Setelah selesai berbicara pada orang di seberang teleponnya, pria itu melajukan mobilnya.
Sementara itu, Sabrina masih bercanda dengan Tari. "Iiihhh! Anak Mama sekarang sudah berani nyuekin Mama," ujarnya sembari menggelitik Tari.
"Ampun, Ma! Ampun!" gelak Tari berusaha melepaskan diri.
Cukup lama mereka bergurau dengan canda tawa. Kebahagiaan itu menular pada karyawan, sehinggga mereka ikut tersenyum.
Seorang wanita yang mengenakan seragam putih berbalut cardigan juga tas kecil menaut pada lengan kirinya menghampiri mereka. Dia adalah Susi, seseorang yang membantu Sabrina selama ini.
"Seru banget, ada apa sih?" tanya Susi dengan senyuman dan wajah tanda tanya.
Sabrina dan Tari diam sejenak beralih menatap Susi. Kesempatan Tari untuk melepas diri dari pelukan ibunya yang di selingi gelitik.
"Tante, tolong aku!" ujar Tari yang berlari menuju pelukan Susi sembari tertawa.
Sabrina mengejar Tari. Akhirnya Susi pasrah karena Sabrina dan Tari mengelilinginya.
"Mbak, ada yang ingin aku bicarakan!" ujar Susi yang membuat Sabrina berhenti seketika.
"Sayang, sana ganti baju dulu! Kamu sudah bisa 'kan?" titah Sabrina pada Tari.
"Siap, Ma!" jawab Tari seraya memperagakan hormat bendera. Kemudian gadis kecil itu berlari masuk rumah.
"Ada apa?" Sabrina bertanya seraya berjalan ke kursi teras. Namun masih ikut area toko.
Kedua wanita yang selisih usianya hanya beberapa tahun itu duduk.
"Mbak Sabrina kenal mobil ini? Tadi itu aku nggak sengaja lihat orang yang mengendarai mobil ini mengambil foto Mbak Sabrina dan Tari. Aku nggak bisa lihat mukanya dengan jelas karena dia pakai kerudung hodienya," jelas Susi sembari menyodorkan ponselnya.
"Tidak. Aku tidak mengenalnya," lirih Sabrina mengamati seraya berpikir keras. Tapi ingatannya nihil karena memang dia tidak pernah melihatnya.
"Aku jadi khawatir sama Tari deh, Mbak. Bagaimana kalau orang itu mau menculik Tari?" tebak Susi yang spontan mendapat toyoran dari Sabrina.
"Kalau ngomong mbok ya jangan asal jeplak! Bikin takut aja." Omongan Sabrina dengan logat jawa keluar saat dia sedang khawatir.
"Kan aku hanya nebak, Mbak. Ya kali, main toyor aja."
"Maaf! Tumben kamu pulang awal?" Sabrina mengalihkan topik pembicaraan. Meski begitu pikirannya tetap tertuju pada orang yang dibicarakan Susi. Siapa dan apa tujuan orang itu memotret dirinya dengan Tari?
"Aku izin, Mbak! Perutku sakit banget," lirih Susi dengan wajah melas yang dibuat–buat.
"Haisssht, lebay banget!"
Obrolan mereka terhenti saat Tari memanggil Mamanya. Lalu Tari keluar dengan baju yang belum diganti.
"Kok belum ganti baju?"
Sabrina berkacak pinggang menyipitkan matanya.
"Aku nggak bisa nurunin ininya, Mama." Gadis kecil itu cemberut karena mendapat tatapan mengerikan dari Mamanya.
Sabrina meniup poninya sendiri hingga terangkat ke atas. "Kenapa nggak bilang dari tadi Sayangku?"
Kemudian, Sabrina menggiring Tari kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Susi pun melipir ke rumahnya sendiri di sebelah.
"Ma, Papanya Bulan itu orang baik loh. Tadi, sebelum pulang Tari diajak makan es krim di Toko Es Krim Enak," celoteh Tari.
Toko yang disebutkan Tari memang toko es krim terbaik di kota ini. Sabrina pernah mengajak Tari ke sana sekali. Yaitu pada ulang tahun Tari yang keempat.
"Tari tadi milih es krim coklat, enakk banget. Itu yang dulu Mama nggak bolehin Tari memilihnya."
"Apa?" Sabrina kaget karena es krim yang dimaksud Tari sangat mahal. "Itukan mahal, Tari. Lain kali, jangan minta apapun pada orang yang baru saja kenal. Mengerti?!"
"Om Elang nggak masalah kok, Ma. Bulan tadi juga milih itu, makanya Tari juga dapat es krim itu." Gadis kecil itu memanggil Erlangga dengan sebutan 'Om Elang' karena mengikuti Bulan yang memanggil dengan sebutan 'Papa Elang'.
