Home / Romansa / Gairah Liar Paman Mantanku / GLPM5 : Malam Panas

Share

GLPM5 : Malam Panas

last update Last Updated: 2025-03-07 22:06:17

Gadis itu menganggukkan kepalanya, membuat lelaki di hadapannya merasakan kelegaan dalam hatinya. Anggukkan itu seperti secercah harapan baginya untuk kembali memperjuangkan perasaannya.

"Bagus kalau gitu," lirihnya sembari melepaskan cengkramannya, "tentang menu baru yang kita bicarakan, bagaimana kalau kita coba membuatnya malam nanti."

Aura menatap lelaki itu dengan kesal. Setelah tutup toko, sama artinya dia terpaksa harus lembur malam ini. Dan Bu Natusha tidak menyukai karyawannya lembur. Tapi lagi-lagi ia tidak mungkin menolak perkataan Chef Farrel, atasannya itu. Penilaian kerjanya, tergantung pada kepuasan lelaki bermulut pisau ini.

"Baik Chef."

***

"Om Rey, ngapain booking tempat dadakan buat tamu yang nggak kira-kira banyaknya?" sambut Aura sesaat setelah melihat wajah Rey Damarta di ruang tertutup resto itu.

"Aku cuma mau mempertegas pembicaraan kita pagi tadi. Pembicaraan yang terputus hanya karena kamu harus berangkat kerja." Lelaki itu menarik sudut bibirnya, memamerkan sederetan giginya yang tersusun rapi di balik bibir tegas dengan kumis tipisnya yang terlihat seksi. "Tentang kata-katamu tadi. Kamu mau aku. Apa itu artinya kamu mau menandatangani kontrak itu?"

"Aku akan mempertimbangkannya."

Rey Damarta menganggukkan kepalanya. "Aku menghargai apapun keputusanmu. Tapi ... hari ini biarkan aku menunjukkan sesuatu."

Lelaki itu meraih tangan Aura dan menggandengnya keluar dari ruangan itu.

"Tunggu, Om Rey. Aku nggak bisa keluar gitu aja dari sini," tolak Aura.

"Kenapa? Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik. Bahkan Natusha sudah memberimu ijin untuk pulang lebih awal."

Aura menarik tangannya lepas dari genggaman lelaki itu. "Kalau gitu, hari ini aku cuma mau istirahat. Aku sangat capek. Tiga jam aku berdiri di dapur, hanya karena seratus tamu dadakan yang Om datangkan tadi. Benar-benar menguras tenagaku."

"Baiklah, kalau gitu ... aku cuma bisa menunggu keputusanmu."

Rey Damarta pulang dengan tangan hampa. Ia sadar, keputusannya membawa seluruh stafnya untuk merayakan peluncuran mega proyek aplikasi terbaru ke seventy eight degree resto, sangat tidak tepat kali itu.

Sepanjang malam, Aura terus teringat setiap detail kejadian hari itu. Ia masih belum dapat melupakan lembut dan hangatnya bibir paman mantan kekasihnya itu. Ia bahkan masih merasakan debaran di dadanya saat membayangkan sentuhan lembut tangan Rey di tubuhnya.

Ditepuknya keningnya dengan kesal. "Astaga, apa yang kamu pikirin, Ra. Kenapa pikiranku mendadak nakal seperti ini," gumamnya, "tidur! atau besok, kena damprat Bu Natusha lagi."

Rasa lelah di tubuhnya, membuat gadis itu segera lelap dalam tidurnya.

Bayangan tubuh lelaki itu terlihat jelas di balik dinding kaca kamar mandinya. Suara gemericik air terdengar saat menyentuh lantai berbahan granit, sementara melodi indah mengalun memenuhi ruangan kamar itu.

Aura berjingkat-jingkat mendekati pintu tertutup yang letaknya bersebelahan dengan kamar mandi. Sebuah pintu yang terlihat aneh dengan warna merah yang begitu terang.

