Malam itu, aku lagi rebahan di kasur, scrolling media sosial, menikmati hidup tanpa drama. Sampai tiba-tiba ponselku bergetar.
Rio. Aku menatap layar sebentar, ragu mau angkat atau nggak. Aku menggeser layar. "Halo?" Suara Rio terdengar santai, tapi ada nada antusias. "Hei, peramal cantik. Lagi sibuk?" "Kalau rebahan dihitung sibuk, ya… sibuk banget." Rio tertawa. "Oke, gini. Aku baru ngobrol sama Mami, dan dia setuju soal booth tarot di restoran. Jadi, minggu depan kamu udah bisa mulai." Aku terdiam sebentar. "Serius? Mamimu nggak keberatan?" "Bukannya keberatan, dia malah excited. Katanya, ini bisa jadi daya tarik unik buat restoran. Dia bahkan tanya kamu mau meja yang gimana." Aku mengangkat alis. "Wow. Aku kira bakal susah meyakinkan beliau." Rio terkekeh. "Mamiku itu open-minded, asal bisnisnya jalan. Oh, dan dia juga tanya… apakah pembacaan tarot bisa prediksi menu yang bakal laris?" Aku ngakak. "Bisa aja Mami kamu! Kalau gitu, tiap hari aku bakal bilang, 'Kayaknya hari ini ayam bakar bakal laris, deh!'” Rio tertawa lebih keras. "Jadi, gimana? Kamu siap?" Aku berpikir sejenak. Ini kesempatan bagus. Plus, restoran Rio jelas lebih nyaman daripada booth kecil di event-event. "Oke," kataku akhirnya. "Aku siap. Tapi aku butuh waktu buat persiapan. Dekorasi booth, properti, dan sebagainya." "Tenang. Aku bakal bantu. Besok kita ke restoran buat cek tempatnya." Aku mendesah. "Rio, lo itu klien atau event organizer, sih?" "Anggap aja aku project manager dadakan." Aku tertawa. "Baiklah, project manager. Besok jam berapa?" "Siang, setelah lunch. Aku jemput, ya?" Aku pura-pura berpikir. "Hmm… boleh sih, asal dijemput pakai mobil, bukan pakai janji-janji manis." . "Santai. Aku anak sultan, inget?" "Ok, sultan. Sampai besok." "See you, peramal cantik." Aku menutup telepon, tersenyum kecil. Oke, sepertinya minggu depan bakal lebih menarik. Hari terakhir event. Booth tarotku sudah mulai sepi. Aku merapikan kartu-kartu, sesekali melirik ke arah Rina di kasir EO yang sibuk mengurus pembayaran terakhir. Rina menatapku sambil tersenyum jahil. "Jadi, akhirnya selesai juga, ya? Gimana rasanya jadi primadona event?" Aku mendengus. "Primadona apanya? Capek iya. Tiap hari dapet klien dengan pertanyaan aneh-aneh. Dari urusan jodoh sampai pertanyaan absurd" Rina tertawa. "Ya ampun, kocak banget! Tapi lumayan lah, dapet banyak pengalaman… dan mungkin seseorang?" Aku mengerutkan dahi. "Maksud lo?" Rina mengangguk ke arah kanan. Aku menoleh dan melihat Reza berdiri santai di dekat booth, tangan di saku, tatapannya tajam mengarah padaku. Oh boy. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghampirinya. "Apa lo sengaja nunggu gue pulang?" Reza menyeringai. "Nggak boleh?" Aku memutar mata. "Lo bukan satpam mall, nggak ada kewajiban jaga gue pulang." Dia melipat tangan di dada, suaranya dalam dan sedikit menggoda. "Tapi kalau gue pengen jaga lo, gimana?" "Reza, lo ngajak pulang bareng lagi?" Dia melangkah lebih dekat, suaranya lebih pelan. "Mungkin." Matanya menelusuri wajahku perlahan sebelum turun ke bibirku. "Atau mungkin… gue cuma pengen lebih lama sama lo." "Apa lo nggak ada kerjaan lain?" tanyaku, mencoba terdengar santai. Reza tersenyum. "Gue kerja di kafe sebelah, bukan berarti gue nggak bisa kepikiran hal lain." Aku menatapnya, berusaha membaca maksudnya. "Hal lain kayak apa?" Dia mendekat sedikit lagi, sampai aku bisa mencium samar aroma maskulin dari tubuhnya. "Kayak… siapa