"Aura! Aura Dinata!"
Suara desah maskulin itu tiba-tiba saja berubah menjadi suara cempreng yang sangat ia kenal. Dan wajah tampan penguasa D'Amartha Group itu lenyap begitu saja dari pelukannya digantikan wajah gadis berambut keriting yang sangat dikenalinya. Gubrak! Aura meringis kesakitan saat tubuhnya merasakan kerasnya lantai keramik dingin di bawahnya. Dan entah bagaimana caranya, selimutnya pun seolah ingin ikut campur untuk menghukumnya karena mimpi yang sangat aneh itu. Aura melepaskan diri dari lilitan selimutnya. Dihempasnya guling yang ada dipelukannya dengan kesal. Mimpi itu bahkan terasa begitu nyata baginya. Senyata guling yang berada di dalam pelukannya tadi dan rasa sakit di tubuhnya. "Kamu ngapain rebahan sambil selimutan di lantai?" tanya Jessy yang terkejut melihat ulah kawan yang sedari tadi tidak menjawab panggilannya, "kamu lagi cari tokek apa kadal?" "Ya ... gimana lagi. Kasurnya nggak mau aku tidurin. Dia malah lempar aku ke lantai." Gadis berambut keriting itu tertawa cekikikan mendengar pernyataan kawannya. "Kayaknya otakmu jadi konslet, Ra, semenjak batal nikah sama si Micho. Atau ... jangan-jangan justru karena Rey Damarta?" tebaknya. Aura mendelik kesal karena tebakan sahabatnya sama sekali tak meleset. Ini karena ia memikirkan laki-laki itu beserta surat perjanjian konyol yang dibuatnya. "Bener kan?" goda Jessy. "Nggak tau, ah. Aku mandi dulu. Aku nggak mau dimarahin sama Bu Nat gara-gara telat lagi." "Tapi ... tadi Ega bilang, kamu dapat libur hari ini," tukas Jessy, "coba kamu cek, dia bilang udah chat kamu tapi nggak dibaca sejak semalam." Aura segera meraih ponselnya. Bayangan Bu Natusha yang marah karena kecerobohannya dalam menghidangkan steak kemarin, langsung mengambang di benaknya. Bisa-bisa SP 3 langsung dikantonginya. "Katanya ... seratus tamu kemarin, udah dimasukin ke kredit kamu. Dia berterima kasih karena jamuan itu sudah menyelamatkan keuangan resto," lanjut Jessy. Sepasang matanya menatap gadis yang sibuk mengeluarkan setelan pakaian dari lemarinya, "tapi Ra, masa sih seventy eight degree resto mau pailit?" "Hush!" Jemari Aura segera menjepit bibir kawannya, "nggak usah pake nyumpahin tempat kerjaku pailit, kali. Gimana kalo aku nggak dapat gaji. Terus nggak bisa bayar sewa kos." "Ya ... kan ada Rey Damarta. Ah ... dia itu ganteng pake banget. Dia itu tipe aku, deh. Udah ganteng, tajir pula. Kalo bener dia itu bukan gay, ini tuh kesempatan banget buat kamu, Ra." Aura mendengus kesal. Seandainya saja ... ya, seandainya saja seorang Rey Damarta itu lelaki normal yang bisa mencintai seorang wanita, bukan cuma orang aneh yang menghalalkan sebuah hubungan dengan surat bermaterai, memang dia adalah orang yang tepat ada di hati Aura. Tapi ... tentu saja Aura harus mempertimbangkan matang-matang untuk berada di dekatnya jika tidak mau cuma dianggap sebatas mainan yang akan dibuang jika sudah tidak lagi menarik. Bagaimanapun, kertas bermaterai itu punya kekuatan, dan ia tidak ingin terperangkap dalam perangkap manis yang disiapkannya. "Udahlah, dia nggak akan pernah terlibat hubungan spesial dengan perempuan manapun." Aura menoleh sejenak menatap kawannya sebelum masuk ke dalam kamar mandi. "Jadi gosip itu benar, ya?" tanya Jessy dengan ragu, "apapun itu, kamu mesti hati-hati, Ra!" Ya ... tentu saja. Ia harus hati-hati. Rey Damarta bukan Micho yang bisa dipermainkan dengan mudah. Apalagi ia sudah mengetahui sebagian kecil rahasianya, paling tidak tentang surat persetujuan yang mesti ditandatangani oleh perempuan yang dekat dengannya. Bukan tentang cinta, tapi hasrat. Libur ... bukan kata yang menyenangkan bagi Aura. Sendirian, tanpa arah tujuan, kini justru membuatnya takut dengan kata itu. Seperti siang ini, ia justru menghabiskan waktunya di fresh mart, mengobrak-abrik jajaran varian bumbu dapur yang tertata rapi di raknya, mencari daging sirloin diskon yang masih layak pakai. "Jadi ... berapa jam lagi kamu bakal habiskan waktumu di sini?" Suara maskulin itu, mau tak mau membuat Aura mendongakkan kepalanya. Ditatapnya lelaki di hadapannya dengan perasaan tak percaya. "Om Rey, ngapain di sini?" Lelaki itu mengangkat benda yang terbungkus plastik bening di tangannya. "Jangan bilang kalau Om lagi rapi-rapi rumah dengan kabel ties itu," sindir Aura sembari tertawa terkekeh. "Bukan ... bukan. Ada fungsi lain dari benda ini," sahut lelaki itu dengan senyum misteriusnya. Senyum yang membuat Aura langsung merinding, saat mengingat betapa misteriusnya lelaki itu. "Buat apa, Om?" "Untuk sesuatu yang menyenangkan," sahut lelaki itu, "kamu libur, kan? Ayo, aku kasih tau sesuatu yang menarik." Rey meletakkan barang yang dibelinya ke dalam troli Aura dan mengambil alih keranjang belanja itu dari tangan Aura. ----- Ruangan