Rasa penasaran seakan mengendalikannya untuk segera memegang handle dan memutarnya. Beragam pikiran mulai menggerayang di kepalanya. Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh lelaki itu? Mungkinkah dia seorang mafia yang menyimpan ratusan senjata, atau justru mayat!

Aura menelan kasar salivanya. Ia tahu kalau saat ini ia sudah mengambil resiko besar. Apalagi semua pasal di dalam surat kontrak itu menyebutkan bahwa apapun yang terjadi di dalam rumah kediaman Damarta, harus dirahasiakan!

Rahasia apa sebenarnya yang ada di dalam rumah itu? Apa yang disembunyikan oleh Rey Damarta?

Namun, belum sempat gadis itu mendorong pintu itu hingga terbuka, sepasang tangan telah melingkar di pinggangnya dan dirasakannya sentuhan lembut di tengkuknya. Sentuhan yang membuat bulunya meremang karena sensasinya.

"Aku tahu, kamu akan kembali kemari,. Aura." Suara maskulin itu membuat Aura lupa bernapas. "Kamu juga menginginkan aku. Sama seperti aku menginginkanmu."

Sentuhan lembut sepasang tangan yang semula di pinggangnya, kini semakin liar mengusap di belahan sepasang gumpalan di dadanya, lalu tangan nakal itu meremasnya dengan lembut membuat gadis di pelukannya semakin gelisah.

"Om Rey."

"Aura, kamu tidak pandai berbohong. Kamu itu seperti sebuah buku yang terbuka," bisiknya, "aku bisa membaca semuanya hanya dengan gerakan tubuhmu. Aku tahu saat kamu menatapku, menggigit bibir bawahmu, bagaimana gestur dudukmu yang menyilangkan kedua kakimu dengan gelisah."

Aura menelan kasar salivanya, ketika tiba-tiba saja lelaki itu memutar tubuhnya dan melumat bibirnya begitu saja. Lumatan yang terasa begitu panas, menuntut dan penuh gairah.

Ia bahkan tak bisa memahami reaksi tubuhnya. Bagaimana mungkin tubuhnya tidak memperlihatkan penolakan sedikitpun. Bukan hanya itu, ia bahkan menikmati setiap lumatan dan sentuhan liar penuh gairah lelaki itu.

Aura melirik tubuh indah lelaki yang hanya berlapiskan handuk di bagian pingganggnya. Rey seakan sedang memamerkan pahatan indah otot perutnya.

Rey seperti mengerti apa yang diinginkannya. Setiap sentuhan itu seakan memanjakannya, membawanya masuk lebih dan lebih lagi dalam gelombang gairahnya. Mengangkatnya dan menghempaskannya dalam setiap sentuhannya.

Jemari tangannya menyibak kaos oversize yang dikenakannya, lalu dengan penuh ketergesaan menarik turun retsleting jeans panjang yang dikenakannya. Namun Aura tak mempedulikannya.

Napasnya semakin terengah ketika lelaki itu mulai menyentuh segitiga berbahan renda miliknya. Segitiga yang menyembunyikan sesuatu paling berharga yang dimiliki dan dijaganya selama dua puluh tahun lebih!

"Om Rey," lirihnya masih dalam napas yang berirama kacau. Sentuhan itu membuatnya semakin frustasi.

"Aku pasti akan membahagiakanmu, Aura. Cukup tandatangani persetujuan itu untukku. Jadilah milikku," rayu Rey.

Aura menggigit bibir bawahnya. Dirasakannya sensasi aneh, yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Sensasi indah yang seperti candu bagi tubuhnya.

Gadis itu meremas kuat-kuat sprei di bawahnya. Sepasang pahanya dikatupkannya dengan erat, menghimpit tubuh lelaki itu.

"Tidak, Om Rey. Aku bukan barang!"

Kalimat itu ingin sekali dilontarkannya. Tapi entah kenapa lidah Aura terasa kelu. Ia bahkan tak bisa melawan. Tubuhnya terasa begitu lemah, seperti lembaran kertas yang dengan pasrahnya diremas oleh sang pemilik.

