Hai pembaca tersayang, yuk dukung terus author dengan memberi vote dan gem pada cerita ini. ❤️❤️
Pagi berikutnya ketika matahari telah bersinar kembali, badai hujan telah berhenti. Sunny buru-buru mengintip keluar jendela, melihat situasi di luar. Beberapa ranting pohon berserakan di jalan, daun-daun berhamburan di tanah, dan plang papan nama penginapan tergeletak menyedihkan di atas tanah. Sunny bergegas memakai kembali pakaiannya yang sudah kering. Dia bersyukur tidak harus memakai selimut itu lagi yang lebih terlihat seperti buntalan pada tubuhnya. “Kau sudah selesai?” tanya Ryuse setelah berhasil bangun dari tidurnya. Dia meregangkan tangan, dan otot-otot di lengannya menyembul seolah menggoda Sunny. Sunny segera menurunkan pandangan ke lantai. Menatap sepatu kets putih pemberian Ryuse. Sepatunya kebesaran di kaki Sunny, dan modelnya juga terlihat macho, namun dia tidak punya pilihan selain memakai itu dengan sukarela. Ryuse memberikan itu pada Sunny ketika mereka bertolak dari Rosentown kemarin. Sunny menyahut, “Ya. Bisakah kita berangkat sekarang?” “Kau tidak sarapan du
“Ah, tenang Sunny. Bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud paman, mereka berdua pergi ke kota menyusul dirimu. Sejak kau pergi, ibumu selalu menangis di depan rumah. Dia selalu teringat padamu,” tutur paman Huben sambil meletakkan jala yang dia perbaiki di atas tanah. “Paman masih ingat dia bilang rindu padamu, dia mencemaskanmu bahkan ibumu sampai pinjam uang pada paman untuk ongkos mereka,” sambung paman Huben. Sunny menarik napas lega, namun dia tidak bisa menutupi kekhawatiranya terhadap ibu dan adiknya. Rury masih terlalu kecil dan tidak tahu apa pun tentang kota, apalagi Jane—dia sakit-sakitan. Bagaimana mungkin mereka bisa melewati kehidupan kota yang keras? “Lantas mengapa paman bilang mereka tiada? Aku hampir mati jantungan,” sungut Sunny. “Sudah berapa lama mereka pergi?” Paman Huben terkekeh. “Paman hanya mengatakan yang terlintas saja. Jangan marah. Mereka pergi dua hari yang lalu. Bagaimana kabarmu? Sudah seminggu kau tidak membantu paman berjualan. Sebenarnya apa yan
“Ini bukan apa-apa. Bukankah aku sudah mengantarmu pulang tadi? Lalu mengapa kau bisa ada di sini? Apa sesuatu terjadi?” tanya Ryuse. Sunny terdiam sejenak. Dia hendak mengatakan niatnya, namun melihat kondisi Ryuse yang kacau, Sunny mengurungkan keinginannya. “Aku—“ “Masuk saja dulu. Kau tidak peka kak Ryu. Sudah tengah malam malah membiarkan seorang gadis di luar. Tssk ... pria yang buruk,” gerutu Gordon. Dia berjalan mendahului sunny dan membuka gerbang. Ryuse menatap tajam punggung Gordon. Bibirnya berkedut menahan kekesalan akibat perkataan Gordon. “Aku akan menghabisimu nanti,” ancam Ryuse. Marvin meringis ketika menyentuh pipinya yang luka. Dia menepuk pundak Sunny dan berkata, “Kita bertemu lagi. Ayo, masuklah ...” Sunny menoleh sesaat ke arah Ryuse, berusaha melihat ekspresi pria itu sekali lagi, dan berakhir mengikuti Marvin dengan pandangan terkunci pada koper hitam yang dibawa Marvin. Mereka berada di salah satu ruangan besar di rumah itu, ruang tamu yang tampak sepe
Ryuse menepuk wajahnya dengan frustasi. “Pergilah! Jika tidak, akan kuhajar kalian sampai mampus.” Marvin tersenyum gugup, sadar bahwa dirinya dan Gordon berada dalam situasi sulit sekarang. “Kakak, kami hanya bercanda.” kemudian melirik Gordon, memberikan isyarat visual bahwa ini semua gara-gara mulut besar Gordon. “Satu,” hitung Ryuse dingin. Gordon dan Marvin saling pandang. “Dua,” imbuh Ryuse lagi. “Kakak, jangan masukkan ke dalam hati. Aku cuma menggoda saja. Sebab selama ini kakak tidak terlihat seperti itu,” tutur Gordon. “Tig—” “Baik! Kami akan pergi,” pungkas Marvin putus asa. Dia menarik Gordon untuk ikut dengannya. Mereka berdua hilang di sayap kanan rumah. “Kau terlalu keras terhadap mereka,” ujar Sunny tiba-tiba. Ryuse melirik Sunny. “Mereka berdua adalah duo yang paling menyebalkan. Aku tidak tahan lagi! Menjadikan aku sebagai objek candaan, itu hal yang paling kubenci. Ah, kau jangan pernah berpikir untuk membela mereka. Aku tidak suka itu. Cukup pikirkan saja
