Share

Bab 5

Pagi harinya, bu Tuti sudah sibuk menyiangi sayuran, untuk membuat pecel seperti biasanya.

Perempuan paruh baya itu, jadi teringat dengan putrinya, biasanya Kanaya lah yang akan membantunya membersihkan sayuran, dan mengulek bumbu kacangnya.

Lagi-lagi netra nya mulai berair, teringat dengan putrinya itu.

'Aku tidak boleh menangisinya, aku harus kuat' gumam bu Tuti lirih.

Slamet suaminya masih belum bangun, seperti biasanya, lelaki itu akan bangun ketika matahari sudah tepat berada di atas kepala.

Bayu juga baru saja selesai menyapu halaman rumah, yang selalu kotor, karena guguran daun pohon nangka dan rambutan, yang tumbuh rindang di pekarangan nya.

"Mandi dulu Le, setelah itu sarapan" perintah bu Tuti, kepada putranya itu.

Tanpa menjawab, bocah lelaki berusia 9 tahun itu, segera meraih handuk yang tergantung di dekat kamar mandi, dan langsung masuk untuk mandi.

Setelah selesai mengenakan seragam sekolah nya, anak itu segera memakan sarapan nasi goreng dengan telur ceplok kesukaannya, yang telah di siapkan oleh sang ibu di meja makan, dengan sangat lahap.

"Alon-alon Le, takut tersedak nanti" peringat bu Tuti, saat melihat putranya, makan dengan sangat cepat. 

"Iya Buk, soalnya Bayu ada piket di sekolah, jadi harus cepat" jawab anak itu meringis.

"Ini sangu mu ya" ucap bu Tuti, meletakkan uang lima ribuan di meja.

"Tidak usah Buk, uangnya di tabung saja, buat mbak Kanaya" jawab Bayu, menolak uang saku dari ibunya.

"Terus nanti kalau pingin jajan atau kamu haus di sekolah gimana?" tanya bu Tuti, memandang haru putranya.

"Ini Bayu sudah bawa minum" jawab bocah lelaki bertubuh sedikit kurus itu, menunjukkan botol minumannya, kepada sang ibu.

"Bawa saja uangnya Le, kalau memang mau nabung, kamu tabung sendiri ya" ujar bu Tuti, tetap memberikan jatah uang saku itu kepada putranya. 

Tak mau membantah perkataan sang ibu, Bayu pun kemudian segera mengambil uangnya, dan memasukkan ke dalam kantong celananya.

"Bayu berangkat ya Bu, Assalamualaikum" pamit nya.

"Waalaikumussalam.." jawab bu Tuti, setelah memberikan tangannya, untuk di cium oleh putranya itu.

Tepat pukul setengah delapan, bu Tuti sudah siap menjajakan nasi pecel nya dengan bakul dari anyaman bambu, yang dia gendong dengan jarit batik lusuh, di punggungnya. 

Bu Tuti akan berjalan kaki, keliling desa, bahkan sampai keluar dari desanya, jika dagangan pecel nya sedang sepi.

Dengan suara khasnya, bu Tuti berteriak menjajakan dagangannya, setiap melewati rumah warga.

"Pecel Yu!!!" teriak bu Tuti, saat melihat segerombolan ibu-ibu yang sedang asyik duduk-duduk sambil saling mencari kutu, di rumah bu Karin. 

"Eh, iya Yu Tuti, sini... Kebetulan aku belum sarapan, sengaja nungguin sampean" jawab salah satu ibu-ibu itu.

Dengan menyunggingkan senyum ramahnya, bu Tuti segera menghampiri gerombolan ibu-ibu itu. 

"Peyek nya ada ndak Bu Tuti?" tanya bu Karin, sang pemilik rumah.

"Ada Bu Karin, ini ada peyek kacang, sama peyek daun singkong juga" jawab bu Tuti, mengeluarkan stok peyek, dari kantong plastik yang ada di tangannya.

"Wah, mantap ini, aku pecel tanpa nasi sama peyek daun singkong dua bungkus" ucap bu Karin, tampak senang.

"Aku pakek nasi Tut, biasa sego pincuk" ucap Yu Darmo, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga saja, karena suaminya cukup kaya di daerah itu. 

"Nggih Yu, sebentar ya" 

Akhirnya ibu-ibu itu pun satu persatu memesan pecel buatan bu Tuti, yang memang terkenal enak itu.

Alhamdulillah... gumam bu Tuti,  saat melihat dagangannya laris.

Setelah selesai melayani para pembelinya, dia segera melanjutkan perjalanannya untuk berdagang.

"Kasihan si Tuti ya" ucap Yu Darmo, sambil menikmati pecelnya. 

"La kenangopo to Yu? kok kasihan?" tanya bu Rumi, yang memang jarang keluar rumah, karena biasanya sibuk mengolah keripik singkong di rumahnya.

"Ya gak kasihan gimana, punya suami hutangnya tumpukan, sudah gitu hobinya judi, sama mabuk-mabukan" ucap perempuan yang rambutnya sudah mulai memutih itu, menjelaskan.

"Ooh, makanya bu Tuti setiap hari harus keliling buat jualan pecel seperti itu ya?" gumam bu Karin, tampak iba.

"Ya memang gendeng, itu si Slamet, makanya ibu-ibu, di jaga suaminya, jangan sampai dekat sama Juragan Gito itu. Slamet seperti itu kan, semenjak sering ikut sama juragan Gito!" ungkap Yu Darmo lagi.

Ibu-ibu itu tampak mengangguk angguk mengerti...

****

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status