Jika kau ingin menghancurkan seseorang, jangan hancurkan raganya, tapi hatinya. Karena hati adalah sumber dari semua rasa, sedih, marah, kecewa dan terluka.
Aviasya yang biasa kupanggil Avia, menatapku penuh benci dan murka. Aku puas, wanita jalang ini memang perlu diberikan pelajaran. Dia pikir, aku tak bisa melakukan apa-apa dan hanya berlindung di ketiak ayahku."Puas kamu? Puas kamu telah menghancurkan hidupku?" Dia mengetatkan rahangnya, jika saja kami tak berasa di kantor polisi, pasti dia akan memukulku dengan membabi buta."Walaupun dia tidak mati, aku puas membuat dia cacat seumur hidup."Ya, informasi yang kudapatkan, berondong peliharaan Avia, akan mendapatkan cacat permanen, lalu bagaimana dia akan melayani Avia jika dia tak lagi bisa menggunakan kakinya?Aviasya mengepalkan tangannya, matanya berkaca-kaca."Manusia macam apa kau?""Seperti katamu, aku si cupu tak berguna. Yang membiarkan istrinya berbuat seenaknya. Istri macam apa kau? Kau tak mau kusentuh, tapi kau melemparkan dirimu ke ranjang pria asing. Sekarang, pria itu takkan bisa lagi menghangatkan ranjangmu.""Kau tahu pasti, dari awal aku tak menyukaimu, dia kekasihku, bahkan sebelum menikah denganmu, apa pun keadaanya, aku takkan meninggalkannya," desisnya.Semakin dia marah, semakin aku puas. Lihatlah, si cupu juga bisa nekad, bukan? Wanita tak punya hati seperti Aviasya, layak untuk diberikan kejutan manis. Kudengar, pria bule itu harus diamputasi kakinya, bukankah itu menyenangkan?"Aku akan memastikan, kau mendekam dalam penjara seumur hidup," desisnya lagi. Dia tampak berantakan dan kehilangan keanggunannya. Wanita culas."Jangan lupa, Aviasya, aku memiliki Ayah yang kekuasaannya tak kalah besar dari ayahmu, bukankah itu alasannya kita dinikahkan? Agar perusahaan raksasa kita bersatu dan kita semakin kaya, aku ingin berlama-lama di sini, tapi ayahku takkan membiarkan anak kesayangannya mendekam terlalu lama, oh, ayolah! jangan bermimpi terlalu besar," sahutku santai.Wanita itu menatapku penuh kebencian."Kau ... Aku takkan memaafkanmu ...."Aku tertawa dan memperbaiki letak kaca mataku, rambut yang selalu kusisir rapi, kuusap sejenak."Aku tak peduli, Avia ... drama Pernikahan kita baru saja dimulai. Kau tahu pasti, takkan bisa bercerai dariku, karena ayahmu bergantung pada ayahku. Kau faham?"Aku terkekeh. Aviasya bangkit, mendorong kursi itu kasar. Lalu pergi meninggalkanku dari ruang kunjungan.Selepas kepergian Avia, aku melepaskan napas dalam. Begini rasanya menjadi jahat demi mempertahankan harga diri. Dari dulu aku digelari anak baik, anak penurut, yang selalu mematuhi apa pun yang dikatakan orangtuaku. Saat ini, kuyakin ayahku sedang mencoba menerima kekacauan, bagaimana rasanya jika anaknya sesekali berbuat nakal dengan menabrak selingkuhan istrinya sendiri. Ah, pasti keluargaku dan keluarga Aviasya kerepotan menjawab pertanyaan media.Manusia cupu yang selalu dipandang sebelah mata oleh Aviasya itu adalah aku. Yang selama ini tak banyak menuntut padanya, yang selama ini mau saja dibodoh-bodohinya, yang selama ini bungkam dan tak banyak bicara.Kini, aku bangga bisa menjadi pemberontak. Penjara dan rumah sama saja, dua tempat yang tetap saja akan menghadirkan kesepian. Kesepian dan sendirian. Ya, kesepian dan sendirian adalah teman sejatiku.POV Aviasya "Aku mohon!" katanya memelas, dengan bibirnya yang kering. Matanya sayu mengisyaratkan rasa lelah. William, namanya William, pria yang kucintai selama ini, yang rela melakukan apa saja demi membahagiakanku."Wil ...." Aku mengelus pipinya, tak bisa dijabarkan perasaan yang ada di dada. Tak seharusnya dia mendapatkan ini semua. Dia tak bersalah."Aku mohon, cabut saja laporan itu, aku tak ingin keluargaku semakin menderita, suamimu bahkan telah memerintahkan orang-orang untuk merusak toko ayahku. Aku mohon, Via! Please!" Dia memegang erat jemariku.Aku mengenggam tangannya. Tak semudah itu melepaskan manusia psikopat seperti Ronald."Hei ...." William kembali menyentak lamunanku. Dia memaksakan senyum di bibirnya yang pucat, bahkan dengan keadaan tak berdaya, dia tetap berusaha terlihat baik-baik saja."Ronald itu sakit, dia sakit jiwa, bukankah ini yang kita tunggu? Menyingkirkan Ronald sehingga kita bisa bersama?" tanyaku menahan suara menahan geram. Aku tak ingin mencab
