Share

5.5 Pelajaran untuk Nyonya Ataraka

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-07-07 13:10:28

“Sekarang … giliranku.”

Rigen berkata seraya menggenggam dadaku yang lembut, meremasnya erat-erat dengan tangannya.

Ia mulai meremas-remas puncak bukitku yang tegak di antara jari-jarinya. Saat Rigen menggerakkan tangannya, aku bisa merasakan puncak kemerahan itu membesar sedikit dan mengeras.

"Hey, aku... aku hanya mengusap pelan perutmu yang sickpack. Aku tidak melakukan sejauh itu!" seruku, mencoba melepaskan diri.

"Ohya? Lalu apa bedanya dengan sekarang?" balas Rigen, sambil menopang pinggangku dengan kuat sehingga mencegah diriku melarikan diri.

Apa bedanya? Ini sangat berbeda!

Aku berteriak dalam hati dengan frustasi.

"Kumohon, Rigen.... "

Mataku yang basah memandangnya dengan ekspresi memohon, tapi Rigen berkata dengan dingin.

"Ikuti pelajaran dengan baik, Ariella. Atau kamu akan mendapat hukuman yang lebih berat karena menjadi siswa yang tidak patuh."

Rigen mengatakan hal itu sambil membuka kait bra yang selama ini menekan dadaku dan membungkam mulutku dengan ciumannya, sehingga bra itu pun meluncur ke bawah, Rigen lantas meninggalkan bibirku dan mencium tengkukku, sedikit menggigitnya.

"Ah, Rigen!"

Aku menjambak rambutnya yang rapi sebagai bentuk protes, tapi Rigen tak bergeming sama sekali, bibirnya meluncur ke bawah dan menggigit-gigit puncak dadaku seolah sedang mencari buah manis.

“Hngh!”

Aku mengerang dan melengkungkan leher ke belakang saat lidah Rigen kembali menggigit putingku yang keras dan kemudian menjilati dengan lembut dadaku di sepanjang areola.

Tubuhku hampir tak mampu menahan pria besar yang terus mendorongku itu sehingga badanku jatuh ke belakang tepat di mana sofa empuk berada.

Aku bahkan tak sempat merasakan kelembutan sofa yang membungkus tubuhku. Jilatan dan isapan Rigen pada buah dadaku membuat punggungku melengkung.

"Bagus. Anak baik.... "

Rigen berkata seperti itu, dengan tangannya yang tak henti-hentinya membelai buah dadaku.

Satu tangannya yang lain kini merayap ke atas rokku dan naik ke pahaku. Ia membelai daging halus di paha bagian dalam, seakan-akan ingin menenangkan rengekan gugup yang keluar dari mulutku.

Ketika melihat aku yang patuh, Rigen perlahan merentangkan kedua kakiku dan menurunkan celana dalamku, yang menyembunyikan tempat-tempat paling intim dan sensitif.

Tangan besar Rigen menyelinap di bawah pantatku yang tertutup rapat dan membelai bagian luarnya dengan lembut.

Cairan yang membasahi area bawahku, memungkinkan tangannya meluncur tanpa perlawanan, bahkan ketika dia bergerak dengan lembut.

Rigen menjauhkan mulutnya dari dadaku sejenak dan menegakkan punggungnya. Tatapannya terlihat puas, seakan-akan suka melihat diriku yang berantakan di bawahnya.

Buah dadaku yang dipenuhi ludah dari gigitan dan isapannya, dipenuhi bekas merah yang ditinggalkan oleh Rigen.

Dadaku bergoyang naik turun dengan kasar saat napasku terengah-engah, membuat bekasnya semakin jelas.

Merasakan tatapan Rigen padaku, wajahku seketika memerah karena malu. Aku merasa lebih malu karena ia berbaring di sofa dengan panik, tidak dapat mengendalikan diri, sementara Rigen tampak berpakaian rapi, bersih dan santai.

“R-Rigen, kenapa hanya aku yang…!”

Tepat saat aku hendak melayangkan protes, salah satu jari Rigen membelai lembut ke bawah, meluncur melintasi celahnya dan perlahan mendorong ke dalam.

