"Mas Erlang?!"
Seketika Sabrina mematung dan larut dalam keterkejutannya. Tubuhnya terasa disengat ketika menyaksikan pria yang pernah memiki peran di kehidupannya. Wanita itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati bisa berdiri di hadapannya sekarang?
Pria berambut hitam yang saat ini memakai jas lengkap itu melangkah mendekati mereka. Namun mata Sabrina masih tertuju di mana pria itu berdiri dan mengucap salam.
"Ehh, Pak Erlangga dan Nak Bulan. Mari silahkan duduk!" sambut wanita sedikit subur itu yang kemudian berdiri dan menunjuk sofa yang di sebelah Sabrina dan Tari.
Sabrina semakin terkesiap saat Bunda Asih menyebut pria itu dengan nama 'Erlangga'.
"Nyonya, anda baik–baik saja?"
Deg!
Jantung Sabrina seakan hendak lari dari tempatnya saat mendengar suara itu. Wajahnya begitu pucat dan deru napasnya masih tak beraturan.
"Eh, i–iya. Saya baik–baik saja," jawab Sabrina tergagap seraya menetralkan gemuruh dalam dada.
Sabrina yakin pria itu adalah pria yang sama dengan mantan suaminya, namun keraguan muncul dalam hatinya ketika Erlangga memanggilnya 'Nyonya'. Benarkah dia bukan Erlangga? Tapi kenapa wajah, suara, dan namanya sama. Dan jika dia Erlangga, kenapa dia memanggilnya nyonya dan tidak mengenalinya?
Lalu, kenapa lima tahun yang lalu dia dikabarkan meninggal? Apakah itu sebuah kebohongan, semacam skandal? Tapi siapa yang kurang kerjaan melakukan drama murahan seperti itu? Apakah Erlang yang melakukan itu? Jika dia bosan dengannya, kenapa tidak mengatakannya langsung?
Masih banyak lagi pertanyaan yang muncul di kepalanya.
"Bu Sabrina, wajah Ibu terlihat sangat pucat. Jika kurang enak badan, sebaiknya Ibu istirahat dulu." ujar Bunda Asih yang kembali membuatnya terhenyak.
"Ti–tidak kok, Bun. Cuma kepala saya sedikit pusing," jawabnya tidak sepenuhnya berbohong karena memang kepalanya pening melihat pria yang memiliki wajah, suara, dan nama yang sama.
Tidak mungkin Sabrina salah mengenali pria di depannya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan suara seseorang yang telah mengisi sepenuh hatinya.
"Baik, kalau begitu. Tapi omong-omong, wajah Tari dengan Bulan kok mirip ya, Pak, Bu. Seperti pinang dibelah dua," ujar Bunda Asih setelah mengecek daftar peserta didiknya dan menatap kedua anak perempuan yang berada di hadapannya dengan dalam.
Perkataan pemilik paud itu semakin membuat kepala Sabrina berdenyut. "Ah, Bu Asih bisa aja. Sepertinya, itu hanya perasaan Ibu saja. Karena urusan saya sudah selesai, saya titip Tari ya, Bu. Saya pamit."
Sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan, Sabrina meninggalkan Bu Asih dan sang pria yang menatapnya dengan nanar.
Di dalam taksi, pikiran Sabrina kembali ketika dia melihat wajah Erlangga yang tiba-tiba muncul di hadapannya hari ini. Dia yakin jika itu benar Erlangga suaminya yang dikabarkan meninggal lima tahun silam. Apalagi setelah Bunda Asih mengatakan kalau Tari dan Bulan mirip.
Apakah Erlangga amnesia?
"Tapi kenapa Mas Erlang melakukan itu?" teriak Sabrina yang membuat sang driver terlonjak kaget. Bahkan dia mengira jika penumpangnya itu gila.
"Ehh, maaf Pak!" ujar Sabrina. Sang driver hanya tersenyum kaku dan setelahnya bergidik.
Bahkan ketika sudah sampai depan rumah dan sang driver memanggilnya, wanita itu masih saja melamun.
"Mbak, sudah sampai!" teriak sang sopir hingga membuat Sabrina tersadar.
"Ehh, iya Pak. Maaf ya!" ujar Sabrina meminta maaf lalu menyodorkan uang sesuai yang tertera di aplikasi.
Setelah Sabrina turun dia masih terus kepikiran. Hingga membuat karyawannya menatap aneh
Ratna memilih mengalihkan pikirannya dengan mengecek dokumen–dokumen mengenai tokonya.
Beberapa hari yang lalu, ada seseorang yang mengaku investor dan ingin mengajak Sabrina untuk membangun cabang dari toko tanaman hiasnya.
