Share

4. Aku merindukanmu, Mas!

Lalu Ratna melihat Erlangga berdiri agak jauh di belakang Sabrina dan sedang tersenyum padanya. 

"Mama," panggil Erlangga seraya melambaikan tangan pada Ratna. Bergegas Ratna mengakhiri pembicaraannya dengan Sabrina sebelum Erlangga menghampirinya. 

"Ingat baik-baik, jangan pernah ganggu kehidupan Erlangga lagi." Bisikan yang terdengar lembut tapi mampu menusuk hati Sabrina hingga dalam dan terasa ngilu. 

Kemudian Erlangga menggandeng tangan Mamanya ke dokter spesialis langganan Ratna periksa kesehatan. 

"Mama mengenal wanita tadi?" tanya Erlang saat mereka berjalan di lorong. 

"Tidak. Mama tidak mengenalnya. Tadi secara tidak sengaja Mama menabraknya dan kami sedikit berbincang," jawab Ratna berbohong. 

"Memangnya kenapa?" Ratna bertanya lagi. 

"Tidak. Hanya tanya." 

Erlang tidak percaya dengan jawaban ibunya. Wajahnya sulit diartikan. Erlangga tahu jika Mamanya berbohong dan memilih tidak mengatakan kalau dia kenal dengan Sabrina. 

Tanpa berkatapun, Erlangga dapat melihat dari sorot mata mamanya yang jernih. Dia memilih tidak bertanya lagi dan memasukkan tangannya ke saku celana seraya berpikir. Kenapa ibunya berbohong?

Setelah Ratna menemui dokter spesialis yang merawatnya, Erlang beralasan untuk keluar dari ruangan dokter itu dan menemui Sabrina. 

Erlangga melihat Sabrina terburu–buru pergi setelah selesai berbincang dengan pria muda yang tak lain adalah karyawannya–Ilham. Dia mengikuti Sabrina dan baru memanggilnya saat Sabrina sampai di lorong yang sepi. 

"Tunggu!" 

Suara bariton Erlangga yang tak asing di telinga Sabrina membuatnya berhenti melangkah. Sabrina berbalik badan dan berusaha tenang di hadapan Erlangga. 

"Bolehkah saya bertanya?" ujar Erlang seraya berjalan mendekati Sabrina. 

"Ada apa?" jawab Sabrina  ketus. Lalu wanita itu kembali berjalan. Namun tidak secepat tadi. 

"Apa yang kamu bicarakan dengan Ibu saya tadi di dekat meja administrasi?" Erlang mengikuti langkah Sabrina. 

"Kenapa anda bertanya pada saya? Bukankah lebih baik anda bertanya pada Ibu anda?" 

"Saya ingin bertanya padamu. Apakah ada masalah?" 

"Ya. Anda telah menganggu waktu saya. Maaf saya buru–buru!" tekan Sabrina lalu mempercepat langkahnya. 

Dari lubuk hatinya yang dalam, Sabrina berharap. Erlang mendatanginya lalu memeluknya untuk menguatkannya di saat putrinya terbaring berjuang melawan maut. Tapi…  dia telah melupakan Sabrina dan semua kenangan dulu. Apakah dia amnesia, atau hanya pura-pura? 

Erlang bingung karena Sabrina justru menangis seraya meninggalkannya. Dia berlari mengejar Sabrina. 

"Hei, tunggu! Kenapa kamu malah menangis?" gerutu Erlang yang membuat Sabrina semakin terisak. 

"Kamu jahat! Kamu jahat! Kamu jahat, Mas! Kenapa kamu meninggalkan aku? Kenapa? Hah!" Sabrina semakin histeris, dia memukul dada bidang Erlang dan pria itu semakin bingung. 

"Kamu tahu? Mama merebutmu dan satu putri kita! Dia memisahkan kita. Sepertinya ini memang skandal yang dibuatnya. Dalam kecelakaan lima tahun lalu, katanya kamu meninggal! Mama menyalahkan aku atas meninggalnya kamu. Mama juga tidak mengizinkan aku untuk melihat jenazahmu waktu itu. Bodohnya, aku percaya dengan perkataannya dan mengira memang aku yang menyebabkan kamu mati. Lima tahun aku selalu dihantui rasa bersalah, Mas. Tapi … sekarang aku melihatmu berdiri tegap dan tidak sedikitpun kamu mengingatku! Atau memang kamu sengaja? Hah! Kalian ingin kembali menghancurkan hidupku. Hu… hu… huu… ." Sabrina tergugu dan meluapkan emosi pada pria di depannya. 

Setelah puas berbicara, kaki Sabrina lemas dan membuat tubuhnya luruh ke lantai. Tubuhnya bergetar dan pundaknya naik turun.

"Aku berjuang merawat putri kita tanpamu, Mas. Kamu tahu … betapa berat aku melewatinya tanpamu? Aku merindukanmu, Mas. Sangat merindukanmu, hu … hu … hu … ." Sabrina kembali mengatakan isi hatinya. 

