Kanaya akhirnya mendapatkan sebuah tempat kost yang berjarak sekitar 10 menit saja jika berjalan kaki, dari kampus di tempat itu.
Tempat kostnya sederhana, hanya terdiri kamar yang berderet-deret memanjang, sekitar 50 kamar single.Kamar berukuran kecil itu, hanya ada kasur busa tipis di dalamnya, dengan sebuah lemari plastik susun 3 baris."Perbulannya 350rb ya dek Kanaya, semoga dek Kanaya betah di sini" ucap Rani sembari tersenyum."Terimakasih Mbak .." jawab Kanaya."Ya sudah, Mbak ndak bisa lama-lama, soalnya setelah ini mau masuk" ucap Rani, berpamitan."Ya Mbak, sekali lagi terima kasih" ucap Kanaya, tulus.Setelah kepergian Rani, Kanaya segera membereskan barang bawaannya.Untuk satu bulan ini, dia bisa tenang, karena sudah membayar sewa kost nya.Dia hitung kembali lembaran-lembaran lusuh, yang di bawakan ibunya tadi malam, sebagai bekal hidupnya, di tempat asing ini."Dua juta lima ratus, kira-kira untuk mendaftar kuliah, habisnya berapa ya??" gumamnya, sambil memandangi tumpukan uang receh itu."Nanti saja aku tanyakan pada Mbak Rani" Kanaya kemudian membereskan tumpukan uang pemberian dari ibunya itu, dengan perasaan yang tak karuan.Uang sebanyak ini, tentu sang ibu mengumpulkannya, dengan sangat susah payah. Dia sangat tahu, bagaimana keseharian keluarganya selama ini.Sang Ayah yang tidak bisa di harapkan, kerjanya judi, dan mabuk-mabukan. Tak pernah memberi nafkah, malah selalu meminta uang, kepada ibunya."Ya Allah, sedang apa Ibu dan Bayu sekarang? mudah-mudahan, Bapak tidak menyakiti ibu lagi" gumamnya, sembari mengusap netranya, yang mulai basah.Naya janji Bu, Naya tidak akan pulang, sebelum Naya menjadi orang yang sukses...*******"Tut...Tuti!!!!" teriak Slamet, memanggil istrinya.Bu Tuti yang baru saja selesai berkeliling, menjajakan nasi pecel pincuknya, segera menghampiri suaminya yang baru saja terbangun, dari tidur nya itu."Lelet banget kalau di panggil!!!" gerutu Pak Slamet, terlihat kesal. "Ya wong aku baru datang keliling Pak, ada apa to? kok teriak-teriak, kayak lagi di alas saja!!" jawab bu Tuti, tampak kesal."Kanaya mana?? sebentar lagi dia mau di jemput sama Juragan Gito, mau di ajak belanja pakaian sama perhiasan" ucap Pak Slamet, tampak sumringah."Palingan ya di kamarnya to Pak, aku baru datang, belum ketemu sama Kanaya" jawab bu Tuti berbohong, sambil beristighfar, dalam hatinya."Panggilkan sana!! suruh siap-siap, 15 menit lagi, calon menantu kita mau datang!" perintahnya kepada sang istri."Ya Pak!" jawab bu Tuti, mulai melancarkan aksi sandiwara nya, yang telah ia rancang bersama dengan Bayu putranya.Setelah berpura-pura melihat putrinya di kamar, Bu Tuti kemudian berteriak panik, memanggil sang suami."Pak!! Pak!! sini Pak..huhuhuhu.... Kanaya!!!" teriaknya histeris, membuat Pak Slamet, yang mau mengambil piring, untuk makan, menjadi urung, dan segera bergegas menuju kamar putrinya, untuk melihat apa yang sedang terjadi. "Ada apa to!! kok teriak-teriak kayak gitu, koyo wong edan!!!" seru Pak Slamet, begitu sampai di kamar tempat putrinya, biasa tidur."Kanaya Pak!! huhuhuhu.." bu Tuti, menyerahkan secarik kertas, ke hadapan suaminya.Dengan tak sabar, pak Slamet segera meraih kertas itu, dan membacanya. "Bocah kurang ajar!!! tidak tahu di untung!! as*, bab*!!!!" teriak pak Slamet kasar, dan tampak sangat emosi.Wajahnya seketika memerah, setelah membaca surat itu.Segera ia hampiri istrinya itu, dan menarik rambutnya kasar."Apa saja kerja mu, di