Share

GET MARRIED TO KARINA
GET MARRIED TO KARINA
Penulis: Sisin Kim

Kehidupan Yang Berbeda-beda

Jakarta 2017, Indonesia.....

Pagi ini, keluarga Karina sarapan bersama sebelum memulai aktivitas mereka. Seperti biasa, ibu nya akan sibuk mempersiapkan semua makanan dan minuman untuk sarapan pagi, sedangkan Karina tetap fokus menatap buku tulis untuk puisinya.

Karina membaca sambil berjalan menuju ke meja makan, disusul lebih dulu oleh ayahnya, “Pagi, Sayang!” sapa ayah seraya membelai rambut Karina dengan lembut.

Karina membalas dengan senyuman, “Pagi juga, yah,” ia duduk di kursinya.

Ibunya terus memperhatikan Karina yang tetap sibuk dengan buku tulisnya itu, “Karina, udah deh, letakin dulu bukunya! Entar kan bisa di tulis lagi, sekarang makan dulu tuh rotinya.”

“Iya, bu.” jawabnya singkat. Lalu meletakkan buku puisinya di samping piring makanannya.

Mereka menyantap sarapan bersama-sama dengan wajah semangat untuk menyambut hari-hari. 

Setelah selesai makan, Karina dan ibunya mengantar ayah untuk pergi bekerja sampai di depan pintu utama. Setiap pagi mereka akan selalu melakukan hal itu, karena hanya ayah yang akan berangkat pagi dengan senyum di wajahnya. Sedangkan Karina, ia harus tetap berada di rumah untuk belajar sendirian tanpa ada yang menemaninya. Ia kadang sedikit kesal dengan hidupnya, ia ingin mempunyai banyak teman yang seumuran dengannya, tapi keadaannya tak memungkinkan hal itu terjadi.

Mobil ayah sudah tak terlihat lagi di pandangan mereka, Karina dan ibunya kembali masuk ke dalam rumah. Karina berjalan dengan wajah sedih, karena harus mengingat kapan terakhir kali ia pergi ke sekolah dengan ayahnya. Ya, terakhir kali ia berangkat untuk bersekolah itu pada saat dia masih SMP kelas 8, setelah itu Karina berhenti dan ibunya mengundang guru privat untuk mengajarnya di rumah.

Ibu nya menyadari kalau Karina kembali merasakan kesedihan itu, ia pun menyusul Karina sambil membelai rambutnya, “Rin, udah, jangan mikir kalau kamu gak bisa sekolah kayak dulu lagi. Ibu yakin kamu pasti bisa, ibu selalu dukung kamu.”

Karina mengangguk pelan, “Iya, bu. Karina ngerti, kok.”

Karina menepis tangan ibunya yang ada di bahunya, ia sangat sedih, tetapi berusaha menyembunyikan hal itu dari ayah dan ibunya. Ia mengambil kembali buku tulis puisinya dan segera masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang kecewa.

Ibu nya tak mungkin tidak memahami apa yang putrinya rasakan saat ini. Dia tahu, tapi tidak ingin mengungkapkan banyak kata pada Karina, karena itu akan semakin membuatnya memakan janji-janji yang tidak bisa ditepati oleh orang tuanya.

Di dalam kamarnya, ia kembali ke hobinya untuk menulis puisi. Kamarnya sangat luas untuk Karina yang hanya tidur sendiri, ada jendela besar yang memantulkan cahaya matahari, alat musik piano berwarna putih yang terlihat cantik di pojok dinding, dan juga lemari pakaian yang menyatu dengan dinding kamarnya, sehingga tak memakan banyak tempat. 

“Ya, Tuhan. Kenapa engkau berikan aku sakit? Aku seharusnya tidak terus berada di rumah, tapi kenyataan ini .... aku tidak bisa menghindarinya,” Gumamnya dengan raut wajah bingung.

Walau kadang hatinya mudah rapuh, tetapi Karina tetap menjalani hari-harinya dengan baik. Ia kembali duduk di meja dengan sepasang kursi yang ada di dekat jendela kamarnya itu, untuk melanjutkan puisi yang sedang ia tulis tadi. Alunan musik yang diputar di ponselnya, membuat suasana menjadi lebih tenang. Karina bisa melanjutkan imajinasinya untuk membuat bait kata yang indah di dalam puisinya.

Pagi yang merindukan malammu

Akankah bisa menggapai harapan itu?

