Share

5. Hukuman!

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-04-14 09:40:53

"H-hah? Tidak. Rigen, tunggu, aku bisa menjelaskan! Tadi…!"

Suara panikku terdengar lemah dibandingkan aura mengerikan yang terpancar dari pria itu.

Langkahnya panjang, anggun, dan mengancam. Tatapannya menusuk hingga meremukkan keberanianku. Refleks, aku mundur. Namun, tiap langkahku ke belakang, Rigen semakin mendekat.

"Penjelasan seperti apa?"

Nada suaranya tenang, tapi justru itulah yang membuat bulu kudukku meremang. Ketakutan mencengkeramku lebih kuat daripada rantai anjing yang pernah dipasangkan di leherku.

"I-Itu.…"

Tenggorokanku tercekat. Aku ingin menjelaskan, tapi suaraku lenyap begitu saja. Sebelum aku sempat mengucapkan satu patah kata—

Jemari Rigen yang kuat mencengkeram daguku, mengangkat wajahku paksa. Napasnya yang panas menyentuh kulitku saat jarak di antara kami menguap menjadi hampir nol.

"Wajahmu tampak begitu polos, tapi ternyata kamu licik juga, ya?"

Matanya bersinar keemasan, tajam, dan berbahaya. Aku seperti tikus kecil yang terperangkap di depan seekor singa lapar.

"A-apa maksudmu, Rigen?"

Suaraku hampir bergetar.

"Bukankah kamu sengaja melakukannya? Tepat saat ibuku masuk, menciptakan skenario yang sempurna untuk membongkar rahasia komaku?"

Senyumnya sinis. Menikam.

Segera aku menggeleng panik. "Tidak! Aku tidak mungkin—"

Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat, cengkeraman Rigen berubah. Jemarinya kini menguasai rahangku, menekan pipiku, lalu—

Bibirnya menghantam bibirku.

Mataku melebar, tak sanggup menyembunyikan keterkejutan.

Darahku berdesir liar. Aku ingin menolak, tapi tubuhku membeku di bawah kuasanya.

"Sekarang coba jelaskan,Ariella," bisiknya di sela ciuman, suaranya rendah dan menyesakkan.

"Tapi ingat, setiap satu kata keluar dari mulutmu, bibirmu akan kubungkam sepuluh kali lipat dengan ciumanku."

"Rigen—"

Kesalahan fatal. Begitu satu kata lolos dari bibirku, dia menepati ancamannya.

Ciuman lain menghantam bibirku.

Lebih dalam. Lebih panas. Lebih menuntut.

Aku ingin berteriak. Tapi sia-sia.

Rigen tidak hanya mengambil suaraku. Dia merenggut napasku, kesadaranku, bahkan kewarasanku.

Bibirnya bergerak seolah ingin menghukumku, tapi justru sentuhannya yang kasar, panas, dan tak sabar menelan seluruh sisa logikaku.

Ciuman penuh gairah darinya seperti pusaran sensasi.

Saat ciuman Rigen semakin tak terkendali, aku secara naluriah mengulurkan tangan dan melingkarkan lenganku di leher Rigen. Berpegangan erat padanya seolah-olah sedang bertahan hidup, sementara itu, ciuman darinya menjadi semakin intens dalam sekejap.

Tangan Rigen dengan santai menyentuh resleting gaunku yang berada di punggung. Gaun yang menutupi tubuhku dalam sekejap melorot saat dia menarik resletingnya turun, memperlihatkan pakaian dalamku.

Rigen mengecup bibirku sekali lagi, sambil menyelipkan tangannya ke balik pakaian dalamku dan meremas buah dadaku yang cukup montok.

"Rigen, ini.... "

Sebelum aku selesai bicara, Rigen memotong dengan suara tajam.

"Ini hukuman," ujarnya.

"Hukuman?"

"Bukan? Kalau begitu... ini pelajaran. Bukankah kamu begitu inginnya dianggap sebagai istriku?" balasnya, tampak tak peduli.

"Ah!"

