Pagi harinya, bu Tuti sudah sibuk menyiangi sayuran, untuk membuat pecel seperti biasanya.
Perempuan paruh baya itu, jadi teringat dengan putrinya, biasanya Kanaya lah yang akan membantunya membersihkan sayuran, dan mengulek bumbu kacangnya.Lagi-lagi netra nya mulai berair, teringat dengan putrinya itu.'Aku tidak boleh menangisinya, aku harus kuat' gumam bu Tuti lirih.Slamet suaminya masih belum bangun, seperti biasanya, lelaki itu akan bangun ketika matahari sudah tepat berada di atas kepala.Bayu juga baru saja selesai menyapu halaman rumah, yang selalu kotor, karena guguran daun pohon nangka dan rambutan, yang tumbuh rindang di pekarangan nya."Mandi dulu Le, setelah itu sarapan" perintah bu Tuti, kepada putranya itu.Tanpa menjawab, bocah lelaki berusia 9 tahun itu, segera meraih handuk yang tergantung di dekat kamar mandi, dan langsung masuk untuk mandi.Setelah selesai mengenakan seragam sekolah nya, anak itu segera memakan sarapan nasi goreng dengan telur ceplok kesukaannya, yang telah di siapkan oleh sang ibu di meja makan, dengan sangat lahap."Alon-alon Le, takut tersedak nanti" peringat bu Tuti, saat melihat putranya, makan dengan sangat cepat. "Iya Buk, soalnya Bayu ada piket di sekolah, jadi harus cepat" jawab anak itu meringis."Ini sangu mu ya" ucap bu Tuti, meletakkan uang lima ribuan di meja."Tidak usah Buk, uangnya di tabung saja, buat mbak Kanaya" jawab Bayu, menolak uang saku dari ibunya."Terus nanti kalau pingin jajan atau kamu haus di sekolah gimana?" tanya bu Tuti, memandang haru putranya."Ini Bayu sudah bawa minum" jawab bocah lelaki bertubuh sedikit kurus itu, menunjukkan botol minumannya, kepada sang ibu."Bawa saja uangnya Le, kalau memang mau nabung, kamu tabung sendiri ya" ujar bu Tuti, tetap memberikan jatah uang saku itu kepada putranya. Tak mau membantah perkataan sang ibu, Bayu pun kemudian segera mengambil uangnya, dan memasukkan ke dalam kantong celananya."Bayu berangkat ya Bu, Assalamualaikum" pamit nya."Waalaikumussalam.." jawab bu Tuti, setelah memberikan tangannya, untuk di cium oleh putranya itu.Tepat pukul setengah delapan, bu Tuti sudah siap menjajakan nasi pecel nya dengan bakul dari anyaman bambu, yang dia gendong dengan jarit batik lusuh, di punggungnya. Bu Tuti akan berjalan kaki, keliling desa, bahkan sampai keluar dari desanya, jika dagangan pecel nya sedang sepi.Dengan suara khasnya, bu Tuti berteriak menjajakan dagangannya, setiap melewati rumah warga."Pecel Yu!!!" teriak bu Tuti, saat melihat segerombolan ibu-ibu yang sedang asyik duduk-duduk sambil saling mencari kutu, di rumah bu Karin. "Eh, iya Yu Tuti, sini... Kebetulan aku belum sarapan, sengaja nungguin sampean" jawab salah satu ibu-ibu itu.Dengan menyunggingkan senyum ramahnya, bu Tuti segera menghampiri gerombolan ibu-ibu itu. "Peyek nya ada ndak Bu Tuti?" tanya bu Karin, sang pemilik rumah."Ada Bu Karin, ini ada peyek kacang, sama peyek daun singkong juga" jawab bu Tuti, mengeluarkan stok peyek, dari kantong plastik yang ada di tangannya."Wah, mantap ini, aku pecel tanpa nasi sama peyek daun singkong dua bungkus" ucap bu Karin, tampak senang."Aku pakek nasi Tut, biasa sego pincuk" ucap Yu Darmo, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga saja, karena suaminya cukup kaya di daerah itu. "Nggih Yu, sebentar ya" Akhirnya ibu-ibu itu pun satu persatu memesan pecel buatan bu Tuti, yang memang terkenal enak itu.Alhamdulillah... gumam bu Tuti, saat melihat dagangannya laris.Setelah selesai melayani para pembelinya, dia segera melanjutkan perjalanannya untuk berdagang."Kasihan si Tuti ya" ucap Yu Darmo, sambil menikmati pecelnya. "La kenangopo to Yu? kok kasihan?" tanya bu Rumi, yang memang jarang keluar rumah, karena biasanya sibuk mengolah keripik singkong di rumahnya."Ya gak kasihan gimana, punya suami hutangnya tumpukan, sudah gitu hobinya judi, sama mabuk-mabukan" ucap perempuan yang rambutnya sudah mulai memutih itu, menjelaskan."Ooh, makanya bu Tuti setiap hari harus keliling buat jualan pecel seperti itu ya?" gumam bu Karin, tampak iba."Ya memang gendeng, itu si Slamet, makanya ibu-ibu, di jaga suaminya, jangan sampai dekat sama Juragan Gito itu. Slamet seperti itu kan, semenjak sering ikut sama juragan Gito!" ungkap Yu Darmo lagi.Ibu-ibu itu tampak mengangguk angguk mengerti...