"Ini adalah kamarmu, kepala pelayan akan mempersiapkan semuanya untukmu, dari mulai pakaian dan juga makanan, dan kamarku tepat ada di depan kamar ini," jelas Alexa.
Mata Arsenio menelusuri setiap detail ruangan luas itu. Sejenak ia berdecak takjub melihat kamarnya yang dua kali lipat lebih mewah dari kamarnya yang berada di kediaman Tn. Albert. "Apakah kamu sudah tahu apa saja tugasmu?" tanya Alexa kemudian. "Tentu, aku sudah tahu," sahut Arsenio. "Baiklah, sekarang bersiaplah! Antar aku shopping!" seru Alexa dengan semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, memacu tongkatnya—melangkah pergi ke keluar dari ruangan itu. "Shopping? Oke! Aku ingin tahu, bagaimana gadis buta berbelanja," gumam Arsenio sambil menggelengkan kepalanya. Singkat cerita, mereka pun tiba di mall terbesar di kota itu, semangat Alexa tak terbendung. Meski kehilangan penglihatannya, setiap aroma dan suara di sekitar menghidupkan imajinasinya. Dia tahu persis arah toko langganannya, tongkat di tangan memberi kepercayaan untuknya melangkah. Saat memasuki toko, aura Alexa memancarkan pesona. Pelayan-pelayan toko langsung menunduk dengan penuh hormat, menyambut kedatangan pelanggan setianya. Tiba-tiba, decak kagum menggema di udara, terpesona dengan sosok Arsenio yang menawan berdiri tegak di belakang Alexa. "Silahkan, Nona. Hari ini banyak barang import terbaru, semuanya bagus dan akan sangat cocok untukmu tentunya," ucap salah satu pelayan wanita toko itu. "Baiklah, tunjukkan semuanya padaku!" perintah Alexa dengan antusias. "Ceh! Apa yang perlu ditunjukkan? Bahkan dia tak akan tau warna apa baju yang sedang dia pakai," bisik Arsenio pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian, beberapa pelayan toko berjajar di depan Alexa yang duduk santai di sofa. Para pelayan itu, masing masing membawa sebuah gaun mewah di tangannya. "Nona, ini adalah gaun import, hanya ada dua di dunia." Pelayan di depannya menjelaskan. Alexa perlahan meraba kain dari gaun itu," Lembut sekali," gumamnya tersenyum. Kemudian ia meraba setiap detail dari pakaian itu, penuh perasaan. Termasuk label merk dan juga harga pada pakaian itu. "Aku suka baju hitam ini, bungkus saja, oke!" ucapnya yakin. Arsenio yang berdiri di sampingnya tercengang, "Astaga! Bagaimana dia bisa tahu warna pakaian itu?" gumamnya pelan. Setelah itu, Alexa berbelanja sepatu, tas dan barang lain yang ia inginkan. Gadis itu, ke sana kemari dengan lincah, tak seperti orang tunanetra pada umumnya. Dan pada akhirnya kedua tangan Arsenio penuh dengan paperbag milik bosnya, Alexa. "Sial! Sampai kapan dia berhenti berbelanja?" keluh Arsenio, "Lebih baik aku berkelahi daripada harus mengikutinya seperti ini!" gerutunya kesal. Dua jam kemudian.... "Taruh saja semua di bagasi!" titah Alexa, wajahnya tersenyum girang setelah mendapatkan semua yang ia inginkan. Arsenio membuka bagasi mobil mewah itu, kemudian menaruh semua paperbag di tangannya itu dengan kasar. "Sungguh menjengkelkan!" Arsenio menggerutu. "Kenapa? Kamu ingin mengatakan sesuatu Arsen?" tanya Alexa. "Tidak!" jawab Armenia datar. " Oke, ayo kita pulang!" seru Alexa. Mereka berdua pun masuk ke dalam mobil, Arsenio mengemudi dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan tersebut, Arsenio terus mencuri pandang lewat pantulan spion. Ada misteri yang tersimpan rapat di balik wajah Alexa yang berubah-ubah, terkadang ia ceria, muram, kemudian dingin, lalu tiba-tiba menjadi seseorang yang ramah. Setiap ekspresi itu bagai kode yang sulit untuk Arsenio pecahkan, membuatnya sulit untuk menebak apa isi kepala gadis muda itu. #Sreeeeeeetttttttttttttt! "Kita sudah sampai Nona," ucap Arsenio. "Baiklah, terima kasih," sahut Alexa