Erangan kaget keluar dari mulutku saat tangan besar dan dingin milik pria itu menyentuh bagian tubuhku yang belum pernah disentuh manusia lain sebelumnya. Sensasi aneh menyebar ke seluruh tubuhku sehingga badanku sedikit gemetaran.

"Bukankah tadi malam kamu juga melakukan semua ini pada tubuhku yang tak berdaya, Ariella?"

Rigen berkata seraya menggenggam buah dadaku yang lembut, meremasnya erat-erat dengan tangannya.

Ia mulai meremas-remas puting payudaraku yang tegak di antara jari-jarinya. Saat Rigen menggerakkan tangannya, aku bisa merasakan putingku membesar sedikit dan mengeras.

"Hey, aku... aku hanya mengusap pelan perutmu yang sickpack. Aku tidak melakukan sejauh itu!" seruku, mencoba melepaskan diri.

"Ohya? Lalu apa bedanya dengan sekarang?" balas Rigen, sambil menopang pinggangku dengan kuat sehingga mencegah diriku melarikan diri.

Apa bedanya? Ini sangat berbeda!

Aku berteriak dalam hati dengan frustasi.

"Kumohon, Rigen.... "

Mataku yang basah memandangnya dengan ekspresi memohon, tapi Rigen berkata dengan dingin.

"Ikuti pelajaran dengan baik, Ariella. Atau kamu akan mendapat hukuman yang lebih berat karena menjadi siswa yang tidak patuh."

Rigen mengatakan hal itu sambil membuka kait bra yang selama ini menekan payudaraku dan membungkam mulutku dengan ciumannya, sehingga bra itu pun meluncur ke bawah, Rigen lantas meninggalkan bibirku dan mencium tengkukku, sedikit menggigitnya.

"Ah, Rigen!"

Aku menjambak rambutnya yang rapi sebagai bentuk protes, tapi Rigen tak bergeming sama sekali, bibirnya meluncur ke bawah dan menggigit-gigit putingku seolah sedang mencari buah manis.

“Hngh!”

Aku mengerang dan melengkungkan leher ke belakang saat lidah Rigen kembali menggigit putingku yang keras dan kemudian menjilati dengan lembut payudaraku di sepanjang areola.

Tubuhku hampir tak mampu menahan pria besar yang terus mendorongku itu sehingga badanku jatuh ke belakang tepat di mana sofa empuk berada.

Aku bahkan tak sempat merasakan kelembutan sofa yang membungkus tubuhku. Jilatan dan isapan Rigen pada buah dadaku membuat punggungku melengkung.

"Bagus. Anak baik.... "

Rigen berkata seperti itu, dengan tangannya yang tak henti-hentinya membelai buah dadaku.

Satu tangannya yang lain kini merayap ke atas rokku dan naik ke pahaku. Ia membelai daging halus di paha bagian dalam, seakan-akan ingin menenangkan rengekan gugup yang keluar dari mulutku.

Ketika melihat aku yang patuh, Rigen perlahan merentangkan kedua kakiku dan menurunkan celana dalamku, yang menyembunyikan tempat-tempat paling intim dan sensitif.

Tangan besar Rigen menyelinap di bawah pantatku yang tertutup rapat dan membelai bagian luarnya dengan lembut.

Cairan yang membasahi area bawahku, memungkinkan tangannya meluncur tanpa perlawanan, bahkan ketika dia bergerak dengan lembut.

Rigen menjauhkan mulutnya dari dadaku sejenak dan menegakkan punggungnya. Tatapannya terlihat puas, seakan-akan suka melihat diriku yang berantakan di bawahnya.

Buah dadaku yang dipenuhi ludah dari gigitan dan isapannya, dipenuhi bekas merah yang ditinggalkan oleh Rigen.

Dadaku bergoyang naik turun dengan kasar saat napasku terengah-engah, membuat bekasnya semakin jelas.

Merasakan tatapan Rigen padaku, wajahku seketika memerah karena malu. Aku merasa lebih malu karena ia berbaring di sofa dengan panik, tidak dapat mengendalikan diri, sementara Rigen tampak berpakaian rapi, bersih dan santai.

“R-Rigen, kenapa hanya aku yang…!”

