Share

6. Jangan Memancing Kemarahanku.

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-04-29 16:59:21

“Ini. Sudah kutandatangani semuanya.”

Esoknya, tanpa ekspresi, aku menyerahkan beberapa dokumenpada Rigen. Jemariku sedikit gemetar, tapi aku menahannya agar tak terlihat lemah di hadapan pria itu.

Rigen menerima dokumen itu dengan tenang, tanpa sepatah kata. Tatapan dinginnya menelusuri tulisan di atas kertas, seolah memeriksa setiap detailnya.

“Cukup bagus.”

Itu saja yang keluar dari mulutnya. Tak ada pujian. Tak ada sindiran. Tak ada reaksi yang bisa memberiku sedikit kepastian bahwa sikapku yang berubah lebih dingin ini berpengaruh padanya.

Dan seperti biasanya, Rigen berbalik dan berjalan pergi.

Sama sekali tak peduli pada apa pun yang ada di ruangan ini. Tak peduli padaku.

Aku memandang punggung tegapnya yang menjauh, rasa frustrasi dan sakit hati memenuhi dadaku.

Bagaimana mungkin pria ini bisa begitu acuh?

Padahal, kemarin… bibirnya ada di bibirku. Tangannya menelusuri wajahku. Napasnya menyentuh kulitku.

Namun, sekarang? Seakan semua itu tak ada artinya.

Tanganku mengepal, rahangku mengeras.

"Apakah dia manusia yang tak punya perasaan?! Ini membuatku sesak!" seruku, marah.

Huh. Tapi… untuk apa aku peduli?

Aku tertawa kecil, pahit, getir, menyedihkan.

Dari awal, aku tahu pernikahan ini tidak akan pernah menjadi lebih dari sekadar kesepakatan bisnis. Rigen dan aku hanyalah dua orang yang diikat oleh kertas kontrak, bukan oleh takdir atau perasaan.

Jadi, daripada buang-buang waktu dengan sakit hati yang sia-sia… lebih baik aku menikmati kemewahan yang bisa kudapatkan selagi bisa.

“Mau ke mana?”

Suara berat Rigen menghentikan langkahku. Aku mengangkat alis, sedikit terganggu karena dia tiba-tiba tertarik dengan urusanku.

“Jalan-jalan. Ibu mertua memberiku blackcard, jadi aku ingin keluar menghirup udara segar,” sahutku, dengan nada sesinis mungkin.

Seharusnya dia mengerti maksud tersiratnya—berada di ruangan yang sama dengannya terlalu menyesakkan.

Tapi, Rigen hanya menatapku dengan ekspresi dingin seperti biasa.

"Jalan-jalan? Ke mana?"

Aku mendengus kesal. Kenapa hari ini dia cerewet sekali?

“Ya ke mana saja. Apa urusanmu?”

Setelah menjawab dengan ketus, aku berusaha melewatinya, tapi sebelum aku mencapai pintu, tubuh tegapnya sudah lebih dulu menahannya.

"Wah, Ariella sekarang semakin lupa diri dengan posisinya, ya?" ejeknya dengan tawa meremehkan.

Mataku menyipit. Kesal.

"Posisi apa? Kita sekarang terikat kontrak. Aku bukan anjingmu lagi, Rigen."

Rigen menatapku lama, lalu tersenyum tipis—senyuman berbahaya yang membuat bulu kudukku meremang.

"Ah, benar. Kamu bukan anjingku lagi," katanya pelan. Jemarinya terulur, memainkan liontin kalung yang melingkari leherku.

Refleks, aku menepis tangannya.

"Benar, kan? Biarkan aku pergi. Kamu bisa memantauku lewat kalung ini, jadi apa yang perlu kamu khawatirkan? Aku tidak cukup bodoh untuk menyebarkan rahasiamu ke sembarang orang."

"Hmm... Tapi kenapa, ya? Rasanya aku tidak ingin mengizinkanmu keluar?"

Jemariku mengepal di sisi tubuhku. Mataku menatapnya tajam. "Aku bukan tawananmu, Rigen.”

Rigen mencondongkan tubuhnya mendekat, membuat jarak kami semakin sempit. Suaranya turun menjadi bisikan yang mengancam.

“Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kamu benar-benar menjadi tawananku?”

Aku menahan napas. Bukan karena takut. Tapi karena matanya… mata itu seakan menelanjangiku, mengikatku tanpa perlu menyentuh.

