Anya menatap Nathan tanpa berkedip. Ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya, tapi entah kenapa, mulutnya terasa terkunci.Nathan hanya duduk tenang, seolah menunggu Anya berbicara lebih dulu.Anya: "Lo hilang dua tahun. Tiba-tiba datang, minta bantuan. Gue harus percaya sama lo?"Nathan tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak lagi terasa akrab seperti dulu.Nathan: "Anya, gue nggak punya banyak waktu. Gue cuma bisa bilang, ada sesuatu yang harus lo tahu. Tapi kalau lo nggak mau terlibat, gue ngerti."Anya mengerutkan kening.Anya: "Kalau gue nolak, lo bakal pergi lagi?"Nathan diam sejenak, lalu mengangguk pelan.Nathan: "Iya."Anya menghela napas. Di satu sisi, dia ingin menjauh dari segala kerumitan ini. Tapi di sisi lain, rasa penasarannya terlalu besar.Dia menatap Nathan dengan serius.Anya: "Oke. Gue dengerin."Nathan menatapnya dalam-dalam, lalu bersandar ke kursinya.Nathan: "Lo masih ingat malam terakhir sebelum gue hilang?"Anya mengingatnya. Malam itu, Nathan mengirim pesan
Setelah makan malam yang penuh godaan, Anya pulang ke apartemennya dengan kepala penuh pertanyaan. Reza selalu berhasil membuatnya berdebar, tapi juga frustasi. Dia terlalu tenang, terlalu percaya diri.Saat hendak tidur, ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk.Reza: “Udah di apartemen? Jangan tidur terlalu malam.”Anya menatap layar sebentar sebelum membalas.Anya: “Iya. Lo sendiri?”Tak butuh waktu lama, pesan balasan datang.Reza: “Masih di jalan. Lo kepikiran gue, ya?”Anya mendengus, tapi senyum kecil muncul di bibirnya.Anya: “Lo yang gangguin gue terus.”Tidak ada balasan setelah itu. Anya akhirnya meletakkan ponselnya dan mencoba tidur.Namun, di tengah malam, dia terbangun dengan gelisah.Mimpi aneh datang lagi.Dalam mimpinya, dia melihat Reza berdiri di depan sebuah gedung besar. Wajahnya lebih serius dari biasanya, matanya menyimpan sesuatu yang kelam. Di sekelilingnya, ada beberapa pria berjas hitam berbicara dengan nada tegas. Salah satu dari mereka menyerahkan sebua
Anya menggigit bibirnya. Dia tahu, setelah ini tidak akan ada jalan kembali. Tapi dia butuh jawaban.Anya: "Gue mau tahu."Reza menatapnya lama, lalu menghela napas.Reza: "Gue bukan orang baik, Anya. Banyak hal yang nggak bisa gue ceritain ke lo. Tapi kalau lo tetap maksa, gue kasih sedikit clue."Anya mengangguk pelan.Reza: "Lo tahu gue anak orang kaya. Tapi gue gak pernah cerita gimana cara keluarga gue dapetin semua itu."Anya menelan ludah.Anya: "Maksud lo?"Reza melirik sekeliling, lalu merendahkan suaranya.Reza: "Dunia bisnis itu kotor, Anya. Lebih banyak permainan di belakang layar daripada yang lo bayangin."Anya mulai merasa ada yang aneh.Anya: "Lo bilang kayak gitu karena lo pernah terlibat?"Reza tersenyum miring.Reza: "Gue gak sepolos yang lo kira. Gue pernah ngalamin hal yang mungkin bakal bikin lo mikir ulang buat dekat sama gue."Anya mengerutkan kening.Anya: "Lo ngomong seakan-akan lo penjahat."Reza tertawa pelan, tapi tidak ada humor di matanya.Reza: "Bisa di
Anya tiba di restoran Rio dengan langkah mantap, meski hatinya masih penuh tanda tanya. Malam ini restoran tampak lebih sepi dibanding biasanya. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di sudut-sudut, menikmati makan malam mereka.Rio sudah menunggu di salah satu meja dekat jendela. Begitu melihat Anya, dia melambaikan tangan."Gue pesan teh hangat buat lo," kata Rio begitu Anya duduk. "Kelihatan lo butuh sesuatu yang nenangin."Anya menatapnya curiga. "Mau ngomong apa?"Rio menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Lo pernah denger nama Larasati, kan?"Anya langsung siaga. "Sering. Tapi nggak pernah ketemu orangnya. Siapa dia sebenarnya?"Rio menggulirkan jemarinya di atas meja, tampak ragu sebelum akhirnya bicara. "Larasati itu... dulu pacarnya Reza."Jantung Anya serasa berhenti berdetak sesaat. "Apa?"Rio mengangguk. "Dan lebih dari itu, dia juga anaknya mamiku."Otak Anya berusaha memproses informasi ini. "Jadi... dia adik tiri lo?""Iya." Rio menghela napas lagi. "T
Ponsel Anya bergetar di atas meja kafe, menampilkan nama Reza di layar. Anya melirik sekilas ke arah El sebelum mengangkat teleponnya."Halo?" suara Anya terdengar santai, tetapi ada sedikit ketegangan."Kamu di mana?" suara Reza terdengar dalam dan tajam."Di kafe.""Sama siapa?"Anya menghela napas. "Aku lagi ngobrol sama El."Hening. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban, lalu terdengar tarikan napas panjang dari Reza. "Kenapa kamu ketemu dia?"El mengangkat alis, sepertinya bisa menebak situasinya. Anya menjauhkan ponsel sedikit dari telinga, merasa suasana mulai berubah."Dia cuma cerita sesuatu. Bukan urusan besar.""Bukan urusan besar?" suara Reza sedikit meninggi. "Anya, dia pria yang pernah masuk penjara karena kasus kekerasan."Anya menggigit bibir. "Aku tahu, aku juga bukan anak kecil. Aku bisa jaga diri.""Dengar, aku nggak suka kamu sendirian sama dia."Anya memutar matanya. "Oh? Sejak kapan kamu punya hak buat atur siapa yang bisa aku temui?""Sejak aku peduli sama kamu."
