Beranda / Romansa / Gadis Tanpa Ingatan / 1.malam penuh luka

Share

Gadis Tanpa  Ingatan
Gadis Tanpa Ingatan
Penulis: Alvarezmom

1.malam penuh luka

Penulis: Alvarezmom
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-03 19:33:41

Hujan turun tanpa jeda malam itu. Langit seolah menumpahkan seluruh amarahnya ke bumi, menampar aspal dengan air yang deras dan dingin. Petir menyambar sesekali, memecah gelap dengan cahaya menyilaukan. Elvano Aditya memandangi jalanan dari balik kaca mobilnya, ia duduk tenang di jok belakang dengan tatapan kosong.

Ia begitu membenci malam. Selalu begitu sejak dulu. Terlalu banyak kenangan yang hidup dalam gelap nya malam.

“Pak Elvano, kita belok kanan atau lurus?” tanya sopir di depan.

“Elvano.”

Suara datarnya memotong tajam. “Aku tidak pernah suka dipanggil ‘Pak’.”

Sopir itu langsung menunduk. “Ma-maaf, Elvano.”

Pria itu tak menjawab. Ia kembali menoleh ke luar jendela, membiarkan keheningan menyesaki mobil mewah itu. Namun sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah siluet… di tengah hujan deras.

Ia melihat seseorang tersungkur di pinggir jalan. Basah kuyup. Diam. namun air matanya terus mengalir

“Berhenti.” teriak Elvano

Sopir itu terkejut. “Tapi ini daerah rawan, Tuan”

“Berhenti sekarang,” ulang Elvano. Suaranya tidak meninggi. Tapi cukup membuat siapa pun tak bisa membantah.

Euumm baiklah tuan. jawab pak supir.

Mobil itu berhenti. Elvano membuka pintu pintu mobil. Tangan kanan nya memegang payung dan keluar. Di ikuti oleh pak supir di belakangnya. Ia langsung disambut guyuran hujan yang seakan memukul tubuhnya.

Ia mendekati sosok itu—seorang perempuan muda. Mengenakan gaun lusuh dan koyak. Tubuhnya penuh luka, darahnya bercampur dengan air hujan. Wajahnya tertunduk, rambut panjangnya menutupi sebagian besar wajah. Tapi yang membuat Elvano terdiam bukan karena lukanya.

Melainkan karena mata gadis itu—saat perlahan membuka dan menatapnya. Mata yang buram, lelah… namun tak kosong. Ada semacam permohonan di sana.

Lalu bibir itu bergerak. Pelan. Lirih. Hampir tenggelam dalam gemuruh hujan.

Tolong

“Pungut aku…”

Elvano terpaku. Ia tidak yakin dengan yang ia dengar. Tapi gadis itu mengulangnya. Kali ini lebih pelan. Suaranya nyaris patah.

“Pungut aku…” hiks hiks hiks.

Tolong...

“…Aku tidak punya siapa-siapa lagi.”

Seumur hidupnya, Elvano Aditya sudah melihat banyak hal: kebusukan bisnis, penghianatan keluarga, cinta palsu, darah, air mata. Tapi malam ini, ia melihat sesuatu yang lain—mata gadis itu menyiratkan kelemahan murni. Luka yang begitu nyata, tanpa kepura-puraan.

“Bawa dia ke mobil,” katanya memberi perintah kepada pak supir. tanpa menoleh.

Sopir itu melongo. “Apa…? Tuan serius?”

Elvano hanya memberikan satu tatapan tajam, dan lelaki itu langsung bergerak, membantu mengangkat tubuh lemah si gadis ke dalam mobil.

Mobil pun melaju perlahan.

Sampailah di kediaman Elvano. Pak supir turun dari mobil, dan membantu gadis itu berjalan kedalam rumah.

Dengan perlahan pak supir membantu gadis itu untukberbaring.

Gadis itu terbaring di sofa ruang tamu rumah Elvano yang luas dan dingin. Dengan cepat Elvano memanggil perawat. Luka-lukanya dirawat cepat. Tidak ada yang fatal, tapi jelas ia telah disiksa. Ada bekas lebam di lehernya. Luka sayatan di tangan dan punggung. Tubuhnya kurus, seperti kelaparan berhari-hari.

Satu jam berlalu. Gadis itu tidur, tubuhnya dibungkus selimut hangat. Elvano berdiri tak jauh, memandangi dari kejauhan.

“Apa Anda mengenalnya, Tuan?” tanya perawat perempuan. Yang bernama meli

“Tidak.” jawab nya tegas.

“Kalau begitu, mengapa…?”

Elvano tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis itu. Lalu mengangkat satu alis. “Apa dia hamil?”

Perawat itu tergagap. “Ti-tidak… tidak ada tanda kehamilan.”

“Kalau begitu, dia bisa tinggal di sini. Untuk sementara.”

“Baik, Tuan. Tapi… bagaimana dengan identitasnya? KTP, keluarga…?” tanya sang perawat.