Aku tidak boleh kalah. Tidak sekarang.

"Hentikan, Rigen. Aku sedang tak ingin main-main," tegasku, mencoba terdengar kuat meskipun detak jantungku sudah berantakan.

Aneh, hari ini dia melepaskanku dengan mudah. Seakan dia membiarkanku pergi… tapi tetap menggenggam kendalinya.

"Keluar dengan siapa?" tanyanya, masih dengan nada datar.

"Ambil salah satu pengawal sebagai supir," perintahnya akhirnya.

Aku tak ingin membuang waktu lebih lama di sini. "Oke, terserah. Bye!"

Tanpa menunggu reaksinya, aku segera melesat keluar sebelum Rigen berubah pikiran.

***

Aku menghabiskan hari itu dengan menikmati kebebasan yang jarang kudapatkan. Belanja, makan di restoran mahal, dan bertemu teman-teman lama.

Mereka belum tahu aku menikah, dan aku tidak punya alasan untuk memberi tahu mereka. Toh, pernikahan ini hanya sementara.

"Riel, besok ulang tahun Drake. Kamu datang, kan?"

“Yah, aku usahakan. Bukankah setiap tahun aku selalu datang," jawabku tanpa ragu.

Drake adalah salah satu dari sedikit teman baik yang kupunya. Dia selalu ada, di saat siapa pun meninggalkanku.

"Kabarnya besok akan jadi ulang tahun spesial. Dia sudah menyiapkan kejutan untukmu, Riel!"

Aku tertawa kecil mendengar itu.

"Kejutan? Wah, aku suka kejutan!" seruku, antusias.

Drake tampak tersenyum malu-malu saat melihat diriku yang antusias dengan ulang tahunnya, dan kubalas senyumannya dengan senyuman lebar.

"Drake, tahun ini kamu ingin hadiah apa dariku? Aku sekarang punya cukup uang untuk membeli apa pun!" tawarku dengan nada penuh semangat.

Namun, Drake menggeleng dan menjawab dengan suara manis.

"Tidak, Riel. Jangan memaksakan diri. Aku sudah sangat senang kalau kamu datang."

"Oke, aku akan berdandan secantik mungkin di acara ulang tahunmu besok!"

Kulihat rona merah di pipi Drake saat aku mengatakan hal itu.

"Wahhh, Drake! Besok kamu pasti akan menjadi pria paling bahagia sedunia!" goda salah satu temannya, menyenggol pinggang Drake, yang tersenyum penuh arti padaku.

Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi besok pasti akan menjadi hal yang menyenangkan. Pesta ulang tahun Drake selalu seru dan menyenangkan.

"Riel, mau kuantar?"

Begitu acara kumpul-kumpul kami selesai, Drake seperti biasa, menawarkan bantuan.

"Ehm, ah. Maaf... sepertinya tidak bisa. Maafkan aku, Drake?"

Aku bingung harus menolak bagaimana, tak mungkin juga aku membiarkan Drake mengantarkan aku pulang dan tahu rahasiaku.

"Megan masih marah ya kalau aku mengantarmu pulang?" tanyanya, sepertinya mengartikan penolakanku dengan hal lain.

"Hah? Ah, iya. Begitulah. Kamu tahu Megan bagaimana, kan?" balasku, menyesuaikan ritme.

Drake tampak begitu bersimpati dan akhirnya mengangguk dengan ekspresi mengerti.

"Baiklah, Riel. Aku tidak akan mengantarmu hari ini karena takut kamu terluka dipukuli Megan. Tapi, tolong pulang dengan selamat, ya?"

Drake memegang pipiku dengan penuh sayang, kutangkup tangannya yang besar dan hangat sambil tersenyum lebar.

"Tentu, sahabatku sayang. Aku ahli dalam hal itu. Jangan khawatir!" jawabku, tersenyum main-main untuk menggodanya yang selalu serius.

Drake balas tersenyum atas ucapanku.

Drake sedikit beda malam ini, dia yang biasanya begitu canggung saat kami bersentuhan, kini membiarkan tanganku menggenggam tangannya lama-lama.

"Besok aku akan mengeluarkanmu dari rumah itu, Riel. Aku janji."

Tiba-tiba, Drake berbicara dengan sangat serius.

Aku tak mengerti kata-katanya, tapi mengangguk saja.

"Besok ulang tahunmu, Drake. Istirahat dengan benar, oke?"

