Meski takut, aku mencoba tenang dan menjawab dengan suara menantang. "Itu bukan urusanmu, Rigen. Kita hanya menikah kontrak," ucapku lirih, mengingatkan bahwa hubungan ini tidak seharusnya penuh dengan keterikatan seperti ini. Namun, kata-kataku justru menjadi pemicu yang membuatnya bergerak cepat. Dalam sekejap, rahangnya mengeras, dan sebelum aku sempat menarik napas, bibirnya sudah menabrak bibirku dengan kasar. Ciumannya tidak lembut, tidak penuh kasih—ini adalah tanda kepemilikan. “R-Rigen!” Aku terkejut, tanganku mendorong dadanya, berusaha menjauh, tapi tubuh Rigen seperti batu, tak bergeming sedikit pun. Bibirnya terus memburu bibirku, menekan, menuntut, menandai. Ia tidak memberiku kesempatan untuk bernapas, untuk berpikir, seolah ingin menghancurkan semua pertahananku. Aku merintih pelan di antara lumatan panasnya. Aku ingin melawan, mengingatkan bahwa pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi bagaimana aku bisa bertahan saat ia terus menenggelamkanku dala
Rigen melepas kemejaku dengan sekali tarik, kekuatannya membuat seluruh kancingnya berterbangan. "Riel, ingat-ingat. Beginilah hukumanmu kalau tidak patuh." Setelah berkata seperti itu, Rigen lantas menempelkan bibirnya kembali ke dadaku. Kelembutan bulat payudaraku menghilang di antara bibirnya, yang hangat dan lembap. "R-Rigen.... " Napasku seakan tertahan, sehingga mengeluarkan suara seperti tercekik. "Ah-Ahh!" Tanganku mencengkeram sprei kuat-kuat saat Rigen mulai menjilati ringan puting ku dengan lidahnya, sebelum ia secara bertahap meningkatkan kecepatannya, menghisapnya dengan penuh semangat seperti anak kecil yang sedang menyusu pada ibunya. “Ah! Hnng, mmnh…” Kututup mulut rapat-rapat dengan tangan, saat suara desahan yang memalukan bocor keluar. Sensasi sentuhan Rigen sungguh aneh dan tak terlukiskan. Rasa panas yang menusuk menjalar dari dadaku, menyebar ke seluruh tubuh. Kehangatan yang tak biasa itu menetap di perut bagian bawahku, membuat jari-jar
Mataku seketika membelalak kaget, tidak terima dengan tuduhannya. "Hey, siapa pun yang di sentuh seperti itu...!" Aku hendak mengajukan sederet alasan, tapi wajahku memerah karena malu. Apalagi ketika aku menyadari tatapannya, yang tertuju tajam di antara kedua kakiku. Bingung, secara naluriah aku mencoba menutupnya, tetapi tangan kokoh Rigen menghentikannya, dengan lembut menahannya agar tetap terbuka lagi. “Jangan… jangan lihat. Itu memalukan.” Aku mengeluarkan suara merintih. “Kenapa? Kamu sudah lihat punyaku. Lagipula… aku harus melihatnya jika akan memasukkannya.” Mendengar jawaban blak-blakannya, aku mengerutkan kening. Dia tidak salah, tetapi apakah dia benar-benar perlu mengatakannya dengan begitu gamblang? "Ta, tapi, Rigen.... " Aku merasa kehilangan kata-kata saat jari-jari panjang Rigen dengan lembut membelah daging sensitif ku. Kehangatan sentuhannya menyusul, menekan kulit licin yang sudah basah karena gairah. “Ah! Berhenti, jangan—hnng!”