Pada hatiku yang menangisimu

Akankah bisa menutupi luka itu?

Begitu pula dengan malam yang merindukan pagi

Akankah bisa saling menjaga?

Bagi sepasang kekasih yang sudah membenci

Akankah bisa saling percaya?

Karina, 90

“Puisi ini aku beri judul Sepasang kekasih yang tak bisa bersatu,” ucap pelan Karina seraya menatap tulisan indah yang ia tulis di puisi itu.

“Karena mereka gak bisa bersatu walau hati sama-sama sudah saling mencintai, mereka sama seperti pagi dan malam atau pun matahari dan bulan.”

Saat Karina sedang menulis puisinya, ibu memanggilnya dan mengetuk pintu kamarnya. Tuk! Tuk! “Rin, ibu pergi ke tempat teman ibu dulu, ya. Kamu gak apa-apa kan di rumah sendiri?”

Karina bergegas membuka pintu dan menjawab ibunya, “Iya, Rina bisa di rumah sendiri, kok. Ibu pergi aja.” Jawabnya pelan.

Ibu membelai rambutnya dengan lembut sambil tersenyum, “Tunggu ibu pulang, ya, nak! Ibu pergi dulu.”

Karina mengangguk mengerti, ibunya segera keluar dari rumah untuk pergi ke rumah temannya. Sekarang tinggallah Karina seorang diri di rumah yang besar itu. 

Ia menatap dan memperhatikan jam tik tok yang ada di depan matanya, jam itu menunjukkan pukul 8 pagi. Saat bersamaan, ia mendapatkan ide untuk pergi jalan-jalan ke luar rumah untuk mencari referensi puisinya, selagi tidak ada orang di rumahnya. 

“Aih, kenapa aku tidak kepikiran hal itu dari kemarin-kemarin, ya? Padahal aku selalu punya kesempatan untuk keluar rumah, karena ibu selalu pergi ke rumah temannya.”

Karena ide itu sudah muncul di kepalanya, ia pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Karina bergegas mengganti pakaiannya dan juga membawa tas sandang kecil yang berisi notebook, pulpen, dan juga ponselnya. Saat tengah berkemas, ia tak sengaja melirik obat-obatan dan juga tisu yang ada di atas meja riasnya, tetapi ia mengabaikan benda-benda penting itu dan bergegas keluar. 

Karina tampak sangat bersemangat, karena baru kali ini akhirnya dia bisa keluar dari rumah semenjak ia sakit. Ia memilih sepatu mana yang akan digunakannya, ia mengambil sepasang sepatu kets berwarna putih yang masih terlihat baru. Setelah itu, ia pun berjalan keluar dari dalam rumah dan menghirup udara yang ada di luar dengan wajah gembira.

“Wah, aku sudah lama tidak berdiri lama di luar seperti ini selain pergi ke taman belakang. Sekarang tidak ada ayah dan ibu, aku bisa pergi kemanapun yang aku inginkan,” ujarnya dengan wajah yang berseri-seri.

Ia pun melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah, ia sangat merasa senang sekali. Karina tidak ingin apapun, ia hanya ingin menemukan kebahagiaan yang seharusnya didapatkan dari orang tuanya, teman-temannya, dan juga keluarganya, supaya ia bisa menjalani hari-hari tanpa memandang berbeda dengan yang lainnya.

Karina berjalan dengan sangat santai sambil melihat sekelilingnya, ia tengah berjalan menuju ke halte busway yang ada di depan komplek. 

Dari kejauhan, ia sudah bisa melihat halte busway yang sedang ditujunya, sangat ramai dengan orang yang berpakaian formal dan juga berseragam sekolah. Hal itu membuatnya merasa dirinya akan terlihat aneh jika berada di tengah-tengah keramaian yang terburu-buru pergi ke kantor maupun sekolah mereka, sedangkan ia tidak memiliki tujuan yang sama dengan orang-orang itu. Tapi, ia berusaha membuat hatinya tetap tegar dan kembali berjalan dengan sangat cepat supaya tidak tertinggal busway itu. 

Ayo, cepat masuk! Cepat!

Ada lagi? Yang pake baju sekolah tuh, dek gak mau sekolah, ya?

Iya, pak. Ini rame banget, susah mau masuknya.

Sabar-sabar, sesak banget nih, jangan dorong-dorong mas!

Naik, dek?

