"Jadi paling tidak harus punya 7 juta ya, untuk daftar dan lain-lainnya?" ulang Kanaya, kepada seorang perempuan muda, bernama Wati, yang kuliah di semester 3 dan juga penghuni kosan itu.
Perempuan itu mengangguk."Tidak hanya itu saja lo Nay, waktu kerjakan tugas, dan yang lainnya, itu satu bulannya, aku bisa habis 3 jutaan, itu pun aku sudah super ngirit" ucap Wati, teman baru Kanaya, di kosan.Kanaya tampak terdiam, uang yang sekarang ada di tangannya, takkan cukup untuk membayar, bahkan untuk uang pangkalnya sekalipun."Kalau mau ajukan beasiswa bagaimana Mbak caranya?"tanya Kanaya, menatap ragu, wajah lawan bicaranya."Bisa saja sih Nay, tapi tidak akan semudah itu. Kebanyakan, orang yang ambil beasiswa, ada orang dalam yang membantu, atau dari pihak gurunya dulu, waktu masih di sekolah. Kamu kira-kira ada tidak, orang yang bisa kamu pintai tolong?" tanya perempuan itu lagi, sambil menyampirkan handuk, di pundaknya, bersiap untuk ambil antri mandi. Kanaya menggeleng lemah, "Tidak ada Mbak, saya tidak kenal siapapun disini" jawab Kanaya, tampak putus asa."Kalau begitu, ya aku tidak tahu Nay, aku sendiri dulu juga pengen banget dapet beasiswa, tapi ...yah..." ucap Wati, mengangkat kedua bahunya, sambil menghela nafasnya kasar."Udah ya, aku mau mandi dulu. Habis ini dosennya killer banget, bahaya kalau sampai telat" Wati bergegas masuk ke kamar mandi, begitu orang yang ada di dalam, keluar.'Ya Allah, aku musti gimana sekarang?' gumam Kanaya.Gadis itu akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan keluar, melihat situasi di luaran sana.Diluar tampak ramai, mahasiswa mahasiswi, yang bersiap untuk berangkat ke kampus.Di punggung mereka, tas yang terlihat cukup berat, tampak menggantung di bahu, mungkin berisi buku dan peralatan lainnya.Tak hanya cukup dalam tas saja, sebagian dari mereka, juga terlihat membawa tumpukan kertas dan buku, di tangan mereka."Ya Allah, kapan aku bisa seperti mereka?" gumam Kanaya, sedih.****"Maksudmu apa!!?" tanya lelaki paruh baya, dengan kumis yang cukup tebal, menghiasi atas bibirnya itu, melotot garang.Sebuah blangkon batik berwarna coklat, menghiasi kepalanya, yang sudah sedikit botak di tengahnya, karena faktor usia."Eh, anu Juragan, tiba-tiba saja, anak itu kabur. Saya sudah cari ke seluruh penjuru kampung, tapi tak bisa menemukannya" jawab Slamet, terlihat gemetar. Juragan Gito tampak sangat marah mendengar itu. "Aku sudah habis banyak, demi bisa menikahi anakmu itu. Tapi sekarang malah minggat!!!Aku tidak mau tahu, pokoknya kalau sampai dia tidak di temukan, dan kawin dengan ku, maka kamu harus lunasi semua hutangmu, dan juga uang muka, yang sudah aku berikan tempo hari!!" jawab Juragan Gito ketus."Tttapi, darimana saya bisa dapatkan uangnya Juragan. Uangnya sudah habis buat taruhan" jawab Slamet, ketakutan.Juragan Gito tampak menyeringai sinis, mendengar jawaban lelaki di depannya. "Aku beri waktu dua minggu untuk temukan anak itu. Kalau tidak, terpaksa kamu harus tinggalkan rumahmu!!" jawab Juragan Gito, kemudian masuk ke dalam rumah megahnya, meninggalkan Slamet di luar, bersama para tukang pukul nya, yang selalu berjaga di teras.Dengan langkah lunglai, Slamet akhirnya meninggalkan rumah calon menantu, tapi gagal itu, dengan pikiran yang kalut.'Harus