Share

2

Jika kau ingin menghancurkan seseorang, jangan hancurkan raganya, tapi hatinya. Karena hati adalah sumber dari semua rasa, sedih, marah, kecewa dan terluka.

Aviasya yang biasa kupanggil Avia, menatapku penuh benci dan murka. Aku puas, wanita jalang ini memang perlu diberikan pelajaran. Dia pikir, aku tak bisa melakukan apa-apa dan hanya berlindung di ketiak ayahku.

"Puas kamu? Puas kamu telah menghancurkan hidupku?" Dia mengetatkan rahangnya, jika saja kami tak berasa di kantor polisi, pasti dia akan memukulku dengan membabi buta.

"Walaupun dia tidak mati, aku puas membuat dia cacat seumur hidup."

Ya, informasi yang kudapatkan, berondong peliharaan Avia, akan mendapatkan cacat permanen, lalu bagaimana dia akan melayani Avia jika dia tak lagi bisa menggunakan kakinya?

Aviasya mengepalkan tangannya, matanya berkaca-kaca.

"Manusia macam apa kau?"

"Seperti katamu, aku si cupu tak berguna. Yang membiarkan istrinya berbuat seenaknya. Istri macam apa kau? Kau tak mau kusentuh, tapi kau melemparkan dirimu ke ranjang pria asing. Sekarang, pria itu takkan bisa lagi menghangatkan ranjangmu."

"Kau tahu pasti, dari awal aku tak menyukaimu, dia kekasihku, bahkan sebelum menikah denganmu, apa pun keadaanya, aku takkan meninggalkannya," desisnya.

Semakin dia marah, semakin aku puas. Lihatlah, si cupu juga bisa nekad, bukan? Wanita tak punya hati seperti Aviasya, layak untuk diberikan kejutan manis. Kudengar, pria bule itu harus diamputasi kakinya, bukankah itu menyenangkan?

"Aku akan memastikan, kau mendekam dalam penjara seumur hidup," desisnya lagi. Dia tampak berantakan dan kehilangan keanggunannya. Wanita culas.

"Jangan lupa, Aviasya, aku memiliki Ayah yang kekuasaannya tak kalah besar dari ayahmu, bukankah itu alasannya kita dinikahkan? Agar perusahaan raksasa kita bersatu dan kita semakin kaya, aku ingin berlama-lama di sini, tapi ayahku takkan membiarkan anak kesayangannya mendekam terlalu lama, oh, ayolah! jangan bermimpi terlalu besar," sahutku santai.

Wanita itu menatapku penuh kebencian.

"Kau ... Aku takkan memaafkanmu ...."

Aku tertawa dan memperbaiki letak kaca mataku, rambut yang selalu kusisir rapi, kuusap sejenak.

"Aku tak peduli, Avia ... drama Pernikahan kita baru saja dimulai. Kau tahu pasti, takkan bisa bercerai dariku, karena ayahmu bergantung pada ayahku. Kau faham?"

Aku terkekeh. Aviasya bangkit, mendorong kursi itu kasar. Lalu pergi meninggalkanku dari ruang kunjungan.

Selepas kepergian Avia, aku melepaskan napas dalam. Begini rasanya menjadi jahat demi mempertahankan harga diri. Dari dulu aku digelari anak baik, anak penurut, yang selalu mematuhi apa pun yang dikatakan orangtuaku. Saat ini, kuyakin ayahku sedang mencoba menerima kekacauan, bagaimana rasanya jika anaknya sesekali berbuat nakal dengan menabrak selingkuhan istrinya sendiri. Ah, pasti keluargaku dan keluarga Aviasya kerepotan menjawab pertanyaan media.

Manusia cupu yang selalu dipandang sebelah mata oleh Aviasya itu adalah aku. Yang selama ini tak banyak menuntut padanya, yang selama ini mau saja dibodoh-bodohinya, yang selama ini bungkam dan tak banyak bicara.

Kini, aku bangga bisa menjadi pemberontak. Penjara dan rumah sama saja, dua tempat yang tetap saja akan menghadirkan kesepian. Kesepian dan sendirian. Ya, kesepian dan sendirian adalah teman sejatiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status