"Ya Allah, jagalah putri hamba di luar sana, pertemukan lah dia dengan orang-orang baik, yang mau membantunya.. Lancarkan lah setiap langkahnya dalam meraih cita-cita nya ya Robby..." doa bu Tuti, terus melantunkan doa-doa nya, untuk Putri tercintanya.
Hingga larut malam, suaminya belum juga pulang. Bayu putranya sudah tertidur di kamarnya, setelah mulai tadi bersedih dan menangis dalam diam, karena berpisah dari kakaknya."Jangan kamu tangisi kakakmu Le, tapi doakan dia, agar menjadi orang yang berhasil di kemudian hari, kamupun kelak juga harus bisa sekolah setinggi mungkin" ucap bu Tuti, mengusap punggung putra bungsunya itu.Bayu memeluk ibunya erat, dan terisak."Bayu janji akan selalu jaga Ibu, seperti yang diminta oleh Mbak Naya" ucap Bayu, membuat bu Tuti merasa terharu."Jadikan anak-anak hamba sebagai orang yang berguna kelak ya Allah... Kanaya, Bayu, berikanlah kebahagian dan keberuntungan untuk mereka, di dunia maupun di akhirat...." Bu Tuti setiap hari, tak pernah lupa di setiap selesai menjalankan lima waktunya, menyebut nama kedua anaknya, dalam setiap doanya.Karena dia tahu, doa seorang ibu, akan selalu di dengar oleh Tuhannya."Dok dok dok!!!!! Bune!!!" teriak Slamet sambil mengetuk pintu dengan keras. Bu Tuti melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 2 dinihari, dan suaminya baru pulang. 'Pasti dia mabuk lagi' gumam bu Tuti, tampak kesal.Padahal Slamet suaminya, dulu adalah orang yang rajin bekerja, tapi semenjak berteman dengan Juragan Gito dan para pengikutnya, perangai suaminya itu mulai berubah.Mulai suka mabuk, berjudi, dan temperamen.Bu Tuti sebenarnya juga setiap hari tak pernah lupa, untuk mendoakan suaminya itu agar berubah.Namun semakin hari, perangai nya malah semakin menjadi-jadi. Hutangnya menumpuk, kewajiban menafkahi pun tak lagi di lakukan, karena uang hasil kerjanya selalu habis untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Ingin rasanya bu Tuti mengakhiri semuanya, namun suaminya selalu mengancam akan menyakitinya dan anak-anak, jika sampai berani meninggalkannya.Dengan langkah malas, bu Tuti pun kemudian membukakan pintu untuk suaminya itu.Benar saja, aroma minuman keras segera merasuk ke indera penciuman nya, membuat wanita paruh baya itu segera menutup hidungnya."Mabuk lagi Kang??" gumam bu Tuti kesal."Sedikit Bune!! tadi di traktir sama calon menantu..hehehe" kekeh Pak Slamet, tertawa lebar. Bu Tuti tampak kesal mendengar itu. Itulah mengapa, dia nekat mengirim putrinya ke kota, rasanya sungguh tak rela, jika putrinya yang lemah lembut dan pintar itu, harus berakhir menjadi istri seorang kakek renta yang suka kawin dan mabuk-mabukan, seperti Juragan Gito. "Wudlu dulu sana Kang, cuci muka tangan dan kakinya dulu sebelum tidur!!" perintah bu Tuti kepada suaminya."Alah!!! kesuwen (Kelamaan) keburu ngantuk aku Bune!" tolak pak Slamet, langsung masuk kamar dan tidur.Baru sebentar merebahkan diri, namun suara dengkur nya yang keras, langsung terdengar.Ya Allah... gumam bu Tuti, tampak jijik melihat kelakuan suaminya itu. Akhirnya malam itu, bu Tuti memilih tidur di kamar putrinya, untuk beristirahat. Karena besok dia mungkin harus menghadapi kemarahan suaminya, saat mengetahui, kalau putrinya sudah tidak ada lagi di rumah.