Share

Bab 2

Namaku adalah Kaira. Seorang mahasiswa akuntansi yang mati tertabrak saat hari ulang tahunku. Setidaknya itu adalah satu-satunya yang dapat kuingat tentang kehidupan masa laluku.

"Irish! Ke marilah, sarapan sudah siap!" panggil seseorang dari lantai satu.

"Baik Ibu!" jawabku.

Aku pun turun dari kasur dan beranjak pergi dari kamar. Benar, sekarang namaku adalah Irish, gadis kecil berumur 10 tahun yang berasal dari keluarga biasa. Jujur aku masih belum bisa menerimanya. Kenyataan bahwa aku sudah meninggal dan merasuki tubuh gadis ini. 

Namun, aku juga tidak bisa menyangkal perasaan senang, sedih, sakit yang selama seminggu ini kurasakan. Juga waktu yang berjalan semestinya, tidak seperti di mimpi. Aku mengerti jika aku mati saat itu, yang tidak kumengerti adalah aku yang memasuki tubuh gadis ini. Mungkin ini hanya opiniku, tapi aku berpikir Irish asli mungkin telah meninggal dan aku menggantikannya, itu sebabnya aku tak dapat keluar dari tubuh ini.

"Tapi kenapa harus aku?" dumelku yang dapat terdengar oleh orangtua Irish.

"Apa ada masalah sayang?" tanya Clea. Dia adalah ibunya Irish.

"Ah, tidak. Aku hanya berpikir ini pertama kalinya Ayah pulang setelah sekian lama," ucapku sembari tersenyum manis. 

"Benar juga, sudah hampir sebulan sejak Ayah pergi meninggalkan kalian. Irish, apa kau berlaku baik pada Ibu saat Ayah pergi?" tanya Egor padaku.

"Tentu saja Ayah!" ucapku dan mendapat sebuah elusan di kepalaku.

Ugh... Aku tidak tau berpura-pura manis dan polos sangat melelahkan. Bagaimana sebenarnya anak-anak mempertahankan kepolosan mereka?

"Omong-omong, bagaimana dengan pekerjaanmu di istana? Apa sangat berat?" tanya Egor.

Aku menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak, aku tidak keberatan."

"Sayang, kau tau kami masih mampu untuk membiayaimu. Kenapa kau bersikeras ingin bekerja?" tanya Clea.

Aku terdiam sejenak. Jujur saja aku tidak tau. Aku hanya bisa mengetahui ingatan Irish dari 2 bulan yang lalu. Bagaimana Irish begitu kebingungan dan hanya mengetahui bahwa mereka berdua adalah orang tua Irish. Selebihnya hanyalah rasa canggung dan khawatir.

"Aku hanya tidak ingin membuat kalian kerepotan," ucapku refleks.

Duh, alasan macam apa itu? Sudah sewajarnya seorang anak dimanja dan nafkahi oleh orangtuanya. Apa ini karena kebiasaanku di masa lalu yang seorang yatim-piatu? Kalau seperti ini mereka pasti akan curiga.

Aku melirik ke arah mereka. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh saat melihat wajah mereka yang khawatir. Duh, pasti mereka mencurigaiku, kan? Aku harus mengubah topik pembicaraannya!

"O-oh iya, apa saja yang Ayah lakukan saat ke kota seberang?" tanyaku.

"Irish..." Clea memanggilku dengan lemah, "Apa kau tidak ingat kalau Ayahmu seorang pedagang? Ayahmu sering sekali pergi keluar kota untuk menjual dagangannya."

Akh, benar juga! Sial, kenapa ingatan Irish sungguh tidak berguna sih? 

"Ahaha, benar juga. Kurasa aku masih setengah tidur," ucapku. Aku pun segera berdiri dari duduk dan keluar dari ruang makan sembari mengatakan sesuatu. "Sudah jam segini, aku akan pergi bersiap-siap dulu, Ayah, Ibu." 

Aku pun berlari masuk ke dalam kamar dan menutupnya rapat-rapat. Aku membantingkan diriku di atas kasur dan memaki diriku sendiri. Aku tak kuasa saat melihat wajah kedua orangtua Irish yang mengkhawatirkan anaknya. 

Bagaimana jika suatu saat mereka tau bahwa anak mereka sudah mati dan yang saat ini merasuki tubuh anaknya adalah gadis yang 10 tahun lebih tua?

Apa yang akan mereka pikirkan saat itu? Apa mereka akan menyumpahiku karena mengambil posisi Irish yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dari mereka? 

Aku terdiam. Sesaat aku merasakan sesak di dada. Aku terlalu memikirkan mengenai orangtuanya, tapi aku tidak memikirkan perasaan Irish sendiri. Irish yang mungkin sudah mati. Apa yang akan ia pikirkan saat melihat seseorang berpura-pura menjadi dirinya dan mendapatkan semua kasih sayang yang seharusnya menjadi miliknya?

"Maaf, Irish..." lirihku.

Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuatku menoleh. Aku pun berdiri dan membuka pintu kamar. Kedua orangtua Irish sudah berdiri sembari tersenyum melihatku.

"Irish, Ayah punya hadiah untukmu."

"Hadiah?" tanyaku yang tak mengerti.

Mereka berdua saling bertukar pandang dan tersenyum. Lalu mereka mengambil sebuah gaun dan memperlihatkannya padaku. Mataku berbinar saat melihat betapa cantiknya gaun biru tersebut.

"Bagaimana jika kau memakainya dulu? Ibu akan membantumu."

"E-eh, aku?"

Clea mendorongku dan dirinya masuk ke dalam kamar sementara Egor tetap di luar. Mereka benar-benar tak membiarkanku mengatakan apapun. Beberapa menit pun berlalu, aku keluar sembari menggunakan gaun tersebut. Egor menatapku dengan mata berbinar.

"Apa ini terlihat aneh?" tanyaku.

Keduanya tersenyum dan menyuruhku untuk bercermin. Aku terdiam sejenak melihat pantulan diriku di kaca. Rambut silver yang sedikit bergelombang, mata biru seperti berlian, juga wajah manis dan cantik ini.

Terkadang aku merasa Irish terlalu cantik untuk sekedar menjadi rakyat biasa.

"Apa kau menyukainya, Sayang?" tanya Clea dengan lembut sembari menyentuh pundakku.

Aku tersenyum dan memutar badanku ke arah mereka. Kupeluk keduanya dengan tangan kecil ini.

"Terima kasih, Ayah, Ibu!" seruku.

"Anak kami sungguh manja," ucap Clea sembari mengelus rambutku.

Maaf, Irish. Aku tak tau apa penyebabmu mati dan penyebab diriku merasukimu. Juga maafkan aku yang telah mengambil semua milikmu. Karena itu, aku akan hidup dan menjaga semuanya untukmu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status