Mon. Mama pun begitu. Sangat memalukan jika Bryan sampai melakukan hal yang keji seperti itu." lalu Mama menyeka airmata ku yang rajin kali jatuh jika sudah berada di depan Mama.🎀🎀🎀Makan siang kali ini Mas Bryan dan Rara ikut bergabung dengan aku dan Mama. Tumben, iya tumben banget malahan. Mungkin tampaknya Mas Bryan tak ingin Mama menaruh curi
"Ini, Bu. Kami ada yang keluaran paling canggih, kameranya unik dan tak akan dikenali," tawar pelayan sembari memperlihatkan barang itu padaku.Ini sama persis dengan barang yang kulihat melalui gool*. Kameranya bagus dan tak berbentuk seperti kamera cctv. Ku pastikan Mas Bryan dan Rara tidak akan mengetahuinya. Untuk pemasangannya pun gampang. Aku sendiri pun bisa memasangnya saking canggihnya kamera cctv yang kubeli."Boleh pak, bungkus langsung eh tapi aku beli jadinya 3 aja deh." Setelah semua selesai aku pun bergegas pulang ke rumah, ngeri kalau berlama-lama di luar. Sambil jalan pulang aku mau beli ayam goreng drive true nambah-nambah lauk-pauk di rumah. Takutnya pada bosan sama menu yang di rumah, apalagi ini juga sambil jalan pulang.Aku juga beli es krim dan mocaflut kesukaanku, maklum cuaca sangat panas, tapi belum sebanding dengan panas hati yanh ku rasakan.Sesampainya di rumah, tampak Mama sedang berada di teras rumah dengan seorang perempuan seusia ku. "Eh, Mon dari ma
"Eh, Mama." Sapaku, lalu beranjak duduk. "Mama, mau pergi sebentar ya Mon. Itu si Mayora ngajakin ke Emolle." Keningku mengerut, netraku memperhatikan penampilan Mama dari ujung kaki sampai rambut, walaupun sudah berumur 56 tahun stelan mama masih stylist dan masih belum.mengenakan hijab. Maklum nyonya-nyonya konglomerat. Papa mertua ku adalah pengusaha terkenal di bidang furniture."Oh iya, Ma. Silakan, hati-hati yah Ma. Virus pada ngeri zaman sekarang," jawabku nyengir. "Iya." Mama pun menutup pintu tapi aku sangat enggan melepas kepergiannya dengan perempuan tetangga baruku itu.Terdengar deru mesin mobil yang perlahan kian melaju lalu hilang dari pendengaran ku, tapi entah kenapa jantungku berdegup kencang ketika mendengar bunyi mesin mobil tersebut. Tak ingin berkecimpung dengan pikiran yang terlalu menguras bathin, aku pun bertolak ke kamar.Setelah selesai beres-beres rumah dan mandi, masih belum ada terdengar hiruk-pikuk dari kamar Rara, biasanya kalau perempuan yang masih
Aku memeriksa laci nakas satu per satu berharap ada bukti yang ku temukan atas keraguanku dengan Mas Bryan. Lacinya kosong, aku bertolak memeriksa lemari, tetap nihil, memeriksa laci nakas yang berada di samping kiri dan kanan ranjang. Hasil tetap sama tak ku temukan apa-apa.Sepersekian detik, netraku tertuju pada springbed ranjang, tak mengulur waktu dengan sigap dan kekuatan estra aku mengangkat springbed tetap dengan satu harapan, ada bukti yang ku temukan. Mengangkat mulai dari sudut kiri atas, kiri bawah, lalu kanan bawah, dan deg!Jantung berpacu, mataku melotot tajam, pada satu map berwarna biru yang tergeletak cantik di bawah springbed kanan atas. Dengan tangan gemetar ku coba mengambilnya.Kubuka map walau tangan sangat gemetaran, rongga dadaku terasa semakin sesak, kamar yang luasnya 4x4 ditambah hembusan AC tak mampu menurunkan hawa panas disekejur tubuhku. Mungkin panas di luar sana tak kalah panasnya di diriku.Dan, ketika map itu kubuka, ada dua buah buku nikah, alisku
"Ya ampun, Mona. Aku turut prihatin. Tapi tenang, apa pun itu, aku akan pastikan kamu pemenang semuanya." semangat Romi makin membuat energi ku bertambah."Semoga Rom.""Sudah, minum dulu tehnya. Nanti biar aku yang urus tetek-bengek perintilan persiapan.""Siap, nggak usah buru-buru, Rom. Aku mau siapin dulu semuanya, jika udah rampung baru deh dikelarin semua.""Siap, Monalisa. Kalau urusan itu aku mah percaya kamu bakalan mampu menghadapinya. Semangat, masih banyak lho lelaki bujangan dan duda keren yang ketceh badai." goda Romi lagi."Sekarang persetan dulu dengan itu, Rom. Mau ngasih pelajaran dulu." jawabku memainkan alis. "Dah ya, aku pamit. Gimananya nanti kukabari lagi." aku beranjak."Yang sabar yah, Mon." "Tak apa, Rom." jawabku sok tegar.Kini aku melaju ke sebuah bank, tempat Mas Bryan dan aku menabung. Aku ingin menarik semua uang yang ada di dalamnya. Semoga saja tabungan itu tak berkurang. Awas saja dia gunakan untuk membelikan mahar gundiknya itu.Sebelum pergi ke te
Jika dia cerdas bubur tadi mestinya ditambah ayam suir, ditaburi kacang kedelai, sama bawang prei lalu disiram dengan beberapa bumbu lainnya. Bukannya menjadikan bubur tadi menjadi busuk akhirnya tak berguna."Ini kak." Rara memberikan gawainya padaku. Padahal maksudku tadi dia cukup mengirim foto-foto itu lewat WA padaku. Jika seperti ini aku akan leluasa mengutak-atik isi gawainya.Mataku terbelalak banyak sekali foto mesra Rara dengan Papa Burhan. Aku tandai beberapa foto lalu tanpa pikir panjang ku kirim semua foto yang tertandai tadi ke gawai ku melalui WA. Rara hanya tertunduk, menyesal mungkin, apalagi yang perlu disesalkan. Berubah harusnya bukan menyesali bahkan meratapi tidak akan merubah apa pun yang telah terjadi."Sekarang kamu jawab sejujurnya semua pertanyaan kakak!" ujarku ketus pada Rara setelah semua foto tadi terkirim."Tanya apa kak?" dia masih tertunduk."Sejak kapan mau menjadi hubungan dengan Papa Burhan? Terus kenapa bisa?""Ah aku waktu itu tak sengaja bertemu