*****"Nduk, Ibu pulang dulu ya, kamu baik-baik disini. Kalau kamu ada perlu, atau mau memberi kabar pada ibumu, kamu bisa temui Ibu, setiap Senin Legi di pasar yang tadi itu, di tempat yang sama" ucap bu Lely, kepada Kanaya. "Nggih Bu, terimakasih banyak atas bantuannya" jawab Kanaya, kemudian mencium tangan bu Lely. "Oh iya Nduk, ini ada sedikit dari ibu, mudah-mudahan bisa sedikit membantu kamu, disini ya" ucap bu Lely lagi, mengangsurkan beberapa lembar uang merah, dalam genggaman tangan Kanaya. "Ya Allah, tidak usah bu, jangan repot-repot" tolak Kanaya, merasa sungkan."Sudah, tidak apa-apa. Ibu sangat yakin, kalau kelak kamu pasti akan menjadi orang yang sukses, seperti keinginan ibu kamu" ucap bu Lely tersenyum, dan mengusap kepala Kanaya. "Terimakasih banyak Bu" ucap Kanaya, tampak terharu, melihat kebaikan bu Lely. "Iya, ya sudah, ibu pulang dulu ya, keburu siang soalnya.." pamit perempuan paruh baya itu, segera menaiki mobil pickup nya.Mata Kanaya tampak berkaca-kaca, melihat kepergian bu Lely. Mulai hari ini, dia akan berjuang sendiri, menghadapi kerasnya hidup, di ibukota Jawa tengah itu..."Ayo dek Naya, duduk disini dulu, nanti setelah saya selesai bantu Bapak jualan, saya anterin cari kost di dekat kampus" ucap Mbak Rani, putri dari penjual sarapan, yang pagi itu mereka singgahi."Nggih Mbak" jawab Kanaya tersenyum, kemudian mengikuti gadis yang baru di kenalnya itu.BersambungKanaya tampak menangis tersedu-sedu, memunggungi suaminya.Bimo sendiri jadi kebingungan, dan berusaha menenangkan istrinya itu.Usia Kanaya yang baru 21 tahun, membuat gadis itu tampak kekanakan, saat menangis seperti ini."Sayang, udah donk nangisnya." bujuk Bimo, mengusap usap punggung istrinya yang terbuka."Sakit Kak!!" seru gadis yang memiliki wajah mirip Intan Nuraini itu, ketus."Iya sayang, maafkan aku ya, gimana kalau sekarang aku tiup aja, supaya berkurang sakitnya?" ucap Bimo, sangking paniknya.Kanaya yang tengah berbaring menyamping itu, jadi tertawa di buatnya."Kok di tiup sih!!" protes gadis berwajah cantik itu, tampak geli, sekaligus dongkol."Ya kan katanya sakit sayang.." jawab Bimo, tanpa merasa bersalah."Auk ahh!!" seru Kanaya, kesal.Setelah beristirahat beberapa lamanya, Kanaya akhirnya tertidur.Bimo memeluk tubuh istrinya itu, dengan resah, karena tugasnya tadi, masih belum usai.Tubuh istrinya yang hanya tertutup selimut, membuatnya tergoda, untuk melakukan
"Loh!!" seru mereka kompak."Jadi ini pernikahan Mas Bimo?" seru Niken, tampak tak percaya."Iya, kalian kok bisa barengan? terus keliatannya juga kompak banget." jawab Bimo, menelisik penampilan kedua pasangan di depannya. Kanaya juga tampak terheran-heran. "Kalian saling kenal?" tanya Aryan, yang mulai tadi hanya diam. Niken hanya tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaan Aryan. Sedangkan Bimo dan Kanaya hanya saling pandang."Selamat ya Nay. " ucap Aryan akhirnya, karena Niken terlihat tak nyaman, berdiri disitu. "Terimakasih Pak. Semoga Pak Aryan dan Mbak Niken bisa berjodoh." ucap gadis berlesung pipi itu, tersenyum tulus.Aryan hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Kanaya, kemudian segera turun, sesudah menyalami, dan berfoto bersama.Bu Yus tampak asyik duduk bersama bu Slavina, bu Tuti dan juga Mbok Sum, sambil menikmati hidangan, dan juga hiburan."Aku pergi duluan ya Mas." ucap Niken, yang hatinya masih begitu ringkih, jika bertemu dengan Bimo."Kenapa?" Aryan menatap
