Share

Jalan-Jalan Untuk Puisi Karina

Keesokan harinya .....

Seperti biasa, Karina akan duduk di dekat jendela kamarnya untuk menulis puisi. Tapi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ia selalu terlihat sedih dan kesepian, sekarang Karina terlihat jauh lebih banyak tersenyum setiap kali menulis puisinya.

Ping!

Karina langsung bergegas membuka ponselnya dan melihat pesan yang masuk. Ia terlihat bersemangat karena yang memberi pesan adalah Ardana.

Ardana

Gimana, jadi gak nih jalan-jalannya?

Karina memikirkan sangat lama sekali tentang jawabannya pada Ardana. Ia masih ragu, ia takut ibunya tidak mengizinkannya pergi keluar dari rumah. Oleh karena itu, ia lebih baik bertanya langsung pada orang tuanya sebelum menjawab pesan Ardana. Ia keluar dari dalam kamar sambil membawa ponsel di tangannya, lalu menghampiri ayah dan ibunya yang masih duduk di meja makan dan tengah berbincang.

“Ayah, ibu. Karina mau nanya sesuatu.”

Ayahnya mencoba mendengarkan apa yang ingin ia tanyakan, “Katakanlah, apa yang mau kamu tanyakan!”

Ia ragu-ragu, “Ayah, ibu. Apa Karina boleh pergi jalan-jalan sebentar gak?” tanya Karina. Raut wajah kedua orang tuanya kebingungan dengan pertanyaannya. “Ah, Rin, gak pergi sendirian kok. Rin, punya teman.”

Ibunya terlihat tidak setuju dengan permintaannya,“Rin, kan kamu tahu kalau kondisi kamu gak bisa ....”

“Bu, Karina mohon banget! Rin, gak bisa terus-terusan di rumah kayak gini, Rin mau punya teman yang bisa menghibur Rin. Rin juga pengen bisa jalan-jalan ke tempat yang ayah sama ibu gak bisa pergi sama Karina,” Ia menyela perkataan ibunya.

Ayah dan ibunya saling menatap, mereka tidak bisa melarang Karina lagi.

“Rin, lakukan apapun yang kamu inginkan! Asalkan, kamu baik-baik saja, itu yang paling penting untuk ayah dan ibu,” ucap lembut ayahnya.

Karina tersenyum, “Jadi, Karina boleh pergi, kan?”

Ayahnya mengangguk sambil tersenyum, “Iya, yang penting jangan lupa bawa obat dan tisu juga. Jika kamu sudah merasa lelah, jangan lanjutkan jalan-jalannya, istirahat saja. Ayah dan ibu tidak akan melarang lagi sekarang!”

Karina merasa sangat senang, ia tidak menyangka ternyata ayahnya yang paling mengerti keadaannya.

“Terima kasih, ayah, ibu. Karina janji akan menjaga diri Karina dan gak akan buat kalian khawatir.” Ia bergegas masuk ke dalam kamarnya lagi dan membalas pesan Ardana.

Anda

Iya, jadi kok.

Ardana

Lama amat balasnya, kenapa?

Anda

Gak ada kenapa-napa. Tadi cuman nanya bentar sama ortu, ternyata boleh.

Ardana

Tuh, boleh kan? Yaudah, share location rumah kamu, ya!

Anda

Iya, nanti aku kirim. Aku mau siap-siap dulu, sampai nanti.

Ardana

Oke, aku juga.

Anda

Anda membagikan lokasi di G****e Maps

Ardana

Oke, udah aku liat. Otw, 15 menit lagi.

Karina meletakkan ponselnya di atas meja riasnya, lalu membuka lemari pakaiannya untuk mencari pakaian yang bagus. Ia memilih beberapa model baju untuk dipakai, lalu mencocokkannya di depan cermin sampai ia mendapatkan baju yang pas.