Tepat saat aku hendak melayangkan protes, salah satu jari Rigen membelai lembut ke bawah, meluncur melintasi celahnya dan perlahan mendorong ke dalam.

“Hah!”

Aku menjerit karena sensasi yang asing itu, tetapi tidak sakit karena milikku sudah basah kuyup di sana.

Untungnya, jari-jari Rigen segera ditarik kembali.

Namun, sebelum aku merasa lega karena benda asing itu telah dikeluarkan, jarinya kembali masuk, dan sebelum aku menyadarinya, jari yang memeriksa itu telah membesar dua kali lipat.

“Hmph, Rigen!"

Aku berteriak secara reflek, tapi Rigen tampak tak peduli dan menikmati semua tindakannya.

Jari-jarinya menggaruk bagian dalam dengan dalam, lalu perlahan-lahan menarik kembali seolah-olah ingin menegaskan kehadirannya.

Rasa dingin menjalar di tulang punggungku, saat rangsangan yang tidak dikenal itu berlanjut di tempat yang tidak pernah kubiarkan dunia luar mengganggunya.

“Hah…!”

Di tengah diriku yang meragukan suara dan eranganku sendiri, tubuhku saat ini hanya terfokus pada rangsangan dari bawah.

Jari-jari Rigen menari-nari di atas permukaan licin di bagian bawahku, menghasilkan suara yang erotis sekaligus meresahkan. Suara telanjang dan cabul itu membuatku merasa semakin asing.

Aku terlempar ke dalam pusaran sensasi yang tidak kukenal, tubuhku bereaksi dengan cara yang belum pernah kualami sebelumnya.

“Sampai kapan kamu akan… Hngh ....”

Aku mencengkeram ujung kemeja Rigen dengan bingung dan takut. Rigen hanya menyeringai dan menggoyangkan jarinya ke dalam. Saat jarinya melewati titik tertentu, pinggulku reflek bergerak liar.

Rigen tidak melewatkan reaksi itu dan terus mengusap titik sensitif itu berulang kali, meningkatkan rangsangan dengan setiap gerakan. Aku hanya bisa terkesiap saat merasa diriku semakin kewalahan dengan apa yang tengah terjadi ini.

“Hmph…!”

Kenikmatan yang sulit ditahan itu tiba-tiba meledak. Gelombang sensasi yang kuat melanda, lalu perlahan surut, membuatku merasa gembira sekaligus hampa.

Saat tangan Rigen ditarik, orgasme ringan itu mereda, dan semua kekuatan meninggalkan tubuhku. Tubuhku rileks hingga aku samar-samar bisa merasakan kepekaan seluruh tubuh berkedut karena sentuhan sekecil apa pun dari pria itu.

Rigen memanfaatkan momen itu dan menarik bagian bawah celana dalamku, yang masih dekat dengan paha. Sensasi celana dalam yang menyentuh pergelangan kaki, perlahan-lahan membuatku tersadar sehingga aku pun mendongak ke arahnya.

Rigen Ataraka masih sedingin biasanya.

Menatapnya dari posisiku yang sedang berbaring membuat dirinya tampak lebih menakutkan dari biasanya.

"Bagaimana rasanya? Apakah menyenangkan disentuh seperti tadi, Riel?"

Rigen bertanya.

Bukan dengan nada romantis. Bukan pula kata-kata yang menenangkan. Itu adalah ejekan kejam.

Dadaku terasa seperti dihantam palu. Napasku tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena sesuatu yang lebih menyakitkan—penghinaan yang menyusup ke dalam tulangku.

"R-Rigen… Aku… aku minta maaf."

Suara serakku nyaris tak terdengar. Rambutku acak-acakan, tubuhku gemetar, dan mataku terasa panas, tapi aku menolak membiarkan air mata jatuh.

Rigen hanya menatapku. Tatapan itu kosong, dingin, dan tak terbaca.

Lalu, senyuman itu muncul. Arogan. Menikam.

"Hari ini pelajarannya cukup sampai sini, Riel. Aku harap setelah ini kamu bisa lebih berhati-hati dalam bertindak."

Dia menarik sapu tangan dari sakunya, mengusap tangannya dengan santai, seolah menyeka sesuatu yang kotor.

