“Kau telat 5 menit,” ucap Glen saat Akiko baru saja sampai di cafe dengan nafas terengah-engah. Lalu pandangan pria itu tertuju pada Ethan yang setia menggandeng tangan Akiko.
"Aku tidak tahu kalau Mr. Eloise sudah memiliki cucu," kata Glen sambil terus mengunci pandangan pada Ethan karena sejak tadi anak itu menempel pada Akiko dengan manja, bahkan jelas-jelas memeluk Akiko erat seolah tidak mau dilepaskan. "Ini bukan anakku," tegas Akiko, lalu beranjak mengantar Ethan ke bangku lain agar Glen tidak merasa terganggu. Setelah memastikan Ethan mendapat makan dan minum yang dia pesan, barulah dia kembali ke hadapan Glen. "Nona Eloise, aku menyuruhmu datang ke sini bukan untuk buang-buang waktu," Glen menatap jengkel karena Akiko hanya memperhatikan Ethan saja, bahkan gadis itu sempat menyuapi Ethan dengan lembut tanpa memerdulikan Glen. "Sorry," ucap Akiko. "Siapa dia?" tanya Glen sambil melirik Ethan. "Ethan, dia tersesat jadi aku akanmengantarnya pulang setelah ini," mendengar jawaban Akiko, Glen semakin memberikan tatapan menginterogasi. “Memangnya aku mengizinkanmu pergi?” pertanyaan itu membuat Akiko sontak mengerutkan alis bingung, tapi beberapa detik kemudian gadis itu teringat kalau Glen adalah Tuan, artinya dia berhak mengatur semaunya. "Dengar ini, Nona Eloise—" "Akiko, namaku Akiko," potong gadis itu kesal karena Glen terus menyebut marga keluarganya. "Aiko," panggil Glen sengaja. "It's, Akiko, Sir," tekan Akiko kembali setelah Glen salah menyebut namanya. "Panggil aku Glen. Lagi pula, aku bebas memanggilmu semauku. Nama Aiko jauh lebih cocok untuk wajah manismu itu," mendengar ucapan Glen, Akiko hanya menghela nafas gusar. Sekeras apa pun dia menegaskan, Glen tidak mau dengar kalau bukan dari kemauannya sendiri. "Terserah saja, asal jangan panggil marga keluargaku," ucap Akiko sehingga Glen terkekeh pelan. "Kenapa? kau tidak mau menggunakan marga itu lagi karena Mr. Eloise sudah menjualmu demi perusahaan? Hahaha bodohnya Mr. Eloise melepas berlian indah sepertimu," Glen tertawa sambil mengusap wajah Akiko. Pria itu pasti merasa sangat senang sudah merendahkan lawan bicaranya. Kemudian, Glen memberikan sebuah kertas bukti kontraknya dengan Akiko. "Baca kontrak ini baik-baik," ujarnya. 1. Kontrak berlaku sampai Glen Mckenzie yang mengakhirinya. 2. Akiko Eloise, sepenuhnya menjadi hak milik Glen Xander Mckenzie. 3. Semua biaya hidup Akiko akan ditanggung oleh Glen Xander Mckenzie. Akiko agak bingung membaca poin terakhir kontrak tersebut, jika Glen mau membiayai hidupnya maka dia tidak perlu repot-repot mencari kerja lagi. Namun, tidak mungkin Glen mau melakukan hal sebaik itu tanpa sebuah imbalan. "Bagaimana?" tanya Glen. "Beri aku pengecualian," pinta Akiko, ingin menulis aturan tentang apa yang tidak boleh Glen lakukan selama kontrak. "Satu," tegas Glen. Terdengar egois, tapi daripada tidak sama sekali lebih baik Akiko menulis pengecualian paling penting. "No sex," tegas Akiko. "Aiko, padahal poin tujuanku adalah untuk itu. Jadi untuk apa aku membawamu pergi? Menatap wajah cantikmu saja tidak akan membuatku puas," bingung Glen yang sebenarnya tidak terima dengan permintaan Akiko. Namun karena merasa tidak terlalu keberatan, Glen hanya menyimpan catatan kontrak itu di sakunya seolah setuju. "Aku bisa bekerja di perusahaanmu," ujar Akiko sambil memberikan berkas-berkas miliknya termasuk data prestasinya selama ini. Glen membaca semua berkas itu, tidak menyangka ternyata gadis di hadapannya memiliki banyak keahlian. Hal tersebut membuat Glen bingung kenapa Mr. Eloise memberikan putri keduanya jika dia gadis yang nyaris sempurna? "Oke, ayo pergi sekarang," ajak Glen, lalu pergi begitu saja meninggalkan Akiko yang segera mengajak