BAB 2
Robot yang berada di dalam kamar merekam kejadian itu dan segera mengirim rekaman pada Xavier. Gaia diseret paksa ke ruang tengah, ia terus berontak, namun kalah tenaga dengan dua pria yang memegangnya. “Apa yang mau kamu lakukan, Mah!” seru Gaia. Silvana hanya menyeringai mendengar ucapan menantunya, ia miringkan kepala lalu mengetuk-ngetuk jari ke lengannya. “Menurutmu? Aku hanya mengabulkan apa yang kamu katakan,” balas sang mertua. Mata Gaia melotot mendengar perkataan mertuanya, sedangkan perempuan yang lebih tua dari sang Ibu hanya semakin tersenyum senang. “Kamu ketakutan? Di mana sikapmu tadi,” kata Ibu Xavier. Sedangkan Xinxin tersenyum bahagia melihat adegan di hadapannya, bahkan ia merekam dengan handphone untuk diabadikan. “Walaupun kamu memohon agar tidak perlu dihukum aku gak akan mendengarnya, aku harus mendidikmu agar tidak seperti tadi lagi. Kamu harus tau diri, kamu gadis gak jelas yang beruntung menikahi putraku,” lontar istri Li Jian-long. “Eum … kira-kira alat apa dulu untuk menyiksa perempuan ini,” kata perempuan ini. Melihat rekaman itu, Xavier langsung berlari keluar perusahaan, meninggalkan karyawan yang kebingungan. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, memilih jalan pintas untuk segera sampai ke kediaman. Sementara itu, di rumah Li Jian-long, Lisha sudah sampai di rumah perempuan yang mengakuinya sebagai calon menantu. “Wah … selamat datang, calon menantuku,” sambut Silvana. Lisha hanya tersenyum dan melangkah dengan anggun, membuat orang yang melihat menatap penuh kekaguman. Sedangkan Gaia memasang wajah sinis ke arah perempuan tersebut, dia masih dipegangi oleh para lelaki. “Cih! Apa kamu gak malu menginginkan lelaki yang sudah beristri,” cibir Gaia. Mendengar ucapan perempuan tersebut, semua langsung menoleh ke arahnya. Silvana yang takut Lisha tersinggung segera mendekati menantu perempuan itu lalu menampar sangat keras sampai pipi semakin memerah. “Kamu perempuan kampung gak pantas bicara begitu sama calon kakak iparku,” sungut Xinxin. “Kalau gak ada kamu yang menggoda kakakku, pasti sekarang Kakak Lisha sudah jadi kakak ipar kesayanganku,” lanjut gadis tersebut. Lisha melipat tangannya di depan dada, ia hanya tersenyum sinis pada istri Xavier. “Kalian gak perlu capek-capek, tanggapi omongan dia, Bibi, Xinxin. Aku dan dia sangat beda juah, jangan membandingkanku sama dia, itu sama aja mempermalukanku.” Xinxin segera meminta maaf pada Lisha, sedangkan Gaia hanya memandang malas mereka. Melihat reaksi tersebut Silvana menendang kaki istri Xavier membuat anak Mona bersujud. “Lihat, belum apa-apa sudah bersujud padaku,” ucap Lisha dengan nada sombong. “Oh, ya … aku sudah bawa surat perceraian, ayo cepat kamu tanda tangani kalau kamu memang mencintai suamimu,” lanjut Bai Lisha. Xinxin dan ibunya mengangguk membenarkan ucapan Lisha, sedangkan wanita yang menginginkan Gaia bercerai dengan lelaki idamannya lekas mengeluarkan kertas dari tas dan tak lupa pulpen dan menaruh ke meja. “Ayo cepat! Tanda tangani, biar aku bantu kamu buat balik lagi ke kampungmu itu,” seru Lisha. Gaia menggeleng dengan cepat membuat Lisha menarik napas dan mengembuskannya. Senyuman sinis langsung terukir di bibir perempuan yang menginginkan