"Aku bukan pria baik."

Kalimat itu jatuh begitu saja, berat dan mematikan.

Aku menatapnya dengan mata membelalak. Dia masih tampak sempurna, tanpa cela, sementara aku—berantakan, remuk, dan tak berdaya.

Dan setelah itu, dia pergi.

Tanpa menoleh. Tanpa ragu.

Seakan aku tak lebih dari sampah yang baru saja dibuang.

Hatiku, yang sempat mekar dalam kebingungan, seketika meredup seperti kuncup yang layu sebelum sempat berbunga.

Genggamanku menguat. Suaraku lirih, nyaris tak terdengar.

"Kenapa, sih… Kenapa kamu begitu jahat…?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   64. Kemarahan Rigen

    Tengah malam, Rigen baru saja kembali. Hari kemunculannya kembali benar-benar melelahkan sehingga dia bahkan tak beristirahat sedikit pun. Pintu rumah terbuka dengan suara pelan. Langkah Rigen mantap, namun pikirannya masih dipenuhi angka dan laporan dari rapat hari ini. “Jovian,” panggilnya datar, “bawakan berkas merger itu ke ruang kerja.” Tidak ada jawaban. Aneh. Rigen melangkah masuk, meletakkan jas di gantungan, lalu menuju ruang makan. Sekilas, suasana rumah ini… terlalu sunyi. Tidak ada aroma teh kesukaan Ariella. Tidak ada suara langkahnya di atas karpet. Matanya menyapu meja makan. Sesuatu menarik perhatiannya. Sepotong amplop putih tergeletak di sana. Tidak ada nama. Tidak ada tulisan. Kening Rigen mengerut saat melihat cincin pernikahan yang biasa tersemat di jari manis Ariella, kini ada di sana. Rigen mengambil amplop putih itu dan membukanya perlahan. Begitu melihat isinya, ekspresi Rigen langsung mengeras. Itu… surat perceraian. Tangannya mengepal. “Ariell

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   63. Pergi Dari Rumah

    Selepas kepergian Jovian, aku duduk membisu di ruang makan. Mataku terpaku pada lantai, tempat foto itu kini tergeletak. Jemariku bergetar halus, udara seperti menyesakkan. “Kenapa…” gumamku, nyaris tak terdengar. “Kenapa bukan kamu sendiri yang bilang langsung, Rigen? Kenapa harus lewat Jovian?” Suaraku hanya ditelan ruangan kosong. Tak ada jawaban. Namun, kata-kata itu terus berputar di kepalaku. Berkali-kali. Ponselku tergeletak di meja. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan. Tak ada panggilan dari Rigen. “Bahkan setelah aku tahu,” bisikku lagi, “Rigen masih diam saja…” Menghempaskan tubuh ke sandaran kursi, aku menatap langit-langit dengan mata yang mulai panas. Perih. Hati ini seperti dijepit dari segala arah. Tanpa daya, aku memungut foto itu lagi, menatap wajah perempuan cantik di samping Rigen. “Selena, ya?” tanyaku lirih, seolah berharap foto itu bisa menjawab. “Tunangan? Lalu aku ini apa?” Suara tawa kecil—pahit—keluar dari mulutku. “Istri kontrak? Mainan?” T

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   62. Rigen Punya Tunangan?

    Siang itu, udara di rumah terasa tegang. Setelah pagi yang begitu intens dan penuh gairah, aku pikir Rigen akan tetap sibuk di ruang kerjanya, seperti biasa, tapi ternyata tidak. Ketika aku turun ke ruang makan, langkahku sempat terhenti di ambang pintu. Ada Jovian—sekretaris pribadi Rigen—sudah duduk di sana, duduk dengan postur tegap dan penuh perhitungan. Seperti biasa, dia tampak rapi dengan kemeja abu muda yang disetrika tanpa cela, dan ekspresi wajah yang tidak pernah bisa aku baca sepenuhnya. Senyumnya muncul begitu melihatku, tapi bukan senyum yang hangat. Itu senyum sinis yang terlalu halus untuk disebut mengejek, tapi terlalu menusuk untuk diabaikan. "Nona Ariella," sapanya datar, tanpa menunjukkan respek. “Sepertinya kamu semakin nyaman di rumah ini.” Nada bicaranya bukan sekadar basa-basi. Itu seperti pisau kecil yang diselipkan di antara kata-kata, menggores tanpa benar-benar menyentuh. Menahan diri sekuat mungkin, aku menjawab. “Memangnya kenapa?” Dia menyandark

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   61. Konferensi Pers!

