“Aku belum selesai, Riel.” Suara Rigen terdengar serak, napasnya masih memburu di telinga Ariella. Tubuh wanita itu masih bergetar, wajahnya memerah, bibirnya bengkak akibat ciuman brutal sebelumnya. “Rigen… aku lelah…” Ariella mengeluh lirih, matanya sayu, tapi tubuhnya masih menempel erat di bawah himpitan pria itu. Rigen menatapnya dalam-dalam. Sorot matanya liar, penuh hasrat, namun ada kilatan kepemilikan yang tak bisa ditawar. Ia mengusap lembut pipi Ariella yang basah oleh keringat, tapi senyumnya menyeringai tipis. “Kau pikir aku akan berhenti hanya karena kau berkata lelah?” Ariella menggeleng lemah. “Tubuhku tidak sanggup lagi…” “Tapi tubuhmu justru terus memanggilku,” bisik Rigen, bibirnya menyapu garis rahang istrinya, turun ke leher, lalu kembali meninggalkan tanda merah baru. “Jantungmu berdegup cepat. Kulitmu panas. Kau bergetar setiap kali aku menyentuhmu. Katakan, bagian mana dari dirimu yang benar-benar menolak aku?” Ariella terdiam. Tangannya lemah, berusah
Ariella masih terbaring di bawah tubuh Rigen, napasnya tidak teratur, matanya setengah terpejam. Bibirnya bengkak merah akibat ciuman brutal barusan. “Rigen… kamu—kamu terlalu jauh,” bisiknya dengan suara parau. Pria itu terkekeh pelan, suara beratnya menggetarkan dada Ariella. “Terlalu jauh?” Ia menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telinga Ariella. “Sayang, aku bahkan belum memulai…” Tangan besarnya bergerak perlahan dari pinggang, menyusuri lekuk tubuh Ariella, membuat wanita itu menggeliat gelisah. “Jangan…” Ariella mencoba menahan pergerakan itu, jemari mungilnya mendorong dada bidang suaminya. Namun dorongan itu sama sekali tak berarti. Rigen menahan kedua tangannya kembali di atas kepala. “Setiap kali kamu bilang ‘jangan’, tubuhmu justru bergetar, Riel. Kamu sadar itu?” “Diam…” Ariella berbisik sambil memalingkan wajah, tapi rona merah menyala sudah mewarnai pipinya. Rigen mendekat, mencium sepanjang garis rahang istrinya hingga ke leher. “Aku tidak bisa diam, b
“Aku tidak terima, Rigen!” Suara Ariella meninggi, napasnya tersengal karena emosi yang ditahannya sejak tadi. “Setiap kali aku menanyakan tentang apa yang kamu lakukan di luar sana, kamu hanya menjawab singkat. Kamu pikir aku bisa diam saja menunggu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi?” Rigen menatapnya dingin dari balik meja kerja, tangan besar itu mengepal di atas permukaan kayu. “Riel, jangan paksa aku membicarakan sesuatu yang bisa membuatmu takut. Aku menanggung semua kotoran ini justru supaya kamu tidak perlu memikirkannya.” “Jangan anggap aku rapuh!” Ariella mendekat, berdiri tepat di hadapan suaminya dengan tatapan tajam. “Aku istrimu, Rigen. Jika kamu terluka, aku ingin tahu. Jika kamu jatuh, aku ingin ada di sisimu. Tapi kalau kamu terus menutupiku, apa artinya pernikahan kita?” Rigen berdiri, tubuhnya menjulang, membuat Ariella harus mendongak. “Pernikahan ini… sudah jauh dari kontrak awalnya, Riel. Kamu sekarang adalah milikku. Tidak ada satu pun orang, bahkan ka
Semua segera bergerak. Dalam tempo singkat, Rigen sudah duduk di kursi belakang mobil lapis baja, tatapannya lurus ke depan. Ia membawa senjata yang jarang ia gunakan sendiri—sebuah pistol hitam dengan ukiran kecil di gagangnya. Senjata itu hanya keluar saat situasi benar-benar gawat. Di tengah perjalanan, komunikasi dari tim pemantau masuk. “Tuan, kami melihat Nyonya Ariella berada di sebuah kafe dekat pelabuhan tua. Ia bersama seorang pria tak dikenal. Mereka tampak berbicara serius.” Rigen memicingkan mata. “Deskripsi pria itu.” “Berbadan tinggi, mengenakan jas abu-abu, rambut hitam rapi, sekitar awal tiga puluhan. Kami tidak menemukan data identitasnya di basis kami.” Ada jeda beberapa detik sebelum Rigen menjawab. “Tetap pantau. Jangan sampai mereka keluar dari pandangan.” Mobil melaju kencang, namun pikiran Rigen semakin bercabang. Pelabuhan tua adalah wilayah rawan—tempat banyak transaksi ilegal berlangsung. Fakta bahwa Ariella berada di sana dengan pria asing memb
Ariella berusaha mengatur napasnya, meski jantungnya berdetak tidak beraturan. Tatapan mata lelaki di hadapannya—dingin, tajam, penuh perhitungan—seolah menelanjangi setiap pikiran yang berusaha ia sembunyikan. Rigen berdiri hanya berjarak beberapa langkah, kedua tangannya bersedekap, namun ketegangan di bahunya memperlihatkan amarah yang sedang ia tahan. “Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja,” ucap Ariella dengan suara rendah, mencoba mengendalikan getaran di nada bicaranya. “Baik-baik saja?” Rigen menyeringai tipis, namun senyum itu dingin. “Kau bahkan tidak sadar siapa orang-orang yang kau dekati. Dan sekarang… mereka mungkin sudah tahu terlalu banyak.” Kata-kata itu membuat Ariella membeku. Ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud Rigen, tapi dari nada suaranya, jelas sekali ini bukan sekadar kecemasan biasa. Rigen melangkah mendekat, suaranya merendah namun setiap katanya menekan. “Mereka bukan orang biasa, Riel. Mereka bagian dari pihak yang selama
Rigen memandang layar besar yang memuat daftar nama para pengkhianat yang berhasil teridentifikasi. Sorot matanya tajam, seakan setiap nama yang tertulis di sana sudah mendapat vonis tanpa harus melalui pengadilan. Suasana ruang rapat tertutup itu mencekam, hanya suara dengung pendingin ruangan yang terdengar di antara jeda sunyi. “Nama-nama ini sudah diverifikasi?” tanya Rigen dengan nada datar namun penuh tekanan. Jovian, yang berdiri di sisi meja, menunduk sedikit. “Sudah, Tuan. Semua bukti telah kami kumpulkan, termasuk rekaman komunikasi dan transaksi mereka.” Rigen mengangguk pelan, lalu berjalan menuju ujung meja. Jemarinya mengetuk pelan permukaan kayu, menciptakan irama monoton yang justru semakin menambah ketegangan. “Kita tidak akan memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan diri. Waktu kita terlalu berharga untuk dihabiskan pada kata-kata bohong.” Tatapannya kemudian beralih pada salah satu nama yang terpampang di layar. “Orang ini… Naka. Dia yang memimpin kebocoran