"Tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang menancap pada perut mama Ethan, lalu membuangnya ke sembarang arah bersamaan dengan tubuh wanita paruh baya yang ambruk dengan darah mengalir di lantai.
"Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen baik dalam perusahaan atau dalam kehidupan pribadi. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Akiko merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Tanpa membuang waktu lagi dia segera menggendong Ethan, padahal tubuhnya sudah sangat sakit akibat dipukul berkali-kali. Namun, dia memiliki sifat baik sehingga masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah? Siapa yang akan menebusnya?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. "Sorry," lirih Akiko masih dalam keadaan syok, kemudian Glen menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sementara itu Akiko justru tertidur karena tadi sempat minimal obat yang mengandung efek kantuk, apalagi dia merasa sangat lelah setelah seharian ini beraktivitas. Glen melirik Akiko yang sudah terlelap tidur dengan Ethan di pangkuannya. Rahangnya mengeras emosi, entah kenapa dia tidak suka melihat Akiko pendiam, mengalah, dan menyedihkan seperti ini. "Bodoh, kau tidak akan bisa menang jika hanya diam saja." *** Akiko mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk, lalu beberapa detik kemudian gadis itu refleks terbangun kaget saat menyadari bagaimana kondisinya sekarang. Apa dia sudah tidur semalaman? Apa yang terjadi tadi? Berbagai pertanyaan memutar di kepalanya. Akiko berjalan sempoyongan, tubuhnya terasa sakit karena tidur di alas yang tipis di lantai dengan udara yang dingin tanpa penghangat ruangan. Baru beberapa langkah berjalan, dia langsung terdiam karena kakinya terasa sangat perih, bahkan sampai terasa panas seperti terkena benda tajam. Lalu gadis itu terbelalak kaget saat melihat ke telapak kakinya. "Kenapa ini?" Ia mengelap darah yang menetes dari goresan-goresan di telapak kaki, lalu perhatiannya kembali teralihkan oleh teriakan seorang anak. "Aarrgghh!" Akiko mengedarkan pandangan, mencari dari mana sumber suara teriakan itu. "Ethan…," gumamnya saat sadar bahwa dia masih bertanggung jawab atas Ethan. Dengan menahan sakit, Akiko berlari ke arah suara yang ternyata berasal dari sebuah ruangan kosong nan gelap. Nafas Akiko tercekat melihat Ethan diikat di sebuah kursi dengan tubuh penuh lebam dan goresan, lalu dia mengalihkan pandangan pada seorang pria yang duduk di antara kegelapan, yaitu Glen. "What are you doing?" gumamnya sambil mendekati Ethan yang sudah menangis sejadi-jadinya. Akiko berusaha membuka tali Ethan, tapi Glen tiba-tiba datang dan mencambuk punggungnya sehingga gadis itu menahan rasa perih dan panas yang luar biasa. "Siapa yang memperbolehkan keluar dari kamar?" pria itu memasang tatapan menyeringai, kemudian kembali mencambuk Akiko beberapa kali saat gadis itu memeluk Ethan erat-erat. "Jangan lukai Kakak! Jangan lukai Ka—" "Diam! Kau pikir, kau ini siapa?" bentak Glen dengan suara baritonnya sehingga Ethan sontak terdiam. Pria itu mengalihkan pandangan pada Akiko yang sedang meremas pakaiannya sendiri untuk menahan sakit. "Sepertinya luka di kakimu itu tidak cukup untuk membuatmu diam, hah?" Glen mencengkram rambut pendek Akiko sampai gadis itu mendongakkan kepala. Akiko kaget mengetahui fakta bahwa ternyata Glen adalah orang yang telah mengiris-iris telapak kakinya, dia benar-benar tidak menyangka kalau Glen lebih gila dari dugaannya. Hal tersebut membuat Akiko berpikir kalau pria di depannya ini pasti bukan orang normal. Bisa dilihat dari cara Glen memainkan pisau dan senjata, Akiko ingat betul bagaimana ekspresi datarnya saat membunuh mama Ethan kemarin. Raut wajahnya seolah terbiasa