yang bakal nemenin gue malam ini." Jantungku berdebar. Aku tahu dia sengaja menggoda, tapi caranya bicara bikin suasana terasa… panas. Aku tertawa kecil, mencoba mengusir atmosfer yang tiba-tiba berubah. "Lo cari temen atau cari masalah?" Dia menyeringai. "Gimana kalau dua-duanya?" Aku menggeleng sambil tersenyum. Dia menatapku dalam. "Dan lo terlalu menikmati ini buat menolak." Aku ingin membantah, tapi lidahku kelu. Rina tiba-tiba muncul di belakangku. "Uhuk! Gue masih di sini, lho. Kalo mau flirting, minimal ajak gue sekalian biar nggak jadi nyamuk." Aku langsung menjauh dari Reza sambil tertawa. "Oke, oke, gue pulang. Rina, sampai ketemu lagi, ya!" Rina memelukku singkat. "Hati-hati. Dan jangan lupa, kadang cinta datang dari tempat yang nggak lo duga." Aku melirik Reza sebentar sebelum berbalik pergi.Setelah sarapan sederhana di balkon yang menghadap danau, Aira dan Renald duduk berdua sambil membuka buku catatan yang dibawa Aira dari London. Tapi kali ini bukan tentang kuliah, melainkan daftar kecil yang ia tulis beberapa hari sebelum menikah: Hal-hal yang ingin dilakukan bersama suami.Renald tersenyum saat Aira membacakannya, satu per satu."Nomor satu: naik kereta keliling Eropa, tapi bukan karena kerja. Nomor dua: masak bareng di dapur mungil, bukan di dapur hotel mewah. Nomor tiga: punya rumah kecil dengan taman yang penuh bunga matahari.""Nomor empat?" tanya Renald sambil meraih buku itu dan membacanya sendiri.Aira tersenyum malu. "Nomor empat: hidup sederhana tapi penuh tawa."Renald menggenggam tangannya. "Kita akan lakukan semuanya. Tapi boleh aku tambahkan satu?"Aira mengangguk."Nomor lima: punya anak yang menatapmu dengan mata yang sama seperti kamu menatapku sekarang."Aira tersenyum, matanya berkaca. "Pelan-pelan saja ya, Renald... kita baru mulai."Renald mengan
Tinggal empat hari lagi menuju hari pernikahan. Gaun pengantin Aira sudah tergantung manis di sisi lemari kaca, dilapisi kain putih tipis agar tidak terkena debu. Di seberangnya, setelan jas Renald tergantung rapi dengan bunga boutonnière berwarna senada.Aira berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen mereka. Tangannya menyentuh perutnya pelan, seolah menenangkan diri. "Benarkah ini hidupku sekarang?" bisiknya lirih.Renald muncul dari belakang, memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di pundak Aira. “Kenapa wajahmu kelihatan tegang, hm?”“Karena ini terlalu nyata, Ren…” jawab Aira pelan. “Dulu aku hanya mahasiswa biasa yang sibuk tugas, sekarang jadi calon istri CEO…”Renald tersenyum, memutar tubuh Aira agar saling berhadapan. “Tapi kamu bukan mahasiswa biasa, kamu satu dari sedikit orang yang membuatku jatuh cinta tanpa rencana. Kalau aku bisa ulang waktu, aku tetap akan memilih kamu.”Aira memejamkan mata sejenak. Kata-kata itu menenangkan.Beberapa menit kemudian, hand
Pagi itu, sinar matahari London menyusup lembut melalui tirai jendela kamar apartemen Renald. Aira duduk di meja kecil, di hadapannya ada dua hal: skripsi yang harus diselesaikan dan undangan pernikahan yang menunggu untuk dikonfirmasi desainnya.Dunia Aira berubah drastis hanya dalam hitungan minggu. Dari seorang mahasiswi jurusan fashion yang biasa sibuk dengan kain dan desain runway, kini ia juga harus mencocokkan tanggal pernikahan, fitting gaun, serta menjawab ratusan pesan dari teman, kolega, dan kerabat yang ingin tahu tentang kabar bahagianya.Renald masuk membawa dua cangkir kopi.“Untuk calon istri yang hebat,” katanya, menyerahkan kopi hangat dan mengecup kening Aira.Aira tersenyum lemah. “Aku takut, Ren. Takut gagal membagi waktu. Takut dilihat orang hanya sebagai gadis muda yang menikahi CEO, bukan sebagai seseorang yang punya mimpi dan karya sendiri.”Renald duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Aira. “Kamu adalah Aira… sebelum kamu menjadi tunanganku. Kamu tetap Aira