Lidah Rigen yang kasar kini menggoda kemaluanku dengan rakus, memutar dan menjentikkannya dengan penuh semangat. Mulutnya yang panas menutup puncak kemaluanku yang sensitif, mengisap dengan keras seolah menikmati hidangan penutup yang manis. Tak puas hanya fokus pada satu bokong, tangan Rigen yang bebas menjelajahi lekuk tubuh wanita itu yang lain, dengan penuh semangat menggenggamnya. “Haa, ahh, Rigen. Tidak, tidak. Tolong berhenti!” Mukaku merah padam antara rasa malu dan gairah, tapi Rigen sepertinya tak ada niatan menghentikan hukuman ini. Tangan besar Rigen meremas pantatku yang lain dengan posesif, jari-jarinya mencubit dan memutar-mutar kemaluanku dengan intensitas yang semakin meningkat. Saat rangsangan yang tak henti-hentinya berlanjut, aku merasakan cairan lengket yang basah berkumpul di antara kedua kakiku. Sensasi aneh itu membuatku kehabisan napas, napasku semakin berat setiap detiknya. Mulut Rigen bergerak dengan penuh nafsu, bibirnya terbuka untuk mengh
Asap rokok melayang pelan dari sela jari Rigen, membentuk siluet kabur di udara yang hening. Ia duduk di kursi kulit hitam, bersandar dengan mata terpejam dan rahang mengeras. Di balik kelopak matanya, adegan semalam kembali berputar. Ariella. Sentuhan hangatnya. Tatapan mata yang penuh tanya. Tubuh yang terlalu dekat, terlalu lekat, hingga Rigen nyaris kehilangan kendali. Untuk sesaat, dia lupa. Lupa bahwa Ariella bukanlah siapa-siapa. Hanya istri kontrak yang dipaksakan oleh keluarga. Gadis yang ia tak tahu, musuh atau sekadar bidak permainan lain dalam rencana besar yang belum ia pecahkan. Detik itu, jantungnya berdetak terlalu kencang. Nafasnya tak beraturan. Namun, akal sehat Rigen menyelamatkannya di saat terakhir. Dengan dingin, ia menarik diri, membalikkan situasi, dan meninggalkan Ariella sendirian di kamar yang terlalu sunyi. Kini, hanya sunyi dan asap tembakau yang menemaninya. Tapi bukan rasa bersalah yang menghantuinya—melainkan rasa penasaran. Siapa sebenarn
"Hah. Setelah kuperlakuan seperti itu, dia masih bisa tertidur lelap?" Rigen yang melihat Ariella tertidur dengan begitu nyenyaknya di sofa dengan televisi yang menyala, mencibir. "Sial. Semuanya berantakan gara-gara dia," desahnya, mengusap wajah dengan lelah. Rigen menatap gadis cantik yang meringkuk di sofa dengan tatapan kesal, beberapa hari ini dia bahkan harus berlarian ke sana kemari untuk menyusun kembali rencana yang berantakan gara-gara Ariella yang memergoki dirinya ternyata pura-pura koma. Rigen Ataraka tak yakin sampai kapan gadis bodoh itu akan tutup mulut. Seharusnya semua rencananya sempurna, dia bersembunyi di vila besar yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, untuk menyembunyikan semua rencana besar yang ia susun untuk melawan Jason yang licik. Namun, ibunya malah mengirim gadis antah berantah ini ke sini, menjadi istrinya. "Aku sudah bilang pada ibu untuk tidak menikah. Kenapa dia terus menerus mengirim wanita ke ranjangku?" desah Rigen, mengusap
