“Mas Dimaaas?”Tok! Tok! Tok!“A-aku harus gimana?” bisik Karina yang kini berdiri panik.Dimas bergeming dengan pikiran berkecamuk. Terpikir olehnya untuk tak membuat suara apa pun agar Agus percaya kalau dia sudah tidur.“Saya mau minta obat nyamuk, Mas!” Tok! Tok! Tok!Dimas memegang kuat pergelangan tangan Karina, membuat perhatian wanita itu teralih padanya. Mata Dimas mendelik selagi satu jarinya rapat ke bibir, menyuruh Karina diam.“Guatal sekali ini! Obat nyamuk lotion saya sisa satu saset huabiis sama Gembul karena kulitnya lapang.” suara beraksen daerah itu kembali terdengar, memancing rasa jengkel.Tok! Tok! Tok!“Mas Dimas?”Hening memerangkap sejenak.“ … Sudah tidur toh, Mas?”Kelegaan mengisi penuh hati Dimas ketika dia mendengar kalimat Agus barusan. Harusnya setelah ini Agus pergi karena yakin Dimas tak akan menanggapi.“Ya sudah, saya masuk cari sendiri ya Mas?”Sialan!Kenop pintu bergerak. Jantung Dimas rasanya hampir meledak.Buru-buru didorongnya pundak Karina
“Kar … kamu ….” Dimas memijit pelipisnya yang berdenyut. Bukannya dia tidak mau menerima Karina, hanya saja … Dimas memindai penampilan Karina. Jakunnya refleks naik turun menyambut aliran darahnya yang mendadak berdesir cepat.Satu hal yang pasti: penampilan Karina terlalu ‘mengundang’.Apa mungkin Karina memintanya melanjutkan kegiatan panas mereka tadi yang sempat terjeda? Memikirkan kemungkinan itu, wajah Dimas mendadak seperti terbakar. Jantungnya kini heboh menggedor dada. Dia sampai perlu berdehem demi menenangkan diri.Dimas yakin, tetangga-tetangganya belum lama masuk ke dalam kamar. Kemungkinan besar mereka belum tidur. Kalau ketahuan?“Nggak boleh?” Karina bergumam dengan bahu merosot lesu.“Kar, gini ….” Dimas menarik napas panjang, matanya dipejamkan sejenak.“Bukannya kamu sendiri yang melarang bawa masuk perempuan?” Dimas memiringkan kepala, tak habis pikir.“Barusan …” Karina menggigit bibir, tampak menahan senyum. “Aku cabut peraturannya.” kali ini dia menjawab lebi
“Dim, bercanda doang kali. Yang dibercandain juga bukan lo. Kok lo yang emosi?” tukas Jimmy. Tak ada guratan rasa bersalah sama sekali, baik di wajahnya maupun nada suaranya.Dan reaksi itu bagai bensin yang disiram ke bara api di dada Dimas.“Bercanda lo ngerendahin orang, sialan!” jawab Dimas dengan nada geram. Tangannya mengepal. Dan dia tahu, Agus dan Genta sudah melirik gentar ke arah kepalan tangannya.Agus berkedip, sedikit kikuk, menyenggol Jimmy seolah memberi kode. Jimmy membuang pandangan ke arah lain, tampak kesal. Sementara Genta mengangkat kedua tangannya, mencoba mencairkan suasana.“Udah, udah. Jangan panas gini ya, guys. Kita kan mau ngobrol. Nah, ini ada undangan nih. Jangan lupa datang ya.” Genta membagikan undangan satu per satu. Namun, Dimas berdiri. Meninggalkan ruangan kembali ke kamar. Brak! Pintu ditutup.Dimas menempelkan punggung di daun pintu. Tangannya mengusap wajah, lalu naik mencengkeram rambut. Matanya terpejam selagi napasnya dihela dalam-dalam.Sek
Sambil memeluk segunung cucian kering di tangan, Dimas melangkah ke kamar setelah kembali dari balkon belakang. Dilihatnya Jimmy sedang berjongkok di ambang pintu kamarnya sendiri. Tangannya sibuk menggenggam ponsel yang berisik—ramai dengan bunyi notifikasi WA dan Line yang bersahut-sahutan.Dipikir-pikir, seharian ini Jimmy terus berada di kosan. Apa dia tidak bekerja?“Lo libur?” Dimas menegur dengan nada ringan. Tangannya membuka kenop pintu.“Oh, nggak. Ini kerja. Lagi mantau update-an.”“Kerja dimana lo?” Tanya Dimas sambil melangkah masuk ke kamar. Dibiarkannya pintu terbuka lebar, supaya suara Jimmy tetap bisa terdengar.“Menitdotcom. Jurnalis.” suara Jimmy terdengar samar. Tak lama, suara itu kembali menyapa telinga.“Eh, Dim. Ke sini bentar.”Dimas yang hampir melipat cucian lantas beranjak ke luar, bersandar di daun pintu kamarnya yang terbuka. Kedua alisnya naik saat pandangannya bertemu Jimmy.“Nanti malam ngumpul di depan ya, di situ depan TV.” Jimmy menggerakkan daguny
Dimas hilang kendali. Sebelah tangannya mencengkeram sisi wajah Karina, sementara satu tangannya yang lain menahan pinggul Karina, menariknya merapat. Bibirnya menjelajah bibir Karina bagai kelaparan. Napas keduanya saling beradu, tersengal, tak beraturan, persis jantungnya yang memburu cepat.Udara pengap membuat tubuh mereka berkeringat. Namun bagi Dimas, pemandangan Karina yang menatapnya sayu dengan kulit menyemut peluh justru mendorong keluar seluruh jiwa buasnya.Erangan Dimas lolos ketika tangan Karina menjelajah masuk ke dalam kaosnya, meraba otot-otot perutnya yang keras. Makin merontalah bagian bawahnya. Dimas bergerak makin liar, wajahnya turun, menyusuri garis leher Karina, menikmati ceruknya.Entah seberapa tipis akal sehat Dimas yang tersisa. Karena detik selanjutnya, Dimas melepas kasar pengait bra Karina. Membiarkan benda itu meluncur ke lantai. Meninggalkan pemandangan Karina dengan bagian atas tubuhnya yang tak lagi berpenghalang.Di ujung batas akalnya, muncul sebua
Dimas menunggu beberapa detik. Hanya terdengar suara tangis tertahan dari seberang. Dadanya ikut menegang.“Saya turun sekarang.” gumamnya setengah panik, lebih pada pernyataan daripada permohonan.Dimas mematikan sambungan telepon. Lalu beranjak menuruni anak tangga dengan langkah lebar. Udara pengap menyambut, suasana gelap yang sedikit remang karena cahaya matahari dari kisi-kisi di atas pintu depan menyergap pandangan.Pria itu menoleh ke sana ke mari, mencari di mana kemungkinan Karina berada. Hingga, terdengar suara isakan samar yang tampaknya berasal dari sebuah kamar yang pintunya ditutup. Dimas melangkah menghampirinya.Tok! Tok! Tok!“Kar ….”Setelah beberapa saat, kenop pintu bergerak. Pintu berayun terbuka. Karina muncul di baliknya dengan wajah berlinang air mata.Dimas menghela napas berat. “Kamu dipukul lagi?”Karina tak menjawab. Namun matanya terus menatap wajah Dimas, tatapan memilukan yang mengajak Dimas ikut merasakan perih. Keduanya hanya saling menatap, hingga …