status istri Xavier ini, dia melangkah dengan anggun lalu mendaratkan bokongnya ke sofa. “Aku paham, aku sangat paham. Kamu gak mau sia-sia melepaskan Xavier bukan, aku paham kok maksudmu, tenang aja,” ujar Lisha. Silvana dan Xinxin saling pandang mendengar ucapan Lisha, sedangkan perempuan yang tadi berbicara itu segera mengeluarkan cek dari tas dan menaruh ke meja. “Berapa yang kamu mau? Aku gak apa-apa keluar uang sedikit yang penting bisa bersama Xavier.” Mata Silvana melotot mendengar ucapan Lisha, ia segera duduk di samping calon menantunya lalu menggelengkan kepala. "Ngapain repot-repot mengeluarkan uang buat ngusir dia. Cukup paksa tanda tangani surat cerai, terus usir dia dari sini. Kamu gak perlu memberikan uang buat dia," ujar Silvana dengan nada ketus, penuh dengan rasa meremehkan Gaia. Lisha mendengar ucapan hanya tersenyum kecil lalu menyentuh lengan Silvana yang memegang tangannya. “Gak apa-apa, Bi, lagi pula upah karena sudah menjaga calon suamiku saat aku gak bisa bersama Xavier,” jawab Lisha. Gaia tersenyum sinis mendengar jawaban Lisha, ia meminta dilepaskan lalu Silvana mendengkus dan memerintahkan agar pria yang memegangi Gaia melepaskan wanita tersebut. Perempuan yang berstatus istri Xavier ini segera duduk ke sofa dengen elegan dan disambut senyuman sinis Xinxin. “Kamu gak pantas begitu, cuma keluarga seperti kami yang pantas. Kamu cuma perempuan yang gak jelas asal usulnya, bahkan keluargamu saat kamu menikah gak datang. Pasti karena gak mampuh buat beli tiket ke sini,” hina Xinxin. Tatapan mencemoh sangat jelas dari wajah Xinxin, mendengar hal ini Gaia begitu emosi dan memukul meja. Membuat semua segera memandang dia dan adik Xavier terkejut lalu bersembunyi di belakang tubuh Silvana. “Kamu boleh menghinaku sedemikian rupa, aku gak akan pernah membalasmu, tapi! Jangan berani-beraninya kamu menghina orang tuaku, kamu gak tau apa-apa! Dasar anak manja!” bentak Gaia. Silvana langsung menunjuk Gaia karena marah akibat membentak putri kesayangannya. “Jangan besar kepala kamu! Karena Lisha memperlakukanmu begini kamu sangat berani sama kami,” sentak Silvana. Gaia menghela napas dengan kepala di miringkan lalu memandang mereka. “Mama jangan keterlaluan deh, aku menahan diri karena kamu wanita yang melahirkan suamiku,” jawab Gaia. Silvana membulatkan mata mendengar jawaban Gaia, perempuan itu segera hendak menyemprot sang menantu kembali tetapi ditahan Lisha membuat anak Mona ini tersenyum sinis. “Aku menyukai ketenanganmu ini, mencerminkan sosok putri orang berkuasa,” tutur Gaia. Lisha mendengar pujian ini langsung merasa tinggi, gerakkannya mencerminkan kesombongan. Sedangkan Xinxin paham akan ucapan sang kakak ipar, ia merasakan terhina atas ucapan Gaia. “Kamu mengataiku gak elegan, ha! Tau apa kamu soal keluarga kaya seperti kami, kamu hanya orang kampung!” sentak Xinxin. Lisha segera menarik pakaian yang dipakai Xinxin dan menggelengkan kepala, paham akan itu perempuan muda tersebut memajukan bibirnya tetapi mengangguk patuh. “Sudah, jangan terlalu berbelit-belit, ayo kita diskusi!” ajak Lisha. Putri pertama Arka ini menganggukkan kepala lalu Xinxin dan Silvana ikut duduk di samping Lisha, perempuan ini memegang cek dan