Ethan untuk ikut dan mengantar pulang setelah tau alamat rumahnya. Sementara itu Glen duduk di mobil menunggu Akiko selesai dengan urusan terakhirnya sebelum mulai kontrak. Akiko memencet bel rumah Ethan sambil mengetuk pintu beberapa kali karena tidak ada orang datang, padahal dia sedang buru-buru karena Glen menunggunya di mobil. "Aku tidak ingin pulang, Kak …," lirih Ethan memeluk kaki Akiko erat. "Kau tidak bisa pergi bersamaku, kau tau? Aku tinggal bersama orang lain yang tidak akan setuju jika kau ikut," jelas Akiko yang yakin bahwa Glen tidak akan mau memberikan izin agar Ethan tinggal bersamanya. Akhirnya pintu terbuka, tapi teriakan seorang wanita membuat Akiko kaget sebelum memberikan sapaan. "Anak kurang ajar!" bentaknya. Seorang wanita paruh baya langsung menyeret Ethan masuk ke dalam rumah, tanpa peduli anak itu menangis sejadi-jadinya berusaha melepaskan diri. Namun, tangisannya justru membuat sang Mama semakin marah. Akhirnya, dia memukul Ethan menggunakan tongkat baseball sambal tubuhnya penuh lebam. "I'm sorry, Mama …," isak Ethan sambil melirik ke arah Akiko seolah menjelaskan kalau beginilah nasibnya juga pulang. Akiko menyesal, seharusnya dia bawa saja Ethan tanpa bertemu dengan mamanya. "Stop! aku akan menelepon polisi," ancam Akiko sambil melindungi Ethan sehingga wanita itu berhenti melayangkan tongkat baseballnya beberapa saat. Namun, wanita itu justru memukul Akiko juga tanpa peduli hal lain. Untung saja, dia berhasil melindungi kepala sehingga hanya tangannya saja yang terluka. "Tidak perlu ikut campur urusan keluarga kami!" bentaknya sambil berusaha mengambil Ethan dari Akiko. "Bagaimana bisa aku tidak ikut campur jika kau memukulnya di depan mataku?!" hardik Akiko. Pantas saja Ethan takut pada mamanya, dia saja nampak seperti orang gila yang tidak punya hati. Sedangkan wanita itu langsung menatap sinis pada Ethan. "Kau mengadu pada orang lagi, hah!?" Dia berjalan mendekati Akiko dan Ethan sehingga Akiko memutuskan untuk segera keluar dari rumah itu secepatnya. Namun, Mama Ethan sudah lebih cepat berlari menutup pintu. "Aku menyesal punya anak sepertimu!" geramnya pada Ethan. "Memangnya, dia mau punya Mama sepertimu? Tidak!" balas Akiko yang sudah puncak emosi. "Kau memutuskan untuk merawatnya sejak masih dalam kandungan, lalu kenapa kau memperlakukannya begitu buruk ketika sudah lahir? Jangan berani hamil jika tidak ingin menjadi Ibu,” lanjutnya. "Punya hak apa kau mengaturku? Kau tidak tau apapun, bodoh!" jawaban wanita itu membuat Akiko semakin kesal. "Aku tau, aku tau bagaimana sakitnya punya orang tua mengerikan sepertimu," mendengar balasan Akiko, wanita itu semakin tersulut emosi. "Masih bocah, tidak perlu sok dewasa!" cibirnya. "Umurku memang jauh lebih muda darimu, tapi kau yang dewasa ini justru tidak punya akal sehat. Apa kau tidak kasihan pada Ethan?" tanya Akiko. "Bawa saja anak itu pergi, dia hanya pembawa sial. Karena dia lahir, suamiku menganggap kalau aku sudah tidak menarik." Dia menunjuk suaminya yang sedang berjalan sempoyongan sambil mabuk dan merokok, bahkan bau alkohol sampai menyeruak ke seluruh ruangan. "Dasar pelacur," desisnya saat menatap mama Ethan. Tentu saja, wanita itu langsung emosi dan berlari memukul suaminya sendiri tanpa ambun menggunakan tongkat baseball. Darah sudah berceceran di lantai, tapi wanita itu masih melampiaskan amarah seperti menggila, sedangkan Akiko memeluk Ethan erat saking takutnya melihat kejadian mengerikan itu. "Papa …," lirih Ethan melihat papanya tewas di tangan mamanya sendiri. "Sekarang seluruh hartamu menjadi milikku, pria tua tidak tau diri sepertimu memang pantas mati," Setelah merasa puas, wanita itu mengalihkan pandangan pada Akiko dan