Share

Kekejaman [Bab 5]

Penulis: Minkybee
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-11 17:32:41

"Tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang menancap pada perut mama Ethan, lalu membuangnya ke sembarang arah bersamaan dengan tubuh wanita paruh baya yang ambruk dengan darah mengalir di lantai.

"Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen baik dalam perusahaan atau dalam kehidupan pribadi.

"Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun.

"Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Akiko merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Tanpa membuang waktu lagi dia segera menggendong Ethan, padahal tubuhnya sudah sangat sakit akibat dipukul berkali-kali. Namun, dia memiliki sifat baik sehingga masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal.

"Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah? Siapa yang akan menebusnya?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko.

"Sorry," lirih Akiko masih dalam keadaan syok, kemudian Glen menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sementara itu Akiko justru tertidur karena tadi sempat minimal obat yang mengandung efek kantuk, apalagi dia merasa sangat lelah setelah seharian ini beraktivitas.

Glen melirik Akiko yang sudah terlelap tidur dengan Ethan di pangkuannya. Rahangnya mengeras emosi, entah kenapa dia tidak suka melihat Akiko pendiam, mengalah, dan menyedihkan seperti ini.

"Bodoh, kau tidak akan bisa menang jika hanya diam saja."

***

Akiko mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk, lalu beberapa detik kemudian gadis itu refleks terbangun kaget saat menyadari bagaimana kondisinya sekarang. Apa dia sudah tidur semalaman? Apa yang terjadi tadi? Berbagai pertanyaan memutar di kepalanya.

Akiko berjalan sempoyongan, tubuhnya terasa sakit karena tidur di alas yang tipis di lantai dengan udara yang dingin tanpa penghangat ruangan. Baru beberapa langkah berjalan, dia langsung terdiam karena kakinya terasa sangat perih, bahkan sampai terasa panas seperti terkena benda tajam. Lalu gadis itu terbelalak kaget saat melihat ke telapak kakinya.

"Kenapa ini?" Ia mengelap darah yang menetes dari goresan-goresan di telapak kaki, lalu perhatiannya kembali teralihkan oleh teriakan seorang anak.

"Aarrgghh!" Akiko mengedarkan pandangan, mencari dari mana sumber suara teriakan itu.

"Ethan…," gumamnya saat sadar bahwa dia masih bertanggung jawab atas Ethan.

Dengan menahan sakit, Akiko berlari ke arah suara yang ternyata berasal dari sebuah ruangan kosong nan gelap. Nafas Akiko tercekat melihat Ethan diikat di sebuah kursi dengan tubuh penuh lebam dan goresan, lalu dia mengalihkan pandangan pada seorang pria yang duduk di antara kegelapan, yaitu Glen.

"What are you doing?" gumamnya sambil mendekati Ethan yang sudah menangis sejadi-jadinya. Akiko berusaha membuka tali Ethan, tapi Glen tiba-tiba datang dan mencambuk punggungnya sehingga gadis itu menahan rasa perih dan panas yang luar biasa.

"Siapa yang memperbolehkan keluar dari kamar?" pria itu memasang tatapan menyeringai, kemudian kembali mencambuk Akiko beberapa kali saat gadis itu memeluk Ethan erat-erat.

"Jangan lukai Kakak! Jangan lukai Ka—"

"Diam! Kau pikir, kau ini siapa?" bentak Glen dengan suara baritonnya sehingga Ethan sontak terdiam. Pria itu mengalihkan pandangan pada Akiko yang sedang meremas pakaiannya sendiri untuk menahan sakit.

"Sepertinya luka di kakimu itu tidak cukup untuk membuatmu diam, hah?" Glen mencengkram rambut pendek Akiko sampai gadis itu mendongakkan kepala.

Akiko kaget mengetahui fakta bahwa ternyata Glen adalah orang yang telah mengiris-iris telapak kakinya, dia benar-benar tidak menyangka kalau Glen lebih gila dari dugaannya. Hal tersebut membuat Akiko berpikir kalau pria di depannya ini pasti bukan orang normal.

Bisa dilihat dari cara Glen memainkan pisau dan senjata, Akiko ingat betul bagaimana ekspresi datarnya saat membunuh mama Ethan kemarin. Raut wajahnya seolah terbiasa melakukan hal-hal keji dengan bebas.

"Aiko … sebaiknya jaga sikapmu karena aku bukan orang baik-baik," geram Glen. Kemudian dia pergi meninggalkan Akiko dan Ethan begitu saja, sementara gadis berambut pendek itu terdiam ketika mengingat bahwa tidak ada jaminan bahwa dia akan aman bersama Glen dalam kontrak.