    Rigen tengah berdiri di depan cermin tinggi di ruang pribadinya. Setelan jas hitam Armani sudah melekat sempurna di tubuh tegapnya, menciptakan bayangan seorang pemimpin yang dingin, tegas… dan siap merebut kembali tahtanya.Jovian masuk perlahan, membawakan dasi gelap yang belum dipakai Rigen. “Tuan,” ucapnya sambil mendekat.Rigen mengambil dasi itu dan mengikatnya sendiri. Gerakannya rapi dan tenang, tapi aura tekanan di udara begitu terasa.“Tinggal dua jam sebelum konferensi dimulai,” lanjut Jovian. “Semua anggota dewan sudah memastikan kehadiran. Termasuk Jason.”Rigen tidak menjawab. Dia hanya menyelipkan kancing terakhir jasnya dan menatap bayangannya sendiri. Matanya… kosong tapi penuh amarah yang terpendam."Silakan, Tuan."Jovian kembali berkata dengan sopan, yang dibalas Rigen dengan anggukan. Saat keluar dari ruang kerja, ujung mata Rigen melirik ke arah kamar tidur utama yang tertutup, tempat di mana Ariella tengah tertidur pulas. Rigen berhenti sejenak, menghela napas

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   60. Detik-detik Menegangkan

    Aroma kopi segar menyusup masuk ke kamar, membuatku akhirnya bangkit dari ranjang. Aku masih mengenakan kemeja Rigen—kebesaran, panjangnya hampir menutupi pahaku. Namun, justru itu yang membuatnya terasa hangat, seperti pelukan yang belum benar-benar usai.Saat aku masuk ke dapur, pemandangan pertama yang kutangkap adalah punggung Rigen, berdiri di depan mesin kopi, rambutnya masih sedikit acak, kaus tipis menempel pada tubuhnya yang berkeringat tipis. Bahkan dalam kesederhanaan seperti ini, pria itu tetap terlihat berbahaya.“Aku kira kamu cuma bercanda soal kopi,” ucapku sambil bersandar di kusen pintu.Ia menoleh sebentar, lalu tersenyum miring. “Aku tidak pernah bercanda soal dua hal—kamu, dan kopi.”Menahan debar di dada, aku tertawa kecil, melangkah masuk dan duduk di kursi bar dekat meja. Di hadapanku, ada dua piring: roti panggang dengan telur setengah matang, dan potongan alpukat yang ditata rapi. Melihat betapa cantiknya hidangan itu, aku menatapnya, curiga. “Rigen? Kam

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   59. Kecanduan Kamu

    Matahari menyusup pelan di balik tirai kamar, menyinari bayangan tubuh Rigen yang masih tertidur di sampingku. Napasnya tenang. Dingin. Tapi tangannya masih melingkar di pinggangku, seolah menandai bahwa aku miliknya… bahkan saat dia tidur.Menatap wajahnya yang damai, tampan dan misterius seperti biasa, aku tersenyum sendiri. Pria ini bukan hanya mendominasi hidupku — dia mengacak-acaknya, meremukkannya… dan entah kenapa, aku tetap tinggal.Aku perlahan bangkit dari tempat tidur, mencoba tak membangunkannya. Tapi belum sempat kakiku menyentuh lantai, suara seraknya menghentikanku.“Pagi-pagi mau kabur, hm?”Menoleh, aku menemukan mata gelap itu sudah terbuka, menatapku lekat-lekat. Tatapannya… seperti api yang belum padam sejak semalam.“Aku cuma mau minum,” gumamku cepat.Rigen menarikku kembali ke ranjang, dengan mudah. Tubuhku jatuh ke dadanya yang hangat.“Kamu suka membuatku marah malam hari… dan mencoba lari pagi harinya. Kebiasaan buruk, Riel.”Aku mendesah. “Kamu juga punya

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   58. Janji Manis

    Melihat kilatan obsesi di mata Rigen, aku merasa kesenangan yang aneh. Aku menarik napas pelan, lalu mengangkat tanganku dan menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku cuma lecet di lutut, Rigen. Tidak perlu sedrama itu…” selorohku sambil tertawa kecil. Namun Rigen langsung menggeleng. Matanya menatapku dalam, tajam, tapi juga seperti menyimpan rasa takut yang tak bisa ia ucapkan. “Lecet atau apa pun itu… tetap aja kamu terluka. Dan aku tidak bisa nerima itu. Tidak akan pernah, Riel.”Perlahan, kata-katanya mulai merayap ke dalam hatiku, mengendap di ruang-ruang yang selama ini kuhindari. Aku mulai merasa aneh, gugup, tapi juga hangat. Entah kenapa, cara dia bicara, cara dia memandangku, semua terasa terlalu dalam. Terlalu… tulus.Menelan ludah, aku berusaha tidak terlihat terlalu terbawa suasana, tapi gagal. “Rigen…” bisikku. “Kalau kamu benar-benar segitu pedulinya… janji satu hal ke aku.”Dia menatapku, alisnya sedikit terangkat. “Apa?”“Kalau ada apa-apa… sekecil apapun itu, kam

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   57. Tidak Boleh Ada Yang Menyentuhmu

    “Beraninya kamu menyentuhnya.” Suaranya dingin. Dalam. Tapi jauh di balik nada datar itu, ada kemarahan yang ditahan—dan cemburu yang membakar. Aku mendongak cepat. Rigen berdiri tak jauh dari kami. Tubuhnya tegak sempurna dalam setelan gelapnya, wajahnya tak menunjukkan ekspresi, tapi matanya... tajam dan menusuk lurus ke arah pria muda yang masih berlutut di hadapanku. Pengawal itu refleks menunduk dalam-dalam. Tangannya segera menjauh dari kakiku, bahkan mundur sedikit. “T-tuan Rigen...” ucapnya gugup, “Saya... saya hanya—” “Simpan alasanmu,” potong Rigen, langkahnya mendekat perlahan. “Cukup.” Suaranya sedingin salju Yordania. Rigen kini berhenti tepat di antara kami. Tanpa melihat ke arahku, ia membungkuk sedikit, mengambil kapas dari tangan si pengawal dengan gerakan tenang namun penuh tekanan. “Aku yang akan mengobatinya,” ucapnya tegas. “Pergi.” "B-baik, Tuanku." Pengawal itu menunduk lagi, cepat-cepat berdiri, dan melangkah mundur. Sebelum ia benar-benar pergi, R

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   56. Terluka.

    "Hmmm, apa yang dibicarakan Jovian dan Rigen, ya?" gumamku penasaran, karena semenjak pembicaraan siang itu, aku merasa Rigen sedikit menjauh. Bukan menjauh, sih. Lebih tepatnya seperti membatasi diri. Rigen yang biasanya menyempatkan diri ke kamarku, kini selalu sibuk di kamarnya. Aku merasa jarak di antara kami yang awalnya sudah sedikit tertutup, kini terbuka lagi. "Hahh, aku bosan." Berguling-guling di kasur, aku menghela napas panjang. Aku sudah mencoba semua hadiah mahal dari Rigen, tapi karena tak pernah keluar rumah, apa gunanya semua gaun mewah dan perhiasan mahal itu? Tak ada pesta yang bisa kuhadiri untuk memamerkan pemberian Rigen. Aku mengintip kamar Rigen yang hari ini, lagi-lagi tertutup, membuat kami terasa asing. "Aku ingin bicara dan ngobrol dengannya. Tapi, pembahasan apa?" Baru kusadari, aku sebenarnya tak tahu banyak hal tentang pria yang kini menjadi suamiku itu. "Hmm, tapi tidak ada salahnya aku maju lebih dulu, kan? Aku sangat bosan."

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status