rumah ini!?? anak minggat sampai tidak tahu hahhh!!" teriaknya tepat di muka bu Tuti."Aku ndak tahu Pak, pagi tadi Naya masih bantu aku, bikin pecel seperti biasanya huhuhuhu.. " tangis bu Tuti ,untuk meyakinkan aksi sandiwara nya."Anak setan!! tidak tahu di untung! mau di buat hidup enak kok malah kabur!!" makinya, terus menerus, melampiaskan emosinya.Kini tak ia hiraukan lagi, rasa laparnya. Bergegas ia memakai kausnya, dan pergi keluar. "Mau kemana Pak!!" teriak bu Tuti, mengejar sang suami."Aku mau cari bocah kurang ajar itu!! awas saja kalau sampai dapat, bakalan aku hajar, habis-habisan!!" geram Slamet, kemudian menaiki motor bututnya.Begitu sang suami sudah tak nampak lagi, bu Tuti segera mengelus dadanya, merasa lega."Mudah-mudahan keputusan hamba ini tepat, Gusti.." gumamnya, sembari menatap ke atas, berharap doanya di Kabul kan.****BersambungKanaya tampak menangis tersedu-sedu, memunggungi suaminya.Bimo sendiri jadi kebingungan, dan berusaha menenangkan istrinya itu.Usia Kanaya yang baru 21 tahun, membuat gadis itu tampak kekanakan, saat menangis seperti ini."Sayang, udah donk nangisnya." bujuk Bimo, mengusap usap punggung istrinya yang terbuka."Sakit Kak!!" seru gadis yang memiliki wajah mirip Intan Nuraini itu, ketus."Iya sayang, maafkan aku ya, gimana kalau sekarang aku tiup aja, supaya berkurang sakitnya?" ucap Bimo, sangking paniknya.Kanaya yang tengah berbaring menyamping itu, jadi tertawa di buatnya."Kok di tiup sih!!" protes gadis berwajah cantik itu, tampak geli, sekaligus dongkol."Ya kan katanya sakit sayang.." jawab Bimo, tanpa merasa bersalah."Auk ahh!!" seru Kanaya, kesal.Setelah beristirahat beberapa lamanya, Kanaya akhirnya tertidur.Bimo memeluk tubuh istrinya itu, dengan resah, karena tugasnya tadi, masih belum usai.Tubuh istrinya yang hanya tertutup selimut, membuatnya tergoda, untuk melakukan
"Loh!!" seru mereka kompak."Jadi ini pernikahan Mas Bimo?" seru Niken, tampak tak percaya."Iya, kalian kok bisa barengan? terus keliatannya juga kompak banget." jawab Bimo, menelisik penampilan kedua pasangan di depannya. Kanaya juga tampak terheran-heran. "Kalian saling kenal?" tanya Aryan, yang mulai tadi hanya diam. Niken hanya tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaan Aryan. Sedangkan Bimo dan Kanaya hanya saling pandang."Selamat ya Nay. " ucap Aryan akhirnya, karena Niken terlihat tak nyaman, berdiri disitu. "Terimakasih Pak. Semoga Pak Aryan dan Mbak Niken bisa berjodoh." ucap gadis berlesung pipi itu, tersenyum tulus.Aryan hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Kanaya, kemudian segera turun, sesudah menyalami, dan berfoto bersama.Bu Yus tampak asyik duduk bersama bu Slavina, bu Tuti dan juga Mbok Sum, sambil menikmati hidangan, dan juga hiburan."Aku pergi duluan ya Mas." ucap Niken, yang hatinya masih begitu ringkih, jika bertemu dengan Bimo."Kenapa?" Aryan menatap
Pak Slamet terus saja meracau, memanggil nama mantan istrinya itu, dan memohon ampun.Kanaya segera mendekati Bapaknya, dan mencium punggung tangannya, sambil menangis. "Apa yang terjadi Pak? kenapa bisa sampai seperti ini." ucapnya, terisak.Sedangkan Bayu hanya mematung, di dekat pintu, tak mau mendekat.Bocah yang masih beranjak remaja itu, masih menyimpan banyak sakit hati di dadanya, sehingga ia tak mau mendekat.Pak Slamet sudah tak dapat mengenali putrinya lagi.Lelaki yang berusia hampir setengah abad itu, terus saja meracau, dan merintih kesakitan.Bimo kemudian mendekat, dan menenangkan calon istrinya, yang terus menangis.Tapi tiba-tiba, saat Bimo tengah memeriksa kondisi Pak Slamet, lelaki paruh baya itu kejang-kejang, membuat Kanaya semakin histeris. Dengan dibantu oleh perawat dan dokter yang lain, Bimo berusaha menenangkan Pak Slamet yang kejang."Dokter!" seru perawat, terlihat panik saat melihat Pak Slamet mulai terkulai lemas.Bimo segera memeriksa denyut nadi di p
