***
Setelah Christian pergi, Hana lantas meraih ponsel dan menghubungi sahabatnya. “Halo, Dit… Loe dimana?”“Di kantor. Kenapa?”
“Dit, kayaknya nanti malam gue nggak bisa deh temanin loe makan malam.”
“Kenapa? Loe lanjut shift sore? Ya nggak apa- apa. Abis loe pulang aja.”
“Bukan… Gue shift pagi kok. Tapi gue ada acara nanti malam.”
“Ke mana? Sama Christian?”“Iya. Dan dia minta ditemenin ke Bali. Gue kok ya malah nggak semangat ya…”
“Ke Bali? Berapa lama?”
“Nggak tahu. Katanya ada kerjaan di sana dan minta gue ikut.”
“Cieeee…. Ya udahlah pergi aja. Sekalian loe jalan- jalan. Kok malah nggak semangat?”
“Ya gue takut aja. Dia kan orang asing. Bukan siapa- siapa gue juga. Ya kalaupun gue kenapa- kenapa nantinya, ya dia pasti juga nggak bakalan peduli.” jawab Hana dengan sendu.
“Ya lagian loe udah gede. Ngapain juga loe mau kenapa- kenapa? Takut jatuh cinta sama dia?”
“Nggak lah… Nggak ada ya gue jatuh cinta sama dia. Gue cukup tahu diri kok. Dia tuh anggap gue cuma mainan doang. Cuma teman kencan teman segala- galanya aja. Dan dia juga udah ingetin gue soal itu sejak awal. Makanya dia nggak suka sama perempuan yang terlalu muda. Katanya cepat baper.” jelas Hana menceritakan pembicaraan ringannya dengan Christian malam itu.
“Ya udah… Nanti kalau ada apa- apa, loe telepon gue aja. Tapi dari sepengalaman gue sebagai sugar baby yah, mereka nggak akan celakain loe. Mereka tuh lebih ke butuh teman ngobrol sih sebenarnya. Teman tidur juga sih udah pasti.”
“Gue takut kalau dia… Dia punya kelainan atau penyimpangan gitu loh Dit… Kan ada tuh orang yang suka kalau harus bertiga, atau harus mukul dulu atau apalah gitu…”
“Feeling loe soal Christian kayak gitu? Apa ada gelagat kalau dia kayak gitu?”
“Ya mana gue tahu! Orang gue baru dua kali ketemuannya.”
“Dua kali? Bukannya baru ketemu semalam? Satu kali deh, Han…”
“Dua kali, Pradita… Tadi dia nyamperin gue ke kampus.” jawab Hana.
“Seriusan?” pekik Dita. Tampak sekali, sahabat Hana itu terkejut!
“Iya… Gue juga kaget. Kayaknya sih dia lagi nyari tahu soal gue. Ya gue sih nggak masalah.”
“Hati- hati… Jangan baper loh ya…” ledek Dita yang tahu betul lembutnya hati sang sahabat.
“Nggak lah… Gue udah tanamin di kepala gue kalau apapun yang dia lakuin karena dia ngebayar gue dan apapun yang gue lakuin itu karena dia juga yang ngebayar gue.”
“Serah loe mau tanemin apa, asal jangan sampai loe malah pupukin rasa sayang sama dia. Lebih gampang lho buat jatuh cinta sama yang kayak modelan Christian gitu. Ganteng- ganteng cool galak tegas gitu… Dikit bad boy tapi perhatian. Jadi please jangan kebawa perasaan. Yang ada loe sendiri yang bakalan susah.” ujar Dita mengingatkan.
“Iya, gue tahu…”“Ya udahlah. Jadi loe langsung pulang untuk ngambil barang?”“Nggak. Tadi Christian bilang gue nggak usah bawa apapun. Tinggal tunggu kabar sekertaris sama asistennya aja. Mereka yang akan siapin semua dan jemput gue.”“Ya udah… Saran gue nih ya… Mending loe ke salon aja dulu. Sambil nunggu. Loe udah selesai kan kerjanya?”“Iya… Nih gue udah selesai dan mau pulang.”
