Share

Gadis Bercadar Kesayangan Mafia
Gadis Bercadar Kesayangan Mafia
Author: Callista Ivan

1. Pertolongan dari Gadis Bercadar

"Rasakan ini!"

Bugh! Bugh! Bugh!

"Kau juga rasakan ini!"

Keributan antar dua kelompok pemuda membuat arus lalu lintas terhambat. Para pemuda tersebut memenuhi jalanan dengan saling serang dan juga saling pukul. Mereka berkelahi tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarnya yang terganggu akibat perbuatan mereka. Hingga akhirnya, salah seorang pria yang terkena sayatan pisau di perutnya tidak bisa lagi melawan dan saat itu pula tubuhnya pun ambruk ke tanah.

Dia adalah Rey, pemimpin dari salah satu kelompok yang terlibat perkelahian itu.

Tiba-tiba suara sirine mobil polisi mulai datang menghampiri kerumunan tersebut untuk melerai perkelahian di antara mereka. Sementara teman-teman Rey masih saling berkelahi dengan musuh, sehingga mereka tak menyadari jika polisi sudah sampai di lokasi tersebut.

"Gawat! Polisi datang! Bubar bubar!" seru salah seorang pemuda yang lantas berteriak kencang kepada teman-teman lainnya.

Melihat tiga mobil polisi yang mulai mendekat ke arah lokasi perkelahian mereka, membuat para pemuda itu pun kabur dan lari tunggang langgang agar tidak tertangkap dan dibawa ke penjara.

Kawan-kawan Rey pun juga begitu. Mereka kabur saat mendengar sirine mobil polisi. Mereka bahkan lupa jika Rey sudah terkapar bersimbah darah akibat luka sayatan pisau di perutnya. Mereka semua hanya fokus menyelamatkan diri masing-masing.

Tak lama setelah kericuhan itu terjadi, seorang gadis dengan memakai cadar nampak melintas dengan mobilnya, melewati jalanan yang memang biasa dilaluinya saat berangkat maupun pulang dari kampus.

Dari jarak beberapa meter di depannya, gadis itu melihat seorang pria yang tengah terkapar di bahu jalan. Ia cukup terkejut, ketika melihat ada darah yang menempel di pakaian pria itu.

"Ya Allah, apa yang terjadi pada pria itu? Sepertinya dia terluka," seru gadis itu terkejut saat melihat Rey yang terluka.

Gadis bergamis syari dengan cadar itu pun segera melajukan mobilnya agar lebih dekat lagi dengan posisi Rey yang sedang terbaring lemah di tanah.

Alina Az Zahra, wanita yang kecantikannya tertutupi oleh cadar. Hanya kedua bola matanya saja yang nampak terlihat. Mata bening itu yang pada akhirnya menuntun dirinya menghampiri Rey yang seolah memanggilnya untuk minta pertolongan.

Tak jauh dari sana, Alina melihat beberapa mobil polisi serta beberapa petugas kepolisian yang sedang berjalan menghampiri pria itu.

Alina pun bergegas keluar dari mobilnya, berjalan cepat menghampiri Rey yang ditinggalkan oleh teman-temannya setelah melihat kedatangan polisi ke lokasi tersebut.

"Ya Allah, kenapa dia sampai terluka parah seperti ini?" Alina menjadi panik ketika melihat banyak darah dari bagian perut pria itu.

Dua polisi segera menghampiri Rey yang terkapar dan hendak membawa pria itu bersama mereka. Akan tetapi, Alina segera mencegah dan juga memohon agar para polisi itu tidak membawa Rey.

"Pak polisi, tolong jangan bawa dia, Pak," cegah Alina, karena dia tak tega jika pria terluka itu sampai dibawa oleh pihak kepolisian.

"Apa Anda mengenal pria ini?" tanya salah satu anggota polisi kepada Alina, karena wanita itu melarang mereka untuk membawa Rey.

"Iya, Pak. Dia teman saya. Jadi saya mohon jangan bawa dia, biar saya membawanya ke rumah sakit saja." Dengan penuh harapan, Alina kembali memohon supaya pria yang sekarang tengah terkapar tidak dibawa oleh polisi.

Alina terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa Rey adalah temannya. Entah kenapa ia sampai melakukan hal itu, karena yang ada di dalam benaknya saat ini hanyalah untuk menolong pria malang tersebut.