aku cari kemana, bocah kurang ajar itu??' gumam nya, lesu.Sesampainya di rumah, Tuti istrinya, tengah melipat pakaian kering di dipan bambu, yang ada di teras rumahnya.Perempuan itu sama sekali tak menegur suaminya, dan mendiamkan nya saja, bahkan saat sang suami menutup kasar pintu rumahnya.Bu Tuti hanya dapat mengelus dadanya saja, sambil ber istighfar. "Tuti!!!" tak lama, suara suaminya itu, terdengar memanggilnya."Apa Kang!" jawab Tuti, sambil membawa tumpukan baju bersih di tangannya. "Jawab dengan jujur!!! pasti kamu yang sudah menyuruh anak itu, untuk pergi dari sini!" bentak Slamet, menatap nyalang wajah istrinya. "Jangan asal tuduh Kang!! Sampean kira, aku bakalan tega, biarkan Kanaya, berkeliaran di luaran sana ?!!" jawab bu Tuti, berbohong. Tiba-tiba Pak Slamet mencengkeram leher istrinya kasar."Kamu sembunyikan di mana Kanaya Tuti III!!!" teriak Slamet, dengan dada yang naik turun, karena emosi.Bu Tuti tampak kesakitan, dan kesulitan bernapas, karena cekikan suaminya itu."Bapak!!!! lepaskan Ibuk!!" tiba-tiba Bayu yang baru datang sekolah masuk, dan memeluk tubuh ibunya, sambil menangis.Melihat putranya datang, Slamet akhirnya melepaskan cengkeraman nya, dan mendorong tubuh istrinya kasar.Ibu dan anak itu tampak saling ber tangisan, terduduk di lantai semén yang dingin itu.Baju-baju yang baru saja di lipat, juga terlihat berhamburan di lantai, karena ulah pria yang sudah hilang akal sehatnya itu."Kalau bocah itu tidak juga di temukan, terpaksa rumah ini akan di sita oleh Juragan Gito" ucap Slamet, dengan nafas yang masih naik turun, menahan emosi.Mendengar itu, bu Tuti tampak terbelalak. "Bagaimana bisa Kang!! ini adalah rumah warisan kedua orangtuaku. Dia tidak berhak mengambil rumah ini, karena hutang-hutangmu itu!!!" teriak bu Tuti, tampak marah.Bersambung"Ya mau bagaimana lagi! makanya kamu suruh pulang itu, si Kanaya! supaya kita bisa terbebas dari jerat hutang ini." ucap Pak Slamet, dengan wajah memerah, karena masih sangat marah."Pokoknya aku tidak rela, rumahku ini menjadi pembayar hutang-hutangmu Kang!! jangan pernah libatkan kami, itu semua adalah hutangmu sendiri, bukan hutang kami!!" seru bu Tuti, dengan dada kembang kempis, menahan murka. Sungguh dirinya telah kecolongan, rupanya suami pemabuknya itu, telah menjadikan rumahnya, sebagai jaminan."Dimana sekarang surat rumah ini Kang??" tanya bu Tuti, menarik pakaian suaminya."Hhhss minggir! surat itu sudah ada di tangan juragan Gito. Makanya, kalau tidak mau kehilangan rumah ini, cepat kamu suruh pulang si Kanaya." ucap Pak Slamet, mendorong tubuh istrinya, sebelum kemudian pergi, sambil mengendarai motor bututnya. Bu Tuti menangis terisak, dengan kelakuan suaminya itu, yang telah lancang, mengambil surat rumah miliknya, untuk di jadikan jaminan hutang-hutangnya."Jangan m