melakukan hal-hal keji dengan bebas. "Aiko … sebaiknya jaga sikapmu karena aku bukan orang baik-baik," geram Glen. Kemudian dia pergi meninggalkan Akiko dan Ethan begitu saja, sementara gadis berambut pendek itu terdiam ketika mengingat bahwa tidak ada jaminan bahwa dia akan aman bersama Glen dalam kontrak. "Kakak," panggil Ethan dengan suara gemetaran. "I'm sorry … i'm sorry, Ethan," lirih Akiko merasa begitu bersalah pada Ethan. Dia sudah disiksa oleh orang tuanya sebelum ini, ditambah oleh kekejaman Glen. Akhirnya, Akiko beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya dan Ethan. Ini bukan apartemennya jadi dia tidak tau di mana letak kotak obat sehingga hanya dia bersihkan seadanya saja dengan air. "Ethan, dengarkan aku. Kau tidak boleh bersamaku terus, okay? Apartemen ini milik Glen, dia bisa melakukan apapun yang dia mau jadi aku akan mengantarmu ke tempat yang lebih aman saja," jelas Akiko sembari menangkup wajah mungil Ethan. Anak itu mengangguk pelan, walaupun aslinya berat hati berpisah dengan Akiko. Namun, mengingat bagaimana kejamnya pemilik apartemen ini membuat nyalinya jadi menyusut. Apartemen ini seperti sarang monster, Ethan bisa habis kapan saja di tangan Glen. "Ayo," ajak Akiko, lalu bergegas keluar dari apartemen sebelum Glen sadar. Akiko berencana menempatkan Ethan di penitipan anak saja, jika ada keluarga besar Ethan yang merasa kehilangan maka mereka bisa menjemput Ethan atau menghubungi Akiko lewat nomor yang dicatat. Walau dia harus mengeluarkan biaya besar untuk Ethan, tetapi setidaknya dia merasa lega kalau Ethan aman. "Kakak, apa kau akan baik-baik saja?" tanya Ethan khawatir akan nasib Akiko di tangan Glen. Gadis itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, lalu memeluk Ethan sebagai salam perpisahan. Sebelum kembali ke apartemen Glen, Akiko memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit besar ingin menemui seseorang yang pasti sudah menunggunya dari kemarin. Dia adalah Vian, pria berstatus dokter itu kerap menanyakan kabar Akiko lewat pesan. "Kak," panggilnya saat memasuki ruangan Vian. "Halo, bagaimana kabarmu?" tanya Vian ramah, senyum manisnya membuat Akiko merasa tenang. "Baik," jawab Akiko seadanya, walau dia sedang berbohong. "Bagaimana dengan berkas yang aku berikan? sudah kau baca semua?" tanya Vian. "Sudah, tapi … aku tidak akan ikut pengobatan ini," mendengar jawaban Akiko, tentu Vian terdiam bingung karena pengobatan ini sangat penting bagi kondisi Akiko sekarang. "Kenapa? itu semua demi kebaikanmu, Akiko. Kau bisa memilih Radioterapi jika tidak ingin minum obat-obatan lagi," bujuk Vian. "Aku tau, Kak, tapi rasanya percumah saja. Cepat atau lambat aku pasti akan mati," lirih Akiko membuat hati Vian merasa sakit karena gadis lugu itu begitu pasrah dengan takdirnya. "Tidak ada yang percumah jika kau mau berusaha. Aku tidak ingin kau sakit lagi, Akiko…," bujuk Vian kembali. Namun, hanya ditanggapi dengan senyuman tipis dari Akiko. "Jalani Radioterapi seperti yang aku sarankan, kau tidak boleh pasrah seperti itu," mohon Vian. "Aku sudah mati rasa, aku tidak mau berusaha lagi, aku ingin mati," tegas gadis berambut pendek itu. "Akiko!" geram Vian. "Ada apa denganmu? bukankah waktu itu kau menyetujui pengobatan ini? Lalu kenapa berubah pikiran? Apa masih karena masalah biaya?" "Biar aku yang tanggung semua biayanya, kau cukup berobat saja, ya?" mendengar Vian yang berusaha begitu keras untuk membujuknya, Akiko jadi tersenyum manis. "Kau pria yang sangat baik, Kak, aku harap kau bertemu wanita yang sama-sama baik suatu hari nanti," ucap Akiko. "Aku sudah menemukannya, dia ada di hadapanku sekarang," lirih Vian dalam hati tanpa bisa mengungkapkan langsung di depan Akiko. Beberapa detik kemudian dia memalingkan wajah memerahnya dari Akiko. "Coba pikirkan lagi keputusanmu, aku menunggu jawaban baik darimu jadi datang lagi besok.” Akiko hanya mengangguk menanggapi permintaan Vian, lalu pria itu mengantarkan Akiko sampai naik taksi. Dari sana dia bisa melihat tatapan penuh harap dari Vian yang sedang melambaikan tangan. "Aku tidak akan datang lagi sampai kapanpun, Kak Vian. Aku tidak punya pilihan karena Glen Xander yang akan mengatur hidupku.""Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di depan gedung apartemen. Ternyata pria itu sudah menunggunya karena dia paham bahwa gadis itu pasti tidak tau password apartemen, sementara Akiko berpikir pasti Glen habis memata-matai sehingga bisa tau dia habis menemui laki-laki. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko membuat Glen terkekeh pelan, ia tersenyum menyeringai sambil melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen berpikir mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko, dia bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar itu mengusap pinggulnya secara sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu siapa dia? Kenapa kalian terlihat sangat dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter biasa," jawab Akiko lagi kali ini sambil mencu
"Glen!" teriakan seorang wanita membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan, awalnya mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Ternyata, dialah tamu penting yang dimaksud Glen tadi. Wanita itu memakai make up tebal bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen, padahal sebelumnya mereka hanya kenal sebagai rekan bisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak sehingga tentu membuat Glen geram, apalagi pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja sehingga wanita itu terjatuh ke lantai karena memakai sepatu high heels walau dorongan tidak terlalu kencang "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak pah
"Bagaimana, Akiko? mau pergi atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise, pria tua itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang berpikir putrinya itu mau ikut pulang. "Akiko … Papa ingin minta maaf, Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, aku tidak akan sehancur ini jika papa mengatakan itu sejak dulu. Andai Papa memperlakukan aku layaknya seorang anak, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan bicara begitu, Akiko. Pa
*1 hari yang lalu* "Jadi … kau benar-benar menjual Akiko?" tanya Keinara dengan tatapan tidak percaya. Malam ini Keinara memutuskan untuk pulang dan bertanya soal Akiko pada papanya, tapi papanya justru panik dan tidak mau menjawab kejadian sesungguhnya. Untung saja gadis itu punya ide, yaitu bertanya pada pelayan di rumah itu dengan sogokan uang agar bisa menjawab secara jujur. "Pantas saja Akiko mengatakan bahwa kami tidak akan pernah bertemu lagi," lanjut Keinara. "Jawab aku, Papa," tekan Keinara terus menerus sehingga papanya menjawab dengan anggukan pelan. "Kenapa kau begitu jahat pada Akiko? Kenapa?" "Papa tidak memaksanya, Kei, dia tidak menolak atau melawan permintaan Papa. Artinya, dia tidak masalah dengan semua itu," kata Mr. Eloise enteng. "Dari dulu Akiko memang seperti itu, Pa. Dia tidak melawan karena dia tau hasilnya akan sama saja, yaitu kemarahan Papa yang tidak ada ujungnya. Kenapa tidak aku saja? Kenapa Papa selalu memperlakukan Akiko semena-mena? Dia juga Pu
