Share

Bab 1

Hari ini adalah ulang tahunku. Satu-satunya hari di mana aku merasa senang telah dilahirkan di dunia. Hanya untuk mendengar kata-kata darinya yang menganggapku berharga.

Aku meremas setangkai bunga mawar yang ia beri, sementara gadis di sebelahnya ia beri sebuah buket bunga besar. Senyuman gadis itu mengembang, ia segera mengecup pemuda di depannya.

"Aku menyukainya, terima kasih."

Aku terdiam. Dadaku terasa nyeri, air mataku nyaris tak tertahankan jika bukan karena pemuda itu yang memanggilku.

"Kaira, apa ada masalah?" tanyanya dengan tatapan yang masih saja terlihat dingin.

Aku tersenyum dan menggeleng singkat. Tanpa mengatakan apapun aku segera berbalik dan pergi dari sana. Tak ada suara panggilan yang menyerukan namaku, maupun suara langkah yang mengejarku. Sungguh, tampaknya akulah yang selama ini tinggal dalam mimpi.

Aku terduduk di halte, menunggu datangnya transportasi umum yang biasanya kunaiki. Padahal aku tau saat matahari mulai tenggelam bis tidak lagi singgah di halte itu.

Namaku Kaira, seorang gadis yang baru saja menginjak umur 20 tahun. Aku seorang mahasiswa akuntansi dari universitas yang lumayan terkenal. Aku yang merupakan seorang yatim-piatu tanpa sanak saudara itu memilih untuk meninggalkan panti saat umurku 15 tahun dan mulai mencari pekerjaan untuk biaya hidup. Beruntungnya aku cukup pintar dan mendapat kesempatan untuk menerima beasiswa.

Aku bukanlah anak yang periang. Sejak mengetahui bahwa aku hidup seorang diri di dunia ini, setiap harinya aku menangis dan memohon pada dewa untuk segera menyusul orangtuaku yang tak pernah kukenal. Lalu di saat aku terpuruk, pemuda itu datang dengan senyumannya. Berkata bahwa ia akan memperlihatkan warna dunia padaku.

"Pembohong..." lirihku. Air mataku tak tertahankan lagi. Aku mengusap kasar pipiku yang basah sembari menyebutkan kata 'pembohong' berulang kali.

Warna dunia apanya?! Sejak awal hanya terdapat warna abu-abu di dalam duniaku.

Aku kembali mengusap air mataku. Tanpa sadar mataku tertuju pada anak kecil yang tengah menyebrang tanpa pengawasan orangtua. Anak itu tersenyum sumringah sembari berlarian kecil. Di sisi lain terdapat mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi.

Aku tersentak. Entah keberanian dari mana, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku menghempas tas yang berada di pangkuanku dan berlari untuk mendorong anak tersebut. Mataku membola saat melihat mobil tersebut berada tepat di depan kami. Segera kupeluk anak itu, menggantikannya untuk diterjang oleh mobil.

Brak! Tubuhku melayang ke udara dan kembali terbanting ke aspal. Aku membuka mataku dengan perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah cairan merah yang tampaknya berasal dari tubuhku. Aku pun melirik dan melihat anak yang berada di pelukanku terlihat menangis saat di evakuasi oleh orang-orang.

Syukurlah, tampaknya ia hanya mendapat luka ringan karena kupeluk. Aku tersenyum tipis, tapi kepalaku terasa berdenyut. Suara orang-orang yang ribut membuatku kesal. Beberapa orang menyuruhku untuk tetap sadar dan beberapa dari mereka tampaknya berusaha mencari pertolongan.

Tubuhku terasa kaku, pandanganku mengabur. Kulihat samar-samar pemuda yang sebelumnya kutemui tengah panik dan memasang wajah sedih. Aneh, ini pertama kalinya aku melihatnya begitu panik. Ternyata cukup menyenangkan. 

Aku menutup mataku perlahan, tak menghiraukan panggilan yang keluar dari pemuda itu. Hal terakhir yang dapat kudengar adalah suara sirine ambulan yang mendekat.

•••

"Ris... Irish!" teriak seseorang yang menyadarkanku.

Hah! Aku membuka lebar-lebar mataku, segera memposisikan tubuhku untuk duduk. Aku menoleh pada seorang wanita tua yang sedang berkacak pinggang sembari menatapku kesal.

"Aku menyuruhmu untuk membersihkan taman! Kenapa kau malah tertidur di sini?!" teriak wanita tersebut.

Aku terdiam heran. Apa dia sedang berbicara denganku? Tapi mengapa ia memanggilku Irish? Seingatku namaku adalah Kaira. Ia memakai pakaian pelayan kuno, apa ia sedang cosplay atau sejenisnya? 

"Kenapa kau malah diam saja?! Cepat bersihkan taman ini sampai bersih! Mengerti!" perintahnya.

Karena tak paham, aku pun hanya mengangguk sebagai jawaban. Setidaknya itu akan membuatnya berhenti berteriak untuk sementara, kan? Pelayan wanita itu pun berbalik sembari berdumel.

"Cih, dasar tidak berguna."

Aku tak mengindahkan apa yang ia katakan. Aku lebih memilih untuk berpikir tentang apa yang terjadi. Semua kenangan yang kupunya seperti terhisap dan perlahan menghilang begitu saja. Ugh... Aku menyentuh kepalaku yang berdenyut.

Eh? Aku mengulurkan tanganku ke depan dan membolak-balikkan keduanya sembari beberapa kali berkedip. Tanganku, tanganku mengecil?!

"A-apa yang terjadi?" tanyaku seorang diri.

Aku pun berdiri dari dudukku dan hendak melangkah, sayangnya keseimbanganku hilang dan aku pun terjatuh. Aku terdiam sejenak sembari menatap tanah. Hah, ini tak masuk akal! Batinku menjerit. Aku buru-buru bangun dan berlari untuk mencari sesuatu yang dapat merefleksikan diriku.

Setelah beberapa saat aku mencarinya, akhirnya aku menemukan sebuah kolam air mancur. Aku pun mendekat dan menjinjit. Aku menatap mata biru jernih yang terpantul di air. Baju yang sudah kusam dan rambut yang sedikit acak-acakan, juga wajah manis layaknya anak-anak yang polos.

"Ini aku?" tanyaku, "ini tidak masuk akal! Aku masuk ke tubuh anak kecil?! Apa yang sebenarnya terjadi?"

Di tengah kebingunganku itu, aku mendengar sebuah suara yang mendekat. Refleks aku berlari dan bersembunyi di balik pohon besar di dekat sana. Samar-samar aku mendengar suara orang tengah berbincang.

"Bagaimana Yang Mulia? Jika Anda berkenan untuk mengunjungi kediaman Ione, kami akan melayani Anda seperti di istana," ucap sebuah suara. Sayangnya tidak terdengar jawaban dari lawan bicaranya.

"Ya-Yang Mulia tenang saja, kediaman Ione cukup besar dan bersih, kami tidak akan mengecewakan Anda."

Sekali lagi tak terdengar jawaban apapun, tapi aku bisa mendengar sebuah langkah kaki seseorang yang mendekat. Aku terdiam, kakiku kurapatkan agar tidak terlihat, napasku tertahan saking takutnya.

"Yang Mulia Pangeran!" panggil gadis itu dengan kencang karena tak mendapat jawaban.

Pemuda yang berada di depannya menengok dengan memasang wajah kesal. "Kau berani meninggikan suaramu padaku?"

"Ma-maafkan saya, Pangeran. Saya tidak bermaksud kurang ajar, tapi—" Gadis itu menundukkan kepalanya ketakutan, ia sadar telah bersikap lancang.

"Cukup. Kau menjengkengkal, kalau bukan karena Baginda yang memintaku untuk menemanimu, aku sudah berada di kamarku sekarang."

Gadis itu terdiam, ia masih menundukkan kepalanya. Sementara pemuda di depannya berbalik dan meninggalkan dirinya. Karena tidak ingin ditinggal, gadis itu pun mengejarnya pergi. Huft... Akhirnya aku dapat menghela napas lega. Tapi apa-apaan itu tadi? Pangeran? Baginda? Apa aku memasuki tubuh gadis kecil di kerajaan Inggris? 

Tidak, tidak. Jelas-jelas ini pertama kalinya aku mendengar bahasa mereka dan anehnya aku mengerti apa yang mereka bicarakan. Apa karena tubuh anak inilah yang memproses bahasanya dimengerti olehku?

Aku terdiam sejenak. Aku pun kembali berlari menuju tempatku pertama kali terbangun di dunia ini. Aku menidurkan diriku di atas dedaunan yang ada, lalu menutup mataku dan berharap agar tertidur.

Aku takut. Ini bukanlah duniaku. Aku yakin ini hanyalah mimpi karena aku terlalu lelah sepulang kuliah. Ini tidaklah nyata dan aku harus bangun dari tidur ini. Kumohon.

Di luar ekspektasi, ternyata tubuh kecil ini juga kelelahan. Tidak mengherankan karena saat aku melihat tubuh ini seperti akan hancur jika aku menggenggamnya dengan erat. Perlahan aku mulai merasakan kenyamanan pada tubuhku dan aku pun akhirnya tertidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status