Share

Bab 7

"Jadi paling tidak harus punya 7 juta ya, untuk daftar dan lain-lainnya?" ulang Kanaya, kepada seorang perempuan muda, bernama Wati, yang kuliah di semester 3 dan juga penghuni kosan itu.

Perempuan itu mengangguk.

"Tidak hanya itu saja lo Nay, waktu kerjakan tugas, dan yang lainnya, itu satu bulannya, aku bisa habis 3 jutaan, itu pun aku sudah super ngirit" ucap Wati, teman baru Kanaya, di kosan.

Kanaya tampak terdiam, uang yang sekarang ada di tangannya, takkan cukup untuk membayar, bahkan untuk uang pangkalnya sekalipun.

"Kalau mau ajukan beasiswa bagaimana Mbak caranya?"tanya Kanaya, menatap ragu, wajah lawan bicaranya.

"Bisa saja sih Nay, tapi tidak akan semudah itu. Kebanyakan, orang yang ambil beasiswa, ada orang dalam yang membantu, atau dari pihak gurunya dulu, waktu masih di sekolah. 

  

Kamu kira-kira ada tidak, orang yang bisa kamu pintai tolong?" tanya perempuan itu lagi, sambil menyampirkan handuk, di pundaknya, bersiap untuk ambil antri mandi. 

Kanaya menggeleng lemah, "Tidak ada Mbak, saya tidak kenal siapapun disini" jawab Kanaya, tampak putus asa.

"Kalau begitu, ya aku tidak tahu Nay, aku sendiri dulu juga pengen banget dapet beasiswa, tapi ...yah..." ucap Wati, mengangkat kedua bahunya, sambil menghela nafasnya kasar.

"Udah ya, aku mau mandi dulu. Habis ini dosennya killer banget, bahaya kalau sampai telat" Wati bergegas masuk ke kamar mandi, begitu orang yang ada di dalam, keluar.

'Ya Allah, aku musti gimana sekarang?' gumam Kanaya.

Gadis itu akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan keluar, melihat situasi di luaran sana.

Diluar tampak ramai, mahasiswa mahasiswi, yang bersiap untuk berangkat ke kampus.

Di punggung mereka, tas yang terlihat cukup berat, tampak menggantung di bahu, mungkin berisi buku dan peralatan lainnya.

Tak hanya cukup dalam tas saja, sebagian dari mereka, juga terlihat membawa tumpukan kertas dan buku, di tangan mereka.

"Ya Allah, kapan aku bisa seperti mereka?" gumam Kanaya, sedih.

****

"Maksudmu apa!!?" tanya lelaki paruh baya, dengan kumis yang cukup tebal, menghiasi atas bibirnya itu, melotot garang.

Sebuah blangkon batik berwarna coklat, menghiasi kepalanya, yang sudah sedikit botak di tengahnya, karena faktor usia.

"Eh, anu Juragan, tiba-tiba saja, anak itu kabur. Saya sudah cari ke seluruh penjuru kampung, tapi tak bisa menemukannya" jawab Slamet, terlihat gemetar. 

Juragan Gito tampak sangat marah mendengar itu. 

"Aku sudah habis banyak, demi bisa menikahi anakmu itu. Tapi sekarang malah minggat!!!

Aku tidak mau tahu, pokoknya kalau sampai dia tidak di temukan, dan kawin dengan ku, maka kamu harus lunasi semua hutangmu, dan juga uang muka,  yang sudah aku berikan tempo hari!!" jawab Juragan Gito ketus.

"Tttapi, darimana saya bisa dapatkan uangnya Juragan. Uangnya sudah habis buat taruhan" jawab Slamet, ketakutan.

Juragan Gito tampak menyeringai sinis, mendengar jawaban lelaki di depannya. 

"Aku beri waktu dua minggu untuk temukan anak itu. Kalau tidak, terpaksa kamu harus tinggalkan rumahmu!!" jawab Juragan Gito, kemudian masuk ke dalam rumah megahnya, meninggalkan Slamet di luar, bersama para tukang pukul nya, yang selalu berjaga di teras.

Dengan langkah lunglai, Slamet akhirnya meninggalkan rumah calon menantu, tapi gagal itu, dengan pikiran yang kalut.

'Harus aku cari kemana, bocah kurang ajar itu??' gumam nya, lesu.

Sesampainya di rumah, Tuti istrinya, tengah melipat pakaian kering di dipan bambu, yang ada di teras rumahnya.

Perempuan itu sama sekali tak menegur suaminya, dan mendiamkan nya saja, bahkan saat sang suami menutup kasar pintu rumahnya.

Bu Tuti hanya dapat mengelus dadanya saja, sambil ber istighfar. 

"Tuti!!!" tak lama, suara suaminya itu, terdengar memanggilnya.

"Apa Kang!" jawab Tuti, sambil membawa tumpukan baju bersih di tangannya. 

"Jawab dengan jujur!!! pasti kamu yang sudah menyuruh anak itu, untuk pergi dari sini!" bentak Slamet, menatap nyalang wajah istrinya. 

"Jangan asal tuduh Kang!! Sampean kira, aku bakalan tega, biarkan Kanaya, berkeliaran di luaran sana ?!!" jawab bu Tuti, berbohong. 

Tiba-tiba Pak Slamet mencengkeram leher istrinya kasar.

"Kamu sembunyikan di mana Kanaya Tuti III!!!" teriak Slamet, dengan dada yang naik turun, karena emosi.

Bu Tuti tampak kesakitan, dan kesulitan bernapas, karena cekikan suaminya itu.

"Bapak!!!! lepaskan Ibuk!!" tiba-tiba Bayu yang baru datang sekolah masuk, dan memeluk tubuh ibunya, sambil menangis.

Melihat putranya datang, Slamet akhirnya melepaskan cengkeraman nya, dan mendorong tubuh istrinya kasar.

Ibu dan anak itu tampak saling ber tangisan, terduduk di lantai semén yang dingin itu.

Baju-baju yang baru saja di lipat, juga terlihat berhamburan di lantai, karena ulah pria yang sudah hilang akal sehatnya itu.

"Kalau bocah itu tidak juga di temukan, terpaksa rumah ini akan di sita oleh Juragan Gito" ucap Slamet, dengan nafas yang masih naik turun,  menahan emosi.

Mendengar itu, bu Tuti tampak terbelalak. 

"Bagaimana bisa Kang!! ini adalah rumah warisan kedua orangtuaku. Dia tidak berhak mengambil rumah ini, karena hutang-hutangmu itu!!!" teriak bu Tuti, tampak marah.

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status