“Aku tak peduli soal itu,” jawab Elvano pendek.

Bawa dia ke kamar tamu. Biarkan dia istirahat. Perintah Elvano.

Baik tuan. Jawab perawat meli.

Dengan cepat meli memindahkan gadis itu di bantu pak supir.

Di pagi hari di kamar tamu.

dengan keheningan Gadis itu terbangun dalam kamar asing, selimut lembut, dan aroma bersih. Matanya terbelalak sesaat. Lalu ia duduk… panik. Menyentuh leher, dada, lalu melihat sekeliling.

Pintu kamar terbuka. Elvano masuk, dengan coffee mug di tangan. Matanya tajam menatap gadis itu yang kini memandangnya penuh takut.

“Siapa namamu?”

Gadis itu menatapnya, lalu menunduk. “Aku… aku tidak ingat…”

“Benarkah?”

Ia mengangguk.

“Lalu kenapa bilang ‘pungut aku’?”

“Karena aku… tidak tahu harus ke mana. Aku hanya tahu, aku… harus hidup.” Suaranya bergetar. Tapi jujur. Dan itulah yang membuat Elvano kembali terdiam.

Ia mendekat, duduk di kursi dekat ranjang. Menatap gadis itu tajam, seperti membaca isi hatinya.

“Aku harus memanggilmu apa?”

Gadis itu diam. Lalu perlahan berkata, “…Panggil apa saja sesukamu.”

Elvano menatap langit-langit sebentar. Lalu memutuskan, “Raina.”

“Kenapa Raina?”

Tanya gadis itu polos.

“Karena aku menemukanmu saat hujan deras.” jawab Elvano singkat

Gadis itu tersenyum samar. Senyum pertama sejak malam mengerikan itu. “Terima kasih sudah memungut ku.” jawab nya lirih sambil menunduk.

Elvano berdiri. “Jangan bersyukur terlalu cepat. Aku bukan penyelamat. Aku hanya butuh ketenangan di rumah ini. Dan Jangan ganggu aku.”

Lalu ia pergi, meninggalkan Raina dalam keheningan.

Gadis itu menatap punggung Elvano hingga menghilang di balik pintu.

Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Dan kenapa hatinya berdetak tak tenang sejak mendengar nama “Raina” keluar dari bibir pria asing itu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Tanpa Ingatan   71.

    Pagi datang tanpa benar-benar membawa ketenangan.Cahaya matahari menyelinap malu-malu melalui celah gorden rumah kecil itu, jatuh di lantai kayu yang dingin. Raina sudah terjaga sejak subuh. Ia duduk di tepi sofa, buku harian Raditya terbuka di pangkuannya, tapi matanya tak benar-benar membaca. Pikirannya berlari jauh—ke ibunya, ke ruang rapat dewan, ke ancaman yang kini menggantung seperti pedang di atas kepalanya.Di dapur kecil, aroma kopi hitam tercium. Armand berdiri dengan punggung tegap, seolah kelelahan semalam tak pernah menyentuhnya. Danu sedang menelpon seseorang dengan suara rendah, sementara Elvano berdiri dekat jendela, mengamati jalanan sepi dengan kewaspadaan seorang penjaga.“Tidak ada pergerakan mencurigakan sejauh ini,” ujar Elvano tanpa menoleh. “Tapi itu justru yang membuatku tidak tenang.”Raina menutup buku harian itu perlahan. “Karena mereka menunggu.”Elvano menatapnya. “Karena mereka merencanakan.”Armand meletakkan cangkir kopi di meja dan mendekat. “Kita t

  • Gadis Tanpa Ingatan   70.

    Malam itu seolah menelan seluruh kejadian yang baru saja mereka lalui. Rumah aman itu sunyi, hanya suara detakan jam tua di dinding yang memecah keheningan. Raina berdiri di tengah ruangan, memandangi surat kecil di tangannya, seakan kata-kata ayahnya meresap perlahan dan menenangkan gejolak yang berkecamuk di dadanya. Namun ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Karena mulai malam itu, tidak ada satu detik pun yang bisa dianggap aman. Armand mengaktifkan sistem keamanan rumah. Bunyi mekanisme terkunci terdengar dari setiap sudut: jendela, pintu belakang, ventilasi rahasia. Rumah itu berubah menjadi benteng kecil. Danu menutup tirai jendela, memastikan tidak ada celah. Sedangkan Elvano tidak menjauh dari Raina. Gerak tubuhnya tegas, seperti pelindung yang selalu siaga. “Aku tahu kau ingin pura-pura kuat,” katanya pelan, “tapi jika kau ingin bicara… aku di sini.” Raina menatapnya. “El, jika mereka benar-benar menyentuh Ibu… aku tidak akan pernah memaafkan diriku.” Elvano me

  • Gadis Tanpa Ingatan   69.