Drake mengangguk dan sebelum pergi, dia melayangkan kecupan lembut di pipiku. Bibirnya terasa lembut dan hangat saat menyentuh pipiku yang dingin karena angin malam.

"Aku tak sabar bertemu denganmu besok, Riel. Dandan yang cantik."

"Tentu!"

Drake menatapku dengan ekspresi aneh—campuran malu dan ragu. Ada sesuatu di balik tatapannya yang sulit kutebak.

***

Malam itu, aku pulang sedikit lebih larut dari yang kuperkirakan. Tapi kupikir itu bukan masalah besar.

"Aku sudah memberitahu Rigen, kan?"

Jadi, dengan tenang aku berjalan ke kamar. Mungkin Rigen juga sudah tidur sekarang.

Namun, anggapanku ternyata salah, begitu aku membuka pintu kamar....

Rigen sudah menungguku di dalam. Duduk dengan anggun di sofa hitam dengan kaki bersilang satu.

"Wah, wah. Istriku yang cantik sepertinya sangat menikmati menggoda pria lain di belakangku?'

Tatapannya tajam. Dingin. Berbahaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lil Seven
i uwww huhuil iyaaa kak
goodnovel comment avatar
Kunti Sebelah
ahaa mulai cemburu cie
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   367. CEO Bucin

    Giovanni menatap pantulan dirinya di dinding kaca ruang kerja. Setelan jas hitamnya masih rapi, dasinya masih terikat sempurna, tapi ada sesuatu di balik mata itu — sesuatu yang tak bisa lagi ia samarkan dengan logika atau gengsi. Sejak pertemuan dengan Leonardo Valez siang tadi, pikirannya tidak tenang. Bayangan tawa Alicia, cara perempuan itu menatap pria asing dengan mata berbinar, terus berputar di kepalanya seperti penghinaan yang halus tapi menyakitkan. Ia sudah berusaha menahan diri. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah sisa kesabaran yang menipis seperti api yang kekurangan udara. “Kenapa aku masih peduli?” gumamnya, menekan pelipis dengan satu tangan. Telepon di meja berdering pelan. Giovanni melirik sekilas — nama di layar: Cia. Jari-jarinya berhenti di udara beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan tombol jawab. “Kenapa?” suaranya datar, tapi ada nada dalam yang tak bisa disembunyikan. “Gio…” suara di seberang terdengar hati-hati, lembut tapi ragu. “Aku cuma mau

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   366. Benci Atau Butuh?

    “Aku bilang diam, Cia.” Nada Giovanni terdengar rendah, tajam, dan entah kenapa… bergetar di udara. Tatapannya menahan banyak hal — marah, cemburu, tapi juga sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aku terpaku. Tangannya masih di sisi kursi, menjebakku di antara tubuhnya dan meja kaca itu. “Giovanni, kamu—” “Jangan panggil aku seperti itu,” potongnya cepat, suaranya pelan tapi menekan. “Kau tahu aku benci saat suaraku keluar dari bibirmu seperti itu.” “Lalu apa? Bos?” Aku mengangkat dagu, mencoba menutupi debar di dada. “Kau mau aku terus memanggilmu seperti bawahan?” Giovanni menyipit. “Kau selalu tahu cara memancingku, ya?” “Aku hanya jujur,” balasku, menahan napas saat tubuhnya sedikit condong ke depan. “Kau pikir aku takut?” Sekilas, sudut bibirnya terangkat — tapi itu bukan senyum lembut. Itu adalah tatapan seorang pria yang tahu ia berkuasa. “Tidak, Cia,” katanya pelan, hampir berbisik di dekat telingaku. “Kau tidak takut. Dan itulah masalahnya.” Aku bergeming. Napas kami h

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   365. Aku Cuma Sekretaris

    Hari berikutnya di kantor terasa… aneh. Tidak ada sapaan pagi dari Giovanni. Tidak ada komentar sarkastik, tidak ada ejekan, bahkan tidak ada panggilan “Cia” dengan nada menyebalkannya itu. Yang ada hanya kesunyian. Dan tatapan sekilas dari balik kaca bening ruangannya setiap kali aku lewat. Entah kenapa, justru itu yang membuatku gelisah. --- Siang hari, aku membawa beberapa dokumen ke ruang Giovanni. Dia sedang menelepon, jadi aku hanya menaruh map di mejanya dengan pelan. Tapi baru saja aku hendak pergi, suaranya memanggil rendah. “Cia.” Langkahku terhenti. Aku menoleh. Dia sudah menutup teleponnya, menatapku tanpa ekspresi. “Kemarin malam.” Suara itu dalam, pelan, tapi tegas. “Aku kelewatan.” Aku menelan ludah. “Kamu sadar juga akhirnya.” Dia berdiri, mendekat. “Tapi kamu nggak sepenuhnya korban.” “Maaf?” keningku berkerut. Giovanni berhenti di depan meja, menatapku dengan tatapan yang membuat lututku lemah. “Kamu tahu gimana caranya bikin aku kehilangan kontrol.