POV RonaldDia lebih kurus, bahkan terlihat pucat. Wanita yang statusnya itu adalah istriku, terlihat sangat kacau. Apa kubilang, kami juga memiliki kekuasan yang lebih tangguh dibanding keluarga Avia. Tak segampang itu membuatku membusuk di penjara. Ini adalah pertemuan pertama kami, setelah beberapa hari aku meninggalkan sel tahanan. Jangan bilang ini adalah keluarga Ronald, jika tak mampu memberikan jawaban cerdas ke publik, dan menutup mulut-mulut yang akan menyebarkan gosip dengan uang dan kekuasaan. Sangat hebat, ayahku mengatakan, bahwa tabrakan itu adalah kecelakaan yang tidak disangaja.Selepas makan malam, aku dan Avia belum beranjak dari tempat duduk kami. Sementara ke dua keluarga seperti tengah berpesta, tertawa bersama di ruang tengah, seakan sama-sama merayakan kebebasanku. "Selamat! Kau sukses menghancurkan hidupku!" katanya sinis.Aku menaikkan alis, lalu memperbaiki letak kaca mataku. Aku tahu betul, kalimat itu bernada sindiran yang terasa mengancam."Tidak, aku b
POV RonaldHujan di luar sana membuat kaca mengembun. Kuusap kaca jendela, memperhatikan sosok yang tengah berjemur di bawah sana, di tepi kolam renang.Semalam, aku ketiduran di kamar khusus milikku, setelah membaca buku selama berjam-jam. Pagi pagi sekali, aku mendapati Avia dengan wajahnya yang masam. Apakah dia kesal? Aku tak peduli. Aku tak pernah peduli yang berkaitan dengan Avia. Kecuali hal yang sangat menganggu, harga diri dan pernikahan kami.Sesaat, kulihat wanita itu bangkit, sementara aku menjauhi jendela kamar lalu keluar dari kamar ini, menuju kamar kami. Di menit ke dua, pintu kamar terbuka, menampilkan wajah tak bersahabat milik Avia. Wajah itu, penuh beban, aku bisa melihat lingkar matanya yang hitam dan pipinya yang semakin kurus. Sefrustasi itu-kah dia? Ah, tentu saja, selingkuhannya baru kehilangan kaki."Aku rasa, kita sudah diajarkan untuk mengetuk pintu sebelum masuk," ucapku santai sambil mengambil sepasang baju dari walk in closet. Seperti biasa, pagi ini a
"Kau baik-baik saja?" tanya Viora, Sekretarisku, dia adalah temanku juga saat masih kuliah dulu. Viora, ibu satu anak yang baik dan pekerja keras. Viora memiliki wajah yang manis, dengan kulit hitam manis dan tubuh tinggi semampai, selain menarik dia juga cerdas, itulah alasan kenapa aku menawarkannya bekerja denganku."Aku baik," sahutku memaksakan senyum. Setiap ada yang bertanya, aku selalu akan katakan, aku baik-baik saja.Kudengar ketukan sepatu Viora mendekat. Hal itu membuatku tak nyaman."Maaf, aku bukan mencampuri urusan pernikahanmu, tapi ... Aku sempat melihat berita tentang Avia ...."Aku menutup buku yang kubaca, kubetulkan letak kaca mataku, lalu melihat ke wajah Viora, wajahnya yang terlihat sedikit tidak enak."Sudah rahasia umum, tentang skandal Avia, bukan?"Viora mengangguk. "Aku turut prihatin." "Tidak apa-apa, biasa saja. Semua telah berlalu."Aku kembali membuka buku yang kubaca tadi, walaupun ingatanku tak lagi ke sana. Fokusku terpecah, topik ini membuat mood