Pak Slamet terus saja meracau, memanggil nama mantan istrinya itu, dan memohon ampun.Kanaya segera mendekati Bapaknya, dan mencium punggung tangannya, sambil menangis. "Apa yang terjadi Pak? kenapa bisa sampai seperti ini." ucapnya, terisak.Sedangkan Bayu hanya mematung, di dekat pintu, tak mau mendekat.Bocah yang masih beranjak remaja itu, masih menyimpan banyak sakit hati di dadanya, sehingga ia tak mau mendekat.Pak Slamet sudah tak dapat mengenali putrinya lagi.Lelaki yang berusia hampir setengah abad itu, terus saja meracau, dan merintih kesakitan.Bimo kemudian mendekat, dan menenangkan calon istrinya, yang terus menangis.Tapi tiba-tiba, saat Bimo tengah memeriksa kondisi Pak Slamet, lelaki paruh baya itu kejang-kejang, membuat Kanaya semakin histeris. Dengan dibantu oleh perawat dan dokter yang lain, Bimo berusaha menenangkan Pak Slamet yang kejang."Dokter!" seru perawat, terlihat panik saat melihat Pak Slamet mulai terkulai lemas.Bimo segera memeriksa denyut nadi di p
"Bagus kan pemandangan nya?" ucap Aryan, yang kini menghentikan mobilnya, di dekat sungai besar, yang mengalirkan air, yang sangat jernih.Niken terlihat sangat senang, kemudian turun ke sungai yang penuh dengan batu besar, dan sangat dangkal."Kamu benar Mas, pikiranku jadi lebih tenang sekarang." ucapnya, tersenyum lebar. "Apa ku bilang, aku kalau sedang merasa sedih, sumpek, stres, aku paling suka kemari, dan bermain air disini.Bahkan biasanya aku membawa tenda, dan bermalam disini." ungkap Aryan, kepada Niken."Benarkah?? memangnya Mas tidak takut, bermalam disini sendirian?" tanya Niken, tampak tak percaya. Aryan terkekeh."Aku ini laki-laki Mbak, tentu saja aku berani." jawab Aryan, tertawa."Warga di sekitar sini juga sangat baik, asal kita tidak berbuat sembarangan, dan jaga kebersihan lingkungan, aku jamin aman meskipun bermalam sendirian." jawab Aryan lagi."Lihat, di seberang sungai ini, ada hutan pinus yang masih sangat alami, kapan-kapan kita main kesana." ajak Aryan,
"Hari ini jadwal operasi untuk pasien yang terbakar itu, Dokter.." salah seorang perawat, memberitahu Bimo, pagi itu. Bimo mengangguk di meja ruangannya, sembari memeriksa beberapa jadwal yang harus ia lakukan hari ini."Pukul berapa Sus?" tanyanya. "Pukul 10 pagi ini Dokter.." jawab si perawat. Bimo hanya mengangguk, kemudian melanjutkan pekerjaannya."Jadwal kunjungan pasien hari ini, tolong segera letakkan di meja saya." ujar Bimo, kepada asistennya itu."Sudah dokter, mungkin tertumpuk dengan lembar yang lain.." Bimo segera memeriksa lembaran-lembaran itu, dan tersenyum tipis. "Oh iya..maaf." ucapnya terkekeh."Baiklah, kita lakukan kunjungan lebih awal saja, biar cepat selesai." ucapnya, segera beranjak dari tempat duduknya.Dua orang dokter magang, tampak sudah menunggu, untuk ikut menemaninya.****[Aku harap, pagi ini kamu sudah menjadi lebih baik, dan bersemangat.] Aryan menuliskan sebuah pesan pada ponselnya, dan segera mengirimnya, sembari tersenyum simpul.Seorang gad
Bimo terus saja tersenyum-senyum, terbayang dengan calon istrinya tadi, saat mencoba beberapa gaun pengantinnya."Dia memang gadis yang cantik, sangat cantik.." gumamnya, kemudian memandangi foto Kanaya tadi, yang ia ambil secara diam-diam. Rasanya tak sabar lagi ingin segera menikah, dan bisa berkumpul terus, bersamanya....Saat sedang asyik melamunkan gadis pujaannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi."Niken??" gumam nya, sembari mengernyitkan dahinya. [Aku mohon jangan menikahi gadis itu Mas..aku sangat mencintaimu. Lebih baik aku mati saja, jika tidak bisa menikah dengan mu.]Bimo berdecak kesal, membaca pesan itu."Lebih baik aku abaikan saja, palingan ini hanyalah gertakannya saja, agar aku tak jadi menikah." gumam Bimo, kemudian tak membalas pesan itu. Di tempat lain, Niken tengah menangis tersedu di pinggir sebuah jembatan, yang di bawahnya terdapat aliran sungai, yang sangat deras, sambil memandangi foto-foto dirinya, saat masih bersama dengan Bimo dulu."Kenapa kamu tega Mas