"Kakak," panggil Ethan dengan suara gemetaran.

"I'm sorry … i'm sorry, Ethan," lirih Akiko merasa begitu bersalah pada Ethan. Dia sudah disiksa oleh orang tuanya sebelum ini, ditambah oleh kekejaman Glen. Akhirnya, Akiko beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya dan Ethan. Ini bukan apartemennya jadi dia tidak tau di mana letak kotak obat sehingga hanya dia bersihkan seadanya saja dengan air.

"Ethan, dengarkan aku. Kau tidak boleh bersamaku terus, okay? Apartemen ini milik Glen, dia bisa melakukan apapun yang dia mau jadi aku akan mengantarmu ke tempat yang lebih aman saja," jelas Akiko sembari menangkup wajah mungil Ethan.

Anak itu mengangguk pelan, walaupun aslinya berat hati berpisah dengan Akiko. Namun, mengingat bagaimana kejamnya pemilik apartemen ini membuat nyalinya jadi menyusut. Apartemen ini seperti sarang monster, Ethan bisa habis kapan saja di tangan Glen.

"Ayo," ajak Akiko, lalu bergegas keluar dari apartemen sebelum Glen sadar.

Akiko berencana menempatkan Ethan di penitipan anak saja, jika ada keluarga besar Ethan yang merasa kehilangan maka mereka bisa menjemput Ethan atau menghubungi Akiko lewat nomor yang dicatat. Walau dia harus mengeluarkan biaya besar untuk Ethan, tetapi setidaknya dia merasa lega kalau Ethan aman.

"Kakak, apa kau akan baik-baik saja?" tanya Ethan khawatir akan nasib Akiko di tangan Glen. Gadis itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, lalu memeluk Ethan sebagai salam perpisahan.

Sebelum kembali ke apartemen Glen, Akiko memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit besar ingin menemui seseorang yang pasti sudah menunggunya dari kemarin. Dia adalah Vian, pria berstatus dokter itu kerap menanyakan kabar Akiko lewat pesan.

"Kak," panggilnya saat memasuki ruangan Vian.

"Halo, bagaimana kabarmu?" tanya Vian ramah, senyum manisnya membuat Akiko merasa tenang.

"Baik," jawab Akiko seadanya, walau dia sedang berbohong.

"Bagaimana dengan berkas yang aku berikan? sudah kau baca semua?" tanya Vian.

"Sudah, tapi … aku tidak akan ikut pengobatan ini," mendengar jawaban Akiko, tentu Vian terdiam bingung karena pengobatan ini sangat penting bagi kondisi Akiko sekarang.

"Kenapa? itu semua demi kebaikanmu, Akiko. Kau bisa memilih Radioterapi jika tidak ingin minum obat-obatan lagi," bujuk Vian.

"Aku tau, Kak, tapi rasanya percumah saja. Cepat atau lambat aku pasti akan mati," lirih Akiko membuat hati Vian merasa sakit karena gadis lugu itu begitu pasrah dengan takdirnya.

"Tidak ada yang percumah jika kau mau berusaha. Aku tidak ingin kau sakit lagi, Akiko…," bujuk Vian kembali. Namun, hanya ditanggapi dengan senyuman tipis dari Akiko.

"Jalani Radioterapi seperti yang aku sarankan, kau tidak boleh pasrah seperti itu," mohon Vian.

"Aku sudah mati rasa, aku tidak mau berusaha lagi, aku ingin mati," tegas gadis berambut pendek itu.

"Akiko!" geram Vian. "Ada apa denganmu? bukankah waktu itu kau menyetujui pengobatan ini? Lalu kenapa berubah pikiran? Apa masih karena masalah biaya?"

"Biar aku yang tanggung semua biayanya, kau cukup berobat saja, ya?" mendengar Vian yang berusaha begitu keras untuk membujuknya, Akiko jadi tersenyum manis.

"Kau pria yang sangat baik, Kak, aku harap kau bertemu wanita yang sama-sama baik suatu hari nanti," ucap Akiko.

"Aku sudah menemukannya, dia ada di hadapanku sekarang," lirih Vian dalam hati tanpa bisa mengungkapkan langsung di depan Akiko. Beberapa detik kemudian dia memalingkan wajah memerahnya dari Akiko.

"Coba pikirkan lagi keputusanmu, aku menunggu jawaban baik darimu jadi datang lagi besok.” Akiko hanya mengangguk menanggapi permintaan Vian, lalu pria itu mengantarkan Akiko sampai naik taksi. Dari sana dia bisa melihat tatapan penuh harap dari Vian yang sedang melambaikan tangan.