Ethan yang masih duduk di pojok ruangan. Akiko bergidik ngeri melihat bagaimana kejamnya wanita itu. Kemudian wanita itu mulai melayangkan tongkat baseballnya kembali. Menghantam tubuh Akiko yang berusaha melindungi Ethan. Bayangannya kembali ke masa lalu, di mana dia harus meringkuk menahan sakit dari siksaan orang tuanya. "Ahhh …," desis Akiko merasa tubuhnya hancur karena pukulan demi pukulan. Namun, saat matanya sedang tertutup rapat-rapat untuk menahan sakit, tiba-tiba pukulan itu berhenti. Matanya terbelalak kaget saat melihat darah keluar dari mulut Mama Ethan, lalu munculkan Glen dari belakang sambil melepas pisau panjang yang menancap di perut wanita itu. “Tanganku jadi kotor,” geram Glen sambil menatap Akiko datar."Tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang menancap pada perut mama Ethan, lalu membuangnya ke sembarang arah bersamaan dengan tubuh wanita paruh baya yang ambruk dengan darah mengalir di lantai. "Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen baik dalam perusahaan atau dalam kehidupan pribadi. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Akiko merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Tanpa membuang waktu lagi dia segera menggendong Ethan, padahal tubuhnya sudah sangat sakit akibat dipukul berkali-kali. Namun, dia memiliki sifat baik sehingga masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana
"Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di depan gedung apartemen. Ternyata pria itu sudah menunggunya karena dia paham bahwa gadis itu pasti tidak tau password apartemen, sementara Akiko berpikir pasti Glen habis memata-matai sehingga bisa tau dia habis menemui laki-laki. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko membuat Glen terkekeh pelan, ia tersenyum menyeringai sambil melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen berpikir mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko, dia bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar itu mengusap pinggulnya secara sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu siapa dia? Kenapa kalian terlihat sangat dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter biasa," jawab Akiko lagi kali ini sambil mencu
"Glen!" teriakan seorang wanita membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan, awalnya mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Ternyata, dialah tamu penting yang dimaksud Glen tadi. Wanita itu memakai make up tebal bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen, padahal sebelumnya mereka hanya kenal sebagai rekan bisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak sehingga tentu membuat Glen geram, apalagi pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja sehingga wanita itu terjatuh ke lantai karena memakai sepatu high heels walau dorongan tidak terlalu kencang "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak pah
"Bagaimana, Akiko? mau pergi atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise, pria tua itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang berpikir putrinya itu mau ikut pulang. "Akiko … Papa ingin minta maaf, Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, aku tidak akan sehancur ini jika papa mengatakan itu sejak dulu. Andai Papa memperlakukan aku layaknya seorang anak, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan bicara begitu, Akiko. Pa