Waktu terus berlalu, seminggu sudah Kanaya berada di kota, demi menggapai asa nya.Gadis berwajah manis dan ayu itu, mulai menjalankan rencananya, demi mengumpulkan pundi-pundi tabungannya, guna melaksanakan keinginan ibunya, yang ingin dirinya menjadi orang sukses, dan berkuliah. Pagi-pagi sekali, Kanaya sudah sibuk menyiangi sayur mayur, yang ia beli subuh tadi, di pasar terdekat.Walau harga sayuran dikota, tak semurah di desa, namun gadis itu tetap bersemangat dan yakin, jika dia pasti akan sukses."Sayangnya, aku tidak bisa masak nasi nya, di tungku seperti Ibu" gumam nya, sambil menyalakan mesin penanak nasi, di kamarnya, yang baru ia beli, sebagai modal awal ia berdagang.Dengan cekatan, Kanaya mengulek bumbu kacang, untuk bumbu pecel nya nanti.Setelah dirasa, rasanya sama dengan buatan sang ibu, gadis dengan tubuh ramping itu, segera memasukkan bumbu tadi ke dalam wadah toples plastik."Alhamdulillah, akhirnya sudah siap. Mudah-mudahan laku, supaya aku bisa segera pindah ke
"Tunggu!!" seru bu Yus, saat melihat Kanaya melangkah keluar dari rumahnya."Duduk!!" perintah perempuan dengan tubuh tinggi dan tegap itu, memerintah Kanaya, untuk duduk kembali.Walau hatinya sangat mangkel, dengan ibu kost nya itu, tapi Kanaya masih mau menghormatinya, dan kembali duduk bersimpuh di lantai marmer rumah itu."Sebenar-benar apa yang membuatmu tidak mau di antar pulang, dan tidak mau minta biaya tambahan. Apa kamu melarikan diri dari rumah??" tanya bu Yus, melunakkan suaranya.Kanaya tak menjawab, dan hanya diam saja. "Aku tidak bisa membiarkan kamu keluyuran sendiri di luar sana. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan kamu tinggal di kamar kost, dan berjualan. Apalagi kamu juga tidak kuliah.Rumah kost ku ini, hanya khusus untuk anak-anak yang berkuliah saja, bukan pedagang" jelas bu Yus, kepada Kanaya"Saya mengerti Bu, jadi biarkan saja saya pergi dari sini. Saya akan cari tempat kost yang lain saja" jawab Kanaya. Bu Yus tampak berdecak kesal."Baiklah...sekarang k
Pak Slamet mulai merasa buntu, karena Kanaya tak kunjung di temukan.Padahal waktu yang sudah di tentukan oleh Juragan Gito, tinggal 3 hari lagi."Aku harus melakukan apa, kira-kira!" gumam nya, mengacak rambutnya kasar."Tunggu dulu, daripada rumah ini, jadi milik juragan Gito begitu saja, sebaiknya aku jual saja, pasti nanti ada sisanya setelah membayar hutang. Dan sisanya, bisa aku gunakan untuk ngontrak rumah yang kecil saja, lalu sisanya lagi, bisa buat senang-senang!!" ucapnya girang, merasa menemukan solusi yang paling tepat."Urusan sama Tuti, biar saja lah, yang penting aku bisa dapat uang" ucapnya lagi, menyeringai licik. "Sebaiknya aku segera ke rumah Juragan Gito, untuk mengambil surat-surat itu, atau aku jual saja sekalian kepada juragan ya??" Slamet tampak bimbang.Jika menjualnya sendiri, Slamet takut akan lama lakunya. Tapi kalau di jual ke Juragan Gito, harganya pasti akan menjadi lebih murah. Dengan langkah mantap, pagi itu Slamet segera menuju rumah megah sang jur
"Mau berangkat jualan Nay?" tanya bu Yus, saat melihat Kanaya, sudah bersiap, dengan membawa keranjang plastik di kedua tangannya."Iya Bu, saya mau coba jualan di dekat pintu masjid, siapa tahu laku kalau disana" jawab Kanaya tersenyum manis."Ya sudah, hati-hati, semoga dagangan mu laris" jawab bu Yus, dengan raut wajah datar."Aamiin, terimakasih Bu, saya pamit dulu" ucap gadis berparas imut, dan cantik itu, segera mengucap salam dan berangkat.Suasana masjid, di pagi hari seperti ini, ternyata tidak terlalu ramai.Akhirnya Kanaya memutuskan untuk pergi ke dekat pintu gerbang kampus.Disana juga banyak orang yang menjajakan dagangan nya, di sepanjang pinggir jalan raya itu. Setelah menggelar alas plastik yang tadi dia bawa, Kanaya segera menata dagangannya.Gadis berlesung pipi itu, memilih tempat di bawah pohon Mangga, supaya tidak panas.Rambut sebahu nya, ia ikat kuncir kuda,supaya tak mengganggu pekerjaannya. Kemeja panjang hitam, dan celana bahan berwarna coklat muda, ia
