Share

Gadis Lugu Pilihan Nenek
Gadis Lugu Pilihan Nenek
Penulis: Kiki Olivia

1. Pertemuan Pertama

"Bima, besok kita ke kampung ya. Nenek akan kenalkan kamu ke Lika. Calon istrimu."

Nenek bicara serius denganku pagi ini. Sudah ada sarapan nasi goreng buatan Bu Marni di atas meja, tapi ternyata ada 'sarapan tambahan' lagi dari Nenek. Apalagi kalau bukan pembicaraan tentang Lika, dan aku yakin, sampai malam nanti nama Lika akan terus berkumandang di rumah ini.

"Nek, Aku bisa cari jodoh sendiri," sahutku masam.

"Sampai kapan? tiga tahun lalu kamu juga bilang seperti itu, tapi sampai sekarang kamu masih tetap jomblo. Nggak bosan apa jomblo terus. Sendal aja ada pasangannya, masak kamu nggak?"

Uh ... Nenek sungguh menyebalkan!

Beberapa menit kemudian Nenek mendekatkan wajahnya ke wajahku. Menyelidiki dari kening, mata, sampai ke bibirku. Mengamat-amatiku seperti ada sesuatu yang asing di wajahku ini.

"Jangan-jangan kamu nggak suka cewek?" Nenek mulai menginterogasi.

"Maksud Nenek?" Aku mengernyitkan dahiku tanda tak mengerti.

"Kamu homo, Bim?" Mata Nenek terbelalak sempurna, menuduhkan hal yang selama ini bahkan tak pernah terpikirkanku.

"Astaga naga ... Nyebut, Nek, nyebut. Bima pria normal. Selera Bima masih sama cewek. Bukan sama pisan,." balasku kesal.

Kebetulan ada pisang di atas meja makan, kuambil dan kukunyah pisang itu, dalam sekali hap masuk dalam mulutku. Aku kesal sama pisang. Eh. Sama Nenek. Bisa-bisanya Nenek mengira aku homo hanya karena aku lama menjomblo.

"Nenek heran, cowok setampan kamu, pekerjaan bagus, uang banyak, tapi jomblo terus. Lalu apa namanya kalau bukan homo?"

"Cewek-cewek yang deketin Bima banyak, Nek. Tapi mereka semua hanya ngincar uang Bima. Nggak ada yang benar-benar tulus cinta sama Bima. Bima mau cari istri yang benar-benar tulus, bukan karena harta dan kedudukan Bima sekarang. Tapi tulus mau menerima Bima apa adanya."

"Nah ... itu, udah cocok banget itu kriterianya sama Lika."

"Tapi bukan pakai acara jodoh-jodohan begini juga kali, Nek."

"Udah jangan membantah, nanti kamu pasti suka kalau sudah ketemu Lika. Pikirin itu umur udah tiga puluh."

Sengaja Nenek menekankan nada pada perkataan 'Tiga Puluh', seolah menyindir kalau aku sudah tua.

"Nunjukin fotonya aja Nenek nggak mau. Gimana Bima bisa menikahi gadis yang nggak Bima cintai."

"Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Nenek sangat yakin Lika gadis yang pas untuk kamu. Nenek kenal Lika dan orangtuanya. Bisa jadi nanti kamu langsung jatuh cinta sama Lika pada pandangan pertama."

Aku memilih diam. Tak ada gunanya membantah Nenek sekarang. Bagiku usia tiga puluh tahun belum tua. Nggak masalah kalau belum memikirkan pernikahan. Tapi bagi Nenek, ini seperti sebuah beban.

Sudah dari berbulan-bulan lalu Nenek cerita tentang Lika. Seorang gadis yang tinggal di desa tempat Nenek dibesarkan dulu. Katanya Lika ini adalah cucu sahabatnya. Sama sepertiku, Lika juga yatim piatu.

Bedanya, kedua orangtuaku meninggal saat aku masih kecil. Ayah Ibuku menjadi salah satu korban pesawat jatuh saat mengadakan perjalanan keluar negeri untuk urusan bisnis.