****BersambungKanaya akhirnya mendapatkan sebuah tempat kost yang berjarak sekitar 10 menit saja jika berjalan kaki, dari kampus di tempat itu. Tempat kostnya sederhana, hanya terdiri kamar yang berderet-deret memanjang, sekitar 50 kamar single.Kamar berukuran kecil itu, hanya ada kasur busa tipis di dalamnya, dengan sebuah lemari plastik susun 3 baris."Perbulannya 350rb ya dek Kanaya, semoga dek Kanaya betah di sini" ucap Rani sembari tersenyum."Terimakasih Mbak .." jawab Kanaya."Ya sudah, Mbak ndak bisa lama-lama, soalnya setelah ini mau masuk" ucap Rani, berpamitan."Ya Mbak, sekali lagi terima kasih" ucap Kanaya, tulus.Setelah kepergian Rani, Kanaya segera membereskan barang bawaannya.Untuk satu bulan ini, dia bisa tenang, karena sudah membayar sewa kost nya.Dia hitung kembali lembaran-lembaran lusuh, yang di bawakan ibunya tadi malam, sebagai bekal hidupnya, di tempat asing ini."Dua juta lima ratus, kira-kira untuk mendaftar kuliah, habisnya berapa ya??" gumamnya, sambil memandangi t
"Jadi paling tidak harus punya 7 juta ya, untuk daftar dan lain-lainnya?" ulang Kanaya, kepada seorang perempuan muda, bernama Wati, yang kuliah di semester 3 dan juga penghuni kosan itu.Perempuan itu mengangguk."Tidak hanya itu saja lo Nay, waktu kerjakan tugas, dan yang lainnya, itu satu bulannya, aku bisa habis 3 jutaan, itu pun aku sudah super ngirit" ucap Wati, teman baru Kanaya, di kosan.Kanaya tampak terdiam, uang yang sekarang ada di tangannya, takkan cukup untuk membayar, bahkan untuk uang pangkalnya sekalipun."Kalau mau ajukan beasiswa bagaimana Mbak caranya?"tanya Kanaya, menatap ragu, wajah lawan bicaranya."Bisa saja sih Nay, tapi tidak akan semudah itu. Kebanyakan, orang yang ambil beasiswa, ada orang dalam yang membantu, atau dari pihak gurunya dulu, waktu masih di sekolah. Kamu kira-kira ada tidak, orang yang bisa kamu pintai tolong?" tanya perempuan itu lagi, sambil menyampirkan handuk, di pundaknya, bersiap untuk ambil antri mandi. Kanaya menggeleng lemah, "Tid
"Ya mau bagaimana lagi! makanya kamu suruh pulang itu, si Kanaya! supaya kita bisa terbebas dari jerat hutang ini." ucap Pak Slamet, dengan wajah memerah, karena masih sangat marah."Pokoknya aku tidak rela, rumahku ini menjadi pembayar hutang-hutangmu Kang!! jangan pernah libatkan kami, itu semua adalah hutangmu sendiri, bukan hutang kami!!" seru bu Tuti, dengan dada kembang kempis, menahan murka. Sungguh dirinya telah kecolongan, rupanya suami pemabuknya itu, telah menjadikan rumahnya, sebagai jaminan."Dimana sekarang surat rumah ini Kang??" tanya bu Tuti, menarik pakaian suaminya."Hhhss minggir! surat itu sudah ada di tangan juragan Gito. Makanya, kalau tidak mau kehilangan rumah ini, cepat kamu suruh pulang si Kanaya." ucap Pak Slamet, mendorong tubuh istrinya, sebelum kemudian pergi, sambil mengendarai motor bututnya. Bu Tuti menangis terisak, dengan kelakuan suaminya itu, yang telah lancang, mengambil surat rumah miliknya, untuk di jadikan jaminan hutang-hutangnya."Jangan m
Waktu terus berlalu, seminggu sudah Kanaya berada di kota, demi menggapai asa nya.Gadis berwajah manis dan ayu itu, mulai menjalankan rencananya, demi mengumpulkan pundi-pundi tabungannya, guna melaksanakan keinginan ibunya, yang ingin dirinya menjadi orang sukses, dan berkuliah. Pagi-pagi sekali, Kanaya sudah sibuk menyiangi sayur mayur, yang ia beli subuh tadi, di pasar terdekat.Walau harga sayuran dikota, tak semurah di desa, namun gadis itu tetap bersemangat dan yakin, jika dia pasti akan sukses."Sayangnya, aku tidak bisa masak nasi nya, di tungku seperti Ibu" gumam nya, sambil menyalakan mesin penanak nasi, di kamarnya, yang baru ia beli, sebagai modal awal ia berdagang.Dengan cekatan, Kanaya mengulek bumbu kacang, untuk bumbu pecel nya nanti.Setelah dirasa, rasanya sama dengan buatan sang ibu, gadis dengan tubuh ramping itu, segera memasukkan bumbu tadi ke dalam wadah toples plastik."Alhamdulillah, akhirnya sudah siap. Mudah-mudahan laku, supaya aku bisa segera pindah ke