Wajah mungil itu langsung ditekuk saat nada bicara Sabrina naik satu oktaf. Bahkan mata Tari memerah.
"Maaf, Sayang." Sabrina menyesal karena membentak Tari. "Lain kali, Tari nggak boleh gitu ya?! Kalian kan baru kenal, nggak sopan dong kalau Tari langsung minta itu. Benar nggak?" bujuk Sabrina.
"Mama jahat!" bentak Tari lalu pergi. Tepat bersamaan dengan Sabrina selesai mengganti bajunya.
"Tariii!" Panggilan Sabrina sama sekali tidak dihiraukan oleh gadis kecil itu.
Sabrina menyusul anaknya yang lari keluar rumah. Tiba-tiba jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat ada sebuah mobil yang melaju kencang dan Tari berada di jalan itu.
"Tariii…!"
Brakkkk!
Tari terpental jauh dan mobil yang menabraknya tidak berhenti.
Sabrina sudah berlari secepat mungkin saat mobil belum menabrak Tari. Akan tetapi, langkahnya kalah cepat dengan mobil itu, seakan dia berlari seperti siput. Dia juga merutuki dirinya sendiri, kenapa tadi membentak putrinya.
"Tariii!" pekik Sabrina berulang kali. Dia langsung menggendong putrinya dan membawanya ke halaman toko.
Sementara mobil tadi melaju kencang setelah menabrak Tari. Sabrina tidak peduli dan memperdulikan apapun selain kondisi anaknya.
"Ilham!" teriak Sabrina pada pegawainya sembari berlari.
"Iya, Bu Sabrina. Ada ap—! Astagfirullah! Neng Tari kenapa, Bu?" Pegawai pria itu pun terkejut saat Tari digendong Sabrina dengan berlumuran banyak darah.
"Ayo cepat ke rumah sakit!"
Ilham bergegas ke parkiran motornya. Dia langsung men–started motornya. Kunci motor selalu berada di tas kecil yang dilingarkan di perut. Sehingga tidak perlu memakan waktu mencarinya.
Air mata Sabrina terus saja mengalir deras seperti air bah. Tak henti-hentinya, wanita itu meminta Ilham untuk menaikkan kecepatan motornya. Bahkan Ilham sampai menerobos lampu merah saking paniknya.
Alhasil mereka dibututi polisi sampai rumah sakit. Sabrina sama sekali tidak menghiraukan para polisi dan mempercayakan urusan itu pada Ilham.
"Suster, tolong!" teriak Sabrina saat memasuki rumah sakit.
Lalu ada petugas kesehatan yang membawa brankar. Sabrina membaringkan Tari, lalu petugas membawanya ke IGD.
Suster mencegah Sabrina masuk saat sampai di pintu IGD.
"Maaf, Bu! Biarkan dokter yang menangani berkosentrasi. Sebaiknya, Ibu segera mengurus administrasi!" ujar suster berseragam merah muda itu.
Sabrina tak menjawab sepatah katapun. Setelah pintu tertutup, lutut Sabrina serasa lemas seperti jeli. Dia memilih untuk duduk sebentar di kursi sebelum mengurus administrasi.
"Ya Tuhan, sembuhkanlah putriku seperti sedia kala!"
Sabrina menyenderkan kepalanya ke dinding sembari berdoa dan mengela napas dalam–dalam berulang kali. Lalu dia pergi ke tempat administrasi setelah dirasa tubuhnya tak lemas.
Bruuukkkk!
Sabrina tak sengaja menyenggol seorang wanita paruh baya di depan meja administrasi.
"Mama!" gumannya saat melihat orang yang ditabraknya.
"Kamu rupanya," cebik wanita paruh baya itu yang ternyata adalah Ratna. Mantan mertuanya. "Saya peringatkan, jangan panggil saya dengan sebutan itu karena kita tidak ada ikatan apapun."
"Maaf … Nyonya!"
Sabrina malas meladeni dan hendak pergi dari hadapannya. Urusan administrasi Tari juga selesai. Namun, Ratna mencekal tangannya karena melihat Erlang di belakang Sabrina sedang menerima panggilan.
"Saya tahu kamu sudah bertemu Erlang tadi pagi. Pasti kamu bertanya–tanya kenapa Erlangga tidak mengenalimu 'kan?"
Sabrina terdiam menunggu Ratna melanjutkan perkataannya. Akan tetapi mantan mertuanya itu malah tertawa kecil dan terdengar mengejek.
"Itu adalah urusanku dan kamu tidak perlu tahu."
