“Papa ngajak tante, eh … mama Mona keliling Eropa,” cicit Cassandra malam itu. “Memangnya dia nggak pamit sama Om?” “Nggak. Mungkin saja mereka nggak sempat,” sahut Marco dengan santainya. “Semua serba dadakan. Pertemuan mereka, pernikahan mereka, juga bulan madunya, semua tanpa rencana.” “Benar juga, sih.” Cassandra menganggukkan kepalanya. “Jadi kita pulang ke mana sekarang? Rumah atau apartemen?” “Hmm … kamu yakin mau pulang?” goda Marco. “Yakin nggak bakal bosen di rumah?”Cassandra menepuk-nepuk pundaknya sendiri. “Iya, Sandra capek banget nih. Seharian ini harus melototin tumpukan berkas yang ditinggalkan papa.” Marco mengulurkan tangannya, mengacak puncak kepala gadisnya. “Kan udah aku bantu setengahnya tadi.” “Tapi bener-bener nggak manusiawi kalo pemula seperti aku harus periksa segitu banyak laporan,” omel Cassandra. “Harusnya Om periksa dan langsung Om tandatangani sendiri. Apa susahnya sih? Kenapa juga aku harus ikut periksa.” “Lalu kamu mau ngerjain apa, hmm? Mau be
“Pak Marco, apa Anda sudah mencari kado ulang tahun untuk Nona?” tanya Niken pagi itu. “Besok adalah hari kelahiran Nona Cassandra.” Marco berhenti mencoret kertas di hadapannya. Matanya membulat saat kepalanya terangkat, menatap sekretarisnya itu. “Besok?” ulangnya seperti sedang terkejut. “Jadi … Anda belum mempersiapkannya?” tanya Niken dengan nada meninggi karena mendadak ikut panik. Marco meletakkan penanya. Ia menggigit bibirnya, suatu kebiasaan ketika ia sedang berpikir keras. Tak berapa lama kemudian, lelaki itu menjentikkan jarinya. “Apa kamu bisa membantuku?” Niken mendadak gugup. Dengan sedikit ragu, ia menganggukkan kepalanya. Tentu saja ia merasa takut tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan Marco, sesuai ekspektasinya jika waktu yang diberikan hanya sehari saja.“Pesan sebuah hall, undang kawan-kawan dan juga beberapa relasi kita,” perintah Marco. “Aku akan mengumumkan pertunanganku dengannya besok.” “Tapi Pak Marco ….” Niken merasa semakin gugup ketika men
“Miller sedang mengadakan pesta perpisahan. Dia akan kembali ke negaranya. Dan dia mengundangku ke acara itu. Apa kamu bisa menemaniku?” tanya Marco pada gadis yang terlihat manyun di depannya. Cassandra merasa kesal seharian ini. Ia tidak mendapatkan satupun ucapan selamat di hari ulang tahunnya. Tidak dari orang yang dicintainya, juga dari sahabatnya Hani. Seperti semua orang sedang melupakan keberadaannya. “Baiklah,” sahutnya dengan perasaan kecewa. “Aku sudah membuat janji dengan Clairys Salon. Pergilah, ke sana. Aku tidak mau terlihat buruk di depan Miller,” perintahnya. Cassandra menghela napas. Ia berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan Marco dengan perasaan kesal. “Bagaimana bisa dia melupakan hari kelahiranku, di saat yang sama dia memakainya untuk membuka pintu apartemennya,” batin Cassandra. “Dan kenapa dia sampai memintaku ke salon kalau hanya sekedar untuk datang ke acara perpisahan relasi bisnisnya. Benar-benar menyebalkan!”Walau merasa kesal, namun gadis itu
Cassandra memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan itu. Ia masih belum pulih dari rasa terkejutnya, tatkala wanita itu kembali mencerca. “Kamu memang nggak punya malu! Bahkan adik kandung papa kamu sendiri, kamu goda,” teriaknya. “Dasar perempuan jalang!” Marco menjentikkan jarinya, memberikan isyarat pada para penjaga keamanan yang disewanya, untuk mengatasi masalah itu. “Nyonya Zissy! Apa kamu bisa membuktikan bahwa aku adalah ayah bayi yang ada dalam kandunganmu?” tanya Marco. “Aku akan bersabar hingga bayi itu lahir untuk melakukan test DNA.”Dua orang penjaga mencekal lengan Zissy. Sekuat apapun wanita itu meronta, kedua lelaki itu tak melepaskannya. “Dan satu hal lagi yang belum kamu ketahui. Cassandra bukan putri kakakku,” lanjut Marco. Sepasang mata wanita itu membulat. Jika gadis itu bukan keponakan Marco, maka tak ada gunanya ia melakukan semua upaya ini. Cassandra mundur selangkah demi selangkah sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu. Pesta megah yan