    Malam semakin larut ketika mereka akhirnya mematikan layar dan mulai membereskan semua dokumen penting. Namun, tidak satu pun dari mereka benar-benar merasa mengantuk. Kebenaran yang baru terungkap itu seperti racun yang sekaligus menjadi penawar—menyakitkan, tapi membuat mereka terjaga dengan arah yang lebih jelas.Armand menutup flash drive dengan kotak khusus anti-pelacakan. “Perangkat ini tidak boleh lepas dari tanganmu,” katanya, menyerahkannya kepada Raina.Raina menatap benda kecil itu. “Jika Ayah berjuang menyembunyikannya selama bertahun-tahun… aku tidak akan menjatuhkannya dalam satu malam.”Armand mengangguk. “Besok akan berat, Ran. Kau harus siap menghadapi pertanyaan, tekanan, bahkan tatapan sinis dari orang-orang yang telah mencuri hakmu.”Raina menarik napas panjang. “Aku tidak takut. Aku lebih takut hidup dalam ketidaktahuan.”Danu menatapnya, kagum. “Aku mulai mengerti mengapa Raditya menyebutmu ‘cahaya Kirana’.”Raina tersenyum samar—baru pertama kali malam itu ia te

  • Gadis Tanpa Ingatan   68.

    Malam itu udara dingin, namun ada api yang menyala dalam dada Raina. Mereka meninggalkan gedung tua itu dalam senyap, memasuki mobil Armand—SUV hitam yang kokoh dan tanpa plat nomor depan. Jalanan kota terbentang sunyi, lampu-lampu berpendar seperti titik-titik cahaya yang memudar.Raina duduk di samping Armand di kursi penumpang depan, sementara Danu dan Elvano di belakang.“Ke mana kita?” tanya Raina pelan.Armand meliriknya sekilas, kemudian menatap jalan lagi. “Ke kantor lamaku. Tempat yang kurancang sendiri—kedap suara, enkripsi jaringan kuat, tidak bisa disadap. Di sana kita bisa membuka isi flash drive itu.”Elvano mengamati sekitar dari kaca jendela. “Kau yakin tidak ada yang menguntit?”Armand tersenyum singkat, bukan sombong—lebih kepada keyakinan. “Aku sudah bermain dalam permainan ini cukup lama untuk tahu kapan aku dibuntuti.”Mobil bergerak melewati gerbang parkir gedung perkantoran yang tampak tidak beroperasi. Lampu-lampu di lantai atas mati,

  • Gadis Tanpa Ingatan   67.

    Raina menggenggam flash drive itu erat seolah benda kecil itu adalah kunci masa depan—dan memang begitu. Tapi sebelum ada kesempatan untuk membukanya, suara dari luar gedung tua itu terdengar. Bukan suara hembusan angin atau dedaunan—ini seperti derap langkah kaki yang berusaha hati-hati.Danu langsung mengangkat tangan memberi sinyal hening. Elvano memadamkan senter.Ruangan tenggelam dalam gelap.Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu kayu gedung.Raina menahan napas. Satu detik terasa seperti selamanya.Lalu…Suara ketokan pelan.Tiga kali.Berirama.Seolah seseorang memberikan kode.Elvano merunduk di dekat jendela, mengintip celah.Danu bersiap dengan pisau lipat di tangan.Raina hanya menggenggam flash drive dan foto ayahnya—tak bisa memikirkan senjata lain selain tekad.Suara pria terdengar jelas:“Aku tahu kalian di dalam. Jangan bodoh. Aku hanya ingin bicara.”Raina meremas tangannya. Suara itu… tidak asing.Elvano menatapnya pelan. “Ran… kau kenal suara itu?”Raina

  • Gadis Tanpa Ingatan   66.

    Raina berdiri mematung dalam diam yang berat. Matanya menatap flash drive hitam itu seakan benda itu adalah masa lalunya sendiri yang dipadatkan menjadi satu titik dalam kehidupan. Semua yang ia pikir ia pahami… berantakan. Semua yang ia kira sudah mati… mungkin hidup. Semua yang ia anggap musuh… mungkin hanya wayang.Dan entah mengapa, ia merasa udara mulai berubah menjadi lebih dingin.“Elvano,” katanya pelan. “Aku takut… tapi aku juga tidak bisa berhenti.”Elvano menatapnya penuh ketegasan tenang yang selalu menjadi jangkar dalam badai pikirannya.“Kamu tidak sendiri dalam ini, Ran.”Danu menatap jam tangannya. “Kita harus kembali ke rumah dulu dan membuka flash drive ini di komputer yang aman. Tidak di sini. Tempat ini mungkin sudah dipasang sensor… atau pantauan.”“Pantauan?” Raina otomatis mendongak.Danu menatapnya serius. “Aku pernah dengar bisik-bisik soal Paman Gunawan… paman yang satu lagi. Dia punya jaringan keamanan swasta. Kalau dia benar dalangnya… mungkin ada CCTV ters

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status