Waktu seperti berhenti di ruang tunggu rumah sakit itu. Detik terasa seperti menit. Menit terasa seperti jam. Suara mesin, langkah dokter, dan aroma disinfektan seolah mencambuk batin Rigen berkali-kali. Dokter berdiri di hadapannya dengan wajah datar. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin...” Rigen menahan napas. Lalu dokter melanjutkan: “...dan kondisi bayi masih bertahan. Tapi Ariella mengalami kontraksi dini akibat trauma fisik dan emosi. Dia butuh observasi intensif selama beberapa hari ke depan. Dan... kita belum bisa pastikan apakah kandungannya akan tetap stabil.” Rigen hampir terjatuh mendengar itu. Tangannya memegang dinding untuk menjaga keseimbangan. “Bolehkah aku melihatnya?” suaranya pelan, seperti bisikan orang yang hampir tenggelam. Dokter mengangguk. “Satu orang saja. Jangan lama-lama. Dia masih sangat lemah.” *** Ariella terbaring di ranjang dengan infus di tangan, selimut putih menutupi tubuhnya yang terlihat jauh lebih kecil dari biasanya. Waj
Hari itu hujan kembali turun, tapi tidak selebat biasanya. Langit hanya mendung, seperti menggantung ancaman yang belum jatuh. Ariella duduk di ruang tengah rumahnya, mencoba menyulam sesuatu untuk bayi mereka. Jemarinya gemetar sedikit. Entah karena hawa dingin, atau karena firasat yang entah kenapa... terasa tidak enak.Rigen sudah keluar sejak pagi. Tidak bilang ke mana. Hanya mencium keningnya dan berbisik, “Aku akan memperbaiki semuanya.”Ariella percaya. Tapi kepercayaan tidak selalu bisa meredakan rasa cemas.Saat itu, ponselnya bergetar. Nomor tidak dikenal.Ia ragu beberapa detik sebelum menjawab. “Halo?”Suara berat di seberang membuat tubuhnya menegang.“Turun sekarang. Aku di depan rumahmu.”Jason.Ariella berdiri kaku. “Untuk apa kamu ke sini?”“Kita belum selesai. Jangan buat aku harus naik ke dalam.”Tanpa sadar, Ariella mengelus perutnya yang mulai besar. Ia berjalan ke jendela. Benar saja. Jason berdiri di balik gerbang, mengenakan jas hitam dan payung besar.Dengan
Hujan masih turun ketika Rigen menutup layar laptopnya. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Matanya merah, tapi bukan karena air mata. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis. Yang tersisa hanya satu hal: marah.Simbol di pojok bawah foto—ikon khas Jason Ataraka—tidak mungkin salah. Itu adalah watermark kecil yang biasa digunakan Jason untuk menyimpan karya-karya pribadinya. Termasuk... jebakan yang kini mengadu domba keluarganya.Rigen bangkit dari kursi, meraih jaketnya, dan keluar dari studio. Ariella masih duduk di ruang tamu dengan mata bengkak, mencoba menelepon suaminya yang tak juga menjawab sejak tadi. Saat melihat Rigen muncul, ia berdiri cepat.“Rigen, tolong dengarkan aku—”“Besok,” potong Rigen pelan. “Kita bicara besok. Sekarang... aku punya urusan.”“Aku ikut.”“Tidak.”Kata itu meluncur seperti tembakan.“Aku harus sendiri.”Ariella hanya bisa mengangguk perlahan. Dan saat pintu tertutup, ia tahu: Rigen tidak pergi karena benci. Tapi karena ia sedang menahan
Jason duduk di dalam mobil hitamnya yang diparkir tepat di seberang taman tua yang sepi di ujung kota. Hujan gerimis membasahi kaca depan, menciptakan suara rintik-rintik pelan yang menenangkan... bagi orang biasa. Tapi bagi Jason, ini adalah malam penentuan. Di kursi sebelahnya, sebuah ponsel kedua berdering pelan. Ia mengangkatnya tanpa menatap layar. "Sudah di posisinya?" Suara berat dari seberang menjawab, "Mereka baru saja parkir. Laki-lakinya terlihat waspada. Sedang perempuannya kelihatan takut." Jason tersenyum tipis. "Bagus. Kamu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak lebih. Tidak kurang." Ia menutup panggilan. Matanya menatap lurus ke arah sepasang bayangan yang baru turun dari mobil—Rigen dan Ariella. Jason menyandarkan kepala ke kursi, lalu menutup mata sejenak. Wajah Ariella berkelebat di benaknya. Tatapan itu. Suara itu. Perempuan yang pertama kali ia lihat di ruang rumah sakit, saat Rigen koma. Wajah yang terlalu tenang untuk seseorang yang hampir kehi
Ariella duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponselnya. Pesan dari Drake masih terbuka: [Kita perlu bicara. Tentang malam itu. Aku nggak mau nama kita dipakai buat sesuatu yang nggak benar. – Drake.] Ia menggigit bibir. Pesan itu menghantam tepat di bagian hatinya yang belum pulih. Ia tahu, pertemuan itu bisa membahayakan banyak hal—terutama jika Rigen tahu. Tapi... ini juga tentang nama baiknya, tentang masa lalu yang sedang dipelintir menjadi senjata. Setelah menimbang-nimbang, Ariella mengetik cepat: "Oke. Ketemu di tempat biasa. Jam dua siang." Kemudian, ia berjalan ke dapur, tempat Rigen sedang menyiapkan kopi. "Aku keluar sebentar siang ini," ucap Ariella, berusaha terdengar biasa. Rigen menoleh. "Urusan apa, Sayang?" "Butuh udara segar saja. Mungkin sekalian ke toko bayi," jawab Ariella sambil mengalihkan pandangan, takut bertemu mata dengan suaminya. Rigen mengangguk pelan. Ia tak curiga. Ia bahkan mencium kening istrinya sebelum berangkat ke kantor,
Sore itu, langit mendung menggantung di atas kawasan tempat Ibu Rigen tinggal. Udara Bandung yang sejuk tak berhasil menenangkan perasaan perempuan paruh baya itu, apalagi setelah pertemuan terakhirnya dengan Ariella—yang berakhir tanpa jawaban yang benar-benar memuaskannya. Ada kegelisahan yang tertahan di dalam dada, dan semakin sore, semakin sulit diabaikan.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh cepat, lalu berdiri dan berjalan membuka pintu. Dan di ambang, berdirilah Jason Ataraka dengan setelan santai namun tetap rapi. Senyum ramah yang dibuat-buat terukir di wajahnya, seperti topeng yang sudah terlalu lama ia kenakan."Aku tak datang sendiri hari ini, Tante," katanya, dengan nada ringan, sambil menoleh ke arah belakang.Dari balik pilar, muncul sosok laki-laki tinggi, berkulit terang, dengan mata teduh dan postur elegan. Rambutnya ditata rapi, dan gerak-geriknya tenang. Wajahnya... asing. Tapi penuh percaya diri."Namanya Drake," ucap Jason, seolah itu bukan na