tulus. Kini, ekspresi Alexa terlihat dingin dan datar, berubah 180 derajat dari ekspresinya saat di Mall tadi. Dia berjalan menuju kamarnya tanpa bicara sepatah kata pun. Arsenio, masih mengikutinya dari belakang dan tak henti menelaah setiap raut wajahnya. "Simpan saja semuanya di atas ranjang, biar pelayan membereskannya nanti, " ucap Alexa. "Baik, Nona," balas Arsenio. "Pergilah, kamu pasti lelah, karena besok kamu akan memulai pekerjaan yang sesungguhnya." Alexa menyunggingkan senyum tipis. "Baik," sahut Arsenio, ia pun pergi meninggalkan kamar Alexa. Tepat di depan pintu, ia berpapasan dengan seorang pelayan yang membawa sebuah nampan berisi minuman dan cemilan di tangannya. Pelayan itu menunduk pelan kemudian masuk ke dalam kamar Alexa. Arsenio terdiam sejenak, menaruh curiga pada pelayan itu. "Nona, ini jus apel kesukaan anda," ucap pelayan itu. "Iya, Bi. Taruh saja di atas meja, terima kasih," ucap Alexa pelan. "Baik, Nona." Pelayan itu menaruh jus itu di atas meja, namun tiba tiba ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celemeknya. Dengan sangat hati-hati ia hendak memasukkan serbuk di dalam bungkusan ke dalam jus apel itu, namun... #Slap Arsenio diam-diam menarik lengan pelayan itu dan membawanya keluar dari kamar Alexa. Sementara itu Alexa sedang anteng mengeluarkan barang belanjaan satu per satu. "Apa yang akan kamu masukkan ke dalam minuman Nona Alexa?" tanya Arsenio berbisik, tatapannya tajam menusuk.Empat jam telah berlalu, tapi keheningan antara Alexa dan Arsenio seolah menebal tanpa terpecahkan. Mereka masuk ke pintu belakang mobil, duduk bersebelahan dengan jarak yang begitu dekat. Mobil melaju pelan, sementara mata Arsenio tak pernah beranjak dari sosok Alexa di sisinya — pandangan itu tajam, penuh pertanyaan dan rahasia yang belum terungkap. ‘Kenapa gadis ini bisa buta? Dia banyak bicara, tapi tak pernah membicarakan tentang penyebab kebutaannya,’ batin Arsenio tiba tiba penasaran. "Pak, antar aku ke tempat biasa, ya!” pinta Alexa kepada supirnya yang sudah tua itu. "Baik, Nona,” sahut sang supir singkat. Dahi Arsenio berkerut, hatinya penuh tanda tanya, ‘Kemana dia akan pergi? Apakah dia akan pergi memeriksa aset-asetnya? Bagus… Dengan begitu aku akan segera tau, dan aku akan segera pergi setelah mendapatkan bagianku.’ Tak lama kemudian, supirnya berhenti di depan sebuah toko mainan besar yang bersebelahan dengan toko makanan ringan. “Kita sudah sampai,
Kring Kring Kring Tiba tiba Arsenio dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. "Tuan Thomas,” gumamnya. Ia mengintip sejenak ke ruang kerja, terlihat Alexa dengan wajah serius sedang meraba tulisan di atas kertas, kemudian menandatanganinya. Arsenio segera mengangkat panggilan itu dan pergi menjauhi ruangan Alexa. "Ya! Ada apa?” sahut Arsenio. "Arsen, kamu mencabut semua kamera di kamar Alexa, kan? " tanya Tn. Thomas terdengar marah. "Ya! Memang kenapa?" jawab Arsenio kemudian balik bertanya. "Kenapa kamu melakukan itu! Aku perintahkan kamu untuk memasangnya kembali!” bentak Tn. Thomas. "Tidak!” tegas Arsenio. "Kurang ajar! Kamu berani menentang aku. Ingat! Aku yang akan membayarmu nanti!" Tn. Thomas naik pitam. "Aku dibayar untuk menjadi bodyguardnya, dan untuk mengetahui di mana gadis buta itu menyimpan semua aset- asetnya. Selain itu aku menolak!” jawab Arsenio dengan nada tegas dan datar. "Sial!” Tn. Thomas tak bisa bicara apapun lagi. "Ak