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
Erlangga terus menatap pintu dan menunggu sosok yang diharapkan datang. Akan tetapi, setelah dua detik waktu yang terlewat dari waktu yang diberitahukan, orang itu belum juga muncul. "Bia kemana sih?" gerutunya sambil berkali-kali mengecek ponsel. "Harus berapa kali Mama bilang kalau istrimu itu tidak akan datang. Tadi pagi aja, waktu Mama ke kamarmu untuk memberitahunya, dia masih tidur pulas," sahut Ratna yang mengemas pakaian Erlangga. Erlangga hanya diam karena sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Menurutnya, Sabrina tidak seperti itu. "Tuh kan! Kamu tidak percaya dengan ucapan Mama." Ratna kembali berucap sinis. Keadaan menjadi hening. Bahkan sampai di depan rumah, ibu dan anak itu hanya bicara seperlunya. Saat memasuki rumah, Erlangga mendapati keadaan rumah yang sepi. Dia heran karena tidak biasanya seperti ini. Hanya Sumi yang menyambutnya di depan pintu. "Bi, kemana Bia dan anak-anak?" tanya Erlangga padanya sedikit sinis. "Neng Bia masih di kamar, Den
Saat senja mulai tampak, Fredy memutuskan untuk kembali. "Cepatlah sembuh! Maaf jika nanti, mungkin Papa tidak bisa mengunjungimu lagi." Pria paruh baya itu tersenyum sangat manis pada Erlangga. "Ini adalah uang terakhir tabungan Papa. Jika uang itu sudah habis, mungkin Papa tidak bisa menengokmu lagi." "Kenapa terburu-buru, Pa. Memang Papa tidak merindukan Tari dan Bulan? Mereka berdua sangat merindukanmu." Meskipun ada masalah diantara mereka, tetapi Erlangga masih enggan menerima kalau kenyataan kalau Fredy memilih untuk hidup sederhana di kota kecil yang mungkin terpencil."Papa titip pesan, bilang kalau kakeknya ini juga merindukan mereka. Tapi kamu yakin tidak ada masalah dengan istrimu? Papa hanya khawatir kalau Mamamu kembali membuat ulah." Fredy sedikit menurunkan nada bicaranya. Memang, Ratna tidak berada disana. Namun dia tetap takut ada orang lain yang mendengar. "Nanti setelah pulang, aku akan menyelidiknya, Pa." "Ya sudah, jaga dirimu dan juga keluargamu baik-baik
Tabrakan tak bisa di hindari. Mobil Erlangga terpenjal jauh dan berguling ke depan. Jika tidak ada pembatas, sudah dipastikan akan jatuh ke jurang. Beberapa saat lalu saat berada di kios sate padang, ada seseorang yang membututi mereka di belakang. Seperti kejadian saat mereka makan mie ayam bakso. Namun pria misterius itu tidak mempotret atau memfoto mereka diam-diam. Melainkan melakukan sesuatu pada mobil Erlangga. "Akhirnya punya kesempatan juga. Kalau tidak, sudah pasti Bos Elvano yang akan menggorok leherku." Hanya beberapa menit pria itu selesai mengutik mobil Erlangga. Pria yang mengenakan hodie hitam itu memotong kabel rem mobil. Erlangga dan Sabrina sama sekali tidak curiga karena tidak ada yang mencurigakan. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak yang membuat curiga. Rencana Elvano semakin sukses saat ada sopir truk dari arah yang berlawanan sedang mengantuk. Kedua mobil itu sama–sama tidak bisa menghindar dan saling bertabrakan. Erlangga sudah berusaha sekuat
Susi mengatakan itu sembari menatap Sekar dan Leon secara bergantian. Mata jelas penuh harap. Sementara Sekar dan Leon saling padang dan diam sesaat. Tanpa diduga, kemudian mereka tertawa cukup keras. Membuat Susi mengerut heran. Awalnya dia mengira akan banyak pertimbangan dari keduanya. Siapa sangka dugaannya salah. "Tentu saja kami setuju, Sayang. Kami sudah mengenal Farhan. Semenjak kamu pergi, Kakakmu sering mengajak temannya berkunjung ke rumah." Saat itu, Susi dan Aldo tidak mengumbar hubungannya pada siapapun termasuk para sahabat masing-masing. Aldo tidak mengenalkan Susi dengan sahabatnya. Waktu kuliah, Aldo adalah orang yang paling tertutup diantara ketiga sahabatnya. Pun ketiga sahabatnya itu tidak pernah mempertanyakan masalah Aldo. Prinsip mereka, tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Makanya, persahabatan itu selalu langgeng sampai sekarang."Terima kasih, Bunda, Papi. Kalau begitu aku panggil Farhan kesini ya?" tanya Susi. Terdengar memang meminta persetujua