“Aku nggak nyangka kamu bisa segugup itu ketemu Leonardo lagi,” suara Nina, rekan satu timku, menggoda. Kami sedang bersiap untuk makan malam proyek—makan malam penting yang melibatkan klien baru dari Spanyol. Ya, dia: Leonardo Valez. Pria yang terlalu sopan, terlalu ganteng, dan terlalu tahu cara tersenyum yang bisa menyaingi bahaya. Aku memutar bola mata. “Gugup apanya? Aku cuma sekretaris, bukan yang mau negosiasi.” “Sekretaris pribadi Giovanni Axel,” Nina menekankan dengan nada bercanda. “Dan kalau gosip kantor benar, kalian... sedikit lebih dari sekadar bos dan sekretaris.” “Gosip kantor butuh terapi,” jawabku cepat. Tapi jauh di dalam dada, ada denyutan aneh yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Giovanni sejak dua hari terakhir jadi aneh. Lebih sunyi, tapi lebih sering memperhatikan. Dan setiap kali Leonardo muncul di agenda rapat, ekspresinya berubah—dingin, tapi matanya... terlalu tajam. --- Restoran malam itu penuh cahaya keemasan. Musik jazz pelan mengalun, meja
“Sekretaris pribadi tidak seharusnya pulang lebih dulu dari bosnya.” Suara Giovanni terdengar pelan tapi jelas, membuat langkahku yang baru keluar dari lift langsung terhenti. Aku menatap jam tangan. Sudah pukul delapan malam. Seluruh kantor hampir gelap, hanya lampu di ruang CEO yang masih menyala samar. Ya Tuhan… kenapa aku masih di sini? Aku menoleh ke arahnya, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan kemeja putihnya yang sedikit tergulung di lengan, dasi longgar, dan tatapan itu—tajam, malas, tapi entah kenapa selalu menelan semua ruang napas. “Jam segini?” aku mencoba terdengar santai. “Bukannya kita udah beres?” Dia tidak menjawab. Hanya menggerakkan jarinya pelan, memanggilku untuk mendekat. Isyarat sederhana, tapi sukses membuat perutku terasa dingin. “Giovanni, aku—” “Lima detik,” katanya tenang, “kalau kamu masih berdiri di sana, aku akan datang dan menyeretmu sendiri.” Sial. Aku melangkah masuk, mencoba menahan degup jantungku yang entah kenapa sema
“Kenapa kamu diam?” Giovanni bersuara rendah, nyaris seperti desis. Suara itu terlalu dekat, terlalu dalam, dan terlalu berbahaya untuk jantungku. Aku menelan ludah. “Karena aku nggak mau menanggapi hal yang nggak penting,” sahutku cepat, pura-pura sibuk menatap layar laptop, padahal tanganku gemetar di atas keyboard. “Tidak penting?” Ia tertawa pelan, langkahnya mendekat. Aku bisa mencium aroma maskulinnya—parfum kayu manis yang terlalu khas Giovanni. “Jadi menurutmu saat aku menatapmu seperti ini… itu tidak penting?” Tubuhku otomatis menegang. Matanya menuruni wajahku perlahan, lalu berhenti di bibirku. Dan aku tahu dia tahu—aku sedang menahan napas. “Berhenti… menatap seperti itu,” bisikku hampir tak terdengar. Giovanni hanya mengangkat alis. “Sejak kapan aku harus nurut sama sekretarisku sendiri?” Aku ingin memutar bola mata saking kesalnya, tapi aku tahu kalau aku melawan, dia akan semakin menikmati permainan ini. Sial. Aku jatuh di dalam jebakan licik si CEO menyeba
Sudah tiga hari Cia berusaha menghindar. Tiga hari tanpa kontak mata, tanpa obrolan di luar pekerjaan, tanpa secangkir kopi yang biasa ia antar ke ruang Giovanni. Tapi sayangnya, Giovanni Axel bukan tipe pria yang bisa dihindari. “Cia.” Suara berat itu terdengar dari belakang meja resepsionis, saat ia baru saja menyalakan komputer paginya. Refleks, Cia berpura-pura sibuk dengan keyboard yang bahkan belum menyala. “Pagi, Pak Giovanni. Agenda hari ini—” “Lihat saya dulu.” Nada itu rendah, tapi penuh tekanan halus yang membuat udara di sekitar seolah menurun dua derajat. Cia menatapnya perlahan, mencoba bersikap tenang. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Giovanni berdiri di depan mejanya — kemeja putihnya digulung sampai siku, dasinya longgar, dan satu tangan menahan di tepi meja. Dia tidak terlihat seperti CEO yang baru selesai rapat, tapi seperti ancaman yang sedang bersiap menghancurkan pertahanan seseorang. “Kenapa kamu menghindar?” “Apa maksud Bapak?” “Kamu nggak antar k
“Cia, tolong sampaikan presentasi data marketing ke tim investor,” suara Giovanni datar namun berisi tekanan halus. Ruang rapat pagi itu tegang. Dua belas direktur duduk di sekeliling meja panjang, dan di ujungnya berdiri Leonardo — ya, pria Spanyol yang tampan itu — yang kini resmi menjadi partner proyek mereka. Cia mengangguk, berdiri membawa laptop ke podium, berusaha tetap profesional. “Baik, Pak.” Suara lembutnya menggema di ruangan kaca, sementara Giovanni duduk bersandar di kursi, memperhatikan. Tapi matanya... terlalu fokus pada Cia. Setiap kali gadis itu berbicara, setiap kali ia menatap ke arah Leonardo yang tersenyum kecil, rahang Giovanni makin mengeras. “Presentasi yang menarik,” komentar Leonardo begitu Cia selesai. “I like how you emphasize the connection between digital reach and emotional branding.” Cia tersenyum sopan. “Thank you, Mr. Valez.” Dan di situlah — Giovanni akhirnya meledak. “Saya rasa cukup, Leonardo,” ucapnya datar tapi dingin. “Sekretaris saya
“Jadi, malam ini kamu lembur sama siapa?” Suara berat Giovanni terdengar dari balik pintu kaca ruangannya. Cia yang tengah sibuk di depan komputer menoleh kaget. “Sendiri, Pak,” jawabnya datar. Giovanni berjalan mendekat perlahan, langkah sepatunya memantul di lantai marmer, tiap hentakan terasa menggetarkan udara di antara mereka. “Lucu. Aku dengar kamu barusan dikasih tumpangan pulang sama Evan, tim desain baru itu.” Nada suaranya tenang, tapi nadanya menusuk, seperti seseorang yang menahan sesuatu jauh di bawah permukaan. Cia memutar bola mata. “Ya ampun, kamu nyuruh orang investigasi aku sekarang? Serius banget, Pak Bos.” “Jawab saja.” “Dia cuma nganterin, Giovanni. Hanya itu.” Giovanni menatapnya lama, terlalu lama. “Tapi kamu tertawa di mobilnya,” katanya pelan, hampir berbisik. “Kamu bahkan gak pernah tertawa kayak gitu di dekatku.” Cia memutar kursi menghadapnya, berusaha menyembunyikan panas di wajahnya. “Kamu mau aku ketawa di depan kamu? Kamu bahkan jarang kasih