"Malam ini, akan kutunjukkan padamu kenikmatan yang sesungguhnya," bisik lelaki itu.

"Aura ... Aura Dinata."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
Aura mimpi kali yee
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Liar Paman Mantanku   GLPM76

    Langkah Aura terhenti di lorong sempit antara dapur dan ruang ganti staf. Ia bersandar di dinding dingin, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih tak beraturan. Tangannya masih hangat karena baru saja memegang gelas susu untuk Vina, namun hatinya terasa dingin, seperti diguyur hujan tanpa peringatan.Ia mendengar semuanya. Kalimat jujur dari mulut Vina, pengakuan polos yang menyakitkan. Dan tanggapan Rey yang entah kenapa, justru membuatnya semakin sesak.Rey tahu ia mungkin bukan ayah kandung anak itu. Tapi ia tetap menerima. Tanpa drama. Tanpa marah. Tanpa memaksa siapa pun percaya padanya.Aura menunduk. Ia tahu betul bahwa dirinya telah terlalu banyak menghakimi, terlalu cepat menarik kesimpulan. Ia takut. Dan dalam ketakutan itu, ia memilih menjauh.Padahal, Rey tetap tinggal. Meski dibohongi. Meski tak tahu pasti. Meski ditinggalkan.Aura menatap tangannya yang kosong. Ia merasa kehilangan, entah apa. Mungkin kehilangan rasa marah yang biasa ia pegang kuat-kuat. Atau mun

  • Gairah Liar Paman Mantanku   GLPM75

    Pintu ruang istirahat setengah terbuka. Dari celahnya, Rey bisa mendengar suara Ega.“Lho, lho, lho ... itu keripik buat Om Ega kenapa lo embat semua, Detektif Vina? Perasaan tadi lo bilang udah kenyang nasi goreng tiga centong!”“Aku lagi lapar lagi,” jawab Vina polos sambil mengunyah.“Waduh! Ini namanya balita berkedok tukang demolisi dapur. Lo ini calon chef atau calon pemakan inventaris?” Ega pura-pura panik.Vina tertawa kecil. “Teddy juga lapar!”“Ya Tuhan ... bonekanya juga? Jangan-jangan dia juga nyolong sambel waktu di dapur tadi.”Vina mengangkat Teddy dan mengangguk mantap.“Fix! Kita perlu detoks sekeluarga. Teddy-nya, Vina-nya, Om Ega-nya,” gumam Ega, lalu menatap serius. “Eh ... tapi ngomong-ngomong ... kamu tadi bikin Chef Fendi hampir berubah jadi Godzilla, loh.”Vina menunduk. “Aku beneran nggak sengaja narik panci besinya, kok Om.”Ega duduk bersila di depan Vina, sambil menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Yah, nggak papa. Yang penting lo nggak narik kulkas. Soalnya k

  • Gairah Liar Paman Mantanku   GLPM74

    Arga mengangguk. “Bisa jadi itu hanya strategi sainganmu. Atau ... dia memang benar-benar sudah putus asa.”Rey mendengus. “Kalau dia cuma mau kabur, kenapa harus menyeret namaku?”“Karena ... mungkin dia tahu nama kamu cukup kuat buat jadi perisai,” sahut Arga setelah berpikir sekian detik.Rey mengusap wajahnya. Lalu bangkit dan melangkah keluar. “Aku harus bicara dengan anak itu. Langsung.”Dapur Seventy Eight Degrees meledak dalam kesibukan. Matahari yang semakin meninggi tak mampu meredam tekanan pesanan yang datang bertubi-tubi. Waktu menunjuk pukul sembilan lewat dua puluh tujuh menit, dan dalam waktu satu jam, tamu VVIP, kelompok besar undangan dari pesta ulang tahun sebuah perusahaan penerbitan di kota itu mulai berdatangan.Aura bergerak lincah dari satu sisi ke sisi lain dapur, menata piring, mengatur plating, mengecek stok bahan yang datang terlambat, sembari sesekali mengatur napas di tengah rasa panik yang tertahan.Namun segala konsentrasinya buyar ketika suara panci ja