Marco menatap kakaknya yang menghampirinya. Ia melihat lelaki itu melepaskan troli berisi tas koper bawaannya, hanya untuk menghampirinya. “Kakak,” sambut Marco saat keduanya sudah dekat. Namun Irfan membalas sambutan itu dengan sebuah tamparan keras di pipinya. Wajahnya terlihat sangat serius. Mona terkejut melihat reaksi suaminya. Ia bergegas menghampiri keduanya untuk melerai. Tentu saja akan sangat memalukan jika kedua kakak beradik itu bertengkar di bandara.“Apa kamu ini benar-benar sudah gila? Bisa-bisanya kamu membuat kekacauan seperti ini,” geram Irfan.Marco menelan kasar salivanya. Lidahnya terasa kelu, tak bisa menyampaikan pembelaan atas dirinya sendiri. “Maaf.” “Cuma itu yang bisa kamu katakan!” hardik Irfan. “Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya. Selesaikan urusanmu dengan Zissy sebelum mengambil alih tanggung jawabku untuk menjaga dan merawat Cassandra. Tapi apa?” Marco mengepalkan tinjunya. Bibirnya mengatup rapat. Kali ini ia tak dapat menjawab sepatah katapun
Marco masih menatap grafik di depannya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuatnya kembali melambung seperti semula. Usaha yang dilakukan Irfan selama bertahun-tahun musnah dalam seketika hanya karena kecerobohannya.“Butuh waktu. Semuanya butuh waktu,” kata Rexy. “Bahkan seekor ulat butuh waktu untuk menjadi kupu-kupu.” “Rex, ini nggak ada kaitannya dengan ulat atau kupu-kupu. Aku satu-satunya orang yang bersalah atas kehancuran Sophie Laurent.” Marco meletakkan kembali benda pipih itu ke atas meja. “Maksudku, setelah kamu membereskan artikel-artikel itu. Perlahan semuanya akan kembali seperti semula,” sahut Rexy. “Percayalah.” Marco menyandarkan tubuhnya dan menghela napas panjang. “Seharusnya aku tidak terlalu percaya diri. Perempuan itu tidak akan semudah itu melepaskan aku.” “Lalu apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan menunggu bayi itu lahir dan menuntut ibunya?” tebak Rexy.“Tidak! Aku akan menuntutnya karena sudah mencemarkan nama baikku,” sahut Marco. “Tapi d
“Minggir! Minggir! Minggir!” seorang kuli panggul, melangkah cepat menyeruak di antara mereka. Karung yang dipikulnya, tanpa sengaja membuat Cassandra terdorong hingga jatuh.Tepat saat itu, sebutir telur melayang lagi. Kali ini benda berlapis cangkang itu mendarat tepat di atas kepalanya. Sesaat gadis itu memejamkan matanya dan mengusap lelehan telur yang menetes dari rambutnya. Namun saat ia membuka mata, yang dilihatnya bukan hanya ibu tadi. Tapi beberapa wanita lain ikut berada di belakangnya, dengan sorot mata yang sama, menatapnya seolah hendak menghakimi.“Dia cantik, lagi masih sangat muda. Apa nggak bisa cari lelaki lain?”“Benar. Kenapa harus merebut laki orang? Malah katanya om nya sendiri. Masih sedarah dengan bapak kandungnya!” “Dunia memang sudah gila!” Suara-suara itu terdengar dengan jelas di telinga Cassandra. Ia benar-benar ingin lari, namun kakinya seakan terpaku. Entah berapa telur yang sudah menyasar di tubuhnya kini.Badannya mulai gemetar, hatinya semakin menc
Marco menatap benda pipih di tangannya. Sebuah email tentang hasil tes yang sudah dibayarnya dengan harga yang sangat mahal itu akhirnya diterimanya. Tangan kanannya menahan ponsel yang menempel di pipinya. Lelaki itu menghela napas lega. “Baiklah, kita segera ajukan gugatan itu. Dia harus bertanggung jawab atas kekacauan yang sudah dibuatnya,” ucap Marco pada seseorang di seberang sana. “Aku benar-benar harus memulihkan nama Cassandra kembali.”“Sungguh, aku menerima kasus ini karena gadis itu. Aku sempat melihat unggahan seseorang di me-tube tentang kejadian malam itu. Bagaimana keadaannya? Pasti dia mengalami shock berat setelah mendapat tudingan sekejam itu,” ujar sang pengacara.“Dia mengurung diri,” sahut Marco pelan. “Tapi kemarin, saat pertama ia membuka diri kembali, orang-orang justru kembali menyerangnya dengan ujaran jahat.” Marco mengeraskan rahangnya saat mengingat kejadian itu. “Aku benar-benar tidak bisa memaafkan ataupun mentolerir tindakan Zissy.” “Saya bisa meng