*1 hari yang lalu* "Jadi … kau benar-benar menjual Akiko?" tanya Keinara dengan tatapan tidak percaya. Malam ini Keinara memutuskan untuk pulang dan bertanya soal Akiko pada papanya, tapi papanya justru panik dan tidak mau menjawab kejadian sesungguhnya. Untung saja gadis itu punya ide, yaitu bertanya pada pelayan di rumah itu dengan sogokan uang agar bisa menjawab secara jujur. "Pantas saja Akiko mengatakan bahwa kami tidak akan pernah bertemu lagi," lanjut Keinara. "Jawab aku, Papa," tekan Keinara terus menerus sehingga papanya menjawab dengan anggukan pelan. "Kenapa kau begitu jahat pada Akiko? Kenapa?" "Papa tidak memaksanya, Kei, dia tidak menolak atau melawan permintaan Papa. Artinya, dia tidak masalah dengan semua itu," kata Mr. Eloise enteng. "Dari dulu Akiko memang seperti itu, Pa. Dia tidak melawan karena dia tau hasilnya akan sama saja, yaitu kemarahan Papa yang tidak ada ujungnya. Kenapa tidak aku saja? Kenapa Papa selalu memperlakukan Akiko semena-mena? Dia juga Pu
"Glen, aku minta maaf…," lirih Akiko sambil terus menggedor pintu pelan karena tubuhnya lemas. Untung saja beberapa saat kemudian Glen datang membuka pintu, dia menatap tajam tanpa menyadari bahwa Akiko membawa sweater penuh darah. "Aku minta maaf," ucap Akiko lagi. "Mandi dan temani aku duduk," titah Glen, tapi dia sengaja memasang kakinya saat Akiko melangkah sehingga gadis itu tersandung dan membentur ujung meja yang tajam di bagian dahi. Kepalanya terasa sangat pusing sampai ingin ambruk begitu saja, tetapi tetap dia tahan. Akiko masih berusaha bangkit dan berjalan tertatih menuju kamarnya. Dia mandi dan memakai pakaian panjang seperti biasa, kemudian datang ke ruang santai melihat Glen yang sudah menunggunya. "Kemari," Glen menarik tangan Akiko pelan sehingga gadis itu duduk di pangkuannya. "Aku tidak suka kau bicara dengan laki-laki lain. Kau adalah milikku," ucap Glen, mengusap tangan Akiko lalu menciumnya lembut. "Kenapa tanganmu sangat dingin?" Pertanyaan itu tidak
Suasana semakin genting ketika Harley membujuk Glen untuk bicara dengannya terlebih dahulu, sementara Glen sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menghajar orang-orang di hadapannya. "Jangan pulang dulu, biarkan aku melihatmu lebih lama lagi," pinta Harley sambil pergi karena dia harus menyambut tamu-tamu yang datang. "Glen, ikut aku sebentar," ajak Marlen lalu pergi begitu saja meninggalkan Glen. "Tunggu di sini dan jangan makan apa pun sampai aku kembali," Akiko mengangguk menyahuti perintah Glen. Beberapa menit setelah Glen pergi, Harley datang kembali sambil membawakan minuman. "Siapa namamu?" tanyanya sambil tersenyum manis. "Akiko," jawab Akiko seadanya. "Sudah berapa lama kau kenal dengan putraku?" Akiko menatap Harley sekilas, wanita tua itu terlihat sedang menahan sedih. "Beberapa bulan," jawab Akiko. "Boleh aku minta tolong sesuatu?" tanya Harley. Awalnya Akiko terdiam bingung, dia dilarang bicara pada siapapun sekarang. Namun, gadis itu merasa kasihan p
“Aiko," sapa Glen baru saja selesai mandi, pria itu tampak lebih tampan dengan rambut yang belum sepenuhnya kering. Dengan wangi maskulin, dia mulai mendekati Akiko yang sedang menyiapkan sarapan. Kecupan pagi seperti biasa mendarat di bibir Akiko, bahkan gadis itu sampai heran kenapa Glen bisa menciumnya semudah itu karena Glen termasuk orang yang memiliki gengsi tinggi. Dia tidak akan mungkin mau mencium gadis sembarangan, apalagi status Akiko di sini hanyalah sebagai tawanan. "Kenapa kau bangun sangat pagi? Aku jadi tidak bisa melihat wajahmu saat membuka mata," Glen menyandarkan wajahnya di pundak Akiko sehingga gadis itu mengernyit geli. "Aku selalu bangun di jam yang sama," jawab Akiko, tentu saja dia selalu bangun di jam sama karena sudah menyetel alarm. Gadis berambut pendek itu tidak mau Glen marah hanya karena dia telat menyiapkan sarapan. "Hari ini akan ada tamu penting di kantor, pakailah dress yang bagus," ujar Glen. "Mereka tidak akan mengamati aku," sahut Akiko
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.
