Sahara dan Rini berpisah hari itu dengan bekal kata-kata, “kita akan menyimpan cerita ini selamanya tanpa diketahui para pria itu.” Menjelang siang Sahara semakin meriang dan pergi meringkuk ke bawah selimutnya. "Kurasa kalau aku enggak tahu hasil test pack itu, aku enggak akan meriang.” Sahara menggerutu di bawah selimut. Belum pukul delapan malam, tapi Sahara sudah berganti dengan satu stel piyama lengan panjang. Clara memanggil Sahara untuk makan malam dan wanita itu menolaknya dari balik pintu kamar. Hingga Gustika meminta Clara membawa nampan makan malam lengkap dan meletakkannya di meja. Perubahan sikap Sahara yang begitu mendadak membuat Gustika berpikir akan satu hal yang pasti. “Kenapa baru pulang jam segini?” tanya Gustika pada Roy yang baru tiba malam itu. Roy menarik satu kursi di ruang makan dan duduk di sebelah ibunya. “Ada perizinan proyek yang bermasalah dan kurasa besok aku akan memecat salah satu subkontraktor. Banyak yang bekerja tidak becus tapi mau digaji bagus
“Miss, bisa tanyakan ke Pak Novan di mana suamiku? Terus tanya juga lagi ngapain. Kalau perlu tolong kirim foto. Lakukan diam-diam jangan sampai ketahuan. Dan Miss jangan bilang kalau aku yang minta. Ayo, cepat. Aku tunggu di sini.” Sahara menarik salah satu kursi ruang makan di gedung tempat tinggal para pegawai. “Kamu jauh-jauh ke sini cuma mau minta itu?” tanya Rini, mematikan kompor listrik tempat ia membuat sup ayam untuk putranya. Sahara mengangguk, menopangkan tangan di dagu dan memutar-mutar ponselnya di meja makan. “Memangnya kenapa ponselmu? Enggak bisa dipakai menghubungi Pak Roy?” Rini melepas apron yang dikenakannya seraya berjalan menuju meja makan. “Aku sedang ngambek. Malas menjawab pesan suamiku tapi aku penasaran dia di mana. Udah hampir tiga bulan enggak ada kabar dengan hubungan Herbert dan Letta. Sepertinya kali ini pimpinan kalian enggak bisa menembus pertahanan Herbert. Pria itu benar-benar misterius. Kukira selama ini Presdir-nya yang misterius. Roy terkala
Beberapa saat sebelum Roy tiba di rumah. Hari sudah malam saat dia dan Novan meninggalkan hotel bintang lima yang dijadikan pilihan klien dari Australia untuk menginap. “Aku kira hanya aku yang bertingkah hanya soal menginap. Klien barusan ternyata lebih menggelikan. Hanya mau menginap di jaringan hotel internasional.” Roy terkekeh-kekeh seraya menggeleng. Novan ikut tertawa sumbang. Baru saja secara tidak langsung Roy mengakui bahwa dirinya sendiri menggelikan. “Apa tadi Rini ada mengirim pesan?” tebak Roy. Saat bicara di lounge hotel, dia melihat Novan mengetik pesan sambil melirik ke arahnya. Ditambah lagi dengan Novan yang mengarahkan kamera ponselnya diam-diam. Jelas sekali asistennya itu sedang melaporkan sesuatu pada istrinya. “Seperti biasa, Sir. Istri Anda berkeliaran sampai ke gedung belakang untuk mengisi waktu luang. Semoga tidak ada masalah dengan foto yang saya kirim tadi. Istri Anda pasti memperbesar foto sampai maksimal. Soalnya wanita penerjemah tadi terlihat ter
“Tak mau menyentuhku malam ini?” tanya Roy, menekan bokong Sahara saat merangkak di atas wanita itu. “Enggak…enggak. Aku lagi enggak mau menyentuh. Penjelasanmu kurang memuaskan, Pak Roy. Apa benar wanita tadi melirikmu? Yang berambut pirang. Aku kenal sorot mata itu. Itu sorot mata wanita yang menginginkan sesuatu. Dia sedang bernafsu melihatmu. Benar, kan?” tanya Sahara. Roy tergelak seraya menepuk bantalnya sebelum berbaring menghadap Sahara. Bagian kepala mereka sejajar dan mereka saling menatap dengan satu tangan terselip di bawah bantal. “Memangnya sorot mata semacam apa?” tanya Roy, memuaskan diri menatap Sahara yang pipinya sudah kembali terlihat berisi. “Aku tidak memperhatikan soal wanita itu. Aku sudah cukup tua dan tahu diri. Masih banyak pria muda menawan di luar sana. Buat apa dia memandangku,” ucap Roy merendahkan suara. “Buat apa?” lirih Sahara. “Guratan ini ….” Sahara mengusap dahi Roy dengan telunjuknya. “Kukira guratan ini bukan membuatmu tampak jelek. Karena ku
