POV RonaldSetelah menempuh perjalanan selama dua jam lebih menggunakan pesawat kelas bisnis, akhirnya kami sampai di salah satu bandara di Kalimantan Utara. Mobil Pajero Sport keluaran tahun 2022 sudah menunggu di bandara dan kami saat ini sedang bersiap-siap menuju salah satu desa yang cukup jauh dari Kecamatan.Sepanjang perjalanan, baik aku dan Avia, sama-sama tak mengeluarkan suara. Hanya Wulan yang bertanya sesekali kepada Via, menanyakan apa yang wanita itu butuhkan.Tampaknya, indahnya pemandangan itu tidak membuat Avia terlihat tergugah untuk menikmatinya, dia seperti mayat yang tidak lagi merasakan perasaan bahagia, sedih atau pun terpukau dengan pemandangan yang telah dibuat oleh Sang Pencipta itu.Menuju kecamatan, jalan yang dilalui masih cukup bagus untuk dilalui oleh kendaraan roda empat, walaupun beraspal kasar tapi tak ada kendala berarti. Setelah lepas dari kecamatan, kami menemui jalan tanah yang licin dan berlumpur.Tak bisa dihitung berapa kali roda mobil tergelin
"Aku tak pulang malam ini, ada acara perusahaan," katanya menyemprotkan parfum ke berbagai sisi tubuhnya. Aku hanya memandangnya dengan penuh tanya. "Acara perusahaan lagi?" "Ya," sahutnya sambil menoleh. Dia tampak sempurna malam ini, gaun ketat hitam melekat di tubuhnya yang indah."Perusahaan sejenis apa yang selalu memperkerjakan karyawan sampai menginap," kataku sinis. Aku bukan tidak tahu, istriku banyak berubah akhir-akhir ini, selain sandi HP-nya yang ditukar, dia juga sering pergi tanpa membolehkanku untuk mengantarnya.Sebagai seorang suami, tentu saja aku curiga padanya."Jangan telepon aku, karena HP akan kumatikan semalaman," katanya lagi sambil melenggok ke walk in closet, memilih salah satu koleksi perhiasan yang akan dikenakannya.Avia tak sadar, telah meninggalkan HP-nya di atas nakas. Serentak dengan panggilan whatsap. Sebuah foto tertera di sana, seorang pria muda dengan paras bulenya dan ... Diberi nama kontak ... My honey.HP itu berhenti meraung setelah kuabaik
Jika kau ingin menghancurkan seseorang, jangan hancurkan raganya, tapi hatinya. Karena hati adalah sumber dari semua rasa, sedih, marah, kecewa dan terluka.Aviasya yang biasa kupanggil Avia, menatapku penuh benci dan murka. Aku puas, wanita jalang ini memang perlu diberikan pelajaran. Dia pikir, aku tak bisa melakukan apa-apa dan hanya berlindung di ketiak ayahku."Puas kamu? Puas kamu telah menghancurkan hidupku?" Dia mengetatkan rahangnya, jika saja kami tak berasa di kantor polisi, pasti dia akan memukulku dengan membabi buta."Walaupun dia tidak mati, aku puas membuat dia cacat seumur hidup."Ya, informasi yang kudapatkan, berondong peliharaan Avia, akan mendapatkan cacat permanen, lalu bagaimana dia akan melayani Avia jika dia tak lagi bisa menggunakan kakinya?Aviasya mengepalkan tangannya, matanya berkaca-kaca. "Manusia macam apa kau?""Seperti katamu, aku si cupu tak berguna. Yang membiarkan istrinya berbuat seenaknya. Istri macam apa kau? Kau tak mau kusentuh, tapi kau mele
POV Aviasya "Aku mohon!" katanya memelas, dengan bibirnya yang kering. Matanya sayu mengisyaratkan rasa lelah. William, namanya William, pria yang kucintai selama ini, yang rela melakukan apa saja demi membahagiakanku."Wil ...." Aku mengelus pipinya, tak bisa dijabarkan perasaan yang ada di dada. Tak seharusnya dia mendapatkan ini semua. Dia tak bersalah."Aku mohon, cabut saja laporan itu, aku tak ingin keluargaku semakin menderita, suamimu bahkan telah memerintahkan orang-orang untuk merusak toko ayahku. Aku mohon, Via! Please!" Dia memegang erat jemariku.Aku mengenggam tangannya. Tak semudah itu melepaskan manusia psikopat seperti Ronald."Hei ...." William kembali menyentak lamunanku. Dia memaksakan senyum di bibirnya yang pucat, bahkan dengan keadaan tak berdaya, dia tetap berusaha terlihat baik-baik saja."Ronald itu sakit, dia sakit jiwa, bukankah ini yang kita tunggu? Menyingkirkan Ronald sehingga kita bisa bersama?" tanyaku menahan suara menahan geram. Aku tak ingin mencab