"Glen, aku minta maaf…," lirih Akiko sambil terus menggedor pintu pelan karena tubuhnya lemas. Untung saja beberapa saat kemudian Glen datang membuka pintu, dia menatap tajam tanpa menyadari bahwa Akiko membawa sweater penuh darah. "Aku minta maaf," ucap Akiko lagi. "Mandi dan temani aku duduk," titah Glen, tapi dia sengaja memasang kakinya saat Akiko melangkah sehingga gadis itu tersandung dan membentur ujung meja yang tajam di bagian dahi. Kepalanya terasa sangat pusing sampai ingin ambruk begitu saja, tetapi tetap dia tahan. Akiko masih berusaha bangkit dan berjalan tertatih menuju kamarnya. Dia mandi dan memakai pakaian panjang seperti biasa, kemudian datang ke ruang santai melihat Glen yang sudah menunggunya. "Kemari," Glen menarik tangan Akiko pelan sehingga gadis itu duduk di pangkuannya. "Aku tidak suka kau bicara dengan laki-laki lain. Kau adalah milikku," ucap Glen, mengusap tangan Akiko lalu menciumnya lembut. "Kenapa tanganmu sangat dingin?" Pertanyaan itu tidak
Suasana semakin genting ketika Harley membujuk Glen untuk bicara dengannya terlebih dahulu, sementara Glen sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menghajar orang-orang di hadapannya. "Jangan pulang dulu, biarkan aku melihatmu lebih lama lagi," pinta Harley sambil pergi karena dia harus menyambut tamu-tamu yang datang. "Glen, ikut aku sebentar," ajak Marlen lalu pergi begitu saja meninggalkan Glen. "Tunggu di sini dan jangan makan apa pun sampai aku kembali," Akiko mengangguk menyahuti perintah Glen. Beberapa menit setelah Glen pergi, Harley datang kembali sambil membawakan minuman. "Siapa namamu?" tanyanya sambil tersenyum manis. "Akiko," jawab Akiko seadanya. "Sudah berapa lama kau kenal dengan putraku?" Akiko menatap Harley sekilas, wanita tua itu terlihat sedang menahan sedih. "Beberapa bulan," jawab Akiko. "Boleh aku minta tolong sesuatu?" tanya Harley. Awalnya Akiko terdiam bingung, dia dilarang bicara pada siapapun sekarang. Namun, gadis itu merasa kasihan p
“Aiko," sapa Glen baru saja selesai mandi, pria itu tampak lebih tampan dengan rambut yang belum sepenuhnya kering. Dengan wangi maskulin, dia mulai mendekati Akiko yang sedang menyiapkan sarapan. Kecupan pagi seperti biasa mendarat di bibir Akiko, bahkan gadis itu sampai heran kenapa Glen bisa menciumnya semudah itu karena Glen termasuk orang yang memiliki gengsi tinggi. Dia tidak akan mungkin mau mencium gadis sembarangan, apalagi status Akiko di sini hanyalah sebagai tawanan. "Kenapa kau bangun sangat pagi? Aku jadi tidak bisa melihat wajahmu saat membuka mata," Glen menyandarkan wajahnya di pundak Akiko sehingga gadis itu mengernyit geli. "Aku selalu bangun di jam yang sama," jawab Akiko, tentu saja dia selalu bangun di jam sama karena sudah menyetel alarm. Gadis berambut pendek itu tidak mau Glen marah hanya karena dia telat menyiapkan sarapan. "Hari ini akan ada tamu penting di kantor, pakailah dress yang bagus," ujar Glen. "Mereka tidak akan mengamati aku," sahut Akiko
Sudah dua minggu sejak Akiko pergi dari apartemen Glen, kini dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di ujung kota. Untung saja kartu ATM miliknya tidak dibekukan oleh Mr. Eloise sehingga bisa bertahan hidup untuk sementara waktu dengan sisa uang yang ada. Kontrakan ini hanya berisi satu kamar tidur, dapur yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar mandi, dan ruang tamu. Benar-benar pas untuk Akiko yang tinggal sendirian, hanya saja dengan harga yang pas-pasan membuat kontrakan ini tidak memiliki penghangat ruangan. Beruntung tidak beruntung, Akiko tidak pernah punya selera makan sehingga pengeluaran menjadi lebih sedikit karena dia hanya kembali makanan Kouma yang paling penting. Akiko menatap anjingnya lama, dia bingung bagaimana nasib Kouma jika suatu hari dia tidak ada. Siapa yang akan mengurusnya? Siapa yang akan menemaninya? “Jika aku mati, kau harus mencari rumah baru. Kau harus punya rumah yang lebih nyaman dan hangat,” ucap Akiko sambil mengusap bulu Kouma. Karena tidak
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.
