Share

Chapter 2

"Grizeeeelle ...."

Teriakkan seorang wanita paruh baya berpenampilan sederhana itu memekik telinga. Tersenyum melihat gadis yang sedang sibuk mengilap satu persatu meja  dengan selembar kain di tangannya.

Gadis yang bernama Grizelle itu berbalik, mencari sumber suara yang meneriaki namanya. Ketika ia menoleh, semilir angin menghembus wajah dan rambutnya. Memperlihatkan lehernya yang jenjang dengan kulit sebening embun. Kedua mata bak kolam madu itu menyipit, memperhatikan siapa yang baru saja memanggil namanya. Dan ketika gadis itu tahu siapa orang yang memanggilnya, ia tersenyum manis.

"Ibu!" gumamnya. Menghentikan

aktivitasnya segera.

Lantas, kedua kaki jenjangnya mulai melangkah. Mendekati sang ibu yang menunggunya di balik steleng kaca. Baju kaos berwarna pink, dan rok abu-abu selutut masih menempel di tubuhnya. Sepatu kets dan kaos kaki putih yang panjangnya hampir selutut juga masih terpasang di kakinya yang ramping. Rambut panjangnya terurai indah, semakin memperlihatkan keanggunannya.

Sepulang sekolah, gadis belia itu selalu mampir ke cafe kecil yang dirintis orang tuanya. Seragam putihnya sengaja ia buka dan hanya memakai kaos dalam berwarna pink yang sudah ia pakai dari rumah.

"Bisa bantu Ibu gak?" tanya wanita paruh baya itu ketika Grizelle sudah tiba di depannya.

"Tentu, Bu! Aku akan melakukan apa saja yang Ibu inginkan," balasnya antusias.

"Gak lelah?" Ibunya memastikan.

"Enggak kok, Bu. Aku gak lelah! Aku masih punya banyak tenaga. Aku senang bisa membantu Ibu!" Gadis itu tersenyum. Tidak ada rasa keberatan yang tergambar di wajahnya. Baginya membantu kedua orang tua adalah kebanggaan tersendiri.

"Kamu belum istirahat sejak pulang sekolah tadi. Ibu takut kamu akan kelelahan. Tapi, Ibu sedang butuh bantuanmu saat ini."

"Aku tidak lelah, Bu! Emang Ibu mau aku bantu apa?"

Melihat semangat putrinya, wanita paruh baya itu memberikan sebuah nampan kepada Grizelle. Nampan itu berisi secangkir kopi latte panas yang harumnya

menyeruak kemana-mana.

Grizelle menerimanya. Memegang nampan itu erat-erat. Mengamati cangkir kopi yang berada di atas piring kecil.

"Bawa kopi ini ke ruangan Tuan Tristan Adinata!" titah Ibunya.

Grizelle terdongak. Menyorot wajah ibunya dalam-dalam. Terkesiap mendengar nama yang baru saja disebut ibunya.

'Tuan Tristan Adinata?!'

Gumamnya dalam hati.

'Bukankah dia adalah pemimpin di perusahaan ini? Yang selalu bersikap dingin kepada orang lain dan wajahnya selalu terlihat sangat menakutkan? Dan aku dengar, dia selalu bersikap arrogan kepada orang-orang. Selalu merasa benar dan gila hormat. Dan jika seseorang melakukan kesalahan padanya. Dia tidak akan segan-segan menunjukkan

sikap tempramentalnya.'

Grizelle menarik nafas dalam-dalam dan menghembusnya secara kasar.

"Ya Tuhan ... kenapa harus dia sih!" Tak sadar, Grizelle keceplosan. Membuat kelopak mata ibunya melebar.

"Ada apa, Nak? Kamu keberatan Ibu suruh ngantar kopi ke ruangan Tuan Tristan Adinata?" tanya ibunya heran.

Grizelle tersadar dari lamunanny.a.

"Ah, gak kok Bu! Aku gak keberatan. Maaf tadi aku ngelantur," elak Grizelle.

"Bener gak pa'pa?"

"Iyaa, gak pa'pa, Bu!" balas Grizelle meyakinkan.

"Ya, udah kamu antar gih minuman Tuan Tristan. Ntar keburu dingin!" usul ibunya.

"Baik, Bu!" jawab Grizelle patuh. Terpaksa melakukan tugas yang diperintahkan oleh ibunya meski terasa berat. Sebab ia tidak suka dengan pria si pemilik minuman itu.

Melihat pria itu sekilas saja ia sudah merasa muak, apalagi ketika berhadapan dengannya secara langsung.

Grizelle berbalik, menuntun langkahnya menuju ruangan yang dia tuju. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadap Tristan. Laki-laki yang menurutnya angkuh dan sangat dingin,

juga menakutkan.