"Ahhhh. Kamu sangat menyebalkan, Rigen!" Aku berteriak dengan frustasi, suaraku menggema di kamar yang sunyi. Entah sudah berapa kali aku melontarkan kalimat itu sejak kejadian kemarin. Bayangan Rigen meninggalkanku di tengah puncak kenikmatan masih membakar amarah di dadaku. Bukan karena sekadar ditinggalkan, tapi karena dia melakukannya dengan senyum penuh kemenangan. Alasannya? Menghukumku. "Alah, pasti cuma alasan saja! Sebenarnya dia juga menikmati menyentuh aku, kaaan??" tuduhku, curiga. Apalagi kalau mengingat bagaimana penis besarnya kemarin menjulang tinggi di depanku. Dia jelas-jelas juga terangsang. Sambil mengacak rambut dengan gusar, tubuhku berguling di kasur seperti anak kecil yang marah pada dunia. Harga diriku hancur berantakan, dikoyak begitu saja oleh pria yang kini menjadi suamiku. Entah apa sebenarnya dendamnya padaku hingga dia tega mempermainkanku seperti itu. "Padahal kita suami istri, bisa-bisanya dia seperti itu, huhhh!" dengusku, me
"Nyonya, Jason Ataraka, keponakan jauh Rigen, sepertinya akan datang berkunjung untuk mengucapkan selamat atas pernikahan kalian. Anda tahu apa yang harus dilakukan, kan?" Jovian, sekretaris sekaligus tangan kanan Rigen, memberi tahu hal itu seraya mengulurkan padaku amplop tebal berisi informasi tentang Jason Ataraka yang harus kuketahui. "Aku tahu," jawabku, sambil mengatakan akan membaca informasi Jason Ataraka dengan hati-hati. "Tolong jangan membuat kesalahan apa pun, Nyonya." Jovian berkata dengan nada sopan, tapi aku tahu ada ancaman samar di dalamnya, tentang aku yang tak boleh membocorkan rahasia pura-pura komanya Rigen. "Jangan khawatir, aku tidak sebodoh itu," ujarku, memaksakan senyum. Jovian mengangguk dan pergi, tanpa mengatakan apa pun. Namun, entah kenapa, rasanya dia tak mempercayaiku sama sekali. Setelah membaca semua info tentang Jason, aku menunggu keponakan jauh Rigen, yang diambil anak oleh ibu Rigen dan usianya tak jauh dari Rigen, dengan gelisah d
Aku masih berbaring di atas sofa ruang kerja Rigen yang lembut, dengan rambut acak-acakan, napas berat dan tidak teratur. Air liur berkilauan di payudaraku saat payudaraku naik turun mengikuti irama napas yang terengah-engah. Itu pemandangan yang tidak senonoh. Rigen yang sudah membasahi sekujur tubuhku dengan ludah dan air mani, menatapku dengan malu, tetapi sensasi penisnya yang mencengkeram erat terlepas dari tubuhku, terlalu kuat untuk membuat aku menyadari hal lain. "Ugh, Rigen!" "Sedikit lagi, Ariella. Ayo sedikit lagi." Kami masih terus melanjutkan aktivitas itu sampai tengah malam. Rigen benar-benar tak bisa berhenti, dia terus mengisiku lagi dan lagi. Aku memohon untuk berhenti tapi Rigen terus berkata sedikit lagi dan lagi. Bagaimanapun juga, hubungan intim itu akhirnya berakhir, setelah aku hampir pingsan karena kelelahan. Aku terengah-engah dan menangis, pikirannya kacau karena kebingungan. Itu adalah campuran antara rasa sakit, kesenangan, dan pengkhia
Rigen membelai payudaraku dengan penuh kasih sayang dan perlahan mendorong penisnya di sepanjang jalan masukku yang santai. Begitu yakin berada di tempat yang tepat, ia menurunkan berat badannya dan menekan pinggangku dengan kuat. Alat kelaminnya bergerak maju, membelah celah sempit itu. Dengan satu gerakan cepat, Rigen meluncur di bawahku, yang masih basah kuyup karena belaian lembutnya. Tubuh bagian bawah kami pun bersentuhan penuh. "Haah!" Aku spontan mendesah karena rasa sakit yang menyerang. Terlalu sakit untuk berteriak, hanya suara napas yang terdengar seperti angin yang bertiup kencang. Tubuhku bergetar, dan air mata menggenang di mataku. Aku pernah diajarkan bahwa pengalaman pertama biasanya menyakitkan, tetapi ini jauh dari imajinasiku. Aku bertanya-tanya apakah wanita menahan rasa sakit seperti ini setiap kali berhubungan seks, atau apakah penis pria ini luar biasa besar. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benakku, tetapi tidak ada yang masuk akal. Aku tidak m