"Baiklah kalau memang Anda mengenalnya. Kami tidak akan membawanya, dan lebih baik kalian segera pergi dari tempat ini." Akhirnya polisi itu mengurungkan niatnya untuk membawa Rey.

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak."

Alina merasa lega karena pengakuannya membuat para polisi itu percaya. Setelah polisi tidak jadi menangkap Rey, Alina pun lalu meminta tolong pada polisi yang ada di sana untuk membantunya mengangkat Rey masuk ke dalam mobilnya, karena ia akan segera membawa pria itu ke rumah sakit.

"Terima kasih banyak karena sudah membantu saya, Pak." Alina menundukkan kepalanya.

"Sama-sama."

Alina bergegas masuk ke dalam mobil, dan ia pun langsung melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit terdekat.

Berulang kali mata Alina menatap pria yang terbaring di jok belakang melalui kaca dashboardnya. Alina mempercepat laju mobilnya agar bisa sampai dengan tepat waktu menuju ke rumah sakit supaya pria itu bisa tertolong.

Begitu sesampainya di rumah sakit, Alina segera meminta tolong pada petugas rumah sakit untuk membawa brankar dan membawa tubuh Rey, supaya secepatnya mendapatkan pertolongan medis.

"Tolong selamatkan pria itu, Sus," pinta Alina dalam hatinya, ketika dia melihat Rey yang dibawa oleh perawat menuju ke ruang IGD untuk mendapatkan pertolongan dokter.

"Kami akan melakukan yang terbaik," jawab salah seorang perawat.

Alina masih tetap di rumah sakit dan menunggu sampai kondisi Rey benar-benar membaik. Sebab sejak tadi, pria itu masih belum juga menunjukkan tanda-tanda siuman, sehingga membuat Alina harus tetap berada di sana.

Tak terasa, hari sudah mulai gelap. Hingga malam datang, Rey masih berada di rumah sakit itu.

Namun, kali ini perlahan ia mulai sadar dan membuka matanya. Pria itu akhirnya siuman setelah beberapa jam dirawat. Kelopak matanya yang berbulu lentik itu pun terangkat, membuatnya menatap ke sekeliling tempatnya berada saat ini.

Luka sayatan di perut Rey, membuatnya meringis karena sakit saat dia menggerakkan sedikit tubuhnya. Ia menatap ke sekeliling di mana sekarang dia berada, dan setelah beberapa detik barulah Rey sadar ada di mana dia sekarang.

"Kenapa aku bisa ada di rumah sakit? Siapa yang sudah menolongku?" Rey merasa heran karena saat dia sadar, ternyata ia sudah berada di rumah sakit.

Padahal jelas-jelas tadi dia sedang berkelahi dengan orang-orang yang selama ini dianggap musuh olehnya. Rey juga melihat jika teman-temannya lari meninggalkannya yang tergeletak di tanah setelah perutnya terkena sayatan pisau.

Rey masih belum mendapatkan jawaban mengenai siapa orang yang sudah membawanya ke rumah sakit. Sebab itulah ia berusaha untuk mengumpulkan tenaganya terlebih dulu, dan barulah setelah itu dia akan mencari tahu dengan mendatangi resepsionis.

"Mungkinkah ada orang baik yang sudah menolongku, dan membawaku kesini? Sebaiknya aku keluar saja untuk mencari tahu," gumam Rey yang penasaran mengenai siapa yang sudah membawanya ke rumah sakit.

Sementara itu di luar ruang rawat inap, Alina tampak sedang mondar-mandir kesana kemari. Berulang kali dia melihat jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya.

Gadis bercadar itu merasa cemas. Malam sudah semakin larut, tapi ia masih tetap berada di rumah sakit ini dan belum bisa pulang ke rumah. Sebab ia tak mungkin meninggalkan pria yang ditolongnya sore tadi sebelum memastikan kondisinya lebih dulu.

Dering ponsel tiba-tiba menghentikan langkah Alina yang masih tetap dengan posisinya. Refleks ia segera menatap layar ponsel yang sedari tadi digenggamnya dengan perasaan cemas. Sudah ia duga, pasti orang tuanya akan menghubunginya karena ia belum pulang juga sampai larut malam seperti ini.

Alina pun segera menggeser tombol hijau, begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya tersebut.

"Halo, assalamualaikum, Abi?" sapa Alina dengan tutur katanya yang lembut dan santun.