“Ya mampur aja dulu ke salon. Creambath kek waxing kek…”
“Harus ya?”
“Ya harus lah… Biar wangi dan bikin loe percaya diri aja.”
“Oh… Oke…”
“Just give him the best.”
“Hah? Best?" kaget Hana.
“Sayang, kamu dimana?” tanya Christian pada Hana sambil membuka laptop milikku. Kami sedang dalam perjalanan menuju lokasi pembangunan.“Aku udah di jalan, sayang. Mau ke kantor teman yang aku ceritain. Doain aku diterima ya…”“Maaf ya, aku nggak bisa anterin. Tadi di kantor lagi banyak tamu. Aku nggak sempat pulang.” “Nggak apa- apa. Kamu udah makan?”“Belum, sayang… Nanti aja. Tanggung.” “Aku juga belum… Tadi aku takut telat jadinya buru- buru,” jawab Hana terdengar sendu.“Kok gitu sih… Ya udah… Kalau misalnya nanti waktunya dapat, aku jemput kamu makan siang ya… Semoga kamu bisa lowong,”“Gimana sih, sayang… Masa iya aku hari pertama kerja, belum tentu keterima juga, aku langsung ijin makan siang di jam yang udah lewat makan siang. Lagian aku tadi beli onigiri kok di supermarket,” jelas Hana.“Mana kenyang sih makan gituan… Ya udah, nanti aku lihat kalau misalnya sempat, aku semperin kamu.”“Jauh, Chris…”Tok TokChristian langsung menoleh pada arah datangnya suara yang langsung
Christian POVAku duduk di kursi kerjaku sambil memandang pemandangan ibukota yang jalanannya seolah tak pernah sepi. Kesibukan bahkan membuat mereka jarang berada di rumah. Sama sepertiku sebelum menikah dengan Hana. Semuanya begitu membosankan dan aku tidak pernah betah tinggal di rumah besar keluargaku ataupun sendirian di dalam apartemen milikku. Sepi, monoton, membosankan dan hanya aku isi dengan pekerjaan dan berkencan sesekali. Kekasih? Aku tidak punya dan tidak tertarik. Mereka akan meminta banyak waktuku dan aku belum menemukan wanita yang membuatku rela meninggalkan pekerjaanku hanya untuk menngobrol dengannya.Aku memang cukup mapan. Perusahaan, aset dan harta milik mendiang kedua orang tuaku yang mereka wariskan kepadaku sebagai satu- satunya anak kandung mereka. Tentu Max tidak terhitung karena dia adalah anak papa bersama tante Brenda, yang tidak lain adalah sekertarisnya sendiri. Dengan kata lain, papa dan tante Brenda mengkhianati mama. Tapi jujur, tanpa kehadiran tant
Hana POVAku mendekati Christian yang nampak sedang santai sambil membuka ponsel yang sejak kemarin tidak ia sentuh tersebut. Satu tangannya kemudian menarikku untuk merebahkan kepalaku di atas pahanya dan membelai lembut rambut panjangku.“Kamu kenapa belum tidur?” tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sedikit terlihat serius.“Dikit lagi, sayang. Aku lagi periksa beberapa pesan dari Maya dulu,” jawabnya lalu mendaratkan satu kecupan manis di keningku.“Lapar nggak?” tanyaku.“Nggak juga sih… Emangnya kamu lapar? Mau makan apa?” ucapnya balik bertanya lalu menatapku dengan senyuman lembutnya. Entah mengapa di awal pertemuan kami, ia selalu memasang wajah tegang, masam dan dingin sedangkan sebenarnya ia bisa semanis dan selembut ini.“Aku mau masak mie instant. Kamu mau?” tawarku.“Mie instant? Nggak mau yang lain? Gimana kalau pesan aja, sayang? Mie instant kan nggak bagus,”“Tapi aku pengennya itu aja, Chris… Sekali ini aja. Sejak kamu datang, aku nggak pernah makan itu lagi. Bole