Pov ViaAku mematikan mesin mobil, di pekarangan rumah sederhana yang di sisi kiri dan kanannya terdapat pohon Cemara. Rumah sederhana yang memiliki pekarangan cukup luas. Ukurannya tak lebih dari sepuluh kali tiga belas meter, dengan cat yang mulai mengelupas dan beberapa bagian kunsen pintu telah lapuk. Rumah ini bukan rumah mereka, tapi rumah yang disewa.Aku mengetuk pintu beberapa kali. Kemudian beberapa detik setelah itu, pintu terbuka, menampilkan wajah tua yang rambut dan kumis yang memutih."Hai, Paman," sapaku mencoba melebarkan senyum. Akan tetapi, yang kudapat masih sama, pria lokal itu tak menyukaiku, tatapannya masih saja dingin, mungkin karena apa yang telah menimpa anaknya William."Maaf, Paman. Saya ingin bertemu Will."Pria itu tak langsung menyahut. Dia menatapku tajam."Buat apa? Seharusnya Anda tak lagi mengusik kami. William telah kehilangan kakinya, kami hampir kehilangan toko, dan sekarang Anda datang berkunjung, untuk memancing keributan lagi, cukup!"Aku ters
POV Ronald"Istrimu mengalami kecelakaan, karena menyetir dalam keadaan mabuk."Itulah yang pertama kudengar, dari Ayahku. Setelah pria tua yang berwibawa itu mengetuk pintu kamar tak sabaran dan menunjukkan wajahnya yang cemas.Aku mengusap mataku, sempat tertidur sejenak setelah membaca tabloid di kursi kerja. Pandanganku tak begitu jelas, akhirnya aku meraih kaca mata agar lebih jelas lagi menatap wajah Ayah."Ronald!" "Ah, ya, aku mendengarnya." Aku meminum air mineral yang terletak di atas meja. Kulirik jam dinding, jam dua belas malam. "Lalu bagaimana?" tanyaku, yang lebih tepat disebut sebagai reaksi kebingungan. Aviasya kecelakaan, lalu, bagaimana? Aku rasa pertanyaan-ku tidak salah."Istrimu kecelakaan." Suara ayah meninggi. Pria itu kembali menunjukkan siapa dirinya, yaitu laki-laki yang tak sabaran. "Lalu kau tanya bagaimana? Seharusnya kau bergegas pergi ke rumah sakit!"Aku mengerjap, menyadarkan diriku yang rasanya belum begitu mencerna apa yang terjadi."Ronald!""Ah,
Mata lemah itu, memancarkan sinar kebencian padaku. Bibir judes itu pucat, dia tergeletak tak berdaya bagaikan cucian basah yang teronggok begitu saja."Mama harus pulang!" Kalimat itu memecahkan kesunyian kami, Mama Aviasya bangkit, mengecup kening anaknya. Ya, Tuhan, bahkan dia belum ada duduk sepuluh menit."Besok siang, Mama akan kembali. Ronald akan menjagamu di sini." Mama Aviasya menatapku. "Jaga Avia, Ronald!"Tak ada jawaban dariku. Bahkan dari Aviasya sendiri. Wanita paruh baya itu berlalu. Meninggalkan aku dan Aviasya berdua di ruangan perawatan.Cukup lama hening, Avia membuka bibir pucatnya. Aku yakin, dia akan mengeluarkan sumpah serapah seperti biasa padaku."Kau senang?"Apa kubilang, tak ada perdamaian di antara kami. Aku menaikkan alisku. Antara heran dan geli. Senang? Biasa saja. Mataku, sangat mengantuk. Aku bahkan merasakan perutku kelaparan."Kau senang melihatku begini? Atau malah tak puas karena aku tidak mati.""Apa yang kau bicarakan?"Bibir pucat Aviasya te
Siangnya, aku kembali ke rumah sakit. Entah karena perasaan kemanusiaan, aku membawakan Aviasya sepaket makanan siap saji. Benar yang kuduga, sejak kutinggal pergi bekerja, tak satu pun orang menjenguknya ke rumah sakit."Tak perlu berbuat baik padaku, Ronald. Hal itu takkan mengubah sudut pandangku padamu."Dia berkata sinis. Aku tak menggubrisnya. Matanya melirik ke bungkusan makanan yang kutaruh di atas meja. Kulihat dia tengah menelan air liur, tapi mulutnya gengsi untuk minta tolong. Dan aku tak melakukan apa pun untuk membantunya. "Ibumu datang?""Tidak," sahutnya. "Aku pun tak mengharapkan siapa pun untuk datang, termasuk kamu.""Oh," sahutku, sering di caci maki, membuatku mulai kebal dengan semua perkataan wanita judes ini."Bagi mereka aku tak lah penting. Dan jangan kasihani aku.""Aku tak mengasihanimu, apa yang aku lakukan karena perintah ayahku."Sudut bibir Aviasya terangkat. Mengejek."Anak manja." Dia berkata dengan nada mencemooh.Aku tak punya kekuatan untuk melawa