“Keinara,” panggil Vian, seorang Dokter yang dulu merawat Akiko. Pria itu berjalan mendekati gadis yang tengah duduk di taman kota sambil menunduk dengan wajah sedih. “Vian … adikku sudah meninggal, dia sudah tidak ada,” ucapan Keinara tentu membuat Vian kaget bukan main sebab mereka masih belum bertemu dengan Akiko sekalipun. Keinara memberikan sebuah surat dari rumah sakit yang mengatakan bahwa Akiko Eloise meninggal karena Kanker 1 minggu yang lalu. “1 minggu yang lalu? Kenapa suratnya baru kau dapatkan sekarang?” bingung Vian terus aja menenangkan Keinara. Sebagai Dokter Vian tau sekali kalau surat kabar kematian seseorang pasti langsung dikirim hari itu juga. “Kei, sebenarnya Akiko menitipkan sesuatu padaku waktu terakhir kami bertemu,” Vian mengambil sesuatu dari tas, yaitu ponsel milik Akiko yang sudah dititipkan sejak lama. Gadis itu mengatakan ponsel ini hanya boleh diberikan jika dia sudah tidak ada, jadi Vian rasa inilah akak tu yang tepat. Tanpa basa-basi lagi Keinar
“Dulu aku adalah pria yang tidak punya rasa kemanusiaan, bahkan aku bisa menghabisi nyawa dengan mudah tanpa peduli rasa sakit orang lain. Namun, gadis itu datang dalam hidupku dan mengajarkan tentang bagaimana kehidupan yang sesungguhnya.” “Mungkin ini adalah Karma karena tidak bisa menghargai nyawa orang lain sehingga takdir seolah ingin selalu memisahkanku dengan Aiko. Sekarang aku selalu merasa takut akan kematian, aku selalu takut kehilangan Aiko, aku takut dia merasa sakit, dan aku takut dia pergi. “Rasa takutnya luar biasa sampai dadaku terasa sesak, aku tidak bisa berpikir ataupun tidur dengan nyenyak. Inikah rasa takut yang aku abaikan abaikan dulu? Aku benar-benar tersiksa dengan rasa takut ini, aku ingin Aiko kembali ke pelukanku seperti semula.” *** “Bagaimana keadaannya?” tanya Guston saat baru sampai di rumah sakit. Sudah 5 hari Akiko belum juga sadar, gadis itu seolah terlalu nyaman dalam mimpi dan tidak ingin melihat dunia lagi. “Masih sama,” jawab Glen dengan pa
“Sial! Aku tidak bisa menemukannya,” desis Glen frustasi karena belum juga menemukan keberadaan Akiko, sementara acara perayaan juga hampir selesai. Jika para tamu pergi maka Glen juga tidak bisa bertahan karena Mr. Eloise akan curiga dengan keberadaannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang pelayanan rumah yang kaget karena tidak pernah melihat Glen. Dia pikir Glen adalah tamu pesta yang tidak sengaja masuk ke dalam rumah. “Sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?” tanya Glen langsung pada inti. “Sudah lama, sejak nyonya Hinami masih ada,” jawabnya jujur. “Jadi kau tau soal Aiko? Di mana dia sekarang?” tanya Glen sehingga pelayanan itu terlihat kaget, lalu menjauh perlahan. “Aku tidak tahu—” “Jawab jujur, atau aku akan menembak kepalamu sekarang juga,” ancam pria berambut hitam itu. Awalnya pelayan masih terlihat ragu dan takut, tapi beberapa saat kemudian dia menghela nafas panjang dengan air mata menggenang. “Akhirnya kau datang, Tuan. Aku benar-benar tida