Hati Erlang serasa tercubit mendengar suara Sabrina. Seakan dia ikut merasakan sakit. 

Meskipun begitu, Erlang tidak tega melihatnya, lalu dia berjongkok, kemudian memeluk Sabrina dan menenangkannya. Tidak ada penolakan dari Sabrina karena memang dia amat sangat merindukan Erlang. 

"Tenanglah! Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi aku berjanji, aku akan berusaha membantumu." Suara Erlang begitu lembut terdengar, diiringi tangannya yang membelai surai hitam Sabrina. 

Mendengar perkataan Erlang, Sabrina menyadari kalau Erlang yang memeluknya berbeda dengan Erlang yang dulu. Dia melepas pelukan pria itu dan berdiri. 

"Maaf! Sebaiknya anda melupakan apa yang saya katakan tadi! Saya terbawa emosi," cicit Sabrina namun bisa didengar oleh Erlang. 

Erlang semakin bingung hingga sepuluh kali lipat. 

"Ada apa dengannya? Apakah aku memiliki hubungan dengannya di masa lalu?" 

Erlangga hendak mengejar Sabrina. Akan tetapi, ponselnya berdering. Tentu saja panggilan dari Ratna. Akhirnya dia memilih untuk kembali. 

Sabrina menangis di balik tembok. Bahunya berguncang dan tangisnya bersuara setelah mendengar langkah Erlangga menjauh. 

"Kenapa Mama tega melakukan ini? Apa salahku?" Sabrina kembali menutup wajahnya. 

Setelah puas menangis, dia segera kembali ke depan IGD untuk menunggu putrinya. 

Tepat setelah dia duduk di bangku tunggu, seorang dokter yang menangani Tari keluar. 

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Sabrina seraya menghampiri dokter muda tersebut. 

"Pasien baik–baik saja, kepalanya hanya terbentur sedikit, memerlukan beberapa jahitan dan kakinya patah tidak sampai amputasi. Sebulan dua bulan akan pulih. Tidak ada luka yang serius dari hasil rotgennya, tapi saranku besok saja pulangnya. Sepertinya, pasien itu sedikit syok. Makanya dia pingsan." 

Sabrina menghela napas lega. "Boleh aku menemuinya?" 

Dokter itu mengangguk. Setelah beberapa menit, Tari dipindahkan ke kamar rawat. 

Tari terbangun dari pingsannya setelah mamanya beberapa menit terlelap. Meskipun tidak parah, tapi karena guncangan syok, masa pingsannya lebih lama. 

Sabrina setia menunggu di sisi putrinya hingga tak sadar tertidur dengan kepala yang disandarkan pada brankar dekat tangan Tari. 

"Mama," panggil Tari yang baru saja sadar. 

Sabrina tidak mendengar karena nyenyak. Sehingga Tari mengusap kepala Mamanya, baru Sabrina terbangun. 

"Eummm… kamu sudah bangun, Sayang?" Sabrina bergegas mengusap mata dan wajahnya untuk mengusir rasa kantuk. 

"Mama, tadi aku mimpi. Papa datang mengunjungiku bersama seorang anak kecil yang tingginya sama denganku, Ma." Tari langsung bercerita tentang mimpi yang dialaminya. 

"Tapi aku lupa wajah Papa seperti apa. Kalau anak kecil yang bersama Papa wajahnya sangat mirip denganku," lanjutnya dengan suara yang masih lemah. 

Wajahnya terlihat memaksa membuat senyuman. Namun sorot mata yang bahagia terlihat secara alami. 

Sabrina bingung hendak menanggapi apa. Yang pasti dia ikut tersenyum dan mengelus kepala yang di peran itu. 

"Benarkah?" hanya itu yang mampu keluar dari bibir Sabrin.  

Lalu suara pintu terbuka. Erlangga dan Bulan masuk membawa buah tangan yang banyak. Erlangga menenteng dua keranjang buah–buahnya yang dihias dan beberapa camilan. Sedangkan Bulan membawa buket bunga lily yang indah dan bucket coklat. 

Sabrina dan Tari terkejut. Akan tetapi, Sabrina lebih parah. 

"Bagaimana dia tahu kalau Tari berada di sini? seingatku tadi sewaktu bertemu aku tidak mengatakan apapun dan dia juga tidak membahas soal Tari," tanya Sabrina dalam hati. 

"Maaf, tadi aku egois. Bukannya bertanya siapa yang sakit, tapi malah menanyakan hal yang membuatku penasaran," celetuk Erlang setelah supir nya keluar dan dua bocah perempuan itu mengobrol sendiri. Bulan menarik satu kursi, kemudian dia naik dan berdiri agar menyamai posisi Tari. 

"Tadi sebelum pulang aku bertanya pada resepsionis. Jadi setelah mengantar Mamaku pulang aku berencana menjenguk Tari bersama Bulan," lanjutnya seakan mengetahui apa yang berada di benak Sabrina. 

"Aku juga minta maaf. Masalah tadi di lorong… sebaiknya lupakan saja." 

"Sebenarnya aku masih penasaran apa alasanmu memeluk … ." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status