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   364. Bukan Klien Biasa

    “Aku nggak nyangka kamu bisa segugup itu ketemu Leonardo lagi,” suara Nina, rekan satu timku, menggoda. Kami sedang bersiap untuk makan malam proyek—makan malam penting yang melibatkan klien baru dari Spanyol. Ya, dia: Leonardo Valez. Pria yang terlalu sopan, terlalu ganteng, dan terlalu tahu cara tersenyum yang bisa menyaingi bahaya. Aku memutar bola mata. “Gugup apanya? Aku cuma sekretaris, bukan yang mau negosiasi.” “Sekretaris pribadi Giovanni Axel,” Nina menekankan dengan nada bercanda. “Dan kalau gosip kantor benar, kalian... sedikit lebih dari sekadar bos dan sekretaris.” “Gosip kantor butuh terapi,” jawabku cepat. Tapi jauh di dalam dada, ada denyutan aneh yang bahkan aku sendiri tak mengerti. Giovanni sejak dua hari terakhir jadi aneh. Lebih sunyi, tapi lebih sering memperhatikan. Dan setiap kali Leonardo muncul di agenda rapat, ekspresinya berubah—dingin, tapi matanya... terlalu tajam. --- Restoran malam itu penuh cahaya keemasan. Musik jazz pelan mengalun, meja

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   363. Teguran

    “Sekretaris pribadi tidak seharusnya pulang lebih dulu dari bosnya.” Suara Giovanni terdengar pelan tapi jelas, membuat langkahku yang baru keluar dari lift langsung terhenti. Aku menatap jam tangan. Sudah pukul delapan malam. Seluruh kantor hampir gelap, hanya lampu di ruang CEO yang masih menyala samar. Ya Tuhan… kenapa aku masih di sini? Aku menoleh ke arahnya, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan kemeja putihnya yang sedikit tergulung di lengan, dasi longgar, dan tatapan itu—tajam, malas, tapi entah kenapa selalu menelan semua ruang napas. “Jam segini?” aku mencoba terdengar santai. “Bukannya kita udah beres?” Dia tidak menjawab. Hanya menggerakkan jarinya pelan, memanggilku untuk mendekat. Isyarat sederhana, tapi sukses membuat perutku terasa dingin. “Giovanni, aku—” “Lima detik,” katanya tenang, “kalau kamu masih berdiri di sana, aku akan datang dan menyeretmu sendiri.” Sial. Aku melangkah masuk, mencoba menahan degup jantungku yang entah kenapa sema

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   362. Tatapan yang Membakar

    “Kenapa kamu diam?” Giovanni bersuara rendah, nyaris seperti desis. Suara itu terlalu dekat, terlalu dalam, dan terlalu berbahaya untuk jantungku. Aku menelan ludah. “Karena aku nggak mau menanggapi hal yang nggak penting,” sahutku cepat, pura-pura sibuk menatap layar laptop, padahal tanganku gemetar di atas keyboard. “Tidak penting?” Ia tertawa pelan, langkahnya mendekat. Aku bisa mencium aroma maskulinnya—parfum kayu manis yang terlalu khas Giovanni. “Jadi menurutmu saat aku menatapmu seperti ini… itu tidak penting?” Tubuhku otomatis menegang. Matanya menuruni wajahku perlahan, lalu berhenti di bibirku. Dan aku tahu dia tahu—aku sedang menahan napas. “Berhenti… menatap seperti itu,” bisikku hampir tak terdengar. Giovanni hanya mengangkat alis. “Sejak kapan aku harus nurut sama sekretarisku sendiri?” Aku ingin memutar bola mata saking kesalnya, tapi aku tahu kalau aku melawan, dia akan semakin menikmati permainan ini. Sial. Aku jatuh di dalam jebakan licik si CEO menyeba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status