Sahara masuk ruangan dengan pakaian utuh di tubuhnya. Walau tetap sangat minim, setidaknya wanita muda itu tak lagi telanjang bulat seperti di panggung tadi.
Rok pendek berkilap dengan butiran manik yang ukurannya hanya sejengkal menutupi bagian bawah tubuhnya. Sedangkan bagian atas, dadanya juga tertutup semacam bra bercorak senada. Gemerlap dan memiliki asesoris mengkilap di bawah minimnya cahaya ruangan.
Dan sepertinya, itu adalah seragam yang diberikan club. Karena Inke masuk dengan pakaian yang nyaris serupa. Hanya berbeda model sedikit.
Inke masuk ke ruangan dengan tatapan antusias dan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tapi, ketika melihat Roy memandang Sahara terus menerus, Inke mengurangi senyum di wajahnya.
“Seperti biasa, Miss?” tanya Sahara pada Nancy.
“Tunggu instruksi, Ra.” Nancy merapatkan giginya. Kesal kenapa dari sekian banyak gadis penari, tamu di sebelahnya malah memilih gadis keras kepala seperti Sahara.
“Oh, oke.” Sahara menjawab pelan sekali. Dia berdiri dengan kedua tangannya menyatu di depan.
Roy mengalihkan tatapannya pada Inke. Rambut lurus hitam legam dengan kulit kuning langsat dan tingginya hanya sebatas telinga Sahara. Pinggul dan pahanya menarik perhatian Roy selama penampilan gadis itu di pentas. Terutama keberaniannya.
“Yang ini namanya Inke. Cukup berpengalaman,” tukas Nancy, mengangkat gelas dan menyesap cocktail-nya.
Roy mencoba menatap mata Inke lebih lama. Dan seperti wanita lain yang pernah dia temui, Inke memberinya isyarat khusus. Gadis penari itu mengigit bibir bawahnya dengan gesture menggoda. Tak ada bedanya, pikir Roy.
Lalu, Roy memindahkan tatapannya pada wanita berambut sebahu. Wanita muda yang dicarinya.
“Nama kamu siapa?” tanya Roy dengan suaranya yang dalam. Suara yang belasan tahun ini jarang ia gunakan untuk berbasa-basi dengan wanita.
“Sahara,” ucap wanita itu, menatap tajam ke arah Roy.
Roy memakukan pandangannya pada Sahara. Menatap wanita muda itu dari atas ke bawah tanpa menggerakkan kepalanya sedikit pun. Sahara terlihat gelisah. Memindahkan tumpuan kakinya berkali-kali, dan menunduk untuk mengecek pakaiannya yang minim. Wanita itu mengartikan bahwa Roy melihat hal yang salah dengan tampilannya.
“Maaf, ada yang salah?” tanya Sahara akhirnya. Wajahnya terlihat kesal karena Roy terus memandanginya.
“Rara,” tegur Nancy, merapatkan mulutnya memandang tajam pada Sahara.
Roy menarik senyum tipis di bibirnya. Ternyata gadis kecil pemberani itu tak berubah. Roy menoleh pada Nancy yang duduk berjarak semeter darinya. Dia tahu benar saat ini Sahara mati-matian mengumpulkan uang untuk membayar biaya pengobatan pengasuh yang merawatnya bagai anak sendiri sejak kecil. Roy tak menyangka ada sifat belas kasih yang mengalir dalam keturunan keluarga Spencer. Karena Sahara bisa saja meninggalkan wanita itu dan hidup bebas memikirkan dirinya sendiri. Gadis penari di depannya itu, tak perlu balas budi.
“Anda bisa meninggalkan saya sendirian,” ucap Roy setengah memerintah pada Nancy.
Nancy sedikit terkejut mendengar perkataan Roy. Biasanya tamu akan memintanya berada di ruangan lebih lama untuk ditemani minum sambil menonton pertunjukan yang lebih privat. Dia kembali mengangkat gelas cocktail dan meneguknya sedikit lebih banyak.
“Baiklah, aku permisi. Selamat menikmati pertunjukan. Gadis-gadisku pasti apa yang harus mereka lakukan.” Nancy bangkit dan memutari meja kecil di depannya. Dia mengedipkan mata saat sekilas memandang Inke, lalu meninggalkan ruangan.
“Maaf, Anda mau kami langsung memulai?” tanya Inke.
Roy mengangguk.
Inke melirik Sahara yang berdiri di sebelah dinding dengan telepon ekstensi. Mengerti dengan hal yang dimaksudkan rekannya, Sahara mengangkat telepon dan menghubungi operator. Satu menit setelah Sahara meletakkan telepon, lagu Boy Toy yang dinyanyikan Marisa Maino mengalun di ruangan temaram.
Musik itu tak menghentak seperti di ruang pertunjukan utama tadi. Penyanyi wanita yang mendesah dan lirik lagu yang penuh arti, cukup merepresentasikan akan sesensual apa tarian dua gadis itu.
Kesan tak menyukai apa yang dilakukannya, terlihat di kilatan mata Sahara saat gadis itu menatap Roy. Meski begitu, Sahara tetap profesional. Gadis itu sudah bergerak ke tengah, mencengkeram tiang besi yang dilakukan tiap penari jika mengadakan pertunjukan utama. Sahara sudah meliuk mengikuti musik.
Lantunan musik baru satu menit, Inke sudah mulai meraba pengait penutup dadanya. Saat berhasil melepaskan atasannya, Inke mencampakkan potongan pakaian itu ke pangkuan Roy. Inke mendekap tiang besi dan menggesekkan dadanya di sana.
Sahara melirik Inke yang lebih agresif dari biasanya. Sepertinya seniornya itu menyukai pria yang duduk menyilangkan kaki di depan mereka. Sahara mengenali pria yang saat pertunjukan di ruang utama tadi duduk di barisan terdepan bersama seorang pria lain.
Pria yang tampan dan penuh kharisma. Tapi, Sahara tak menyukai caranya memandang. Terlalu dingin dan penuh ancaman. Sorot mata pria yang tak bisa dipercaya. Lagi-lagi, pria kaya yang membiarkan anak-istrinya di rumah demi bisa menikmati hiburan melihat wanita telanjang. Walau kaya dan tampan, sikap seorang gentleman tetap amat penting baginya.
“Kamu,” ucap Roy, menunjuk Inke. “Ke sini! Saya mau kamu melayani dari dekat. Dan bilang ke rekanmu, jangan mengulur waktu untuk melepaskan pakaiannya. Saya sudah membayar sangat mahal untuk ini,” ketus Roy.
To Be Continued
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu