Mungkin hari ini akan menjadi hari paling tidak jelas bagiku. Kalau orang lain mengatakan hari terindah atau hari terburuk, aku tidak keduanya. Tidak indah-indah banget, tidak buruk-buruk juga.
Memang, sih, Mas Bayu sudah bilang kalau mereka tinggal bersama di sebuah unit apartemen. Namun, entah kenapa, aku tetap saja merasakan ada hal aneh dari pria bernama Leon. Mungkin hanya firasat yang tidak harus dipikirkan, tetapi bagaimana cara aku melupakannya?
Setelah perdebatan kecil di rumah, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan di daerah Blok M. Aku yang memilih barang untuk dibeli, sementara Mas Bayu dengan wajah tidak senangnya yang mendorong troli. Banyak banget barang yang aku beli; dua karung beras berukuran kecil, tiga botol minyak goreng, beberapa makanan siap saji, sabun cuci baju dan piring, beberapa kaleng minuman soda, dan banyak makan ringan.
Sampai depan kasir, kami berdua bingung bagaimana caranya memasukkan belanjaan ke dalam mobil. Tidak muat pastinya, karena Mas Bayu memutuskan untuk membawa mobilku yang kecil. Sudah kubilang untuk membawa Pajero saja, dia kukuh untuk membawa Jazz.
Tidak mau ambil pusing, belanjaan kami titipkan terlebih dahulu. Aku meminta Mas Bayu menemani ke toko buku. Sudah tidak sabar untuk membeli teman-teman baru—novel dan kertas gambar. Kalau bukan dua benda itu, aku pasti akan merasa kesepian di rumah. Lagi pula, dia sudah berjanji akan membelikan untukku, banyak pun tidak masalah.
Sesampainya di depan toko buku, Mas Bayu berhenti dan menahan badanku. "Aku ke restoran sebelah aja, ya? Kamu pilih buku apapun yang kamu mau, bebas." Mas Bayu mengeluarkan kartu berwarna emas dari dompetnya. Dia memberikan kartu itu kepadaku.
Enak saja, sementara aku pusing mencari buku dia nanti akan asyik dengan makanan dan minuman. Langsung aku menggeleng dan menolak kartu itu. "Mas Bayu harus ikut aku ke dalam! Temenin aku nyari buku!" Aku menarik lengan Mas Bayu.
Dia berjalan dengan terpaksa. Wajahnya yang ditekuk membuatku ingin tertawa. Sayang, kami sudah di dalam toko buku sekarang. Kalau tertawa bisa jadi pusat perhatian baru di sini.
Selama berjalan, Mas Bayu terus aku gandeng. Bukan apa-apa, kalau ditinggal pasti dia akan diam saja di tempat itu dan membiarkan aku berjalan sendirian. Dasae suami yang tidak pengertian. Untung istrinya baik hati, kalau tidak pasti akan tidur di luar malam ini.
"Dek!" pekik Mas Bayu. Dia langsung membekap mulutnya setelah sadar kalau suaranya terlalu kencang. "Harusnya buku ini yang kamu beli."
Aku mengambil buku yang Mas Bayu pegang dan membaca judulnya. Setelah itu, tanganku langsung berkacak pinggang dan mataku melotot. "Memangnya selama ini aku belum jadi istri yang baik?"
Mas Bayu mengambil buku itu kembali dan meletakkannya di rak. Matanya berkedip berkali-kali, dia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. "Biar jadi lebih baik lagi. Begitu maksudnya."
"Oh, jadi selama ini aku kurang baik. Begitu, ya?” Mas Bayu mendesis sambil menempelkan telunjuk di bibirnya, pasti dia malu karena aku sedikit berteriak. “Jahat gitu maksud, Mas?"
Mas Bayu menggeleng cepat. "Nggak gitu maksudnya, Dek."
"Alah, aku tahu maksud kamu, Mas. Bilang aja kalau kamu nggak ikhlas, kan, nemenin aku ke toko buku?"
"Ikhlas, Dek. Sumpah, Mas Bayu ikhlas nemenin kamu ke sini," kata Mas Bayu sambil memegang tangan aku. Namun segera aku tepis. "Jangan marah, dong."
Aku berjalan meninggalkan Mas Bayu di depan rak berlabel bukan fiksi. Dia berlari menyusul kemudian berjalan di sampingku. "Dek, jangan marah, ya?"
Tidak aku pedulikan. Saat ini fokusku hanya mencari novel dan scratch book yang ingin dibeli.
"Mas cuma bercanda tadi, Dek," ucap Mas Bayu di belakangku.
Mau bercanda atau sungguhan, aku juga tidak peduli. Lagi pula, memangnya kapan sejarah mengatakan kalau seorang Citra mudah terbawa perasaan dan cepat marah? Maaf saja, aku bukan orang yang seperti itu.
"Kamu nggak beli kertas yang pake glitter itu, Dek?"
Sumpah, Mas Bayu kenapa lebih banyak berbicara hari ini, ya? Biasanya dia hanya diam dan mengikuti dari belakang. Apa karena dia masih berpikir aku marah padanya?
"Mas bantu cariin kertas itu, ya?"
Aku menyerah. Tidak kuat rasanya mendengar ocehan Mas Bayu. Aku berbalik menatapnya dengan wajah datar. "Diam! Ini toko buku, bukan pasar loak. Kalau mau aku maafin, diam dan jangan bicara lagi!"
Mas Bayu bukannya diam, dia justru tersenyum sambil memperlihatkan barisan giginya yang rapi. Tidak peduli, yang penting dia tidak berbicara. Apapun yang dia lakukan, aku tidak peduli. Asalkan tidak menimbulkan keributan, itu yang paling penting saat ini.
Setelah membayar semua belanjaan, kami langsung mampir ke restoran di sebelah toko buku. Tidak sadar kalau jam sudah menunjuk angka empat. Padahal tadi kami berangkat jam sepuluh pagi.
"Nanti malam kita marathon film, ya?” ungkapku setelah membereskan piring bekas makan. Aku menatapnya dengan mata berbinar. “Aku udah nyiapin empat film yang keren.”
Mas Bayu hanya menganggukkan kepala. Pokoknya hari ini aku harus bahagia bersama Mas Bayu, sebelum besok akan sendirian lagi di rumah.
Yah, begitulah kehidupanku. Di rumah seorang diri tanpa ada kegiatan yang bermakna. Paling-paling hanya menggambar, mewarnai, membaca buku, dan merawat tanaman. Selebihnya aku gunakan untuk menonton drama berseri.
Omong-omong, aku jadi teringat dengan pria bernama Leon. Kira-kira, Mas Bayu dengan Leon sudah berteman sejak kapan, ya? Sepertinya asik membicarakan masa lalu Mas Bayu.
"Mas, kamu kenal Leon sejak kapan?"
Mas Bayu langsung tersedak. Aku buru-buru memberinya air mineral. Apakah pertanyaanku sangat aneh sampai Mas Bayu tersedak? Wajahnya langsung memerah.
"Kenapa sampai keselek, sih?" tanyaku dengan nada khawatir. "Jangan buru-buru kalau makan, Mas. Santai aja! Belanda masih jauh, belum sampai Jakarta."
Mas Bayu menghirup napas banyak-banyak. Lalu dia menyandarkan tubuhnya. "Kamu kenapa nanya begitu, Dek?"
"Penasaran aja sama si Leon. Habisnya, kamu jarang cerita kalau aku nggak nanya. Kebetulan hari ini, kan, si Leon telepon kamu, aku penasaran sama dia,” jelasku dengan nada yang mulai santai.
Mas Bayu menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa kamu jadi nanyain Leon? Kamu nggak ada niatan untuk deketin dia, kan?”
“Apa, sih? Nggak masuk akal pertanyaan kamu! Aku nanya karena aku penasaran sama teman-teman kamu!” Gila saja kalau sampai aku memiliki niatan untuk mengkhianati suami. Itu semua hanya untuk menjawab rasa penasaranku.
“Biasanya kamu nggak pernah nanya begitu sama aku. Ada apa, nih?”
Astaga, pria ini benar-benar curiga sama aku ternyata. “Hei! Aku nggak pernah ada niatan apa-apa selain pengin tahu aja, kok. Lagian kamu, kan, emang nggak pernah cerita masalah teman kamu di kantor. Baru kali ini ada yang nelepon kamu. Salah kalau aku nanya?”
“Aneh aja, masa sekalinya nanya langsung nanyain cowok. Emangnya nggak ada yang bisa ditanyain selain Leon?” Mas Bayu menatapku dengan datar.
Oh, jadi dia cemburu? Lucu sekali suamiku kalau cemburu. “Kenapa? Cemburu kalau aku nanyain cowok lain? Bilang aja langsung! Nggak perlu pakai alesan!”
Mas Bayu tidak menjawabku. Matanya menatap belakangku dengan tajam. Kemudian, dia langsung berdiri dan menarik tanganku dengan cepat. Astaga! Ada apa ini? Aku yang tidak mengerti hanya bisa mengikutinya.
“Mas, kita mau ke mana?”
Mas Bayu terus menarikku untuk berlari. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Mas, jangan cepet-cepet larinya! Langkah kita itu berbeda, tahu?”
Mas Bayu berhenti dan menengok ke arah restoran tadi. “Sorry, Dek. Kita jalan aja sekarang.”
Aku tidak habis pikir dengan Mas Bayu. Bisa-bisanya dia menarik aku yang baru selesai makan untuk berlari. Bagaimana kalau makanan tadi terkocok di dalam perut? Aku menyenggolnya dengan keras. “Ada apa, sih? Kamu aneh banget! Kita mau ke mana sekarang?”
Mas Bayu masih terus berjalan. Dia sudah tidak menggandengku. “Mas, kita mau ke mana?” tanyaku dengan polos. “Mas, belanjaan kita masih di tempat tadi. Kamu masih inget, kan?”
Suamiku menepuk jidatnya dengan kasar. “Aku lupa, Dek. Nanti aku ke sana lagi buat ambil belanjaan, deh.”
“Astaga! Kamu ini kenapa, sih? Belanjaan kita masih di tempat tadi, dan makanan kita juga belum dibayar. Buku-buku aku juga masih di kursi, Mas. Kenapa kita pergi, sih?”
Ini aneh, tidak biasanya Mas Bayu seperti itu. Kalau dia tidak senang, biasanya dia langsung berterus terang tanpa ada adegan lari seperti tadi. “Aku mau ambil belanjaan aku.”
Dia menahan lenganku untuk pergi. Matanya terlihat sayu. Kemudian dia melepas tanganku. “Kamu ke mobil aja sekarang. Aku yang akan urus semuanya.”
“Aneh!” ucapku sambil meninggalkan Mas Bayu.
Sebenarnya ada apa, sih? Jangan-jangan tadi debt collector yang menagih utang Mas Bayu? Memangnya Mas Bayu punya utang? Aduh, pusing memikirkan itu semua. Masa bodoh! Aku ingin pulang saja sekarang. Sudah hilang rasa ingin memakan ice cream jadinya. Semua ini gara-gara Mas Bayu.
“Oh my God!” pekikku di depan mobil. Bisa-bisanya aku lupa meminta kunci mobil. Sekarang aku harus masuk menggunakan apa?
Tubuhku merosot di samping badan mobil. Tidak ada niat lagi untuk berdiri. Biarkan saja orang mengira aku gembel. Pokoknya hari ini benar-benar menyebalkan! Apa aku susul Mas Bayu saja, ya?
Aku mulai berlari ke arah restoran tadi. Tidak ada Mas Bayu. Sial, aku ketinggalan jejaknya. Aku ingat, dia pasti ke toilet. Mungkin saja sudah tidak tahan.
Setelah memasuki lorong ke arah toilet, aku mendengar suara Mas Bayu sedang marah di ruangan yang mengarah ke pintu darurat. Aku berusaha mendekat. Ada suara perempuan ternyata.
“Untuk apa kamu nyusul sampai ke sini? Bagaimana kalau istri saya lihat?” kata Mas Bayu.
“Sekarang kamu paham, kan? Aku bisa lakukan hal yang lebih nekat dari sekarang. Ini semua hanya peringatan dari aku, Mas!” Gawat, siapa dia?
“Aku harus menemui dia di hari libur. Kalau tidak, dia akan curiga nanti!”
Apa maksudnya menemui aku? Tunggu, apa yang sebenarnya Mas Bayu rencanakan?
“Bagus! Kita akan lebih cepat menikah kalau begitu!”
Aku berusaha mendorong pintu darurat itu sekuat tenaga. Setelah pintu terbuka, hanya ada Mas Bayu di ruangan ini. Ke mana perginya perempuan itu? Aku membuka satu pintu yang ada di sana lagi. Tidak ada siapa-siapa juga.
“Dek? Kenapa kamu nyusul?” kata Mas Bayu dengan suara ketakutan.
Aku tidak mempedulikannya. Sekarang hal yang harus didahulukan itu melihat perempuan yang tadi berbicara dengan Mas Bayu. Sayangnya, tidak ada suara orang berjalan di tangga. Sial, ke mana perginya perempuan itu?
“Dek?” Mas Bayu memegang lenganku.
Aku langsung menatapnya dengan tajam. “Ke mana perempuan itu?”
Mas Bayu membelalakkan matanya. Kemudian, dia menelan salivanya. “Perempuan? Nggak ada perempuan di sini.”
“Jangan bohong! Aku dengar suara perempuan yang ngobrol sama kamu!” tegasku.
Dia menggelengkan kepala seraya memegang pundakku. “Mungkin kamu salah dengar, Sayang.”
Aku melepaskan tangannya. “Jangan bohong! Kamu pikir aku mengigau?”
“Aku nggak bohong, Dek. Kalau emang kamu dengar suara perempuan, di mana dia sekarang? Apa kamu lihat ada perempuan di tangga tadi?”
Tidak ada orang di tangga tadi. Apa benar aku sedang mengigau? Tidak mungkin, aku jelas mendengarnya. “Jawab aku, Bayu!”
Dia menatapku dengan tidak percaya. Mungkin karena aku memanggilnya Bayu, tidak mas Bayu. Masa bodoh, aku sedang marah padanya. “Apa yang kalian bicarakan tadi?”
“Citra! Aku suamimu, jangan pernah bentak aku!” balasnya tidak kalah tinggi suaranya.
“Jangan mengalihkan pembicaraan! Di mana perempuan itu? Apa yang kamu bicarakan dengannya? Apa hubungan kamu sama dia?”
Mas Bayu menatapku nyalang. Dia langsung menggenggam tanganku dengan erat. Sakit, aku tidak sangka Mas Bayu berani melakukan hal itu padaku. “Lepasin aku!”
“Sekarang kita pulang! Kamu udah buat aku marah!”
Dia langsung menyeretku ke mobil. Sepertinya dia tidak mempedulikan tatapan pengunjung ketika menyeretku paksa.
Satu hal yang aku tangkap dari kejadian tadi, Mas Bayu bermain dengan perempuan lain.
Pintu toilet terbuka, Mas Bayu langsung keluar. “Dek!” pekik Mas Bayu dari depan pintu toilet. Dia berlari ke arahku dengan wajah cemasnya.Aku tidak peduli. Kejadian hari ini masih membekas di benakku. Bayangkan saja, dia menyeretku dengan paksa, tidak peduli tatapan orang yang iba melihatku. Kemudian, dia juga membentakku seakan-akan dia paling benar, padahal sudah jelas dia berkilah. Aku mendengar suara perempuan tadi, tidak mungkin aku salah mendengarnya. Seharusnya aku tunggu sampai mereka berdua keluar, jadi aku bisa memergoki.Setelah itu, dia tidak berbicara kepadaku, tetapi langsung melenggang pergi ke lantai atas. Aku perhatikan dari bawah, dia masuk ke kamar. Kenapa dia? Sakit perut? Rasakan itu!Aku jadi penasaran dengannya. Segera aku susul dia ke kamar. Sesampainya, Mas Bayu sudah membuka kaus yang ia pakai dan hendak menggantinya dengan kemeja.“Setan apa yang ngerasukin kamu, sih? Ngapain malam-malam pakai kemeja?” Ucapanku langsung diba
Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Mas Bayu. Masing-masing dari kami tidak ada yang mengirim pesan. Aku masih segan untuk menanyakan kabarnya. Kalau dia, aku tidak tahu alasannya.Sejujurnya, aku jadi menyesal karena bertengkar dengan Mas Bayu. Dia benar-benar hilang kabar sejak hari itu. Kalau tahu dia akan semarah ini, mungkin aku tidak akan menyangkal omongannya.Namun, sebenarnya kenapa dia harus marah? Aku hanya menanyakan tentang perempuan yang berbicara dengannya di mal. Kalau memang itu tidak benar, seharusnya dia bisa membuktikan omongannya. Dia hanya bilang aku mengigau dan tidak melihat siapa-siapa di dekatnya. Alasan yang klasik.Sekarang aku sedang menunggu kedatangan Kiki, temanku saat di SMA. Kami sudah berjanji untuk menghabiskan sore hari di daerah Bundaran HI. Sudah lama aku tidak melihat keramaian. Semua itu gara-gara Mas Bayu yang awalnya bersikap manis dan setia. Sayangnya, sekarang dia sudah mulai membuatku tidak percaya dengan sikap
Sepertinya aku membutuhkan hiburan lagi hari ini. Memikirkan kejadian kemarin sore ternyata membuat kepalaku sakit.Setelah mengunci pintu mobil, aku langsung berjalan ke arah pintu utama rumah besar ini. Senyumku merekah ketika melihat taman yang dulu sering aku rawat. Untung masih terawat tanamannya, aku akan memberi perhitungan pada Rio kalau sampai dia tidak merawatnya.“Rioooo!” pekikku setelah membuka pintu. Tidak ada orang di lantai ini. Sepertinya Rio masih di kamar, masih jam tujuh juga. Pasti dia masih tertidur, pemalas!Aku langsung berjalan sambil membawa rantang berisikan sarapan untuknya. Sudah lama aku tidak melihat Rio, rindu banget rasanya. Pasti dia terkejut melihatku yang datang tiba-tiba.Sampai di depan pintu kamar, aku mengetuknya berkali-kali. Tidak terbuka juga, pasti Rio masih tertidur pulas. Aku terus mengetuknya dengan keras, berharap pemiliknya keluar. Dia paling tidak bisa kalau pintunya diketuk terlalu keras, past
Kepalaku rasanya mau pecah. Semua hal yang aku pikirkan susah-susah ternyata tidak sesuai.Aku pikir perempuan tadi ingin menemui Mas Bayu. Ternyata, dia justru mengarah ke Bogor. Kami ikuti terus, ternyata dia berhenti di kafe dan bertemu teman-temannya.Kami sebentar lagi akan sampai di rumahku. Malam ini Rio bilang akan menginap. Bingung juga kenapa dia baru mau menginap sekarang. Padahal aku sudah lama kesepian. Tadi aku juga sempat marah padanya, dia bilang kalau masih malas dengan sikap suamiku yang jutek.Sejujurnya, Mas Bayu memang orang yang pendiam dan tidak banyak omong. Pertemuan pertama kami juga hampir membuatku menolak perjodohan. Beruntung Kiki membuatku sadar kalau hati seseorang mudah berubah.Mas Bayu memang tidak pendiam, dia bahkan romantis. Sayangnya, keromantisan itu seolah hilang dari nama dia sekarang. Semua hal yang dia lakukan hanyalah kedok untuk menyembunyikan perbuatan bejatnya.Lihat saja, aku akan membuktikan kalau M
Memang benar kata orang, kalau kita melakukan hal yang benar-benar ingin kita lakukan, rasanya sungguh luar biasa. Sejak awal aku memang ingin pergi ke kafe rooptop. Terwujud sudah keinginan itu berkat keberanian diri.Aku ditemani Kiki hari ini. Tentu saja dengan perdebatan kecil sebelum pergi. Dia bilang takut ketahuan Mas Bayu kalau aku pergi tanpa memberinya kabar. Itu tidak akan mungkin. Aku tahu Mas Bayu tidak akan pulang malam ini.Tadi pagi Mas Bayu bilang akan pulang larut lantaran semalam dia pulang lebih awal. Jadi, aku yakin dia tidak akan pulang ke rumah hari ini.Kami sudah di dalam lift. Tadi Kiki sudah memesan meja untuk kami berdua. Katanya kalau tidak dipesan, bisa dapat di tengah ruangan, bukannya di pinggir agar bisa melihat pemandangan. Tidak seru, karena sulit untuk melihat Jakarta dari ketinggian lantai 25. Aku juga jadi tidak bisa foto dengan latar langit tanpa bangunan.Dentingan lift sudah terdengar, pintu terbuka dan menamp
Baru pertama kali aku menemukan orang yang ingin bunuh diri di depan mata. Selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Ternyata benar, orang seperti itu menakutkan. Untung aku bersama Kiki, kalau sendirian mungkin hanya bisa berteriak meminta pertolongan sementara orang itu sudah lompat lebih dulu.Kami masih menenangkan perempuan itu. Dari tadi dia asyik memandang meja tanpa ada niat untuk berbicara. Aku dan Kiki saling melempar tatapan, kemudian mengedikkan bahu.“Rumahnya di mana, Mba?” Aku memulai pembicaraan. Bisa gawat kalau sepi begini, aku jadi semakin serba salah. Padahal steak yang tadi dipesan sudah datang.“Mba udah makan? Kalau belum, kami pesenin makan,” kata Kiki.Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya kosong. Aku jadi semakin takut kalau dia masih memikirkan bunuh diri.Aku mulai memotong daging tenderloin, kemudian memakannya perlahan-lahan. Kiki terkikih di tempatnya, pasti dia mengira aku kelaparan lantaran tidak bisa menah
"Makanya gue nolak, Ki! Belum kenal deket, udah minta numpang tidur di rumah gue."Kami berdua tidak habis pikir dengan Luna. Dia sudah ingin menumpang di rumahku karena takut pikiran bunuh diri datang kembali. Padahal, kami baru saja mengenalnya. Tentu saja aku menolaknya."Lagian, kalau dia emang udah mutusin untuk nggak bunuh diri, harus konsisten, dong. Ngapain dia pake alesan takut ide gila itu muncul lagi?" sahut Kiki dengan wajah memberungut.Sekarang kami sudah di depan gerbang rumahku."Nggak ngerti, deh. Masalahnya gue cuma sendirian di rumah. Bukan pikiran buruk, tapi jaga-jaga aja, sih," timpalku.Kiki mengangguk. "Paham, kok." Aku tersenyum karena dia paham maksudku. Dia mengarahkan pandangan ke area parkiran dengan mata membelalak. "Itu mobil Bayu?"Aku menoleh. Ya, itu mobil Mas Bayu. "Iya, Ki.""Lo mending buruan masuk, Cit! Takut si Bayu marah, nih!" kata Kiki.Aku mengangguk menanggapinya. Setelah pamit,
"Terserah! Kamu mau pulang setiap hari atau nggak pulang sekali pun itu bukan urusanku!"Aku pikir dia sudah jera karena pertengkaran semalam, rupanya dia masih terus meminta maaf pada agar sikapku berubah. Tidak mungkin terjadi, aku sudah mengetahui kebusukan yang selama ini dia perbuat."Citra, aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Itu semua murni aku yang kelelahan dan nggak dengerin semua ucapan kamu, Dek," jawab Mas Bayu.Tidak mau pusing memikirkan Mas Bayu, aku beralih mengambil tas selempang di kursi belakang mobil. Hari ini aku akan menemui Kiki. Dia sudah berjanji untuk membantuku menghilangkan rasa kesal pada Mas Bayu. "Apa aku harus mendeklarasikan kata maaf itu?""Cit, Mas Bayu salah apa sampai kamu begini ke Mas?" tanya Mas Bayu.Geram sekali mendengar jawaban itu. Dia pura-pura tidak tahu, lupa, atau memang sengaja berbohong? Rasanya ingin sekali melempar semua bukti yang aku lihat ke wajahnya. "Cukup! Nggak ada yan