"Aku tidak akan datang lagi sampai kapanpun, Kak Vian. Aku tidak punya pilihan karena Glen Xander yang akan mengatur hidupku."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Milik Tuan Mafia   Janji [Bab 50]

    Di sebuah gedung besar, acara pernikahan Glen dan Akiko sedang dilakukan. Pernikahan ini tentu dilakukan secara privat, hanya ada keluarga dan beberapa tamu rekan kerja saja. Namun, semua orang mengatakan bahwa pernikahan ini adalah pernikahan paling mewah yang pernah mereka lihat. Dengan nuansa dekorasi warna putih, aula pernikahan kini terasa sangat indah. Lagu lagu dimainkan langsung oleh musisi profesional dengan gaya classic nan elegan.Sebenarnya, Akiko tidak membayangkan bahwa acaranya akan semewah ini karena dia tahu Glen kurang suka sesuatu yang heboh. Namun, atas bujukan dari keluarganya Glen jadi berpikir bahwa pernikahan ini memang harus dirayakan semewah mungkin. “Kau gugup?” tanya Guston, Papa Akiko. “Tentu, jantungku terus berdetak kencang sejak tadi,” sahut Akiko yang masih berada di ruang rias, sementara Glen sudah terlebih dahulu ke aula untuk menyapa tamu. “Bukankah Glen bilang tidak akan terlalu mewah?” tanya Akiko. “Iya, beberapa waktu lalu dia ingin acara yan

  • Gadis Milik Tuan Mafia   Menemukan Kebahagiaan [Bab 49]

    “Bagaimana bisa… bagaimana bisa kau masih hidup?” tanya Keinara masih sambil terus mengamati wajah Akiko. Tangannya bergetar hemat, air matanya turun seolah masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Akiko, adiknya yang dia ketahuilah sudah meninggal 5 tahun yang lalu kini berdiri di hadapannya. Akiko ingin sekali mengelak pertanyaan itu, tapi mana mungkin Keinara percaya setelah melihat Glen.“Bicaralah, kau Adikku, ‘kan?” tanyanya lagi.“Iya, ini aku,” jawab Akiko pasrah. Mendengar suara lembut yang selalu dia rindukan membuat tangis Keinara semakin pecah, lalu memeluk Akiko dengan sangat erat. “Kau baik-baik saja? Oh… lihatlah dirimu, kau sangat cantik. Kenapa kau menghilang begitu saja?” tanya Keinara sembari mengusap wajah Akiko. “Aku pergi berobat,” jawab Akiko seadanya. “Tapi aku mendapatkan surat dari rumah sakit bahwa kau sudah meninggal, aku juga mengunjungi Makam atas nama Akiko. Apakah semua itu…,” ucapan Keinara menggantung ketika mengalihkan pandangannya pada Glen.

  • Gadis Milik Tuan Mafia   Nortalgia [Bab 48]

    “Kau memang tidak tau diri, Akiko. Glen sudah menanggung hidupmu selama bertahun-tahun untuk berobat dan mencukupi semua kebutuhanmu, tapi kau tidak bisa memberikan apapun?” pertanyaan dari Eva membuat Akiko terdiam sambil mengamati langkah wanita itu yang semakin mendekati Glen di ranjang. “Glen memang terlalu baik, dia tidak tahu kalau selama ini kau hanya memanfaatkan dia,” lanjut Eva. “Aku tidak memanfaatkan dia,” tegas Akiko menolak. “Lalu? Apa yang bisa kau lakukan untuk membalas semua kebaikannya? Jika kau sudah dewasa pasti kau paham maksudku,” Eva menatap Glen dengan penuh gairah sembari naik ke atas ranjang di mana Glen berbaring sambil memegangi kepalanya yang pusing. “Oh… Glen, dari pada kau bersama Akiko yang tidak bisa apa apa, lebih baik bersamaku saja. Aku bisa memberikan kenikmatan yang tiada tara,” bisik Eva. Dokter perempuan itu mengusap wajah Glen, tersenyum puas karena akhirnya bisa menyentuh Glen. Bahkan dia bisa merasakan deru nafas pria yang menjadi idamann

  • Gadis Milik Tuan Mafia   Bersaing [Bab 47]

    “Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i

  • Gadis Milik Tuan Mafia   Mengambil Hati [Bab 46]

    “Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa

  • Gadis Milik Tuan Mafia   Masa Yang Terlewat [Bab 45]

    Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status