"Bagus kan pemandangan nya?" ucap Aryan, yang kini menghentikan mobilnya, di dekat sungai besar, yang mengalirkan air, yang sangat jernih.Niken terlihat sangat senang, kemudian turun ke sungai yang penuh dengan batu besar, dan sangat dangkal."Kamu benar Mas, pikiranku jadi lebih tenang sekarang." ucapnya, tersenyum lebar. "Apa ku bilang, aku kalau sedang merasa sedih, sumpek, stres, aku paling suka kemari, dan bermain air disini.Bahkan biasanya aku membawa tenda, dan bermalam disini." ungkap Aryan, kepada Niken."Benarkah?? memangnya Mas tidak takut, bermalam disini sendirian?" tanya Niken, tampak tak percaya. Aryan terkekeh."Aku ini laki-laki Mbak, tentu saja aku berani." jawab Aryan, tertawa."Warga di sekitar sini juga sangat baik, asal kita tidak berbuat sembarangan, dan jaga kebersihan lingkungan, aku jamin aman meskipun bermalam sendirian." jawab Aryan lagi."Lihat, di seberang sungai ini, ada hutan pinus yang masih sangat alami, kapan-kapan kita main kesana." ajak Aryan,
"Hari ini jadwal operasi untuk pasien yang terbakar itu, Dokter.." salah seorang perawat, memberitahu Bimo, pagi itu. Bimo mengangguk di meja ruangannya, sembari memeriksa beberapa jadwal yang harus ia lakukan hari ini."Pukul berapa Sus?" tanyanya. "Pukul 10 pagi ini Dokter.." jawab si perawat. Bimo hanya mengangguk, kemudian melanjutkan pekerjaannya."Jadwal kunjungan pasien hari ini, tolong segera letakkan di meja saya." ujar Bimo, kepada asistennya itu."Sudah dokter, mungkin tertumpuk dengan lembar yang lain.." Bimo segera memeriksa lembaran-lembaran itu, dan tersenyum tipis. "Oh iya..maaf." ucapnya terkekeh."Baiklah, kita lakukan kunjungan lebih awal saja, biar cepat selesai." ucapnya, segera beranjak dari tempat duduknya.Dua orang dokter magang, tampak sudah menunggu, untuk ikut menemaninya.****[Aku harap, pagi ini kamu sudah menjadi lebih baik, dan bersemangat.] Aryan menuliskan sebuah pesan pada ponselnya, dan segera mengirimnya, sembari tersenyum simpul.Seorang gad
Bimo terus saja tersenyum-senyum, terbayang dengan calon istrinya tadi, saat mencoba beberapa gaun pengantinnya."Dia memang gadis yang cantik, sangat cantik.." gumamnya, kemudian memandangi foto Kanaya tadi, yang ia ambil secara diam-diam. Rasanya tak sabar lagi ingin segera menikah, dan bisa berkumpul terus, bersamanya....Saat sedang asyik melamunkan gadis pujaannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi."Niken??" gumam nya, sembari mengernyitkan dahinya. [Aku mohon jangan menikahi gadis itu Mas..aku sangat mencintaimu. Lebih baik aku mati saja, jika tidak bisa menikah dengan mu.]Bimo berdecak kesal, membaca pesan itu."Lebih baik aku abaikan saja, palingan ini hanyalah gertakannya saja, agar aku tak jadi menikah." gumam Bimo, kemudian tak membalas pesan itu. Di tempat lain, Niken tengah menangis tersedu di pinggir sebuah jembatan, yang di bawahnya terdapat aliran sungai, yang sangat deras, sambil memandangi foto-foto dirinya, saat masih bersama dengan Bimo dulu."Kenapa kamu tega Mas