“Hah!”

Aku menjerit karena sensasi yang asing itu, tetapi tidak sakit karena milikku sudah basah kuyup di sana.

Untungnya, jari-jari Rigen segera ditarik kembali.

Namun, sebelum aku merasa lega karena benda asing itu telah dikeluarkan, jarinya kembali masuk, dan sebelum aku menyadarinya, jari yang memeriksa itu telah membesar dua kali lipat.

“Hmph, Rigen!"

Aku berteriak secara reflek, tapi Rigen tampak tak peduli dan menikmati semua tindakannya.

Jari-jarinya menggaruk bagian dalam dengan dalam, lalu perlahan-lahan menarik kembali seolah-olah ingin menegaskan kehadirannya.

Rasa dingin menjalar di tulang punggungku, saat rangsangan yang tidak dikenal itu berlanjut di tempat yang tidak pernah kubiarkan dunia luar mengganggunya.

“Hah…!”

Di tengah diriku yang meragukan suara dan eranganku sendiri, tubuhku saat ini hanya terfokus pada rangsangan dari bawah.

Jari-jari Rigen menari-nari di atas permukaan licin di bagian bawahku, menghasilkan suara yang erotis sekaligus meresahkan. Suara telanjang dan cabul itu membuatku merasa semakin asing.

Aku terlempar ke dalam pusaran sensasi yang tidak kukenal, tubuhku bereaksi dengan cara yang belum pernah kualami sebelumnya.

“Sampai kapan kamu akan… Hngh ....”

Aku mencengkeram ujung kemeja Rigen dengan bingung dan takut. Rigen hanya menyeringai dan menggoyangkan jarinya ke dalam. Saat jarinya melewati titik tertentu, pinggulku reflek bergerak liar.

Rigen tidak melewatkan reaksi itu dan terus mengusap titik sensitif itu berulang kali, meningkatkan rangsangan dengan setiap gerakan. Aku hanya bisa terkesiap saat merasa diriku semakin kewalahan dengan apa yang tengah terjadi ini.

“Hmph…!”

Kenikmatan yang sulit ditahan itu tiba-tiba meledak. Gelombang sensasi yang kuat melanda, lalu perlahan surut, membuatku merasa gembira sekaligus hampa.

Saat tangan Rigen ditarik, orgasme ringan itu mereda, dan semua kekuatan meninggalkan tubuhku. Tubuhku rileks hingga aku samar-samar bisa merasakan kepekaan seluruh tubuh berkedut karena sentuhan sekecil apa pun dari pria itu.

Rigen memanfaatkan momen itu dan menarik bagian bawah celana dalamku, yang masih dekat dengan paha. Sensasi celana dalam yang menyentuh pergelangan kaki, perlahan-lahan membuatku tersadar sehingga aku pun mendongak ke arahnya.

Rigen Ataraka masih sedingin biasanya.

Menatapnya dari posisiku yang sedang berbaring membuat dirinya tampak lebih menakutkan dari biasanya.

"Bagaimana rasanya? Apakah menyenangkan disentuh seperti tadi, Riel?"

Rigen bertanya.

Bukan dengan nada romantis. Bukan pula kata-kata yang menenangkan. Itu adalah ejekan kejam.

Dadaku terasa seperti dihantam palu. Napasku tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena sesuatu yang lebih menyakitkan—penghinaan yang menyusup ke dalam tulangku.

"R-Rigen… Aku… aku minta maaf."

Suara serakku nyaris tak terdengar. Rambutku acak-acakan, tubuhku gemetar, dan mataku terasa panas, tapi aku menolak membiarkan air mata jatuh.

Rigen hanya menatapku. Tatapan itu kosong, dingin, dan tak terbaca.

Lalu, senyuman itu muncul. Arogan. Menikam.

"Hari ini pelajarannya cukup sampai sini, Riel. Aku harap setelah ini kamu bisa lebih berhati-hati dalam bertindak."

Dia menarik sapu tangan dari sakunya, mengusap tangannya dengan santai, seolah menyeka sesuatu yang kotor.

"Aku bukan pria baik."

Kalimat itu jatuh begitu saja, berat dan mematikan.

Aku menatapnya dengan mata membelalak. Dia masih tampak sempurna, tanpa cela, sementara aku—berantakan, remuk, dan tak berdaya.

Dan setelah itu, dia pergi.

Tanpa menoleh. Tanpa ragu.

Seakan aku tak lebih dari sampah yang baru saja dibuang.

Hatiku, yang sempat mekar dalam kebingungan, seketika meredup seperti kuncup yang layu sebelum sempat berbunga.

Genggamanku menguat. Suaraku lirih, nyaris tak terdengar.

"Kenapa, sih… Kenapa kamu begitu jahat…?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   398. Tamat.

    Sudah dua tahun sejak Giovanni dan Alicia — atau yang kini semua orang panggil dengan lembut, Cia — mengucap janji suci di altar. Jakarta mungkin masih sepadat dulu, tapi kehidupan mereka kini jauh lebih tenang. Rumah mereka berdiri di kawasan yang sedikit jauh dari pusat kota. Rumah dua lantai dengan taman kecil di depan, suara gemericik air dari kolam ikan di sampingnya menjadi musik alami setiap pagi. Cia sering tertawa setiap kali Giovanni menyiram tanaman dengan cara sembarangan, hanya supaya ia bisa menatap Cia yang sibuk menyapu daun di halaman. Pagi itu pun sama seperti biasa. Udara masih segar, matahari belum tinggi, dan aroma kopi memenuhi ruang makan. Cia berdiri di dapur, rambutnya dikuncir sederhana, memakai daster longgar berwarna lembut. Di meja, ada dua botol susu bayi, dua piring kecil berisi bubur, dan mainan berantakan. Ya, dua. Karena kehidupan mereka kini punya dua sinar kecil — kembar. Gio dan Cia menamai mereka Gavin dan Gianna. Dua bayi kembar dengan mat

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   397.

    Jakarta malam itu terasa hening di luar, tapi di kantor Giovanni, ketegangan mencapai puncaknya. Lampu gedung memantulkan bayangan mereka di lantai marmer, seperti dua dunia yang bersinggungan—yang satu dingin, penuh dominasi; yang lain panas, campuran marah dan terbuai. Cia berdiri di dekat jendela, menatap kota yang berkilau. Raisa sudah tak ada, tapi aura persaingan yang ia tinggalkan masih terasa di udara. Hatinya campur aduk: lega, tapi juga resah. Giovanni masuk tanpa mengetuk. Tatapannya langsung mengunci ke Cia. Matanya gelap, dalam, penuh dominasi—dan Cia tahu, malam ini ia akan menunjukkan siapa yang memegang kendali. “Kamu masih mikirin dia?” tanya Giovanni, suaranya rendah dan menggetarkan. Cia menatap matanya, menahan napas. “Gio… aku…” “Diam.” Satu kata itu cukup untuk membuat seluruh tubuh Cia menegang. Giovanni melangkah pelan, satu tangan di pinggangnya, satu tangan menahan pipi Cia. “Aku nggak mau dengar alasan, nggak ada pembelaan. Yang ada cuma aku… dan

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   396.

    Sore itu, sinar matahari menembus jendela gereja di Jakarta, menciptakan cahaya hangat yang menari di atas lantai marmer putih. Cia berdiri di altar, gaun pengantin putihnya berkilau lembut, rambutnya tersanggul rapi, tapi matanya tak lepas dari sosok di depannya. Giovanni. Tegap, maskulin, dan tetap dominan, jas hitamnya menegaskan bahwa dia bukan hanya pengantin pria—dia penguasa hatinya. Hati Cia berdebar. Semua kenangan masa lalu muncul kembali: malam-malam penuh godaan, dominasi, cemburu yang membara, dan momen-momen di mana ia tak pernah yakin apakah ia benci atau tergila-gila. Kini, semua itu mencapai puncaknya. Giovanni melangkah maju, matanya mengunci pandangan Cia. Tanpa kata-kata panjang, satu tangannya menahan pipi Cia, yang lain di pinggangnya, mendekatkan tubuh mereka hanya beberapa inci. “Cantik banget, Cia. Bahkan lebih dari yang aku bayangkan,” bisiknya, suara rendah dan berat, menembus telinga Cia. Cia tersenyum gugup tapi malu. “Aku… nggak percaya ini… akhirnya

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   396.

    Malam itu, Jakarta hujan tipis, dan lampu jalan memantulkan kilau pada aspal basah. Di gedung kantor Giovanni, ketegangan terasa seperti listrik statis. Cia duduk di ruang rapat, mencoba fokus pada slide presentasi di layar, tapi pikirannya terus tertuju pada dua hal: Giovanni, yang duduk tegap di seberang meja dengan mata tajam seperti elang, dan Raisa, yang perlahan mulai mendekat, pura-pura ramah tapi jelas berusaha mengambil ruang Cia. Raisa melangkah, membawa dokumen dengan senyum manis. “Cia, boleh aku minta bantuan untuk dokumen ini? Aku nggak yakin langkah berikutnya benar.” Cia menghela napas, menatap Giovanni. Matanya menatap tajam, seolah menanyakan: “Apa yang harus kulakukan?” “Jangan jawab,” bisik Giovanni, suaranya rendah dan tegas, menimbulkan getaran di tulang belakang Cia. Cia menahan napas, menunduk sedikit. Tapi Raisa sudah berada di sampingnya, menatap penuh harap. “Cia… please…” Giovanni berdiri mendadak, langkahnya pelan tapi dominan. Tubuhnya tinggi, aura

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   394.

    Malam itu, Jakarta seperti kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu gedung perkantoran berkilau, tapi di kantor Giovanni, suasana terasa lebih panas daripada neon di jalanan. Cia duduk di mejanya, mencoba menata dokumen proyek, tapi pikirannya terus melayang. Raisa sudah mulai mengirim pesan berulang kali, pura-pura sopan, tapi Cia tahu ada maksud lain. Ponsel Cia berbunyi lagi. Sebuah notifikasi dari Raisa: "Cia, aku nggak sengaja menghapus file itu. Bisa bantu cek ulang, ya?" Cia menatap layar dan mendesah pelan. Rasanya ingin langsung membalas, tapi matanya menangkap Giovanni yang menatapnya dari seberang meja. Seketika, ia tahu satu kata saja bisa memicu reaksinya. “Jangan balas,” ucap Giovanni rendah, suaranya tebal dengan nada peringatan yang bikin Cia merinding. Cia menelan ludah. “Gio… kamu ini… posesif banget.” Giovanni melangkah mendekat, tubuhnya tinggi, dominan, aroma maskulinnya membuat Cia merinding. “Aku nggak peduli. Aku yang tentuin batasmu. Dan aku nggak mau R

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   394.

    Giovanni mencondongkan kepala, napasnya menyentuh pipi Cia. “Akhirnya kamu bilang, Cia. Akhirnya… kamu ngerti.” Raisa menatap mereka, ragu, tapi tetap berusaha tersenyum. Namun Cia tahu, Giovanni kini sudah mengambil langkah ekstrem: jelas bahwa tak ada ruang bagi siapapun selain dirinya. Dia melangkah lebih dekat, mencondongkan tubuh ke arahnya, suara rendahnya menggetarkan. “Kalau Raisa atau siapapun coba dekat sama kamu lagi… aku bakal pastikan mereka tahu siapa yang punya kamu. Aku nggak main-main.” Cia terdiam, menahan debar di dadanya. “Gio… kamu serius banget.” “Tapi kamu tetap di sini,” jawab Giovanni. “Masih di sampingku, masih merhatiin aku… itu namanya takut kehilangan, dan aku nggak akan biarkan kamu pergi.” Cia menunduk, menahan gemetar. Giovanni mencondongkan kepala lagi, menyentuh pipi Cia. Napasnya hangat di telinga. “Aku nggak bisa nahan diri. Aku nggak akan biarkan siapapun menggantikan tempatku di hatimu. Aku yang tentuin batasmu, Cia… dan aku serius.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status