Sejak usiaku sepuluh tahun aku sudah tinggal bersama Kakek dan Nenek. Merekalah yang merawatku dan menjadi orangtuaku menggantikan peran ayah ibu.

Kakek meninggal waktu usiaku tujuh belas tahun. Jadi sekarang memang hanya Nenek yang aku punya. Dan bagiku, Nenek adalah hartaku yang paling berharga, melebihi apapun.

Sementara Lika, Ayahnya meninggal setahun yang lalu karena sakit. Dan beberapa bulan yang lalu, Ibunya meninggal. Saat ini Lika tinggal bersama Pamannya.

Aku hampir hapal semua tentang Lika, kalian tahu kenapa? Karena tiap hari Nenek cerita tentang Lika, Lika, dan Lika terus. Tiga kali sehari kayak minum obat. Huffttttt.

"Bima berangkat, Nek." Kucium kening Nenek dengan hangat. Buru-buru aku pergi ke kantor. Sebelum pembicaraan tentang Lika bertambah panjang.

"Jangan lupa makan siang, Bim. Nenek sayang kamu," ucap Nenek lembut.

"Bima juga sayang Nenek."

🌸🌸🌸

"Nek, boleh Bima lihat foto Lika?" tanyaku pada Nenek. Saat ini kami sudah dalam perjalanan menuju kampung halaman Nenek. Aku menurut saja pada kemauannya. Tak ada hal yang lebih berarti bagiku saat ini selain menyenangkan hatinya.

Tapi bukan berarti aku mau-mau saja dengan perjodohan ini. Biarlah aku sekadar kenalan dengan Lika. Gadis pilihan nenek itu. Toh menambah teman juga nggak ada ruginya.

"Nggak usah. Ketemu saja langsung, nggak usah lihat-lihat foto segala. Sebentar lagi kita sampai kok."

Aku hanya diam. Fokus menyetir. Percuma membantah. Semua perkataan Nenek adalah benar. Bukankah ada dua peraturan yang harus kita patuhi ketika berhadapan dengan wanita? Pertama: wanita selalu benar. Kedua: jika wanita salah, kembali ke point pertama.

"Kamu udah nggak sabar ya ketemu Lika. Hayooooo," goda Nenek.

"Cie... yang udah nggak sabar ketemu calon istri." lanjutnya lagi.

"Dahlahhh. Mengcapekkkk." Aku menghembuskan nafas pasrah.

Sepanjang perjalanan Nenek terlihat ceria dan bersemangat. Antusias sekali beliau dengan rencana pertemuan ini. Seolah dia yang mau ketemu calon suami.

Kami memasuki perkampungan yang lumayan jauh. Jalan kesini tidak bagus. Sepertinya belum mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Rumah-rumah kayu yang dihuni penduduk juga jaraknya tidak rapat. Malahan cukup berjauhan. Yang terlihat hanya perkebunan yang terbentang luas. Lebih mirip hutan sepertinya.

"Nek, masih ada kampung sepi dan jauh dari peradaban begini?" tanyaku pada Nenek.

Membayangkan tempat ini saja aku tak pernah. Apalagi membayangkan gadis yang berasal dari kampung ini menjadi istriku. Jangan-jangan dia seperti Tarzan.

"Ohh tidakkkkk!!!" seruku tanpa sadar. Lamunanku sampai terbawa ke alam nyata.

"Hushhhh, kenapa sih kamu. Belum juga ketemu Lika udah nggak karuan begini. Apalagi kalau udah ketemu. Bisa tambah salah tingkah kamu, Bim."

"Bukan salah tingkah, Nek. Tapi Bima hampir gila. Masa Nenek tega sih ngejodohin Bima dengan gadis dari kampung ini." Aku mulai menggerutu.

"Eh... jangan macam-macam ya. Nenek juga berasal dari kampung ini."

Tak ada perdebatan lagi. Kalau nyonya besar sudah bersabda, aku bisa apa?

"Itu gang menuju rumahnya." Nenek menunjuk sebuah gang di ujung jalan.