Setelah dirasa semua oke dan tidak ada hal yang janggal,Sabrina menghubungi orang itu. Mereka berencana membahas bisnis lebih lanjut di kafe dekat dengan sekolah Tari. Sabrina yang memilih agar nanti sewaktu Tari pulang tidak lama menunggu.
Hanya beberapa menit Sabrina dan partnernya selesai membahas hubungan kerja sama.
Sabrina melirik pergelangan tangannya. Lalu mengaktifkan mode data di ponselnya.
Ada pesan masuk dari Bunda Asih di ponselnya yang memberitahu kalau Tari pulang diantar oleh Erlangga. Tanpa disadari, Sabrina mengernyit sambil memegang kepalanya.
Diam-diam partner Sabrina melirik ke arahnya. "Maaf, apakah Bu Sabrina sakit?"
"Tidak, saya baik-baik saja. Kalau begitu saya permisi," pamit Sabrina lalu bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, Sabrina kembali sakit kepala karena Tari belum pulang. Dia mondar–mandir di gerbang tokonya, merasa takut terjadi hal yang tidak diharapkan kepada anak perempuannya.
"Seharusnya sudah sampai rumah 'kan?" Sesekali dia mengigit kukunya saat mondar–mandir, juga mengambil ponselnya untuk melihat waktu.
Lima puluh menit menunggu, ada sebuah mobil Lexus hitam berhenti tepat di depannya.
"Mama!" seru Tari, tiba-tiba nongol dari pintu kaca mobil itu yang dibuka.
"Dari mana kamu? Kenapa baru pulang?" tanya Sabrina. Bersamaan dengan itu, kaca pintu mobil bagian depan terbuka dan menyembul sosok kepala pria dan kepala anak kecil yang tersenyum ke arahnya.
Senyuman itu sontak membuat Sabrina beku. Meskipun dia sudah mempersiapkan mental untuk bertemu dengan Erlangga, Sabrina tetap saja terkejut dan membuatnya kehilangan kata-kata.
"Hai. Maaf ya! Saya tadi mengajak Tari pergi makan es krim sebentar," ucap Erlangga dengan santai. Manik pria itu kini menatap Sabrina sehingga membuatnya tersipu.
Di samping sang pria, gadis kecil yang wajahnya mirip dengan Tari itu juga menyapa Sabrina.
Kemudian terdengar pintu mobil belakang terbuka. Tari turun dan memeluk Sabrina. Bahkan saat Tari dan Bulan berbincang pun, Sabrina sama sekali tidak mendengar. Suara pintu mobil yang terbuka dan menutup pun tak menggoyahkan kebekuan Sabrina saat melihat dan mendengar suara Erlangga.
"Kalau begitu kami permisi dulu ya? Daaahh, Tari!" Erlangga dan Bulan melambaikan tangan lalu menutup pintu kacanya otomatis. Tak lama mobil itu melaju dan Sabrina masih tak bergeming.
Pria itu hanya tersenyum melihat Ratna yang masih mematung dari kaca mobilnya. "Dasar wanita aneh," gumannya.
Pandangan Sabrina masih lurus ke depan, bahkan saat mobil sudah tak terlihat.
"Ma," panggil Tari seraya mengguncang tubuh mamanya.
Tidak ada respon, anak kecil itu mencubit lengan mamanya hingga Sabrina menjerit. Baru dia tersadar.
"Aaauwww!" pekik Ratna. "Apaan sih, Nak? Nyubit–nyubit Mama. Sakit tahu," keluhnya yang ditanggapi Tari dengan mengangkat kedua bahunya seraya menggeleng.
Kemudian gadis kecil itu masuk gerbang pekarangan rumah yang tekesan seperti lorong taman penuh bunga warna-warni.
"Ehh, anak itu main nyelonong aja. Heii, Tari, tungguin Mama!" teriak Sabrina lalu mengejar putrinya.
Sabrina berhasil mengejar putrinya dan menangkapnya dalam pelukan. Kemudian gelak tawa memenuhi toko dengan konsep terbuka itu.
Tanpa disadari, ada sepasang mata yang mengamati mereka sedari mobil Erlangga berhenti di depan gerbang toko. Lalu pria itu mengutik ponsel dan menghubungi seseorang.
"Nyonya, saya sudah menemukan persembunyian wanita itu."