pulpen. “Bicaralah, kamu ingin berapa untuk meninggalkan Xavier,” ucap perempuan itu. Matanya tidak memandang Gaia, ia menatap cek yang hendak ia coret dengan pulpen. Sedangkan istri Xavier menyeringai mendengar ucapan sombong Lisha, dia bersidekap dan menopang kaki lalu mengangkat dagu. Sekilas orang yang melihat merasakan aura perempuan kaya yang keluar dari tubuh Gaia. “Aku ingin uang yang setara Satu miliar indonesia … ah tidak! Itu terlalu sedikit, cukup sepuluh miliar saja,” kata Gaia santai.Semua langsung heran mendengar perkataan Gaia, beberapa dari mereka memandang Xinxin yang menundukkan kepala. Wajah gadis itu berkeringat dingin, bahkan beberapa kali melangkah mundur. "Maksudmu apaan, jangan bercanda dong," lontar salah satu teman Xinxin. Gaia memiringkan kepala, dia memandang wajah gadis yang berbicara tadi. "Aku gak pernah bercanda, ahh ... lebih tepatnya aku gak bercanda, lagian ... bukannya Xinxin tidak pernah mengakuiku sebagai kakak ipar kan. Bukannya kamu hanya mengakui Bai Lisha," balas Gaia sinis. "Mana mungkin Kakak! Dia seorang narapidana," jawab Xinxin cepat. "Cuma kakak yang pantas jadi kakak iparku." Perempuan itu menaikkan alisnya saat mendengar ucapan Xinxin, dia kini bersidekap dan memandang sinis sang adik ipar. "Benarkan? Tapi ... aku sudah gak menganggapmu adik iparku lagi." "Jangan banyak tingkah! Apa kamu begitu cepat melupakan masa lalu yang terjadi? Tapi aku begitu ketara, begitu jelas mengingat. Aku gak akan memaafkan kalian,"
Seminggu sudah berlalu, Gaia disibukkan mengurus perusahaan semenjak acara pengenalannya. Apalagi kini ia menjabat dengan secara terang-terangan menjadi pemilik tempat tersebut. Saat mengetahui perempuan itu putri Arka, beberapa orang di kantor yang menindas meminta pengampunan. Aura Arka sesekali terasa dalam diri anak pertamanya membuat semua orang merasa hawa mencengkram. "Suamimu mengirimkan makan siang, dan ... Bunga ini, dia begitu perhatian," seru calon istri Jiang. Wanita itu berkata demikian saat memasuki ruangan Gaia, membuat perempuan tersebut mendongak memandangnya lalu mengulas senyum. Suara notifikasi pesan terdengar dari ponsel pemilik perusahaan ini, membuat sang empu lekas mengambil benda pipih keluaran terbaru di atas meja kerja. "Apakah dari suamimu?" tanya wanita tersebut. Alis wanita itu terangkat kala bertanya demikian, membuat Gaia tidak bisa menyembunyikan roda merah di pipi, bahkan senyuman begitu lebar. "Apaan sih!" balas Gaia dengan cepat. "Ini,
Sesampai di rumah sakit Gaia langsung ditangani oleh dokter, Xavier memesan ruangan very important person. Selesai diobati wanita itu segera di make over oleh perias dan telah berganti pakaian yang dibawa oleh Damian. Kini perempuan tersebut tampil cantik, walaupun ada beberapa goresan tidak bisa ditutupi. "Ayo pergi! Ini sudah terlalu lama," ajak Gaia. Perempuan itu muncul dari balik pintu, membuat tiga pria yang menunggu menoleh. Mereka langsung terpesona melihat penampilan sang perempuan, Xavier melihat hal ini cemburu dan lekas mendekat lalu menyentuh jemari sang istri. "Kamu sangat cantik, istriku," kata Xavier menekan kata istriku. Senyuman terukir di bibir wanita tersebut, Gaia menggerakkan kepala tanda mengajak mereka pergi. Kini semua mengikuti kendaraan Xavier melaju, lelaki berstatus suami perempuan itu sesekali menoleh. "Sayang, kamu kan gak punya undangan. Aku takut kamu dipermalukan," ungkap lelaki itu jujur. Mendengar kata sang suami Gaia membalas dengan senyuman