Ketika Tristan sibuk di depan layar laptopnya, Grizelle dengan lembut mengetuk pintu ruangannya.

Tok! Tok Tok!

Tanpa melepas pandangan dari layar laptop, Tristan menyahut dari dalam.

"Masuk!"

Sahutan itu membuat Grizelle merasa semakin deg-degan. Ia menghela nafas panjang. Berdoa dalam hati, semoga tidak membuat kesalahan di depan pimpinan perusahaan yang akan dia hadapi itu. Mengumpulkan nyali yang selalu ciut ketika mendengar suara bariton Tristan. Setelah dirasa siap, barulah tangannya terulur, mendorong pintu kaca itu dengan hati-hati.

"Permisi, selamat siang Tuan! Maaf mengganggu." Suara lembut Grizelle menghentak Tristan yang sedang fokus pada pekerjaannya. Grizelle berucap dengan pandangan yang menunduk. Takut menatap mata pria yang sedang duduk di kursi kekuasaannya.

Tristan termangu melihat kehadiran gadis pujaannya. Mengabaikan laptopnya yang masih menyala. Tanpa kedip kedua manik matanya menyorot Grizelle yang berjalan pelan ke arahnya. Di mata Tristan, gadis itu terlihat anggun meski tengah membawa sebuah nampan

di tangannya.

Tristan tidak menyangka siang ini Grizelle yang akan mengantarkan kopi untuknya. Karena biasanya, tugas itu selalu dilakukan oleh ibu atau ayah Grizelle atau pekerja yang memang bekerja dengan orang tua Grizelle. Tapi apapun alasannya, ia sangat senang dengan kehadiran Grizelle ke ruangannya. Apalagi gadis itu mengantarkan kopi untuknya. Membuat Tristan merasa seperti diperhatikan, meski dia tahu, Grizelle begitu takut ketika berhadapan dengannya.

Tristan mengamati setiap inci tubuh Grizelle. Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Grizelle berjalan dengan takut-takut. Tristan dapat membaca gerakannya. Grizelle menunduk dan enggan memandang wajahnya.

"Ini kopinya, Tuan!" Grizelle mengangkat dan meletakkan cangkir yang berisi kopi itu ke meja Tristan dengan tangan yang gemetar. Hingga cangkir itu ikut bergetar dibuatnya.

Setelah meletakkan cangkir yang dibawanya, Grizelle segera bergerak pamit.

"Permisi, Tuan!" ucapnya mengalihkan badan.

"Tunggu!"

Langkah Grizelle terhenti. Suara bariton Tristan sukses membuat jantungnya serasa meluncur ke bawah. Grizelle menggigit bibir bawahnya. Pelan dia membalikkan badan. Menghadap Tristan yang sudah menatapnya serius. Grizelle tetap tak berani membalas tatapan mata Tristan yang baginya seperti seorang pembunuh. Maka, ia menunduk,  memandang kakinya yang terbungkus sepatu berwarna putih.

"Iya, Tuan," sahutnya takut-takut.

"Siapa namamu!" tanya Tristan dengan intonasinya yang tegas.

"Gri-Grizelle, Tuan!" jawab gadis itu tercekat.

'Gila ya! Itu nanya atau ngancam? Kok bisa-bisanya dia bertanya dengan nada berat seperti itu!'

Batin Grizelle.

"Berapa usiamu?" tanya Tristan lagi. Masih tetap dengan nada yang sama.

"Lima belas tahun, Tuan."

"Masih sekolah?"

"Iya, Tuan. Saya masih sekolah. Kelas satu SMA," jawab Grizelle lagi.

"Hem, begitu!" Tristan manggut-manggut. "Ya, sudah. Pergi sana!" titahnya. Kembali memandang layar laptop.

Grizelle tercegang. Tak habis pikir dengan ucapan kasar Tristan.

"Baik, Tuan!"

Grizelle berbalik, lalu berjalan meninggalkan ruangan Tristan dengan wajahnya yang merengut. Mencibir dalam hati. Mengumpat Tristan dengan kesal.

"Apaan sih! Nanya-nanya nama dan usia segala! Kayak panitia lomba aja. Udah gitu, bukannya ngucapin terima kasih, eh malah ngusir! Emang gitu ya sifatnya orang berkuasa? Gak pernah menghargai orang lain yang berada di bawahnya. Huh! Menyebalkan!" umpat Grizelle saat ia sudah berada di luar ruangan Tristan. Berdiri kesal di balik pintu, kemudian beranjak dengan langkah cepat.

Tanpa Grizelle sadari, Tristan kembali mengamati pintu yang baru saja ia tutup. Menatap punggung Grizelle sejak tadi. Sudut bibir pria itu melengkung. Tersenyum seperti orang yang sedang memikirkan dan merencanakan sesuatu.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Liazta
suka pokoknya keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status