Setelah kurang lebih 10 menit memilih-milih baju, ia pun akhirnya memutuskan untuk mengenakan kaos polos berwarna orange tua, dipadukan dengan celana jeans berwarna biru, dan sepatu kets putih polos. Karina juga mengikat rambutnya supaya tidak berantakan, tetapi ia mengikatnya bukan di belakang, tetapi di sebelah kanan. Kini penampilannya benar-benar seperti gadis pada umumnya, dibandingkan kemarin, ia selalu memakai pakaian yang terlalu feminim dan juga terlihat formal untuknya yang masih gadis.

“Dah, sekarang baru seperti Karina yang sebenarnya,” ucapnya sambil tersenyum manis.

Sehabis bercermin, ia mengambil tas ransel kecil berwarna hitam untuk membawa barang-barangnya. Ia membawa ponsel, notebook, pulpen, dan juga kali ini ia tidak akan lupa membawa obat dan juga tisu ke dalam tas kecilnya itu.

Karina pun bergegas keluar dari kamarnya dan menghampiri kedua orang tuanya yang masih duduk di meja makan sejak tadi, “Ibu, ayah. Bagaimana?” tanya Karina dengan wajah berseri-seri.

Ibunya berdiri dan menatap kagum, “Wah, putri ibu cantik banget, yah! Kamu baru kali ini pakai baju kayak gini, sih.”

“Iya, kan Karina di rumah terus, jadi malas aja kalau pakai baju yang bagus.”

Tin! Tin! Suara klakson sebuah motor dari luar rumah Karina.

Karina menunjuk ke luar, “Nah, itu kayaknya teman, Rin. Yaudah, Karina pamit, ya! Ayah, ibu.” Ia mencium kedua tangan orang tuanya, lalu berjalan dengan gembira keluar dari dalam rumahnya.

“Iya, hati-hati, ya,” pesan ibunya dengan lembut.

Karena penasaran dengan siapa Karina akan pergi berjalan-jalan, ayah dan ibu Karina ikut keluar rumah, mereka berdua berdiri di depan pintu utama dengan wajah penasaran.

“Udah lama nunggunya?” tanya Karina pada Ardana.

Ardana melepas helmnya seraya menggelengkan kepalanya, “Gak, kok. Baru aja. Eh, ternyata udah langsung keluar orangnya.”

Karina memperhatikan motor yang dikendarai Ardana, “Wah, kamu memodifikasi motornya? Bagus loh.” Ia kagum dengan motor sport milik Ardana yang di modif sehingga tampak sangat bagus dipandang.

“Ya, iya, dong,” Ardana tak sengaja melirik ke orang tua Karina yang masih berdiri di depan pintu.

Karina melirik ke arah yang sama, “Oh, itu ibu dan ayahku. Mereka emang suka gitu, kalau ada teman yang datang ke rumah.”

“Oh, gitu, ya?” karena penasaran dengan sikap kedua orang tua Karina, Ardana memberanikan diri untuk menyapa mereka dari jauh, “Om, tante, saya pinjam anaknya dulu, ya!”

Karina menegurnya, “Hush, kamu asal ngomong aja deh! Aku tuh bukan barang yang bisa dipinjam-pinjam tahu.”

“Ya, maaf. Perumpamaan aja, jangan marah gitu.”

“Iya, gapapa. Asal bisa jagain Karina kami baik-baik!” jawab ayah sambil tersenyum pada Ardana.

“Tuh, kita udah boleh pergi, kok. Ayo naik! Nih aku bawain helm juga biar kamu gak kepanasan,” ucap Ardana sambil menyodorkan helm untuk Karina.

Karina menatap helm yang diberikan Ardana padanya, “Wah, kamu udah nyiapin helm? Aku kira kamu gak seperhatian ini loh.”

Ardana mengenakan helmnya kembali seraya menghidupkan mesin motornya, “Iya, kali. Gak mungkinlah aku cuman mikirin diri sendiri aja. Lagipula nih, aku kan bawa cewek, harus dijagain dong.”

Karina tersenyum, lalu ia mengenakan helmnya. Ia tampak kesulitan karena belum pernah memakai helm, apalagi naik motor, sejak kecil ia sudah disediakan fasilitas yang memadai untuk hidupnya. Karena Karina kesulitan, Ardana membantu untuk memasangkan kunci helm yang Karina kenakan supaya lebih aman.