  • Gairah Liar Paman Mantanku   GLPM73

    Setelah diam cukup lama di ambang kamar dengan tatapan kosong ke kartu nama Dini Agustin, Rey akhirnya meraih ponselnya. Dengan cepat ia mengetik sesuatu dan menekan panggilan.“Arga. Segera ke sini. Bawa laptop. Aku perlu kamu selidiki seseorang. Namanya Dini Agustin. Bukan cuma profil, aku butuh semua jejak digital dan riwayatnya. Siapa dia, apa pekerjaannya, siapa orang-orang di sekitarnya. Dan, kalau bisa, cari tahu siapa ayah dari anaknya.”Suara di ujung telepon terdengar hanya sepersekian detik memberi respons, sebelum Rey memutuskan panggilan dan menatap ke arah ruang makan. Vina masih duduk tenang. Gadis kecil itu terlihat sedang menyuapi potongan roti pada beruang lusuh yang dinamainya Teddy.Rey menarik napas panjang. Ia mendekati Vina perlahan.“Namamu siapa?” tanyanya sambil berjongkok hingga sejajar dengan mata si kecil.“Vina,” jawab gadis kecil itu ceria. “Namaku lengkapnya Lavina Aprilia.”“Lavina, ya. Nama yang cantik,” gumam Rey pelan. “Kamu umur berapa?”“Lima. Tap

  • Gairah Liar Paman Mantanku   GLPM72

    Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menyusup masuk ke balik tirai jendela, namun dapur rumah besar itu sudah terasa hangat oleh aroma tumisan bawang dan roti panggang. Aura berdiri di depan kompor, mengenakan apron bergambar wortel dengan rambut dikuncir asal-asalan. Di hadapannya, meja makan mulai tertata dengan rapi: telur orak-arik, tumis sayur, roti, mentega, jus jeruk, dan segelas susu hangat.Di kursi makan, duduk seorang gadis kecil mengenakan piyama bergambar kelinci. Boneka beruang lusuh digendong erat di pangkuannya. Sesekali ia mengangguk sendiri, berceloteh pelan seolah sedang berbincang dengan sang beruang.“Jadi, Teddy, kamu mau telur satu atau dua? Tapi jangan banyak-banyak ya, nanti perut kamu meletus,” katanya sambil terkikik.Aura menoleh sebentar dari kompor, senyum kecil muncul di wajahnya. Lalu segera kembali ke wajan, membalikkan telur dengan cekatan. Pikirannya masih kacau, tapi tangannya tetap bergerak otomatis seperti tahun-tahun yang ia habiskan di dapu

  • Gairah Liar Paman Mantanku   GLPM71

    Rey membuka pintu mobilnya dan melangkah masuk tanpa menunggu izin. Aura, yang setengah pasrah, terpaksa mengejarnya.Di dalam dapur restoran, suasana yang semula sibuk mendadak melambat. Ega, yang sedang mengoles mentega di roti panggang, sontak berhenti dan menatap Rey seolah baru melihat selebritas dunia memasuki dapur kelas menengah.“Waduh, Beb … itu Mas Rey?” bisiknya ke Aura. “Lo serius ngajak dia masuk? Ini dapur, bukan meet and greet bos besar, loh!”Aura hanya menunduk sambil menghela napas panjang.Chef Fendi, atasan langsung Aura, tiba-tiba berdiri tegak dengan ekspresi yang lebih gugup daripada saat menerima penilaian bintang Michelin. Ia bahkan tak sadar jika ia masih memegang talenan berisi bawang merah yang belum dikupas.“Selamat pagi, Tuan Rey,” sapa Fendi dengan suara yang sedikit bergetar. “Apakah … ada yang bisa saya bantu?”Rey hanya mengangguk pelan dan berdiri di dekat lemari pendingin, memandangi seisi dapur seolah sedang menilai performa semua orang. Beberapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status