"Tunggu!!" seru bu Yus, saat melihat Kanaya melangkah keluar dari rumahnya."Duduk!!" perintah perempuan dengan tubuh tinggi dan tegap itu, memerintah Kanaya, untuk duduk kembali.Walau hatinya sangat mangkel, dengan ibu kost nya itu, tapi Kanaya masih mau menghormatinya, dan kembali duduk bersimpuh di lantai marmer rumah itu."Sebenar-benar apa yang membuatmu tidak mau di antar pulang, dan tidak mau minta biaya tambahan. Apa kamu melarikan diri dari rumah??" tanya bu Yus, melunakkan suaranya.Kanaya tak menjawab, dan hanya diam saja. "Aku tidak bisa membiarkan kamu keluyuran sendiri di luar sana. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan kamu tinggal di kamar kost, dan berjualan. Apalagi kamu juga tidak kuliah.Rumah kost ku ini, hanya khusus untuk anak-anak yang berkuliah saja, bukan pedagang" jelas bu Yus, kepada Kanaya"Saya mengerti Bu, jadi biarkan saja saya pergi dari sini. Saya akan cari tempat kost yang lain saja" jawab Kanaya. Bu Yus tampak berdecak kesal."Baiklah...sekarang k
Pak Slamet mulai merasa buntu, karena Kanaya tak kunjung di temukan.Padahal waktu yang sudah di tentukan oleh Juragan Gito, tinggal 3 hari lagi."Aku harus melakukan apa, kira-kira!" gumam nya, mengacak rambutnya kasar."Tunggu dulu, daripada rumah ini, jadi milik juragan Gito begitu saja, sebaiknya aku jual saja, pasti nanti ada sisanya setelah membayar hutang. Dan sisanya, bisa aku gunakan untuk ngontrak rumah yang kecil saja, lalu sisanya lagi, bisa buat senang-senang!!" ucapnya girang, merasa menemukan solusi yang paling tepat."Urusan sama Tuti, biar saja lah, yang penting aku bisa dapat uang" ucapnya lagi, menyeringai licik. "Sebaiknya aku segera ke rumah Juragan Gito, untuk mengambil surat-surat itu, atau aku jual saja sekalian kepada juragan ya??" Slamet tampak bimbang.Jika menjualnya sendiri, Slamet takut akan lama lakunya. Tapi kalau di jual ke Juragan Gito, harganya pasti akan menjadi lebih murah. Dengan langkah mantap, pagi itu Slamet segera menuju rumah megah sang jur
"Mau berangkat jualan Nay?" tanya bu Yus, saat melihat Kanaya, sudah bersiap, dengan membawa keranjang plastik di kedua tangannya."Iya Bu, saya mau coba jualan di dekat pintu masjid, siapa tahu laku kalau disana" jawab Kanaya tersenyum manis."Ya sudah, hati-hati, semoga dagangan mu laris" jawab bu Yus, dengan raut wajah datar."Aamiin, terimakasih Bu, saya pamit dulu" ucap gadis berparas imut, dan cantik itu, segera mengucap salam dan berangkat.Suasana masjid, di pagi hari seperti ini, ternyata tidak terlalu ramai.Akhirnya Kanaya memutuskan untuk pergi ke dekat pintu gerbang kampus.Disana juga banyak orang yang menjajakan dagangan nya, di sepanjang pinggir jalan raya itu. Setelah menggelar alas plastik yang tadi dia bawa, Kanaya segera menata dagangannya.Gadis berlesung pipi itu, memilih tempat di bawah pohon Mangga, supaya tidak panas.Rambut sebahu nya, ia ikat kuncir kuda,supaya tak mengganggu pekerjaannya. Kemeja panjang hitam, dan celana bahan berwarna coklat muda, ia
"Jadi ini, rumah yang akan di jual itu?" tanya seorang lelaki berperawakan tinggi besar, tampak sangat rapi, dan masih muda."Benar Mas, jadi gimana? kalau Masnya sanggup bayar dengan harga yang sudah kami tawarkan, hari ini juga rumah ini akan kami kosongi" jawab Cici, dengan di dampingi oleh Slamet pagi itu.Kebetulan rumah memang sedang kosong, karena Bayu masih sekolah, sedangkan Bu Tuti, masih keliling berjualan pecel seperti biasanya. Pria perlente, itu tampak memeriksa seluruh sudut rumah, kemudian melihat pekarangan depan dan belakang, yang cukup luas. Ia kemudian tersenyum puas, melihat itu."Baiklah, saya setuju. Rencananya saya akan membuka sekolah disini, tanahnya cukup luas, dan lokasi juga ada di pinggir jalan" jawab pemuda itu mengangguk senang.Cici dan Slamet tampak sumringah mendengarnya.Setelah pembayaran beres, Slamet segera memberikan surat tanah itu, kepada lelaki yang membeli rumahnya, atau lebih tepatnya, rumah sang istri. "Nanti siang, saya akan segera kos