Sesampainya di parkiran apartemen, Reza turun lebih dulu dan melepas helmnya. Anya mengikuti, melepaskan helm dan menyerahkannya pada Reza."Terima kasih sudah mengantarku," kata Anya, mencoba meredakan ketegangan.Reza menerima helm itu tanpa menjawab. Matanya masih tajam menatap Anya. "Kamu nggak akan ketemu El lagi, kan?"Anya mendesah. "Aku nggak bisa janji, Reza. Dia teman lama.""Teman lama yang punya kasus hukum. Kamu sendiri yang bilang kamu nggak suka red flag, kan?"Anya terdiam. Reza punya poin di situ.Tapi tetap saja, cara Reza mengontrolnya seperti ini membuatnya tidak nyaman. "Aku tahu kamu khawatir, tapi kamu nggak bisa maksa aku buat menjauhi seseorang."Reza mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Aku nggak maksa. Aku cuma..." Ia berhenti sejenak, seolah menahan diri. "Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa."Anya menatapnya lama. "Jadi ini karena kamu peduli?"Reza mendekat, hanya beberapa inci dari wajah Anya. Suaranya lebih rendah saat ia berkata, "Apa menurutmu aku
Anya menghela napas panjang saat melihat ponselnya. Ada tiga agenda penting hari ini, El ingin bertemu sebelum kembali ke Singapura, Reza kemungkinan akan menunggunya di apartemen, dan booth tarot di restoran Maminya Rio tetap harus berjalan.Pilihannya sulit. Tapi dia harus menjalani semuanya.---Siang - Pertemuan dengan ElAnya duduk di salah satu sudut kafe, menunggu El yang tak lama kemudian datang dengan senyum tipis.El: "Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Anya."Anya: "Aku juga, El. Jadi, apa yang mau kamu bicarakan sebelum balik?"El menatapnya sejenak, lalu menghela napas.El: "Aku tahu aku punya masa lalu yang buruk. Kasus itu... Aku nggak bisa membuktikan kalau aku nggak bersalah. Media langsung menghukumku sebelum pengadilan memutuskan."Anya mendengarkan dengan hati-hati.Anya: "Lalu, sekarang apa rencanamu?"El: "Aku ingin menata ulang hidupku. Tapi sebelum itu... Aku ingin tahu, Anya. Apa kamu percaya aku bersalah?"Anya terdiam. Matanya bertemu dengan tatapan El yang p
Anya menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti ancaman tersembunyi."Jangan cari tahu lebih jauh. Ini peringatan."Siapa yang mengirimnya? Apakah ini terkait dengan Larasati? Atau seseorang dari masa lalu Reza?Rio yang melihat perubahan ekspresi Anya segera bertanya.Rio: "Kenapa? Ada sesuatu?"Anya ragu sejenak sebelum menunjukkan pesan itu pada Rio. Matanya menyipit saat membaca pesan itu, lalu ia mendesah.Rio: "Aku tahu ini pasti akan terjadi."Anya: "Apa maksudmu?"Rio: "Mami selalu mengatakan bahwa rahasia yang terlalu lama terkubur akan menuntut untuk terungkap. Dan sekarang, seseorang tahu kalau kita mulai mencari tahu."Anya menggigit bibirnya. Firasat buruknya semakin kuat.Anya: "Menurutmu siapa yang mengirim pesan ini?"Rio: "Bisa siapa saja. Bisa seseorang dari keluarga Reza, bisa juga seseorang yang masih terhubung dengan Larasati."Anya terdiam. Kepalanya terasa penuh dengan pertanyaan yang b
Mata Anya menajam. Luka pengkhianatan terasa menyesakkan.“Kamu… kamu tega ngelakuin itu ke aku?”Rio menunduk dalam rasa bersalah.“Aku minta maaf. Aku mau tebus semua salahku. Aku bakal bantu kamu dan Reza. Aku janji.”Sementara itu, di luar kafe, seorang pria bertubuh tegap — anak buah Rino — memperhatikan mereka dari balik kaca. Ia mengirim pesan singkat pada Rino.Rio mulai berkhianat. Mau saya habisi?Rino, yang sedang duduk di kantornya, tersenyum dingin.Belum. Biarkan saja dulu. Biar dia pikir dia masih bisa main dua kaki.Di apartemen, Reza yang menunggu kepulangan Anya, menerima pesan dari nomor tak dikenal.Anya dalam bahaya. Rio nggak sebersih yang kamu kira. – RReza mengepalkan tangannya, wajahnya berubah serius. Ia mengambil kunci mobil dan bergegas menyusul Anya ke kafe.Di kafe, Anya menatap Rio tajam.“Aku nggak tahu aku bisa percaya kamu atau nggak. Tapi aku terima niat baik kamu… untuk saat ini.”Rio tersenyum samar, tapi di balik tatapan matanya, jelas ada gejola