“Keinara,” panggil Vian, seorang Dokter yang dulu merawat Akiko. Pria itu berjalan mendekati gadis yang tengah duduk di taman kota sambil menunduk dengan wajah sedih. “Vian … adikku sudah meninggal, dia sudah tidak ada,” ucapan Keinara tentu membuat Vian kaget bukan main sebab mereka masih belum bertemu dengan Akiko sekalipun. Keinara memberikan sebuah surat dari rumah sakit yang mengatakan bahwa Akiko Eloise meninggal karena Kanker 1 minggu yang lalu. “1 minggu yang lalu? Kenapa suratnya baru kau dapatkan sekarang?” bingung Vian terus aja menenangkan Keinara. Sebagai Dokter Vian tau sekali kalau surat kabar kematian seseorang pasti langsung dikirim hari itu juga. “Kei, sebenarnya Akiko menitipkan sesuatu padaku waktu terakhir kami bertemu,” Vian mengambil sesuatu dari tas, yaitu ponsel milik Akiko yang sudah dititipkan sejak lama. Gadis itu mengatakan ponsel ini hanya boleh diberikan jika dia sudah tidak ada, jadi Vian rasa inilah akak tu yang tepat. Tanpa basa-basi lagi Keinar
“Dulu aku adalah pria yang tidak punya rasa kemanusiaan, bahkan aku bisa menghabisi nyawa dengan mudah tanpa peduli rasa sakit orang lain. Namun, gadis itu datang dalam hidupku dan mengajarkan tentang bagaimana kehidupan yang sesungguhnya.” “Mungkin ini adalah Karma karena tidak bisa menghargai nyawa orang lain sehingga takdir seolah ingin selalu memisahkanku dengan Aiko. Sekarang aku selalu merasa takut akan kematian, aku selalu takut kehilangan Aiko, aku takut dia merasa sakit, dan aku takut dia pergi. “Rasa takutnya luar biasa sampai dadaku terasa sesak, aku tidak bisa berpikir ataupun tidur dengan nyenyak. Inikah rasa takut yang aku abaikan abaikan dulu? Aku benar-benar tersiksa dengan rasa takut ini, aku ingin Aiko kembali ke pelukanku seperti semula.” *** “Bagaimana keadaannya?” tanya Guston saat baru sampai di rumah sakit. Sudah 5 hari Akiko belum juga sadar, gadis itu seolah terlalu nyaman dalam mimpi dan tidak ingin melihat dunia lagi. “Masih sama,” jawab Glen dengan pa
“Sial! Aku tidak bisa menemukannya,” desis Glen frustasi karena belum juga menemukan keberadaan Akiko, sementara acara perayaan juga hampir selesai. Jika para tamu pergi maka Glen juga tidak bisa bertahan karena Mr. Eloise akan curiga dengan keberadaannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang pelayanan rumah yang kaget karena tidak pernah melihat Glen. Dia pikir Glen adalah tamu pesta yang tidak sengaja masuk ke dalam rumah. “Sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?” tanya Glen langsung pada inti. “Sudah lama, sejak nyonya Hinami masih ada,” jawabnya jujur. “Jadi kau tau soal Aiko? Di mana dia sekarang?” tanya Glen sehingga pelayanan itu terlihat kaget, lalu menjauh perlahan. “Aku tidak tahu—” “Jawab jujur, atau aku akan menembak kepalamu sekarang juga,” ancam pria berambut hitam itu. Awalnya pelayan masih terlihat ragu dan takut, tapi beberapa saat kemudian dia menghela nafas panjang dengan air mata menggenang. “Akhirnya kau datang, Tuan. Aku benar-benar tida