Aileen menatap putrinya dengan mata berkaca. “Aira… kamu benar-benar mencintai Renald?”Aira mengangguk perlahan. “Iya, Ma… Tapi aku juga tahu caraku salah. Aku terlalu terbawa perasaan… terlalu nyaman… dan takut kehilangan. Tapi aku juga nggak ingin menyakiti Mama dan Papa.”Suasana kembali hening. Detik-detik terasa panjang.Mateo berdiri, memandang putrinya dengan dalam. “Baik. Kalau kamu merasa ini jalanmu, kami tidak bisa menghentikanmu. Tapi kami kecewa. Sekali ini saja, kami kecewa. Buktikan bahwa kamu tidak salah memilih.”Air mata Aira menetes, tapi ada kelegaan di balik tangisnya. Ia bangkit, memeluk papanya erat. Aileen ikut berdiri, merangkul keduanya.Renald menunduk, merasa bersalah sekaligus bersyukur.Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya pelukan yang bicara—tapi juga penerimaan perlahan dari orang tua yang sempat patah hati karena putrinya yang tumbuh terlalu cepat.***Setelah pelukan yang panjang, Mateo dan Aileen pamit pulang ke hotel tempat mereka menginap. Aira
Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari sela tirai apartemen. Aira bangun lebih dulu, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil meraih lingerie-nya. Jemarinya mengusap kain lembut itu, lalu tersenyum kecil. Hatinya terasa ringan—seperti baru saja melepaskan beban yang lama menggantung di sudut jiwa.Renald masih setengah terlelap, tapi begitu mendengar suara halus dari gerakan Aira, ia membuka mata perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tubuh Aira kembali ke dalam pelukannya, memeluk dari belakang.“Jangan pulang,” bisiknya lembut di dekat telinga Aira. “Mulai malam ini… tinggal di sini aja, ya?”Aira terdiam sejenak. Hatinya berdebar. Ia tak menyangka ucapan itu akan keluar secepat ini. Tapi anehnya, ia tidak merasa ragu. Tidak takut. Justru merasa… ini benar. Ini waktunya.Aira menoleh, menatap Renald dalam-dalam, lalu mengangguk kecil dengan senyuman hangat yang memancar dari matanya.“Aku akan bawa semua barangku hari ini,” jawabnya pelan, “dan tinggal di sini… bareng
Pelan-pelan ia membalas pesan itu:SaffronSky:“Tidak apa-apa. Sekarang... kamu anggap saja kamu dan dia pacaran. Anggap saja semuanya berakhir di sini.”Tanpa menunggu balasan, Aira logout dari situs itu.Ia tahu dirinya pengecut. Tapi mungkin... ini lebih baik daripada menyeret perasaan yang tak jelas ujungnya.Angin malam dari jendela mengibaskan tirai. Dan Aira menatap kosong langit gelap, tak tahu hati siapa yang baru saja ia sakiti—dan siapa yang sebenarnya ia tinggalkan.***Malam itu, London menyimpan gerimis kecil yang menempel di jaket Aira. Ia berdiri di depan pintu apartemen Renald, mengetuk perlahan sambil menenangkan napas. Di balik jaket panjang yang masih basah, tersimpan sesuatu yang tak biasa—sehelai lingerie merah anggur yang baru dibelinya siang tadi.Renald membuka pintu. “Aira? Kamu kehujanan?”Aira tersenyum kecil, menyerahkan kopi hangat yang ia bawa. “Tiba-tiba hujan saat aku jalan ke sini.”Renald mempersilakan masuk, lalu menutup pintu. Aira meletakkan kopi