"Waalaikumsalam. Kamu dimana, Alina? Hari sudah larut malam, tapi kenapa kamu belum pulang juga? Abi dan ummi cemas memikirkan keadaanmu, Nak." Pria itu adalah Kyai Usman, ayah Alina yang sangat bijaksana dan disegani banyak orang.

Sebagai orang tua, tentu saja abi dan uminya merasa sangat khawatir karena putrinya terlambat pulang ke rumah. Pikiran-pikiran buruk mulai mengusik dan mengganggu mereka. Sebab tidak biasanya Alina ada di luar rumah sampai malam hari seperti ini.

"Abi, sekarang Alina sedang menemani teman di rumah sakit. Kemungkinan aku pulang agak terlambat, tapi mungkin sebentar lagi Alina pulang," jawab gadis bercadar itu, berusaha menenangkan perasaan sang ayah.

"Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik," pesan pria paruh baya itu yang sedikit merasa lega setelah tahu jika putrinya baik-baik saja.

Sebenarnya pria itu ingin marah karena putrinya pulang larut malam, tapi dia menahannya dan akan menegur Alina saat nanti sudah tiba di rumah.

"Iya, Abi." Alina mengangguk dan segera mematikan sambungan telfonnya.

Ia tahu jika abi dan umminya sangat mencemaskannya, tapi nanti dia akan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya.

Alina menarik napasnya dalam-dalam. Ia masih belum tahu, kenapa ia bisa bertahan di rumah sakit ini sampai larut malam. Padahal ia bisa saja pulang dan menitipkan Rey pada suster atau dokter. Namun, hatinya menolak dan akan pulang setelah pria itu baik-baik saja.

"Maafkan Alina, abi. Tapi Alina baru akan pulang setelah tahu tentang kondisi pria itu. Sebab Alina tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Alina baru akan pulang setelah pria itu benar-benar sudah sadar." Alina memasukkan ponsel ke dalam tasnya, dan dia masih berdiri di tempatnya sembari menunggui Rey.

Dari dalam kamar inap, Rey sudah berhasil turun dan berdiri dengan tegak. Perutnya masih terasa sedikit sakit akibat terkena sabetan pisau oleh musuhnya.

"Aku tak mau lama-lama di sini. Aku harus segera keluar dari rumah sakit ini, sebelum para bedebah itu datang dan menemukan keberadaanku di sini." Rey berkata pada dirinya sendiri. Lagipula dia harus segera mencari tahu siapa orang yang sudah menolongnya. Bisa saja orang itu adalah kawan ataupun lawan.

Rey membuka pintu perlaha, dan saat itulah dia melihat seorang wanita sedang menerima telepon. Terdengar jelas jika wanita itu berbicara pada orang tuanya dan meminta maaf karena sudah pulang telat.

"Gadis itukah yang sudah menolongku? Tapi siapa dia?" batin Rey sambil terus melihat ke arah Alina yang sedang menelepon.

Posisi Alina saat ini tengah membelakangi pintu kamar inap dimana Rey berada, sehingga dia tidak tahu jika pria itu sedang berdiri dan melihat ke arahnya.

Merasa penasaran, Rey segera berdehem keras, membuat Alina refleks memutar tubuhnya dan menoleh ke arah tempat Rey berdiri saat ini.

Alina berdiri berhadapan dengan Rey, meski jarak keduanya tidaklah terlalu dekat. Rey diam mematung. Ia cukup terkejut dan menatap takjub pada gadis bercadar di hadapannya.

"Astaga, gadis itu ... Bercadar? Benarkah dia yang sudah menolongku? Ini pasti mimpi. Tidak mungkin wanita seperti dia mau menolong pria seperti aku." Rey kembali membatin, dia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Sementara Alina pun juga tak kalah terkejutnya, saat melihat pria yang dia tolong sedang berdiri dan melihat padanya.

Tiba-tiba Alina menjadi canggung. Namun, ia segera berasumsi bahwa kondisi pria itu sudah membaik. Sebab ia sudah bisa berjalan sampai ke ambang pintu.

Rey masih terpana, menatap pada wanita bercadar di hadapannya dengan kedua mata yang tak berkedip. Jujur dalam hatinya, ia masih tak percaya jika ada wanita sebaik Alina yang bersedia menolong pria seperti dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status