Suara ketukan pintu membuat lamunan Glen pudar. Sudah satu minggu sejak Akiko tidak tinggal di apartemen ini, rasanya sangat lama sampai hidupnya terasa hampa. Akiko memberitahu bahwa dia tidak boleh minum alkohol atau merokok, tapi bukannya lebih sehat kini pria itu terlihat stress dan murung. “Glen, ini Mommy,” ucap Harley dari luar pintu sehingga Glen segera membukanya. “Ada apa, Mom?” tanya Glen penasaran karena tak biasanya Harley datang seperti ini. “Tidak apa, Mommy hanya merindukanmu. Kau tidak pernah datang ke rumah sejak Akiko pindah,” jelas Harley. “Iya,” sahut Glen dengan pasrah lalu duduk di sofa sambil meminum sebotol air. “Kau terlihat lemas, Glen, apa kau sakit?” tanya Harley penasaran melihat wajah putranya yang pucat dengan kantung mata jelas. “Tidak, aku hanya terlalu banyak bekerja,” sahut Glen seadanya. “Bukan begini caranya jika kau ingin menghibur diri supaya tidak merindukan Akiko, kau tidak memperhatikan kesehatanmu sendiri,” ujar Harley. Mendenga
“Akiko,” Mr. Eloise langsung memeluk putrinya ketika baru saja sampai di rumah mewah itu. Glen baru saja sampai dengan hati yang sangat berat karena harus memulangkan gadisnya itu. Namun, Glen ngerasa Akiko akan selalu terluka jika tinggal bersamanya dengan sifat yang masih sangat egois dan kasar. Di posisi lain, Akiko masih terdiam seribu bahasa karena ini pertama kalinya dia dipeluk oleh papanya sendiri. Rasanya aneh, sedih, dan senang sekaligus. “Akhirnya kau kembali,” ucap Mr. Eloise sambil membelai rambut Akiko pelan. “Papa menyetujui permintaan Glen?” tanya Akiko memastikan. “Iya, tentu, Papa sudah berkali-kali bicara dengannya untuk melepaskanmu,” sahutnya. “Tapi … Papa tidak akan mengorbankan Kak Keinara untuk aku, ‘kan?” tanya Akiko lagi. “Aiko, aku sudah melepaskanmu dengan baik. Tidak akan ada lagi riwayat hutang antara aku atau Mr. Eloise, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” jelas Glen. “Kau ataupun kakakmu akan aman, kalian akan tinggal di sini bersama
Gadis itu tertidur lelap dengan tangan yang dingin terus gemetaran, walaupun Glen sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesekali ia terbatuk sambil merintih kesakitan, nafasnya begitu pelan sampai Glen sering memeriksanya karena khawatir. "Suhu tubuhnya naik," bingung Glen melihat Akiko kedinginan, tapi kepalanya panas sampai berkeringat. Dia terus mengusap kepala gadis itu, berusaha memberikan ketenangan agar bisa tidur dengan nyenyak. Namun, beberapa saat kemudian Akiko terbangun dari tidurnya karena terbatuk hebat. "Minumlah," ujar Glen sembari memberikan sebotol air, tapi tenggorokannya terasa begitu sakit saat minum hingga terbatuk kembali. "Kita akan ke rumah sakit nanti," ucap Glen sambil merapikan rambut pendek Akiko, tapi tangannya langsung terhenti ketika melihat banyaknya rambut rontok di sela-sela jarinya. "Jangan sentuh rambutku, tanganmu bisa kotor," ucap Akiko sambil membersihkan tangan Glen, gadis itu masih terlihat sangat tenang walau mati-matian menahan sakit.