Ardana juga membantu Karina untuk naik ke atas motornya, “Sini, pegangan di bahuku aja biar gak jatuh!"

Karina mendengarkan Ardana dan menumpukan tangannya ke bahu Ardana, barulah ia bisa naik ke atas motor dan tidak terjatuh ke bawah. Karina dan Ardana sudah berpamitan dengan orang tua Karina, mereka pun segera pergi menuju ke tempat yang ingin dikunjungi oleh Karina.

Sepanjang perjalanan, Karina tiba-tiba merasa canggung dengan dirinya yang begitu dekat dengan Ardana. Ardana juga memikirkan hal yang sama dengannya, tetapi ia lebih memilih fokus menyetir supaya tidak terjadi hal yang buruk pada mereka. Sementara, kedua telapak tangan Karina masih menempel di pundak Ardana, ia tidak mau jika tubuhnya terlalu dekat dengan laki-laki yang belum terlalu ia kenal itu.

“Ya, Tuhan. Kenapa suasananya jadi canggung gini, sih? Padahal seharusnya dia nanya ke mana aku mau pergi, kenapa malah diam aja?!” batin Karina, perasaannya campur aduk.

Ardana baru ingat kalau ia seharusnya bertanya kemana tujuan mereka, karena ia sudah ingat dan kebetulan pemberhentian lampu lalu lintas, Ardana langsung bertanya pada Karina, “Rin, kita mau ke mana nih? Mumpung lagi lampu merah nih.”

Karina tersadar dari lamunannya, “Ah, iya? Kita mau ke ...... Taman Mini Indonesia Indah aja, Ar. Banyak yang unik kan di sana?” tanya Karina.

Ardana mengangguk sambil melihat wajah Karina dari kaca spion sebelah kiri motornya, “Oh, Oke. Kita ke TMII, ya!” Setelah lampu hijau menyala, ia langsung mengendarai motornya menuju ke arah Cipayung untuk pergi ke Taman Mini Indonesia Indah, tempat yang Karina inginkan dikunjungi lebih dulu.

Sepanjang perjalanan kembali canggung, Karina dan Ardana tak saling mengobrol, padahal tadi Karina lah yang tampak sangat bersemangat ingin berkeliling kota. Ia hanya terus menggenggam erat pundak Ardana, sambil melihat pemandangan selagi perjalanan masih panjang.

“Tadi senang banget, sekarang diam gitu,” batin Ardana sambil melirik Karina lewat kaca spion motornya.

Karina juga terus bergumam dalam hatinya, ia merasa kesal dengan Ardana, “Ini salah dia! Kenapa gak bilang kalau bakal pakai motor, coba? Kan jadi canggung gini, gak seru banget, cepet-cepet sampe aja deh!”

Setelah melewati beberapa lampu merah, akhirnya mereka sampai di tempat pertama, yaitu Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Karina turun lebih dulu dari Ardana, ia masih saja kesulitan dengan helm yang digunakannya itu.

“Ih, nyangkut di rambutku nih helmnya, Ar.”

Ardana tersenyum, “Mana? Kamu aja tuh yang biasa pakai helm nih. Sini biar aku bantuin!” Karina mendekatkan diri lebih dekat dengan Ardana, sehingga membuat mereka semakin merasa canggung.

Ardana menghiraukan tatapan mata Karina yang cukup dekat dengannya, ia hanya fokus untuk melepaskan helm yang digunakan Karina, “Nih, udah lepas! Tuh, rapikan dulu rambut kamu, Rin.”

Karina melihat tatan rambutnya di kaca spion, “Hah, rambutku jadi turun kan, nih. Susah tahu rapinya,” ujarnya dengan wajah kesal. Sikap Karina yang seperti anak kecil membuat Ardana tidak bisa berhenti tersenyum, tampaknya ia akan terus tersenyum hari ini dengan Karina.

BERSAMBUNG.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status