Rasanya otakku meleleh. Lalu, Rigen mendekatkan bibirnya ke dadaku. Jari-jarinya yang tadinya meremas-remas pintu masukku, ditarik kembali, digantikan oleh bibirnya yang dengan lembut membungkus kuncup yang sensitif itu. Sensasi diselimuti oleh panasnya yang lembut dan basah membuat air mataku mengalir deras. Perlahan, lidahnya menjilati kemaluanku yang menegang. Panas yang lembut dan lembap mengusap lembut, lalu menekan lebih kuat pada daging yang sensitif, menyebarkan ketegangan ke seluruh tubuhku dengan setiap gerakan. “Hah… ah… ahh…!” Kehangatan lembut mulutnya yang menyelimuti kemaluanku yang mengeras membuat bulu kudukku merinding. Seolah ingin menghiburku, Rigen mulai memijat dadaku dengan lembut. Mungkin itu dimaksudkan untuk membantuku rileks, tetapi efeknya justru sebaliknya. Aku menegang sampai ke ujung kaki. Meskipun tekanan yang menyesakkan itu tampaknya mereda, itu tidak membantu. Malah, debaran jantungku bertambah kuat, dan sensasi melayang menj
"Rigen.... " Dengan lengannya yang mengurungku, dan napasnya mengalir di pipiku—panas dan lembap, seperti api neraka, Rigen mendorongku lembut, tubuhku terjatuh ke sofa empuk dekat meja kerja Rigen. "Diam, Riel." Perlahan, Rigen menurunkan bibirnya ke tengkukku. Panas yang menyentuh kulit tipisku membuat bahuku tanpa sadar bergidik lagi dan lagi. Rigen lantas membuka kancing celananya. Begitu ia menurunkan celana dalamnya sedikit, penisnya menyembul keluar seolah-olah sudah menunggu. Mulutku perlahan menganga saat melihat penis yang tegak kaku itu, sedangkan Rigen malah tampak menyeringai senang. “Lihat, Riel. Gara-gara provokasimu, penisku sudah ereksi. Bagaimana kamu harus bertanggung jawab sekarang?" Rigen bertanya dengan ekspresi santai. "A-apa itu?" Aku benar-benar tercengang karena melihat penis Rigen yang luar biasa besar. Alis Rigen tampak sedikit berkerut saat menyadari bahwa itu sebenarnya bukan respons yang baik. Aku masih menatap kemaluannya denga
"R-Rigen.... "dan sebelum aku sempat memahami maksudnya, tubuhku kembali tertarik ke dalam dekapannya. "Diam dan nikmati, Riel," bisik Rigen, menyisir rambutku dengan jarinya. Bibirnya kembali menemukan milikku, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, seakan dia ingin memastikan bahwa aku tidak bisa berpikir tentang hal lain selain dirinya. Aku tidak bisa melawan. Tanganku tanpa sadar meraih kerah bajunya, menariknya lebih dekat, membiarkan panas tubuhnya menyelimutiku sepenuhnya. Ciumannya semakin dalam, semakin membara, seolah ingin mencuri seluruh kesadaranku. Aku kehilangan kendali atas tubuhku, atas pikiranku—semuanya hanya tersisa satu hal: Rigen. Saat Rigen akhirnya menarik diri, aku terengah-engah, menatapnya dengan mata yang masih dipenuhi euforia dari ciumannya. Dia menatap bibirku yang sedikit bengkak sebelum matanya kembali mengunci milikku. "Bagaimana? Masih bosan?" tanyanya, suaranya serak. Tidak bisa menjawab, aku hanya menatapnya, dengan tubu
