Share

3. Menculik Tari

Setelah selesai berbicara pada orang di seberang teleponnya, pria itu melajukan mobilnya. 

Sementara itu, Sabrina masih bercanda dengan Tari. "Iiihhh! Anak Mama sekarang sudah berani nyuekin Mama," ujarnya sembari menggelitik Tari. 

"Ampun, Ma! Ampun!" gelak Tari berusaha melepaskan diri. 

Cukup lama mereka bergurau dengan canda tawa. Kebahagiaan itu menular pada karyawan, sehinggga mereka ikut tersenyum. 

Seorang wanita yang mengenakan seragam putih berbalut cardigan juga tas kecil menaut pada lengan kirinya menghampiri mereka. Dia adalah Susi, seseorang yang membantu Sabrina selama ini. 

"Seru banget, ada apa sih?" tanya Susi dengan senyuman dan wajah tanda tanya. 

Sabrina dan Tari diam sejenak beralih menatap Susi. Kesempatan Tari untuk melepas diri dari pelukan ibunya yang di selingi gelitik. 

"Tante, tolong aku!" ujar Tari yang berlari menuju pelukan Susi sembari tertawa. 

Sabrina mengejar Tari. Akhirnya Susi pasrah karena Sabrina dan Tari mengelilinginya. 

"Mbak, ada yang ingin aku bicarakan!" ujar Susi yang membuat Sabrina berhenti seketika. 

"Sayang, sana ganti baju dulu! Kamu sudah bisa 'kan?" titah Sabrina pada Tari. 

"Siap, Ma!" jawab Tari seraya memperagakan hormat bendera. Kemudian gadis kecil itu berlari masuk rumah. 

"Ada apa?" Sabrina bertanya seraya berjalan ke kursi teras. Namun masih ikut area toko. 

Kedua wanita yang selisih usianya hanya beberapa tahun itu duduk. 

"Mbak Sabrina kenal mobil ini? Tadi itu aku nggak sengaja lihat orang yang mengendarai mobil ini mengambil foto Mbak Sabrina dan Tari. Aku nggak bisa lihat mukanya dengan jelas karena dia pakai kerudung hodienya," jelas Susi sembari menyodorkan ponselnya. 

"Tidak. Aku tidak mengenalnya," lirih Sabrina mengamati seraya berpikir keras. Tapi ingatannya nihil karena memang dia tidak pernah melihatnya. 

"Aku jadi khawatir sama Tari deh, Mbak. Bagaimana kalau orang itu mau menculik Tari?" tebak Susi yang spontan mendapat toyoran dari Sabrina. 

"Kalau ngomong mbok ya jangan asal jeplak! Bikin takut aja." Omongan Sabrina dengan logat jawa keluar saat dia sedang khawatir. 

"Kan aku hanya nebak, Mbak. Ya kali, main toyor aja." 

"Maaf! Tumben kamu pulang awal?" Sabrina mengalihkan topik pembicaraan. Meski begitu pikirannya tetap tertuju pada orang yang dibicarakan Susi. Siapa dan apa tujuan orang itu memotret dirinya dengan Tari? 

"Aku izin, Mbak! Perutku sakit banget," lirih Susi dengan wajah melas yang dibuat–buat. 

"Haisssht, lebay banget!" 

Obrolan mereka terhenti saat Tari memanggil Mamanya. Lalu Tari keluar dengan baju yang belum diganti. 

"Kok belum ganti baju?" 

Sabrina berkacak pinggang menyipitkan matanya. 

"Aku nggak bisa nurunin ininya, Mama." Gadis kecil itu cemberut karena mendapat tatapan mengerikan dari Mamanya. 

Sabrina meniup poninya sendiri hingga terangkat ke atas. "Kenapa nggak bilang dari tadi Sayangku?" 

Kemudian, Sabrina menggiring Tari kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Susi pun melipir ke rumahnya sendiri di sebelah. 

"Ma, Papanya Bulan itu orang baik loh. Tadi, sebelum pulang Tari diajak makan es krim di Toko Es Krim Enak," celoteh Tari. 

Toko yang disebutkan Tari memang toko es krim terbaik di kota ini. Sabrina pernah mengajak Tari ke sana sekali. Yaitu pada ulang tahun Tari yang keempat. 

"Tari tadi milih es krim coklat, enakk banget. Itu yang dulu Mama nggak bolehin Tari memilihnya." 

"Apa?" Sabrina kaget karena es krim yang dimaksud Tari sangat mahal. "Itukan mahal, Tari. Lain kali, jangan minta apapun pada orang yang baru saja kenal. Mengerti?!" 