Langit semakin gelap, tidak ada penerang sama sekali disana. Bulan dan bintang menghilang, seperti ikut mencari keberadaan Gaia. Tiga kendaraan melaju begitu kencang, satu tujuan mereka yaitu gedung terbengkalai. Xavier, Leonard dan Damian masing-masing mengendarai mobil sendiri, wajah ketiganya penuh akan ketegangan dan amarah. Xavier berada di barisan terdepan, tangan mencengkeram kemudi dengan erat, napas memburu. Pikirannya dipenuhi kecemasan tentang Gaia. "Bertahanlah, sayang. Aku akan segera datang." Di belakangnya, Leonard menekan pedal gas lebih dalam, mata lelaki ini begitu tajam memperhatikan jalur di depannya. Tangan menggenggam pistol yang sudah dipersiapkan di dasbor mobil. "Jika mereka menyentuhnya lebih dari yang seharusnya, aku tidak akan memberi mereka ampun," gumamnya dalam hati. Damian, yang berada di posisi terakhir, dia membenarkan airpods di telinga. "Aku akan menyisir bagian belakang gedung. Pastikan tidak ada yang lolos." "Mengerti," jawab Xavier singkat.
Di sisi lain, gedung terbengkalai Gaia mulai sadar. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas akibat zat yang dihirup. Ia berusaha menggerakkan tangan dan kaki, namun mendapati keduanya terikat erat. "Kamu cepat juga sadarnya." suara dingin seorang pria terdengar dari sisi gelap kendaraan. Gaia menatap ke arah suara itu, meski pandangannya masih buram. Napas terengah, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?" tanyanya, suara wanita itu terdengar serak. Pria itu mendekat, wajahnya masih tertutup masker, sorot mata penuh ancaman. "Kau akan segera tahu," ucapnya singkat, lalu kembali duduk dengan santai seakan mereka sedang tidak melakukan kejahatan. "Salahkan dirimu yang menyinggung orang-orang besar," lanjut salah satu dari mereka. Sementara itu, di lokasi acara, Mona hampir jatuh pingsan setelah mendengar kabar dari seseorang bahwa supir taksi yang membawa Gaia ditemukan dalam keadaan babak belur di pinggir jalan. Arka segera menangkap istrinya,
Gaia langsung memamerkan senyuman pada sang suami, sedangkan Xavier mendengkus. Lelaki itu segera berdiri dan diijuti istrinya, tatapan pria tersebut masih begitu tajam. "Kamu ini, awas aja! Kalau aja aku gak ada acara, kamu udah aku buat gak bisa bangun dari kasur," ucap Xavier dengan nada kesal. "Udah jam segini, aku pamit ya. Coba kalau masih ada waktu, aku bisa mengantarmu," lontar lelaki itu sambil mengembuskan napas. Wanita berstatus istrinya segera menepuk bahu lelaki tersebut, membuat sang empu memandangnya kembali saat dia tengah merapikan pakaian. "Kamu tenang aja, aku udah pesan taksi kok," balas Gaia dengan nada santai. Xavier yang hendak protes mengembuskan napas, ia akhirnya memilih menganggukkan kepala. "Aku pergi dulu, nanti pulangnya aku jemput." Setelah perpisahan singkat, Xavier akhirnya langsung pergi ke acara tersebut. Sementara itu, Gaia bersiap-siap dengan mengenakan gaun rancangan desainer terkenal. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna