"H-hah? Tidak. Rigen, tunggu, aku bisa menjelaskan! Tadi…!"
Suara panikku terdengar lemah dibandingkan aura mengerikan yang terpancar dari pria itu.
Langkahnya panjang, anggun, dan mengancam. Tatapannya menusuk hingga meremukkan keberanianku. Refleks, aku mundur. Namun, tiap langkahku ke belakang, Rigen semakin mendekat.
"Penjelasan seperti apa?"
Nada suaranya tenang, tapi justru itulah yang membuat bulu kudukku meremang. Ketakutan mencengkeramku lebih kuat daripada rantai anjing yang pernah dipasangkan di leherku.
"I-Itu.…"
Tenggorokanku tercekat. Aku ingin menjelaskan, tapi suaraku lenyap begitu saja. Sebelum aku sempat mengucapkan satu patah kata—
Jemari Rigen yang kuat mencengkeram daguku, mengangkat wajahku paksa. Napasnya yang panas menyentuh kulitku saat jarak di antara kami menguap menjadi hampir nol.
"Wajahmu tampak begitu polos, tapi ternyata kamu licik juga, ya?"
Matanya bersinar keemasan, tajam, dan berbahaya. Aku seperti tikus kecil yang terperangkap di depan seekor singa lapar.
"A-apa maksudmu, Rigen?"
Suaraku hampir bergetar.
"Bukankah kamu sengaja melakukannya? Tepat saat ibuku masuk, menciptakan skenario yang sempurna untuk membongkar rahasia komaku?"
Senyumnya sinis. Menikam.
Segera aku menggeleng panik. "Tidak! Aku tidak mungkin—"
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat, cengkeraman Rigen berubah. Jemarinya kini menguasai rahangku, menekan pipiku, lalu—
Bibirnya menghantam bibirku.
Mataku melebar, tak sanggup menyembunyikan keterkejutan.
Darahku berdesir liar. Aku ingin menolak, tapi tubuhku membeku di bawah kuasanya.
"Sekarang coba jelaskan, Ariella," bisiknya di sela ciuman, suaranya rendah dan menyesakkan.
"Tapi ingat, setiap satu kata keluar dari mulutmu, bibirmu akan kubungkam sepuluh kali lipat dengan ciumanku."
"Rigen—"
Kesalahan fatal. Begitu satu kata lolos dari bibirku, dia menepati ancamannya.
Bibirnya menghantam bibirku.
Lebih dalam. Lebih panas. Lebih menuntut.
Aku ingin berteriak. Tapi sia-sia.
Rigen tidak hanya mengambil suaraku. Dia merenggut napasku, kesadaranku, bahkan kewarasanku. Bibirnya bergerak, sentuhannya yang kasar, panas, dan tak sabar menelan seluruh sisa logikaku.
Gerakan penuh gairah darinya seperti pusaran sensasi.
Saat ciuman Rigen semakin tak terkendali, aku secara naluriah mengulurkan tangan dan melingkarkan lenganku di leher Rigen. Berpegangan erat padanya seolah-olah sedang bertahan hidup, sementara itu, ciuman darinya menjadi semakin intens dalam sekejap.
Tangan Rigen dengan santai menyentuh resleting gaunku yang berada di punggung. Gaun yang menutupi tubuhku dalam sekejap melorot saat dia menarik resletingnya turun, memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
"Rigen, ini–"
Sebelum aku selesai bicara, Rigen memotong dengan suara tajam.
"Ini hukuman," ujarnya. “Sekaligus pelajaran untuk Nyonya Ataraka, istriku.”
"Ah!"
Erangan kaget keluar dari mulutku saat tangan besar dan dingin milik pria itu menyentuh bagian tubuhku yang belum pernah disentuh manusia lain sebelumnya. Sensasi aneh menyebar ke seluruh tubuhku sehingga badanku sedikit gemetaran.
"Bukankah tadi malam kamu juga melakukan semua ini pada tubuhku yang tak berdaya, Ariella?" bisiknya tepat di telingaku. Napasnya yang panas membelai cuping telingaku, membuatku otomatis menahan napas. “Sekarang … giliranku.”
Cahaya matahari pagi merembes masuk melalui tirai tipis kamar besar itu. Udara masih hangat, penuh aroma bercampur antara parfum Rigen dan peluh semalam. Ariella membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa letih, bahkan untuk sekadar menggerakkan jari. Ia masih berada dalam pelukan Rigen. Lelaki itu memeluknya erat, wajahnya menempel di rambut Ariella, napasnya teratur, berat namun damai. Seakan badai semalam tidak pernah ada. Ariella menatap wajahnya yang tertidur. Ada ketenangan di sana, sesuatu yang jarang ia lihat ketika lelaki itu bangun. Hatinya meremas. Perasaan benci, cinta, takut, dan rindu bercampur jadi satu. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi pelukan Rigen terlalu erat. “Jangan bergerak, Riel." Suara berat itu tiba-tiba terdengar, serak dan masih mengantuk. Rigen membuka mata setengah, menatapnya. “Tetap di sini.” Ariella terdiam. “Aku harus bangun…” “Tidak.” Rigen menutup matanya lagi, menariknya lebih dekat. “Kamu tetap di sini. Aku belum selesai memeluk
Rigen menunduk, bibirnya menelusuri leher Ariella, meninggalkan jejak panas di kulit yang bergetar. “Karena aku keras kepala. Karena aku mencintaimu dengan cara yang salah. Tapi malam ini, aku akan buat kamu merasakannya, bukan hanya mendengarnya.” “Rigen… jangan…” Ariella merintih, napasnya tersengal, tubuhnya bergetar di bawahnya. “Jangan apa?” tanya Rigen, mengangkat wajahnya, tatapannya tajam menembus mata Ariella. “Jangan mencintaimu? Jangan gila karena kamu? Itu mustahil.” Ariella menggigit bibir, air matanya jatuh satu per satu. “Aku takut… kalau kamu bohong…” Rigen menunduk, mencium bibirnya dengan brutal, menelan tangisnya. “Aku akan cium kamu sampai kamu tidak bisa lagi meragukanku, Riel," jawabnya tanpa ragu. Ciuman itu panjang, dalam, menuntut. Ariella terengah, suaranya pecah di sela bibir yang disergap. “Rigen… ahh…” Rigen melepaskan tangannya hanya untuk menarik pinggang Ariella lebih dekat. “Aku ingin dengar suaramu. Aku ingin kamu teriak namaku. Biar semua
“Kenapa… kenapa selalu aku yang harus menanggung ini?” Ariella terisak di sudut ranjang, lututnya ditarik ke dada. Air matanya tak berhenti, matanya bengkak, suaranya parau. Gambar Rigen dan Lily yang keluar dari mobil dengan baju berantakan terus berputar di kepalanya, menusuk jantungnya tanpa ampun. Tangannya gemetar memegang dada sendiri. “Aku bodoh… percaya pada janji yang bahkan tidak bisa dia jaga semalam pun…” Pintu kamar tiba-tiba terbuka keras. Rigen masuk, langkahnya berat dan tidak stabil. Wajahnya merah, kemejanya berantakan, napasnya bau alkohol. “Ariella…” suaranya rendah, serak. Ariella langsung mendongak, matanya merah basah. “Jangan panggil namaku!” ia berteriak, suaranya pecah. “Kamu… kamu benar-benar tega, Rigen. Malam kemarin kamu bilang aku satu-satunya, kamu janji selalu di sisiku… tapi hari ini aku melihat kamu… dengan dia!” Rigen menutup pintu di belakangnya, menunduk, lalu perlahan melangkah mendekat. “Itu tidak seperti yang kamu pikirkan.” “Tida
“Ayo, Rigen.” Suara lembut itu terdengar dari ambang pintu ruang kerja. Lily berdiri di sana dengan senyum yang seolah penuh ketulusan. “Sudah lama sekali kita tidak keluar bersama. Hanya sebentar. Anggap saja… reuni kecil," bujuknya sekali lagi dengan suara lembut. Rigen yang sedang memandangi layar laptopnya mengangkat alis, wajahnya dingin. “Aku tidak punya waktu untuk keluar, Lily. Ada urusan yang lebih penting," jawabnya, tegas. Lily melangkah masuk tanpa meminta izin, gaun sifon yang ia kenakan bergerak mengikuti langkahnya. “Selalu saja begitu. Sibuk, dingin, menutup diri. Padahal dulu…” Lily sengaja berhenti tepat di samping meja kerja, menyandarkan tangan di permukaan kayu, lalu lanjut bicara. “Dulu kau selalu menemaniku. Kau ingat? Kita berdua melawan dunia bersama. Kau bilang, aku satu-satunya yang benar-benar mengenalmu.” Rigen menutup laptopnya dengan satu hentakan. Tatapannya menusuk. “Itu dulu. Keadaannya sudah berbeda.” “Berbeda bagaimana?” Lily
“Aku benci kamu, Rigen… lepaskan aku!” Suara Ariella pecah, terdengar serak karena tangisan. Tubuhnya masih bergetar saat Rigen mendorongnya ke ranjang. Tatapan hitam Rigen menajam, tapi bukan dingin—ada api, ada luka, ada rasa ingin menelan bulat-bulat wanita di hadapannya. “Benci aku? Kau pikir aku akan diam saja setelah melihatmu hampir disentuh orang lain?” “Aku tidak melakukan apa-apa dengan Ror!” Ariella menjerit, mencoba menepis tangan Rigen di pergelangan tangannya. “Kamu selalu menuduh, selalu tidak percaya. Kamu tahu betapa hancurnya aku melihat Lily di sisimu? Kamu—” Sebuah ciuman kasar menghentikan kata-katanya. Rigen mendominasi bibir Ariella dengan paksa, mencuri napasnya, hingga gadis itu hanya bisa mengerang tertahan. Ia berusaha memalingkan wajah, tapi tangan besar Rigen menahan rahangnya. “Jangan sebut nama perempuan itu di hadapanku lagi,” desis Rigen di sela ciuman, nadanya rendah, nyaris bergemuruh. “Aku tidak peduli pada Lily. Yang kubenci ha
“Ariella!” Suara Rigen menggelegar di halaman taman itu, tajam dan penuh bara. Ariella tersentak, tubuhnya menegang. Ia baru saja mendorong lengan Ror yang hendak menyentuh wajahnya. Bukan ciuman sungguhan, hanya gerakan spontan Ror saat melihat air mata yang nyaris jatuh dari mata Ariella. Namun tepat di saat itu, Rigen muncul. Mata suaminya memancarkan api. Nafasnya berat, dada bidangnya naik turun cepat. “Rigen… bukan seperti yang kamu lihat,” ucap Ariella dengan suara lirih, terbata. “Bukan seperti yang aku lihat?” Rigen mendengus, melangkah maju. Tangannya langsung menarik pergelangan Ariella kasar, membuat tubuh wanita itu hampir terjerembab ke dadanya. “Aku melihat jelas, Ariella! Dia hampir mencium kamu!” “Bukan!” Ariella berusaha melepaskan diri, tapi genggaman Rigen terlalu kuat. “Ror hanya—” “Diam!” bentaknya. Tatapan Rigen menusuk tajam ke arah bodyguard-nya. “Keluar dari sini sebelum aku benar-benar menghabisimu!” Ror mengepal tangannya, wajahnya tegang. “Tua