"Kita berhenti di sini saja. Mobil nggak bisa masuk ke dalam."

Aku menurut saja. Kami keluar dari mobil, berjalan kaki menuju jalan setapak. Di ujung sana ada sebuah rumah yang sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari tepas. Atapnya juga hanya seng sederhana. Tapi rumah itu cukup besar. Halamannya juga luas, ditanami dengan berbagai bunga warna-warni yang cantik.

"Bu Irma, kami sudah menunggu dari tadi." Seorang pria yang menyebut nama nenek itu tampak menyambut kami dengan ramah. Disebelahnya juga ada wanita yang aku yakin itu istrinya. Mereka menyalam nenek dan mencium punggung tangannya dengan santun.

"Ardi, Mala, ini Bima. Bima, Ini Paman Ardi dan Bi Mala. Paman dan Bibinya Lika "

Aku pun tersenyum, lalu menunduk dan mencium tangan mereka.

"Ayo kita masuk kedalam saja," ajak Paman Ardi.

Mataku mulai mengedarkan pandangan. Mencari sosok lain dihalaman rumah ini.

"Mana dia?" batinku.

Tentu dong aku mencari Lika. Gadis yang digadang-gadang nenek akan menjadi istriku. Sudah pasti aku penasaran dengan wajahnya, walaupun belum tentu aku mau menikahinya.

Namun dari tadi aku tak melihat siapapun selain Paman Ardi dan Bi Mala.

"Hayo ... cari-cari Lika ya." Nenek berbisik mulai menggodaku lagi. Sepertinya ia sadar dari tadi mataku mengedar, mencari-cari sesuatu.

"Mari silahkan duduk Bu," ujar Paman Ardi.

Bi Mala permisi ke dapur. Mungkin mau menyiapkan minuman atau ada keperluan yang lain. Entahlah.

Nenek dan Paman Ardi sudah ngobrol panjang lebar. Aku hanya sebagai pendengar setia saja. Sesekali ikut tersenyum bersama mereka. Bi Mala sudah kembali dari dapur dan bergabung bersama kami.

Tapi kenapa dari tadi mereka belum menyinggung soal Lika. Menyebut namanya pun tidak. Bahkan sosok Lika belum muncul juga dari tadi. Tak ada orang lain lagi yang kunampak di rumah ini.

Selang beberapa menit, seorang gadis datang dari dapur, membawa nampan berisi teko, gelas dan biskuit.

Aku terperanjat. Diakah Lika? Siapa lagi kalau bukan Lika? Bukankah tujuan kami kesini memang mau bertemu Lika.

Tapi ... kenapa penampilannya seperti ini? Badan yang gempal, gemuk, pipinya sangat berisi seperti bakpau, lehernya hampir tak kelihatan. Memakai baju kaos kedodoran, dan rok panjang motif bunga-bunga. Rambutnya pendek sedagu dan berponi. Mirip potongan rambut Dora The Explorer.

Dengan pelan gadis itu meletakkan gelas satu persatu dan menuangkan teh dari teko kedalam gelas. Aku menahan nafas, keringat dingin mulai mengucur di dahiku.

Dari tadi dia hanya menunduk. Belum berani menatap kami satu persatu. Terutama menatapku. Akupun tak berani menatapnya.

Aku merasa nenek sudah mengerjaiku. Katanya aku akan suka dengan Lika kalau kami sudah ketemu. Katanya aku bisa jatuh cinta dengan Lika pada pandangan pertama. Mana, Nek? Mana?

Akhirnya tanpa sengaja, mata kami bertemu, kami saling menatap. Aku terbius, diam, kaku, serasa jarum jam berhenti berdetak.

Dan...

''Ting'

Lika nyengir lebar kepadaku, dan ada satu gigi emas diantara deretan giginya. Bersinar, berkilau. Menyilaukan.

"Nek ... Nenek ngeprank aku."

Lalu aku pun lemas tak sadarkan diri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nani Hamidah
ok cerita nya bagus lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status