“Apa hari ini Herbert sudah masuk ke kantor?” tanya Roy saat baru saja menghempaskan tubuhnya di jok belakang. “Sepertinya belum, Sir. Kalau tidak salah dia baru masuk ke kantor besok. Saya dengar orang tuanya sudah lebih baik,” jawab Novan dari balik kemudi. “Hmmm…orang tua Herbert sudah pulih. Tapi apa yang pernah kutanyakan seperti berlalu begitu saja di telinganya,” gumam Roy. “Soal hubungannya dengan Letta? Saya rasa Letta masih bimbang. Herbert juga mungkin masih memikirkan keluarganya. Bagi sebagian orang menikah itu tidak bisa buru-buru di suatu pagi.” Novan meringis. Sedetik kemudian dia mengatupkan mulut karena melihat tatapan tajam Roy dari pantulan spion. “Keluarga? Oke. Aku akan memanggil Letta ke ruangan.” “Apa ini masih tentang…meminta mereka menikah?” tanya Novan. Roy tak menjawab, hanya mengangkat bahu sambil menggulir ponselnya. Letta terlihat baru saja tiba di mejanya. Wanita itu langsung menunduk menekan saklar di kaki meja untuk menyalakan komputer. “Letta,
Setelah Roy mengatakan kalau tidak akan mempekerjakan seorang wanita berstatus single sebagai sekretarisnya, Letta segera mengontak Herbert. “Aku enggak sangka kalau Pak Roy bakal bicara begitu. Bukannya mau berprasangka buruk. Tapi…kurasa ini cuma akal-akalannya aja. Apa aku harus ngomong kalau semua wanita pasti ingin menikah? Walau satu dua mengatakan tidak mau karena trauma atau apalah, tapi sebagian besar ingin menikah. Aku juga begitu. Tapi enggak sekarang. Aku masih….” “Masih mengingat masa lalu sejelas melihat matahari pagi?” potong Herbert melalui pembicaraan telepon. “Jangan berpikir soal itu. Kamu juga masih memikirkan soal keluargamu. Kita sama. Pilihan kita untuk menjalin hubungan dengan santai bukan tanpa alasan. Kita masih-masing perlu waktu.” “Aku juga sudah mengatakan berulang kali kalau jangan pikirkan soal keluargaku. Semuanya baik-baik aja. Kamu tahu sendiri kalau ayahku sudah sehat dan dua adikku sudah mendapat pekerjaan tetap. Tugasku mengantar mereka sampai
“Ya, Evelyn. Ada apa, Sir? Apa perusahaan itu pernah bermasalah dengan The Smith’s Project? Tapi sepertinya perusahaan ini sudah beberapa tahun berdiri dan cukup sukses. Itu sebabnya profil perusahaan mereka ditemukan dengan mudah.” Novan kembali mengecek nama perusahaan yang baru saja dihubunginya untuk mereka rekrut. “Tidak apa-apa. Mungkin hanya kebetulan,” gumam Roy. Nama itu memang memang mengingatkannya pada seseorang yang rasanya memang tak pernah dia ingat. “Pesan saya langsung dibalas,” Novan memandang Roy, “Sepertinya urusanmu dipermudah, Herb. Pemilik wedding planner ini sebentar lagi akan menemui kita di sini. Ibu Evelyn akan datang bersama asistennya,” jelas Novan. “Makasih, Pak,” ucap Herbert pada Novan dengan nada lemah. Jelas tersirat bahwa dia sendiri belum yakin dengan urusannya sendiri. Pikiran Roy sedang berada di rumah. Memperhatikan layar ponselnya yang menunjukkan suasana ruang makan. Bibirnya menyungging senyum melihat Sahara duduk bersimpuh di lantai mengg
“Kita ke toko bunga,” pinta Roy pada Novan.“Apa Anda mengenal Ibu Evelyn tadi, Sir?” tanya Novan dari belakang kemudi. “Tidak,” jawab Roy.“Mmmm…aneh. Saya mendengar dia mengatakan sesuatu seakan pernah mengenal Anda sebelumnya.”“Apa itu?” tanya Roy.“Sepertinya begini, ‘Dasar munafik. Bicaranya dulu seperti nggak akan menikah sampai mati’. Maaf, Sir.” Novan melirik Roy dari spion tengah.“Mungkin dia mengenalku, tapi aku tidak,” tegas Roy. Hal yang sangat tidak penting untuk dibahas, pikir Roy.“Baik,” sahut Novan tak mau mencari tahu lebih banyak lagi. Nada suara Roy sudah menjelaskan semua. Atasannya itu kenal dengan Evelyn tapi tidak mau membahas wanita itu.Sebuah toko bunga mungil yang terletak di ujung jalan sebelum pintu tol adalah langganan Roy. Alasannya karena toko bunga itu selalu memiliki persediaan bunga baby’s breath segar dalam jumlah banyak dan juga satu alasan sentimentil lain yang Roy tak mau jika diketahui banyak orang.“Sudah sampai, Sir. Apa saya saja yang tur