Suara ketukan pintu membuat lamunan Glen pudar. Sudah satu minggu sejak Akiko tidak tinggal di apartemen ini, rasanya sangat lama sampai hidupnya terasa hampa. Akiko memberitahu bahwa dia tidak boleh minum alkohol atau merokok, tapi bukannya lebih sehat kini pria itu terlihat stress dan murung. “Glen, ini Mommy,” ucap Harley dari luar pintu sehingga Glen segera membukanya. “Ada apa, Mom?” tanya Glen penasaran karena tak biasanya Harley datang seperti ini. “Tidak apa, Mommy hanya merindukanmu. Kau tidak pernah datang ke rumah sejak Akiko pindah,” jelas Harley. “Iya,” sahut Glen dengan pasrah lalu duduk di sofa sambil meminum sebotol air. “Kau terlihat lemas, Glen, apa kau sakit?” tanya Harley penasaran melihat wajah putranya yang pucat dengan kantung mata jelas. “Tidak, aku hanya terlalu banyak bekerja,” sahut Glen seadanya. “Bukan begini caranya jika kau ingin menghibur diri supaya tidak merindukan Akiko, kau tidak memperhatikan kesehatanmu sendiri,” ujar Harley. Mendenga
“Akiko,” Mr. Eloise langsung memeluk putrinya ketika baru saja sampai di rumah mewah itu. Glen baru saja sampai dengan hati yang sangat berat karena harus memulangkan gadisnya itu. Namun, Glen ngerasa Akiko akan selalu terluka jika tinggal bersamanya dengan sifat yang masih sangat egois dan kasar. Di posisi lain, Akiko masih terdiam seribu bahasa karena ini pertama kalinya dia dipeluk oleh papanya sendiri. Rasanya aneh, sedih, dan senang sekaligus. “Akhirnya kau kembali,” ucap Mr. Eloise sambil membelai rambut Akiko pelan. “Papa menyetujui permintaan Glen?” tanya Akiko memastikan. “Iya, tentu, Papa sudah berkali-kali bicara dengannya untuk melepaskanmu,” sahutnya. “Tapi … Papa tidak akan mengorbankan Kak Keinara untuk aku, ‘kan?” tanya Akiko lagi. “Aiko, aku sudah melepaskanmu dengan baik. Tidak akan ada lagi riwayat hutang antara aku atau Mr. Eloise, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” jelas Glen. “Kau ataupun kakakmu akan aman, kalian akan tinggal di sini bersama
Gadis itu tertidur lelap dengan tangan yang dingin terus gemetaran, walaupun Glen sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesekali ia terbatuk sambil merintih kesakitan, nafasnya begitu pelan sampai Glen sering memeriksanya karena khawatir. "Suhu tubuhnya naik," bingung Glen melihat Akiko kedinginan, tapi kepalanya panas sampai berkeringat. Dia terus mengusap kepala gadis itu, berusaha memberikan ketenangan agar bisa tidur dengan nyenyak. Namun, beberapa saat kemudian Akiko terbangun dari tidurnya karena terbatuk hebat. "Minumlah," ujar Glen sembari memberikan sebotol air, tapi tenggorokannya terasa begitu sakit saat minum hingga terbatuk kembali. "Kita akan ke rumah sakit nanti," ucap Glen sambil merapikan rambut pendek Akiko, tapi tangannya langsung terhenti ketika melihat banyaknya rambut rontok di sela-sela jarinya. "Jangan sentuh rambutku, tanganmu bisa kotor," ucap Akiko sambil membersihkan tangan Glen, gadis itu masih terlihat sangat tenang walau mati-matian menahan sakit.