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
Erlangga terus menatap pintu dan menunggu sosok yang diharapkan datang. Akan tetapi, setelah dua detik waktu yang terlewat dari waktu yang diberitahukan, orang itu belum juga muncul. "Bia kemana sih?" gerutunya sambil berkali-kali mengecek ponsel. "Harus berapa kali Mama bilang kalau istrimu itu tidak akan datang. Tadi pagi aja, waktu Mama ke kamarmu untuk memberitahunya, dia masih tidur pulas," sahut Ratna yang mengemas pakaian Erlangga. Erlangga hanya diam karena sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Menurutnya, Sabrina tidak seperti itu. "Tuh kan! Kamu tidak percaya dengan ucapan Mama." Ratna kembali berucap sinis. Keadaan menjadi hening. Bahkan sampai di depan rumah, ibu dan anak itu hanya bicara seperlunya. Saat memasuki rumah, Erlangga mendapati keadaan rumah yang sepi. Dia heran karena tidak biasanya seperti ini. Hanya Sumi yang menyambutnya di depan pintu. "Bi, kemana Bia dan anak-anak?" tanya Erlangga padanya sedikit sinis. "Neng Bia masih di kamar, Den
Saat senja mulai tampak, Fredy memutuskan untuk kembali. "Cepatlah sembuh! Maaf jika nanti, mungkin Papa tidak bisa mengunjungimu lagi." Pria paruh baya itu tersenyum sangat manis pada Erlangga. "Ini adalah uang terakhir tabungan Papa. Jika uang itu sudah habis, mungkin Papa tidak bisa menengokmu lagi." "Kenapa terburu-buru, Pa. Memang Papa tidak merindukan Tari dan Bulan? Mereka berdua sangat merindukanmu." Meskipun ada masalah diantara mereka, tetapi Erlangga masih enggan menerima kalau kenyataan kalau Fredy memilih untuk hidup sederhana di kota kecil yang mungkin terpencil."Papa titip pesan, bilang kalau kakeknya ini juga merindukan mereka. Tapi kamu yakin tidak ada masalah dengan istrimu? Papa hanya khawatir kalau Mamamu kembali membuat ulah." Fredy sedikit menurunkan nada bicaranya. Memang, Ratna tidak berada disana. Namun dia tetap takut ada orang lain yang mendengar. "Nanti setelah pulang, aku akan menyelidiknya, Pa." "Ya sudah, jaga dirimu dan juga keluargamu baik-baik
Tabrakan tak bisa di hindari. Mobil Erlangga terpenjal jauh dan berguling ke depan. Jika tidak ada pembatas, sudah dipastikan akan jatuh ke jurang. Beberapa saat lalu saat berada di kios sate padang, ada seseorang yang membututi mereka di belakang. Seperti kejadian saat mereka makan mie ayam bakso. Namun pria misterius itu tidak mempotret atau memfoto mereka diam-diam. Melainkan melakukan sesuatu pada mobil Erlangga. "Akhirnya punya kesempatan juga. Kalau tidak, sudah pasti Bos Elvano yang akan menggorok leherku." Hanya beberapa menit pria itu selesai mengutik mobil Erlangga. Pria yang mengenakan hodie hitam itu memotong kabel rem mobil. Erlangga dan Sabrina sama sekali tidak curiga karena tidak ada yang mencurigakan. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak yang membuat curiga. Rencana Elvano semakin sukses saat ada sopir truk dari arah yang berlawanan sedang mengantuk. Kedua mobil itu sama–sama tidak bisa menghindar dan saling bertabrakan. Erlangga sudah berusaha sekuat
Susi mengatakan itu sembari menatap Sekar dan Leon secara bergantian. Mata jelas penuh harap. Sementara Sekar dan Leon saling padang dan diam sesaat. Tanpa diduga, kemudian mereka tertawa cukup keras. Membuat Susi mengerut heran. Awalnya dia mengira akan banyak pertimbangan dari keduanya. Siapa sangka dugaannya salah. "Tentu saja kami setuju, Sayang. Kami sudah mengenal Farhan. Semenjak kamu pergi, Kakakmu sering mengajak temannya berkunjung ke rumah." Saat itu, Susi dan Aldo tidak mengumbar hubungannya pada siapapun termasuk para sahabat masing-masing. Aldo tidak mengenalkan Susi dengan sahabatnya. Waktu kuliah, Aldo adalah orang yang paling tertutup diantara ketiga sahabatnya. Pun ketiga sahabatnya itu tidak pernah mempertanyakan masalah Aldo. Prinsip mereka, tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Makanya, persahabatan itu selalu langgeng sampai sekarang."Terima kasih, Bunda, Papi. Kalau begitu aku panggil Farhan kesini ya?" tanya Susi. Terdengar memang meminta persetujua