"Om Elang nggak masalah kok, Ma. Bulan tadi juga milih itu, makanya Tari juga dapat es krim itu." Gadis kecil itu memanggil Erlangga dengan sebutan 'Om Elang' karena mengikuti Bulan yang memanggil dengan sebutan 'Papa Elang'. 

Wajah mungil itu langsung ditekuk saat nada bicara Sabrina naik satu oktaf. Bahkan mata Tari memerah. 

"Maaf, Sayang." Sabrina menyesal karena membentak Tari. "Lain kali, Tari nggak boleh gitu ya?! Kalian kan baru kenal, nggak sopan dong kalau Tari langsung minta itu. Benar nggak?" bujuk Sabrina. 

"Mama jahat!" bentak Tari lalu pergi. Tepat bersamaan dengan Sabrina selesai mengganti bajunya. 

"Tariii!" Panggilan Sabrina sama sekali tidak dihiraukan oleh gadis kecil itu. 

Sabrina menyusul anaknya yang lari keluar rumah. Tiba-tiba jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat ada sebuah mobil yang melaju kencang dan Tari berada di jalan itu. 

"Tariii…!" 

Brakkkk! 

Tari terpental jauh dan mobil yang menabraknya tidak berhenti. 

Sabrina sudah berlari secepat mungkin saat mobil belum menabrak Tari. Akan tetapi, langkahnya kalah cepat dengan mobil itu, seakan dia berlari seperti siput. Dia juga merutuki dirinya sendiri, kenapa tadi membentak putrinya. 

"Tariii!" pekik Sabrina berulang kali. Dia langsung menggendong putrinya dan membawanya ke halaman toko.

Sementara mobil tadi melaju kencang setelah menabrak Tari. Sabrina tidak peduli dan memperdulikan apapun selain kondisi anaknya. 

"Ilham!" teriak Sabrina pada pegawainya sembari berlari. 

"Iya, Bu Sabrina. Ada ap—! Astagfirullah! Neng Tari kenapa, Bu?" Pegawai pria itu pun terkejut saat Tari digendong Sabrina dengan berlumuran banyak darah. 

"Ayo cepat ke rumah sakit!" 

Ilham bergegas ke parkiran motornya. Dia langsung men–started motornya. Kunci motor selalu berada di tas kecil yang dilingarkan di perut. Sehingga tidak perlu memakan waktu mencarinya. 

Air mata Sabrina terus saja mengalir deras seperti air bah. Tak henti-hentinya, wanita itu meminta Ilham untuk menaikkan kecepatan motornya. Bahkan Ilham sampai menerobos lampu merah saking paniknya. 

Alhasil mereka dibututi polisi sampai rumah sakit. Sabrina sama sekali tidak menghiraukan para polisi dan mempercayakan urusan itu pada Ilham. 

"Suster, tolong!" teriak Sabrina saat memasuki rumah sakit. 

Lalu ada petugas kesehatan yang membawa brankar. Sabrina membaringkan Tari, lalu petugas membawanya ke IGD. 

Suster mencegah Sabrina masuk saat sampai di pintu IGD. 

"Maaf, Bu! Biarkan dokter yang menangani berkosentrasi. Sebaiknya, Ibu segera mengurus administrasi!" ujar suster berseragam merah muda itu.

Sabrina tak menjawab sepatah katapun. Setelah pintu tertutup, lutut Sabrina serasa lemas seperti jeli. Dia memilih untuk duduk sebentar di kursi sebelum mengurus administrasi. 

"Ya Tuhan, sembuhkanlah putriku seperti sedia kala!" 

Sabrina menyenderkan kepalanya ke dinding sembari berdoa dan mengela napas dalam–dalam berulang kali. Lalu dia pergi ke tempat administrasi setelah dirasa tubuhnya tak lemas. 

Bruuukkkk! 

Sabrina tak sengaja menyenggol seorang wanita paruh baya di depan meja administrasi. 

"Mama!" gumannya saat melihat orang yang ditabraknya. 

"Kamu rupanya," cebik wanita paruh baya itu yang ternyata adalah Ratna. Mantan mertuanya. "Saya peringatkan, jangan panggil saya dengan sebutan itu karena kita tidak ada ikatan apapun." 

"Maaf … Nyonya!" 

Sabrina malas meladeni dan hendak pergi dari hadapannya. Urusan administrasi Tari juga selesai. Namun, Ratna mencekal tangannya karena melihat Erlang di belakang Sabrina sedang menerima panggilan. 

"Saya tahu kamu sudah bertemu Erlang tadi pagi. Pasti kamu bertanya–tanya kenapa Erlangga tidak mengenalimu 'kan?" 

Sabrina terdiam menunggu Ratna melanjutkan perkataannya. Akan tetapi mantan mertuanya itu malah tertawa kecil dan terdengar mengejek. 

"Itu adalah urusanku dan kamu tidak perlu tahu." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status