Kurasakan cengkeramannya mengerat di pinggangku, dan seketika seluruh tubuhku dipenuhi oleh sensasi panas yang menggetarkan. Aku ingin menantangnya, ingin tetap bermain dengan api ini… tapi dalam posisi seperti ini, aku tidak yakin bisa memenangkan permainan. “Aku hanya bercanda,” bisikku, suaraku mulai bergetar. Dia terkekeh, tapi tidak ada tawa di matanya. “Bercanda, ya?” tangannya naik, ibu jarinya mengusap bibirku yang masih berlapis lipstik merah. Gerakannya lambat, nyaris menyiksa, sebelum akhirnya dia menarik daguku, memaksaku menatapnya. “Kalau begitu, aku juga ingin bermain-main sebentar.” Dan sebelum aku bisa bernapas, bibirnya sudah melumat milikku dengan penuh intensitas. "R-Rigen!" Aku berteriak terkejut, tapi tubuhku seakan sudah mengenali sentuhannya—responku datang secara alami, tanganku tanpa sadar meraih kerah bajunya, menariknya lebih dekat. Ciuman ini berbeda. Bukan hanya penuh gairah, tapi juga… menuntut. Seolah dia ingin membukti
"Ahhh. Aku ingin keluar. Aku ingin menghirup udara segar, berjalan-jalan, melakukan apa saja yang bisa mengalihkan pikiranku dari percakapan pagi tadi. Tapi.... " Kuhela napas, berat. Langit cerah, matahari bersinar hangat, tapi suasana hatiku gelap dan berantakan. Menggigit bibir, sejak tadi aku terus berusaha mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam dadaku tiap ingat percakapan antara Jovian dan Rigen tadi pagi. Rigen. Jovian. Perkataan mereka masih terngiang di kepalaku, berputar tanpa henti. "Apakah Rigen benar-benar bosan denganku?" Pertanyaan ini terus menggangguku seharian. Apakah aku hanya permainan baginya, sesuatu yang bisa dia buang begitu saja ketika sudah tidak menarik lagi? Kugelengkan kepala, mengepalkan tangan. "Tidak. Aku tidak boleh berpikir seperti itu!" Kututup mata, mencoba menenangkan diri. Jika aku tidak bisa keluar dari rumah ini, maka aku harus menemukan cara lain untuk mengalihkan pikiranku. Tapi bagaimana? Aku membuka mat
"Saya lihat, anjing yang sekarang cukup membuat Anda tidak nyaman, mungkin juga sedikit merepotkan. Jadi, haruskah saya mencarikan yang baru untuk Anda, Tuan?" Jovian bertanya lagi kepada Rigen dengan nada sopan, layaknya seorang bawahan terpercaya. Namun seperti biasa, wajahnya tetap tanpa ekspresi, seolah kata-kata Jovian tak berarti apa-apa baginya. Namun, aku tahu lebih baik dari siapa pun bahwa pria itu tidak pernah membiarkan sesuatu berlalu begitu saja. Rigen menggeser pandangannya padaku. Mata hitamnya tajam, menusuk langsung ke dalam jiwaku. Sorotannya membuatku ingin bersembunyi, tapi aku tetap berdiri di tempatku, mencoba menjaga sisa harga diriku. "Anjingku?" Rigen mengulang dengan nada rendah, nyaris berbisik, tapi setiap kata yang keluar terasa bagaikan ancaman halus. "Aku tidak ingat pernah bosan." Jovian terkekeh kecil, seolah menikmati situasi ini. "Benarkah? Tapi Anda tahu, Tuan? Setiap pria butuh variasi. Anda pasti lelah dengan hal yang sama s
“Tapi… kamu tadi bilang kamu takut kehilangan aku,” suaraku bergetar, mencoba mencari celah dalam dinding yang kembali ia bangun di antara kami. Kutatap wajahnya, berusaha membaca ekspresinya. Namun, yang kudapat hanyalah wajah datar tanpa emosi. Rigen menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku memang takut kehilangan kamu,” katanya, suaranya tetap dingin. “Tapi itu tidak berarti aku bisa memberikan lebih dari ini.” Aku terpaku mendengar jawaban dinginnya. Jadi… selama ini, semua ciuman, semua genggaman eratnya, semua tatapan penuh api itu… tidak berarti apa-apa baginya? Tidak seperti yang kupikirkan? Aku merasa seperti orang bodoh, rasanya mataku mulai panas, tapi aku menolaknya. Aku tidak ingin menangis di depannya. Tidak ketika dia sedang seperti ini. Kutarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil—meskipun terasa begitu getir. “Jadi, kamu hanya ingin aku tetap di sisimu… tanpa benar-benar menjadi milikku?” Dia menatapku lama sebelum akhi