Ini... ini..." Pelayan itu bergetar hebat. "Cepat katakan! Jika tidak, aku akan membunuhmu!" ancam Arsenio. “Anda tak bisa membunuhku, karena ini perintah dari Tuan Thomas," ucap sang pelayan. "Apa? Tuan Thomas?" Arsenio terperangah, "Lalu, apa Nyonya Audrey mengetahuinya?" sambungnya bertanya, dahinya berkerut dalam. "Tidak, Tuan Thomas menyuruhku merahasiakannya dari siapapun, termasuk Nyonya Audrey." Dengan ragu pelayan itu menjawab. "Berikan itu padaku!" Arsenio merebut obat itu dari tangan pelayan dengan kasar. Ia mencicipi sedikit dari obat serbuk itu, "Ini obat perangsang? Apa maksudnya dengan ini?" sambungnya bergumam, kedua alisnya bertaut ketat. "Tapi, Tuan. Nanti Tuan Thomas akan marah padaku," ujar pelayan itu dengan suara bergetar. "Masalah Tuan Thomas biar aku yang urus. Jangan pernah berikan obat ini pada Nona Alexa lagi! Paham?!" tegas Arsenio. "Ba-baiklah, Tuan," jawab pelayan itu ketakutan. "Sejak kapan kamu memberikan obat ini pada Nona Alexa?" tanya
"Ini adalah kamarmu, kepala pelayan akan mempersiapkan semuanya untukmu, dari mulai pakaian dan juga makanan, dan kamarku tepat ada di depan kamar ini," jelas Alexa. Mata Arsenio menelusuri setiap detail ruangan luas itu. Sejenak ia berdecak takjub melihat kamarnya yang dua kali lipat lebih mewah dari kamarnya yang berada di kediaman Tn. Albert. "Apakah kamu sudah tahu apa saja tugasmu?" tanya Alexa kemudian. "Tentu, aku sudah tahu," sahut Arsenio. "Baiklah, sekarang bersiaplah! Antar aku shopping!" seru Alexa dengan semangat. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, memacu tongkatnya—melangkah pergi ke keluar dari ruangan itu. "Shopping? Oke! Aku ingin tahu, bagaimana gadis buta berbelanja," gumam Arsenio sambil menggelengkan kepalanya. Singkat cerita, mereka pun tiba di mall terbesar di kota itu, semangat Alexa tak terbendung. Meski kehilangan penglihatannya, setiap aroma dan suara di sekitar menghidupkan imajinasinya. Dia tahu persis arah toko langganannya, tongkat d
Keesokan harinya... "Kamu sudah siap, Arsenio. Kamu... kembali tampan sekarang. Hahaha," ucap Tn. Albert, seperti biasa, tawanya selalu mengiringi ucapannya. Pria dingin itu, mencukur rambut dengan gaya Caesar Cut, gaya rambut yang klasik dan simple, membuatnya semakin gagah, aura dingin dan sangar semakin terpancar. Ia juga menghilangkan semua bulu di wajahnya, mempertegas garis wajahnya yang maskulin. Ditambah dengan setelah jas serba hitam dan sepatu pentofel mengkilat yang menambah kesan wibawanya. "Ya" Dan seperti biasa, jawabannya sangat singkat. Wajah Tn. Albert berubah serius, suaranya serak saat berkata: "Nyonya Audrey, Tuan Thomas dan juga Nona Alexa si gadis buta putri konglomerat itu sudah menunggumu di sana, kamu sudah tahu tugasmu, kan, Arsen?" "Ya, aku mengerti," sahut Arsenio. Tanpa menunggu lama, Arsenio dengan penuh keyakinan dalam mengemban tugas yang telah diperintahkan, pergi menuju Kediaman megah milik Alexa Jennifer. 'Aku harus berhasil menyeles
Suara jeruji besi yang berderit menggema di seluruh ruangan yang lembab dan gelap, menciptakan atmosfer yang mencekam. Tiba-tiba, suara seorang sipir memecah kesunyian, "Tahanan nomor 165, keluarlah! Kamu bebas hari ini," serunya lantang. Seorang pria yang sedang duduk tertunduk perlahan mengangkat kepalanya—Arsenio Alvier, manusia berdarah dingin melekat setiap kali namanya disebut, pria tinggi dan kekar berumur 27 tahun itu berdiri tegak kemudian berjalan melangkah keluar dari balik Jeruji besi yang sudah ia diami selama 7 tahun setelah dituduh melakukan satu pembunuhan. Kedua bola matanya yang coklat berkeliling menatap suasana di luar gedung tinggi dan tertutup itu, kedua alisnya bertaut ketat saat sinar matahari menerpa kedua matanya. Rambutnya yang gondrong berantakan, serta kumis dan juga janggut tipis membuat wajah tampannya terlihat liar dan sangar. Sreeeeetttttttttttt Tiba tiba, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapan Arsenio. Kaca hitam jendela belakang mobi