“Aku sudah bilang, jangan sedikit sedikit seperti ini, Rigen!” protes Ariella dengan suara bergetar, bercampur marah dan takut. Tubuhnya meringkuk di sudut ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya yang masih lemah. Mata bengkaknya menolak menatap lelaki yang kini berdiri di hadapannya. Rigen menutup pintu kamar pelan, suaranya rendah tapi mengandung tekanan. “Jangan ucapkan kata-kata itu, Ariella. Kamu tahu aku tidak bisa diam mendengarnya.” Ariella mendengus sambil menahan isak. “Aku lelah… kamu pikir aku bisa terus bertahan? Kamu pikir aku tidak melihat bagaimana Lily memandangmu, bagaimana kamu membiarkannya?” Tatapan Rigen mengeras, langkahnya mendekat. “Cukup. Aku tidak akan biarkan namanya keluar dari mulutmu lagi.” “Kenapa? Karena aku benar?” Ariella melawan, matanya berkaca-kaca. “Karena ada sesuatu antara kamu dan dia yang tidak bisa kamu jelaskan padaku?” Rigen berhenti tepat di depan ranjang, menunduk menatapnya dengan sorot tajam. “Aku tidak perlu menje
Ariella buru-buru mengusap matanya, tapi percuma. Bengkak itu terlalu jelas. Ror menatapnya lama, wajahnya penuh pertimbangan. Lalu ia berkata pelan, “Aku… tahu ini bukan urusanku. Tapi kamu tidak seharusnya sendiri dengan air mata seperti itu.” Ariella tertegun. Tak ada yang pernah bicara padanya seperti itu di rumah ini. Semua hanya patuh pada Rigen, semua hanya menunduk. Dia berusaha tersenyum samar. “Aku baik-baik saja.” “Tidak,” potong Ror tegas, tapi suaranya tetap lembut. “Kamu tidak baik-baik saja.” Ariella menunduk, jari-jarinya meremas ujung gaun. Rasa sakit itu menumpuk, tapi ia tidak punya keberanian untuk meluapkannya. Ror melangkah sedikit lebih dekat, meski masih menjaga jarak sopan. “Kalau kamu mau… aku bisa mengajakmu keluar sebentar. Tidak jauh, hanya agar kamu bisa bernapas tanpa bayangan siapa pun di sekelilingmu. Anggap saja jalan-jalan.” Hati Ariella bergetar. Tawaran sederhana itu terasa seperti uluran tangan dari dunia luar. Dunia yang selama in
“Tolong dijawab, ada hubungan apa kamu dengan Lily, Rigen?” Suara Ariella pecah oleh isak. Air matanya membanjiri wajah, tangannya gemetar saat memegangi selimut yang menutupi tubuhnya. Malam itu, kamar terasa begitu luas, tapi juga menyesakkan. Rigen berdiri di dekat jendela, membelakangi Ariella. Dari tubuhnya terpancar ketegangan, namun suaranya keluar dingin, nyaris tanpa emosi. “Tidak ada hubungan apa-apa.” Ariella menggeleng, air matanya makin deras saat bertanya dengan suara bergetar. “Kalau benar tidak ada apa-apa, kenapa kamu biarkan dia mendekatimu seperti itu? Kenapa aku harus melihat kalian… berpelukan?” Bahunya bergetar. Suaranya pecah saat lanjut bicara. “Kamu bilang aku satu-satunya. Kamu janji akan ada di sisiku. Tapi sekarang? Aku merasa aku hanya bayangan… sementara dia yang sebenarnya kamu lihat.” Rigen menghela napas berat, masih tak berbalik. “Kamu terlalu banyak berpikir, Riel," jawabnya dingin. “Rigen!” Ariella berteriak, rasa sakitnya me
“Aku tidak boleh percaya pada omongan perempuan itu.” Ariella berbisik pada dirinya sendiri, memandangi cermin besar di kamarnya. Bekas merah samar masih menghiasi lehernya, bukti nyata bagaimana Rigen begitu keras menandainya semalam. “Dia bilang Rigen akan bosan padaku… bahwa aku cuma gadis bodoh yang akhirnya ditinggalkan.” Ariella menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Tapi Rigen… dia tidak seperti itu. Dia berjanji padaku. Dia selalu bilang aku miliknya.” Ia mengusap matanya, berulang kali menarik napas dalam. Dirinya tidak boleh kalah oleh racun kata-kata Lily. Tidak boleh. Meski begitu, bayangan wajah sinis wanita itu terus berputar di kepalanya. Rigen akan bosan dengan gadis bodoh sepertimu. Kata-kata itu terngiang, bergaung tanpa henti, merobek hatinya perlahan. “Tidak, aku tidak boleh percaya…” gumamnya lagi, kali ini dengan suara lebih pelan, seolah bicara dengan dirinya yang paling rapuh. *** Sore itu, Ariella memutuskan berjalan keluar kamar. Ia butuh uda
Setelah diam beberapa saat, Ariella akhirnya berteriak. “Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu, Rigen!” Ariella menepis tangan Rigen yang mencoba menggenggam pergelangannya. Tubuhnya bergetar menahan emosi. Air mata yang belum kering di wajahnya kini mengalir lagi, makin deras. “Kamu pikir aku bisa bertahan setelah melihat bagaimana kamu memandangnya? Bagaimana kamu menyebut namanya seolah dia lebih penting dariku?” Rigen menatapnya tajam, sorot matanya gelap, rahangnya mengeras. “Jangan samakan. Lily tidak berarti apa-apa bagiku.” “Tidak berarti apa-apa?” Ariella terkekeh getir, lalu menjawab.“Kalau memang tidak berarti apa-apa, kenapa kamu tidak menyingkirkannya? Kenapa kamu biarkan dia datang dan menatapku seolah aku cuma pengganggu?” Dia berbalik, hendak membuka pintu kamar. Tapi Rigen lebih cepat, menutup pintu keras-keras dengan telapak tangannya hingga bunyi dentum memenuhi ruangan. Tubuh Ariella terjebak di antara pintu dan tubuh Rigen yang tinggi tegap. “Kamu
“Aku bodoh…” Suara Ariella pecah lirih di kamar gelap itu. Ia duduk meringkuk di sudut ranjang, selimut menutupi tubuhnya, wajah basah oleh air mata. Tangannya gemetar, mencengkeram kain seakan itu satu-satunya pegangan. “Aku benar-benar bodoh kalau percaya pada janji Rigen… percaya kalau aku cukup untuk dia…” Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Kata-kata Lily bergaung terus di kepalanya. ‘Rigen akan bosan dengan gadis bodoh seperti kamu…’ Setiap suku kata menusuk dadanya. Ariella menggigit bibir, menekan isakannya supaya tidak terdengar keluar. Ia benci terlihat lemah, benci menyadari betapa rapuhnya ia di hadapan seorang wanita yang bahkan baru saja masuk ke hidupnya. “Kenapa aku selalu jadi yang paling kecil? Kenapa aku tidak pernah cukup?” Tangannya bergerak ke leher, menyentuh bekas gigitan Rigen yang masih samar. Tanda itu semalam memberinya keyakinan bahwa dia dimiliki, bahwa Rigen benar-benar melihatnya. Tapi pagi ini, tanda itu seolah jadi bukti kejam betapa m