Malam itu, Anya duduk di balkon apartemen sambil menatap kota yang berkelip. Angin malam berhembus lembut, tetapi pikirannya tidak setenang udara sekitar. Ia memikirkan siapa sebenarnya Rino, dan mengapa pria itu begitu terobsesi dengan dirinya dan Reza.Reza datang menghampiri dengan dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping Anya dan menyerahkan secangkir padanya.“Pikiranmu masih tentang ancaman itu, ya?”Anya mengangguk pelan.“Iya… Aku cuma nggak paham, kenapa orang-orang dari masa lalu kita selalu muncul lagi dan bikin kacau.”Reza menarik napas dalam, lalu perlahan berkata,“Sebenarnya aku belum cerita semuanya. Dulu, waktu aku kuliah di luar negeri, Rino itu salah satu teman dekatku. Tapi dia terlibat kasus penggelapan dana besar. Waktu kasus itu terbongkar, dia salah satu orang yang aku laporkan ke pihak kampus dan akhirnya ditangkap.”Anya membelalakkan mata.“Jadi dia dendam sama kamu?”“Iya. Dan aku baru sadar… Dia juga punya koneksi dengan El dulu. Mungkin itulah alasan
Farel akhirnya mengungkapkan, bahwa bertahun-tahun lalu saat Reza masih kuliah, ia pernah terseret dalam sebuah kasus bisnis gelap yang melibatkan penipuan investasi. Meskipun Reza saat itu akhirnya keluar dari lingkaran tersebut dan membenahi hidupnya, rekam jejak itu masih ada dan beberapa orang dari masa lalu itu mulai kembali muncul di Jakarta.“Aku tidak mengatakan Reza orang jahat. Justru dia keluar dari lingkaran itu dengan susah payah. Tapi aku khawatir, mereka yang dulu pernah terlibat bisa mencoba mendekati kalian lagi, bahkan memanfaatkan momen pernikahan kalian untuk balas dendam,” jelas Farel dengan serius.Anya terdiam lama. Pandangannya jatuh pada Reza, yang kini menunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.“Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini ke aku?” bisik Anya.Reza menghela napas dalam.“Aku takut kamu nggak bisa terima masa lalu aku. Aku ingin kamu melihat aku yang sekarang… bukan yang dulu.”Suasana menjadi hening. Namun beberapa menit kemudian, Anya menggengga
Hari-hari Anya dan Reza semakin padat dengan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah kesibukan itu, Reza sesekali mengajak Anya meluangkan waktu berdua untuk sekadar makan malam santai atau berjalan-jalan sore, agar mereka tak tenggelam dalam stres persiapan.Sementara itu, Rio, yang diam-diam memendam rasa kepada Anya sejak lama, mulai terlihat berbeda. Ia semakin sering menawarkan bantuan untuk segala hal, bahkan hal-hal kecil. Suatu sore saat mereka bertiga berkumpul untuk rapat vendor, Rio menatap Anya lebih lama dari biasanya. Rina, yang menyadari hal itu, menarik Rio ke samping setelah rapat.“Rio, kamu harus hati-hati dengan perasaanmu. Anya sudah akan menikah dengan Reza,” ujar Rina pelan tapi tegas.Rio menunduk, bibirnya menekan.“Aku tahu, Rin. Aku cuma… aku nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa. Aku suka dia, dari dulu.”Rina menepuk bahu Rio.“Kamu sahabat mereka berdua. Jangan rusak itu. Kalau kamu memang sayang Anya, kamu harus ikut bahagia lihat dia bahagia.”Rio meng
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej
Pagi itu, udara Bali begitu sejuk, seolah menyambut lembaran baru dalam hidup Anya dan Reza. Deburan ombak terdengar lembut dari kejauhan, menenangkan hati yang selama ini penuh ketegangan.Anya menatap ke arah balkon vila tempat mereka menginap. Reza sedang berbicara santai dengan Rio, keduanya tampak jauh lebih tenang dan damai setelah semua yang terjadi.Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Tak ada lagi kejaran musuh ataupun ancaman kekuatan gelap.Anya tersenyum sendiri. Siapa sangka, perjalanan panjang penuh luka dan air mata ini akhirnya berujung pada ketenangan dan cinta sejati?Saat Reza menyadari tatapan Anya, ia segera menghampirinya dan menggenggam tangannya.“Kamu kelihatan tenang pagi ini.”Anya mengangguk pelan.“Setelah semua yang terjadi… aku rasa ini saatnya kita mulai merangkai masa depan yang baru.”Reza tersenyum, lalu menarik Anya perlahan menuju meja sarapan di taman kecil vila mereka. Meja itu sudah dihiasi bunga kamboja putih dan minuman segar khas Bali.“Pagi
Suasana pura kembali menegang. Langit di atas kepala mereka tampak mulai gelap, padahal matahari belum sepenuhnya terbenam. Awan hitam berkumpul, menciptakan tekanan udara yang menyesakkan.Anya dan Reza berlari kembali ke lingkaran pelindung, tempat Guru Adarma berdiri tegap meskipun napasnya sudah mulai berat. Lelaki tua itu menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh ketenangan.“Bram dan anak buahnya akan melancarkan serangan kedua,” kata Guru Adarma, suaranya dalam dan mantap. “Kali ini mereka tidak hanya mengincar liontinmu, Anya. Mereka ingin membuka gerbang dimensi yang akan membangkitkan kekuatan kegelapan yang selama ini tersegel.”Anya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih erat dalam genggaman Reza."Apa yang harus kami lakukan, Guru?"Guru Adarma tersenyum samar.“Percayakan segalanya pada keyakinan dan cinta kalian. Itu kunci terakhir yang bisa menetralisasi kekuatan mereka.”Sementara itu, dari sisi lain pura, Bram, Rangga, dan Rio telah
Langit malam di Bali mulai gelap pekat. Aroma dupa dari Pura Guru Adarma semakin menyebar, membungkus suasana dengan keheningan dan kesakralan. Anya duduk bersila di dalam lingkaran pelindung bersama Reza dan Rio. Di hadapan mereka, Guru Adarma menutup mata, tangan beliau membentuk mudra kuno, mulutnya terus melantunkan mantra dengan suara stabil.Cahaya lilin di sekeliling mereka tampak bergetar. Liontin di leher Anya bersinar samar, rona keemasan menyelimuti tubuhnya perlahan. Energi perlindungan mulai terbentuk sempurna.Namun, di luar pagar pura, Bram, Rangga, dan Andre sudah memulai gerakannya. Andre mengeluarkan kain hitam bertuliskan aksara kuno yang telah dirapal mantra hitam."Begitu ini ditempelkan di gerbang, pagar pelindung pura mereka akan melemah," gumam Andre dengan suara serak.Rangga mengangguk. "Cepat, sebelum energi perlindungan mereka sempurna."Dengan cekatan, Andre menempelkan kain itu di pintu gerbang pura. Angin malam mendadak berhembus kencang, langit yang se
Pagi itu, udara di Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Anya terbangun dengan perasaan sedikit lebih tenang setelah pesan suara dari Guru Adarma semalam. Ia segera menelepon Reza dan Rio, mengajak mereka bertemu di kafe langganan dekat apartemen.Saat mereka bertiga duduk bersama, Anya mengeluarkan ponselnya dan memutar ulang pesan suara itu. Suara Guru Adarma kembali menggema, membuat mereka semua saling pandang penuh arti.Rio mengernyit.“Kalau Guru Adarma sampai menghubungi, berarti ini bukan ancaman biasa. Beliau orang yang sensitif secara spiritual, kita harus anggap serius.”Reza mengangguk, wajahnya tenang namun penuh perhatian.“Anya, aku rasa kita perlu ke Bali lagi. Kita harus bertemu Guru Adarma. Mungkin beliau punya petunjuk yang bisa membantu kita menghadapi ancaman ini.”Anya menatap Reza, ada keraguan di matanya, tapi juga harapan.“Baik. Kita berangkat akhir pekan ini.”Sementara itu, Dimas tetap di Jakarta untuk menjaga pengamanan digital dan fisik mereka. Ia me