Hana POVAku hanya bisa tersenyum melihat Christian dengan bangganya menyalakan kipas angin setelah kami menikmati makan malam sederhana kami. Setelah tadi siang ia terpaksa menghabiskan nasi dan lauk khas warteg kampung karena sudah terlalu kelaparan, akhirnya malam ini ia meminta dengan sopan untuk dibuatkan sepiring nasi goreng buatanku seperti biasanya. Meski awal penyesuaian kami hidup bersama dulu ia sering protes karena terlalu sering mengkonsumsi nasi, namun kini ia mulai terbiasa dengan pola makanku. “Gimana, enak kan kalau pakai kipas angin?” tanyanya sambil duduk di sampingku dengan kedua lengan yang ia bentangkan di sandaran kursi.“Iya… Enak,” jawabku dengan tersenyum.“Emang kenapa nggak mau pakai AC aja? Kan enak lebih sejuk,” “AC nya mau di tempelin kemana, Chris? Yang ada malah roboh semua dinding rumah ini,” candaku. Namun itu mengandung kebenaran. Lagipula, siapa yang membutuhkan AC dan kipas angin saat tinggal di desa sesejuk ini?“Itu kamu lagi baca apaan?” tany
Hana POV“Jadi dia yang kamu maksud dari kampung sebelah?” tanya Christian yang membuatku heran. Ia nampak menyetir dengan perlahan namun namun sedikit terlihat serius. Sejak menurunkan Lisa di rumah pamannya, ia memang tidak seperti biasanya.“Kampung sebelah? Maksudnya?” ucapku balik bertanya karena tidak paham akan apa yang ia tanyakan.“Tadi kan kamu bilang nggak nyangka akan punya suami aku. Tadinya impian kamu hanya sebatas orang kampung sebelah udah paling bagus banget… Jadi maksud kamu si Wara wiri itu…” jawabnya yang lebih terdengar seperti sedang meledekku.“Wira, Chris… Namanya Abang Wira,” imbuhku yang membuatnya mendelik kesal.“Kemarin panggil orang dengan sebutan Mas, sekarang Abang. Dan kamu malah panggil aku Christian atau Mr Smith. Aneh banget…” protes Christian yang membuatku mengulum senyuman.“Ya kan tapi kalau kamu aku manggilnya sayang. Dan itu panggilan yang nggak aku kasih ke orang lain. Kalau kamu mau aku panggil kamu mas, abang, aa, bli, daeng, uda, atau apa
Kedua mata Christian nampak terbelalak ketika ia baru saja membuka pintu kayu ruangan yang Hana sebut kamar mandi tersebut. Bukan karena apa, melainkan semua yang ia dapati dalam ruangan kecil berbatu tersebut sungguh jauh dari batas titik paham kesederhanaannya.“Chris… Air panasnya bel—“ ucap Hana yang malah terkejut karena pria tinggi yang terlihat sedikit membungkuk tersebut malah hanya berdiri di depan kamar mandi dengan kedua tangan yang memegangi sisi kiri kanan jalan masuknya.“Kenapa?” tanya Hana dengan heran.“Sayang, no offense… Tapi… Apa… Nggak ada kamar mandi lainnya?” tanya Christian dengan menoleh pada Hana yang kini berdiri tepat di samping kanannya dan ikut menengok ke dalam kamar mandi.“Kenapa emangnya?”“Sayang, aku… Aku nggak pernah melihat tipe kamar mandi seperti ini. Maksud aku… Apa nggak ada toilet yang lain? Aku nggak tahu harus gimana pakainya,” jawab Christian dengan polosnya dan membuat Hana tertawa dalam hati. “Oh… Itu… Gini deh cara pakainya kamu buka c