Karina sampai di halte busway itu, ia melihat banyak orang yang baru saja naik dan turun dari busway itu, membuatnya kesulitan untuk masuk. 

“Kamu gak masuk ke busway?” 

Suara seorang laki-laki terdengar di telinga kanannya, ia pun melirik ke kanan. “Ah, terlalu ramai, lebih baik menunggu bus berikutnya saja,” jawabnya sopan.

Ternyata seorang laki-laki berseragam sekolah menengah atas yang baru saja menegurnya. Karina tampak kebingungan dengan sikapnya, ia begitu menghindari orang-orang yang seumuran dengannya, apalagi kalau mereka memakai seragam sekolah.

Laki-laki itu terus memperhatikannya, tetapi Karina terus memalingkan pandangannya ke arah lain, berusaha tidak menatap laki-laki yang berdiri di sampingnya itu.

Karena penasaran laki-laki itu kembali membuka topik pembicaraan dengan Karina, ia tidak merasa gugup sedikit pun, “Emm, kamu mau ke mana? Kayaknya kita seumuran, apa kamu gak sekolah?” tanya laki-laki itu.

Karina langsung menatap dengan serius, “Aku .... sekolah juga, kok.” Jawabnya singkat, “Kenapa kamu tidak masuk saja ke dalam, malah mengajakku mengobrol, nanti kamu telat!” lanjutnya dengan raut wajah gugup.

“Gak masalah tuh, aku emang gak niat sekolah.”

“Eh, sebaiknya kamu manfaatkan waktu yang berharga ini. Belum tentu besok kamu masih bisa membuka matamu dan menggerakkan semua tubuhmu,” ujar Karina dengan wajah kesal, lalu naik ke busway lewat pintu depan.

Laki-laki itu mengikutinya naik ke busway, saat Karina duduk ia juga ikut duduk di samping Karina. Laki-laki itu tampaknya akan mengikuti Karina hari ini, dari raut wajahnya sudah sangat terlihat jelas kalau, laki-laki itu jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya.

“Yang turun di halte Taman Ria Rio siapa?” tanya petugas bus.

Karina mengangkat tangannya, “Saya, pak.”

“Cuma kamu aja?”

Karina mengangguk, “Iya, pak.”

Laki-laki yang duduk di sampingnya itu juga ikut mengangkat tangan, “Saya juga turun di taman Jakarta, pak.”

Karina kebingungan, kenapa laki-laki itu benar ingin mengikutinya. “Oke, Cuman kalian berdua aja, kan?” petugas itu menyuruh sopir bus untuk menurunkan mereka berdua di Taman Ria Rio.

Wajah Karina tampak kesal, tetapi ia tidak punya hak untuk melarang orang lain yang ingin pergi ke tempat yang sama dengannya, karena Taman itu adalah tempat umum yang bisa dikunjungi siapapun.

Setelah sampai di Taman, ia langsung bergegas turun dari busway tanpa memikirkan laki-laki yang masih mengikutinya itu. “Bodo amat, lah. Ngapain juga mikirin orang aneh kayak gitu, gak ada gunanya.” Batinnya.

Ia berkeliling taman itu tanpa melirik ke belakang, tujuan utamanya ke taman itu bukanlah memikirkan orang yang terus mengikutinya, tetapi ia harus mendapatkan ide untuk puisi barunya.

Masih pagi, suasananya masih sejuk dan juga ada beberapa orang yang sedang lari marathon mengelilingi taman itu. Ia pun duduk di kursi kayu yang ada di depannya sambil mengeluarkan notebook dan pulpen dari dalam tas sandangnya. 

Laki-laki itu juga ikut duduk sambil memperhatikan tulisan yang akan ditulis Karina di notebook itu, “Apa yang sedang kamu tulis?” 

Karina menjawab sambil menulis, “Aku sedang menulis sebuah puisi, mood ku bagus karena berada di tempat terbuka seperti ini.”

Laki-laki itu mengangguk mengerti. Ia mengulurkan tangan kanannya di depan buku Karina, “Dari tadi kita belum kenalan, sampe harus ngikutin kamu kesini,” Karina menjabatkan tangannya, “Namaku Ardana Syahputra. Kalau kamu?”

“Namaku Syafika Nur Karina, biasa dipanggil Rin.”

Ardana merasa tertarik pada Karina yang memiliki paras cantik dan lugu, ia merasa bahwa akan mudah mendekati gadis penyair itu.

Bersambung.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status