"Jadi ini, rumah yang akan di jual itu?" tanya seorang lelaki berperawakan tinggi besar, tampak sangat rapi, dan masih muda."Benar Mas, jadi gimana? kalau Masnya sanggup bayar dengan harga yang sudah kami tawarkan, hari ini juga rumah ini akan kami kosongi" jawab Cici, dengan di dampingi oleh Slamet pagi itu.Kebetulan rumah memang sedang kosong, karena Bayu masih sekolah, sedangkan Bu Tuti, masih keliling berjualan pecel seperti biasanya. Pria perlente, itu tampak memeriksa seluruh sudut rumah, kemudian melihat pekarangan depan dan belakang, yang cukup luas. Ia kemudian tersenyum puas, melihat itu."Baiklah, saya setuju. Rencananya saya akan membuka sekolah disini, tanahnya cukup luas, dan lokasi juga ada di pinggir jalan" jawab pemuda itu mengangguk senang.Cici dan Slamet tampak sumringah mendengarnya.Setelah pembayaran beres, Slamet segera memberikan surat tanah itu, kepada lelaki yang membeli rumahnya, atau lebih tepatnya, rumah sang istri. "Nanti siang, saya akan segera kos
Tak mau terus larut dalam kesedihan, akibat kehilangan rumah peninggalan kedua orang tuanya, bu Tuti mengajak Bayu untuk kembali kerumah, mengambil beberapa perabotan, yang masih bisa mereka pakai.Para tetangga yang mengetahui itu, tampak berempati, kepada ibu dua anak itu, yang kini telah menjadi janda.Bu Lely, salah satu tetangga nya, yang mempunyai mobil pickup, meminjamkan mobilnya, untuk mengangkut barang-barang, yang tak seberapa itu, tapi sangat berharga bagi bu Tuti, dan putranya, untuk di angkut ke rumah kontrakan nya.Seperti tempat tidur, kasur, kompor, dan perabotan yang lainnya."Yang sabar Bu Tuti, ini semua adalah ujian. Siapa tahu, setelah ini, bu Tuti akan segera di angkat derajatnya, oleh Allah SWT." ucap para ibu-ibu, yang sore itu, mengerubungi bu Tuti, yang hendak mengambil barang-barangnya."Terimakasih banyak, atas doanya ibu-ibu." jawab perempuan yang masih berusia 40 tahunan itu, tersenyum getir."Walaupun sudah pindah, kalau lagi keliling buat jualan, tetap
"Memangnya kita mau masak apa sih, Mbok?" tanya Kanaya, sembari mengupas bawang, dan bumbu-bumbu yang lainnya."Mas Aryan itu, paling suka di masakin semur daging, dan sayuran yang di rebus. Termasuk pecel, jadi sebaiknya Mbak Naya bikinin pecel saja nanti, biar Mbok yang masak daging nya." jelas Mbok Sum, yang sudah sangat hafal dengan makanan favorit anak majikannya."Gitu ya, kebetulan bumbu pecel nya masih banyak, yang belum Naya bikin Mbok, tinggal rebus sayuran nya aja." jawab gadis yang kini mengenakan pakaian panjang, dan mengikat rambutnya rapi itu, tersenyum."Cocok itu Nay, anakku paling suka sama pecel. Ibu yakin, dia bakalan suka, dan nagih, sama pecel buatan kamu." timpal bu Yus, yang ikut menyimak pembicaraan antara Kanaya, dan Mbok Sum. Mendengar itu, Kanaya jadi bersemangat, untuk turut menyenangkan anak dari sang pemilik rumah itu. Tepat pukul 9 pagi, semua masakan sudah terhidang di meja makan. Ada semur daging, sayur sop daging, pecel, empal, tahu tempe, sambel t