Ya ampun! Dia tidak bisa menatap Ryuse lagi dengan tatapan penuh tekad itu setelah perasaannya ketahuan. Rona merah sialan! Sunny mengutuki dirinya yang ceroboh, membiarkan perasaannya diketahui secara nyata. Sekarang, mungkin Ryuse akan menganggapnya gadis yang tidak tahu malu. “Ini karena ac-nya terlalu dingin,” celetuk Sunny gugup. “Kau sedang dalam proses menipu diri sendiri.” “Aku tidak.” “Ya, kau akan,” tukas Ryuse. “Lantas, apa untungnya bagimu? Apa kau akan memikirkan aku juga?” celetuk Sunny. Ryuse terlonjak. Dia tidak menduga Sunny akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Seperti biasa, Ryuse akan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. “Jadi di mana rumah bibimu?” “Jangan mengalihkan pembicaraan.” “Pembicaraan yang mana?” tukas Ryuse datar. Sunny mendesah frustasi. “Lupakan,” ujarnya. “Aku tidak terlalu ingat di mana rumah mereka. Waktu itu aku masih sangat kecil ketika papa membawaku mengunjungi mereka. Yang kuingat—jalan untuk sampai ke rumah mereka harus m
“Camila?” Ryuse terperanjat melihat kehadiran Camila. “Apa yang kau lakukan di sini?” Camila melirik sekilas ke arah Sunny, membuang muka dan menatap Ryuse dengan tatapan marah. Dia tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pemandangan yang memuakkan di hari yang baik ini. Sebelumnya Camila sedang menikmati bunga wisteria di taman itu. Dia tidak sengaja melihat Ryuse dan Sunny yang bergandengan. Hatinya terbakar cemburu, Camila gelap mata dan memulai pertengkaran yang tidak perlu. “Jadi, dia pacarmu? Sangat tidak cocok ... Bisa-bisanya kakak bersamanya, sementara denganku—kak Ryu tidak pernah melihatku sebagai wanita.” “Camila ... ” ujar Ryuse frustasi. “Tolong jangan mengatakan hal itu lagi. Aku sudah menegaskan padamu berkali-kali bahwa kau seperti adik bagiku. Kumohon—jangan salah paham denganku. Sekarang kembali lah ... ” “Aku tidak mau!” tukas Camila, melipat tangan sambil melirik Sunny dengan tatapan cemooh. Sunny menjadi tidak nyaman dengan pandangan Camila yang menelisi
Begitu Ryuse melontarkan kata-kata itu, reaksi yang ditunjukkan Toby tidaklah menyenangkan. Wajahnya yang suram tampak semakin keras ketika mengernyit kesal pada Ryuse. “Tapi aku berani bertaruh, hidupmu saat ini dalam bahaya jika kau tidak menghabisi aku, ‘kan?” seringai Ryuse. “Apa kali ini Camila yang mengadu?” Toby tidak bereaksi apa pun, dia berdiam diri menatap tajam Ryuse. “Kurasa begitu ....” imbuh Ryuse. Dia meregangkan otot leher dan tangannya. “Padahal aku tidak ingin berkelahi hari ini, tapi apa boleh buat. Marvin, pastikan mereka tahu siapa serigala di sini.” Gordon mendekati Ryuse dan berbisik, “Kakak, mereka ada banyak. Sementara kita kalah jumlah. Apa sebaiknya kita meminta ‘anak-anak’ datang ke sini?” Ryuse menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari Toby. “Cukup sepuluh orang saja yang datang. Jangan biarkan kantor kosong.” Tiba-tiba Toby mengacungkan ibu jari terbalik dan seketika para pengikutnya berhamburan ke arah Ryuse. Mereka seperti kawanan hyena yang me
“Ryu! Hei, bangunlah!” pekik Sunny panik. Gordon menoleh dengan panik. “Kak Ryu! Kau tidak boleh mati! Kau harus bertahan!” Gordon semakin mempercepat mobilnya. Dia menyetir bak orang kesetanan dan pada akhirnya, mereka tiba di rumah sakit. Gordon menghentikan mobil di depan IGD, menggendong tubuh Ryuse, dan kemudian berhamburan masuk ke dalam dengan gaya khas seorang gengster. “Kami butuh dokter! Cepat! Seseorang sedang sekarat, kalian harus menolongnya!” Gordon berteriak di tengah ruangan itu, menarik perhatian orang-orang, dan membuat orang banyak berspekulasi bahwa Gordon menakutkan. “Ah, segera taruh dia di sini.” Seorang perawat mendorong ranjang ke arah Gordon, yang diikuti oleh dokter laki-laki dan satu perawat wanita lainnya. “Segera bawa ke ruang tindakan. Dia hampir kehabisan darah,” perintah sang dokter. Ketika sang dokter hendak masuk ke ruang tindakan, Gordon menarik kerah dokter tersebut, kemudian berbicara dengan nada ancaman. “Dia oran