POV RonaldDia lebih kurus, bahkan terlihat pucat. Wanita yang statusnya itu adalah istriku, terlihat sangat kacau. Apa kubilang, kami juga memiliki kekuasan yang lebih tangguh dibanding keluarga Avia. Tak segampang itu membuatku membusuk di penjara. Ini adalah pertemuan pertama kami, setelah beberapa hari aku meninggalkan sel tahanan. Jangan bilang ini adalah keluarga Ronald, jika tak mampu memberikan jawaban cerdas ke publik, dan menutup mulut-mulut yang akan menyebarkan gosip dengan uang dan kekuasaan. Sangat hebat, ayahku mengatakan, bahwa tabrakan itu adalah kecelakaan yang tidak disangaja.Selepas makan malam, aku dan Avia belum beranjak dari tempat duduk kami. Sementara ke dua keluarga seperti tengah berpesta, tertawa bersama di ruang tengah, seakan sama-sama merayakan kebebasanku. "Selamat! Kau sukses menghancurkan hidupku!" katanya sinis.Aku menaikkan alis, lalu memperbaiki letak kaca mataku. Aku tahu betul, kalimat itu bernada sindiran yang terasa mengancam."Tidak, aku b
POV RonaldHujan di luar sana membuat kaca mengembun. Kuusap kaca jendela, memperhatikan sosok yang tengah berjemur di bawah sana, di tepi kolam renang.Semalam, aku ketiduran di kamar khusus milikku, setelah membaca buku selama berjam-jam. Pagi pagi sekali, aku mendapati Avia dengan wajahnya yang masam. Apakah dia kesal? Aku tak peduli. Aku tak pernah peduli yang berkaitan dengan Avia. Kecuali hal yang sangat menganggu, harga diri dan pernikahan kami.Sesaat, kulihat wanita itu bangkit, sementara aku menjauhi jendela kamar lalu keluar dari kamar ini, menuju kamar kami. Di menit ke dua, pintu kamar terbuka, menampilkan wajah tak bersahabat milik Avia. Wajah itu, penuh beban, aku bisa melihat lingkar matanya yang hitam dan pipinya yang semakin kurus. Sefrustasi itu-kah dia? Ah, tentu saja, selingkuhannya baru kehilangan kaki."Aku rasa, kita sudah diajarkan untuk mengetuk pintu sebelum masuk," ucapku santai sambil mengambil sepasang baju dari walk in closet. Seperti biasa, pagi ini a
"Kau baik-baik saja?" tanya Viora, Sekretarisku, dia adalah temanku juga saat masih kuliah dulu. Viora, ibu satu anak yang baik dan pekerja keras. Viora memiliki wajah yang manis, dengan kulit hitam manis dan tubuh tinggi semampai, selain menarik dia juga cerdas, itulah alasan kenapa aku menawarkannya bekerja denganku."Aku baik," sahutku memaksakan senyum. Setiap ada yang bertanya, aku selalu akan katakan, aku baik-baik saja.Kudengar ketukan sepatu Viora mendekat. Hal itu membuatku tak nyaman."Maaf, aku bukan mencampuri urusan pernikahanmu, tapi ... Aku sempat melihat berita tentang Avia ...."Aku menutup buku yang kubaca, kubetulkan letak kaca mataku, lalu melihat ke wajah Viora, wajahnya yang terlihat sedikit tidak enak."Sudah rahasia umum, tentang skandal Avia, bukan?"Viora mengangguk. "Aku turut prihatin." "Tidak apa-apa, biasa saja. Semua telah berlalu."Aku kembali membuka buku yang kubaca tadi, walaupun ingatanku tak lagi ke sana. Fokusku terpecah, topik ini membuat mood
Pov ViaAku mematikan mesin mobil, di pekarangan rumah sederhana yang di sisi kiri dan kanannya terdapat pohon Cemara. Rumah sederhana yang memiliki pekarangan cukup luas. Ukurannya tak lebih dari sepuluh kali tiga belas meter, dengan cat yang mulai mengelupas dan beberapa bagian kunsen pintu telah lapuk. Rumah ini bukan rumah mereka, tapi rumah yang disewa.Aku mengetuk pintu beberapa kali. Kemudian beberapa detik setelah itu, pintu terbuka, menampilkan wajah tua yang rambut dan kumis yang memutih."Hai, Paman," sapaku mencoba melebarkan senyum. Akan tetapi, yang kudapat masih sama, pria lokal itu tak menyukaiku, tatapannya masih saja dingin, mungkin karena apa yang telah menimpa anaknya William."Maaf, Paman. Saya ingin bertemu Will."Pria itu tak langsung menyahut. Dia menatapku tajam."Buat apa? Seharusnya Anda tak lagi mengusik kami. William telah kehilangan kakinya, kami hampir kehilangan toko, dan sekarang Anda datang berkunjung, untuk memancing keributan lagi, cukup!"Aku ters