itu masih terlihat sama. Ruangan kerja yang luas dengan perabot mewah yang memperlihatkan privilege seorang Damarta. Di atas sofa lembut dengan warna merah menyalanya, lelaki itu duduk dengan tegap. Sementara Aura duduk agak.menjauh di sampingnya. "Kamu sudah mempertimbangkan surat penawaran dariku, kan?" tanya Rey langsung pada tujuannya. "Masih dalam proses mempertimbangkan, Om," sahut Aura, "terus terang ... aku belum mendapatkan bayangan tentang apa saja yang aku inginkan dan tidak aku inginkan dalam hubungan kita nanti." Rey Damarta justru tersenyum. Ditelengkannya kepalanya sebelum bibirnya kembali mengucapkan sebaris kalimat yang membuat jantung Aura kembali berdegup dengan kencangnya. "Tentu saja, kamu tak akan pernah tahu sebelum kamu melakukannya, Aura,." Gadis itu menelan kasar salivanya. Ia menatap manik hitam mata lawan bicaranya secara bergantian. Sepasang mata itu memperlihatkan kesungguhannya dan itu justru membuat Aura merinding. Lelaki itu mendekatkan wajahnya hingga hembusan napasnya terasa di pipi Aura. Hangat namun justru membuat gadis itu gemetar. Bukan karena takut, melainkan gelisah apalagi setelah mimpinya semalam. "Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu, Aura," janjinya. Perlahan ia menautkan bibirnya, mengecup lembut bibir merah gadisnya. Sementara satu tangannya meraih tengkuk sang gadis, sengaja menuntunnya untuk membebaskan hasratnya tanpa rasa ragu. Kecupan lembut itu pun segera berkembang menjadi semakin liar dan penuh gairah. Ditambah dengan sentuhan tangan Rey yang begitu cepat menghadirkan hasrat dalam dirinya. Aura seakan terhipnotis hingga larut dalam candu yang diciptakannya. Rey tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan lagi. Ini bukan yang pertama baginya, bahkan begitu banyak gadis yang berusaha mendekatinya dan mau menandatangani perjanjian apapun hanya untuk mendapatkannya. Tapi Aura sama sekali berbeda. Gadis ini terus mempertimbangkan seolah tawaran yang diberikannya sama sekali tidak menarik. Walau sesungguhnya gadis itu sudah tidak memiliki apapun. Gadis itu benar-benar membuatnya penasaran! Aura mendesah pelan saat Rey menyentuh titik sensitifnya. Tubuhnya semakin gelisah saat lelaki itu mengecup di lehernya, membuat tubuhnya semakin bergetar karena luapan gairah yang dirasakannya. Rey mengangkat tubuh gadis itu dengan kedua tangannya. Tangannya meremas bulatan kenyal di belakang sana, sementara bibirnya menyesap dengan gemas puncak kemerahan gumpalan di hadapannya, hingga membuat punggung gadis itu melengkung dengan indahnya. Napasnya makin terengah, ketika Rey membaringkannya di atas ranjangnya. Ditatapnya sepasang mata yang seolah mendambakan sentuhannya lebih dan lebih lagi itu. "Aku janji, aku akan memperlakukanmu dengan lembut.""Probability of sibling relationship: 99.98%." Matanya berkaca. "Kaluna ... benar-benar adik kandungku. Dari Papa ..." bisiknya lirih. Langkah cepat terdengar di balik pintu. Kaluna muncul dengan wajah tegang, masih mengenakan dress semi formal yang tak sempat ia ganti sejak kemarin. Begitu melihat wajah Aura yang mulai tersenyum, tubuhnya menegang. Aura berdiri. Kaluna menatapnya penuh harap. "Kita beneran saudara?" tanya Kaluna lirih, matanya nyaris tak berani menatap langsung. Aura tak menjawab dengan kata. Ia hanya membuka lengannya, lalu memeluk Kaluna erat. Kaluna terisak. "Kakak ..." gumamnya pelan untuk pertama kalinya. Seketika, Aura mencubit pipi Kaluna gemas. “Tapi jangan lagi tiru-tiru aku, ya?” Kaluna tersipu. “Aku cuma ... ingin terlihat seperti bagian dari kalian.” Aura tersenyum dan mengusap pipinya. “Kamu nggak perlu jadi duplikat siapapun. Jadi dirimu sendiri. Karena kamu akan jadi sempurna ... buat seseorang yang mencintaimu, bukan karena kamu mir
Namun perempuan itu tak berhenti. Ia justru menghunus pisau lipat kecil dari saku dalam jaketnya dan mengarahkannya ke pria di sebelah kanannya. “Jangan sentuh aku!” raungnya. Pria itu segera mundur. Linda memutar tubuhnya, mencoba kabur ke arah semak di balik rerimbunan. Arga maju lebih dulu. “Linda, berhenti!” “Kalian pikir bisa dengan mudah menangkapku!” serunya dengan napas memburu. Ricko sudah siaga di belakang, kameranya terangkat sedikit, tapi tetap membiarkan bayangan semak-semak menutupi sebagian pandangan agar tak langsung terlihat. Linda menusuk ke depan dengan cepat, mengayunkan pisaunya ke lengan salah satu pengawal. Pria itu tersentak karena luka ringan di lengannya. Arga maju lagi. “Tangkap dia hidup-hidup!” Linda menjerit kasar, mencoba mengayunkan kembali senjata tajamnya ke arah Arga. Tapi langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di hadapannya
Kaluna tertawa kecil. “Kalian pikir aku ancaman besar? Aku cuma ... Aku cuma ingin diakui.” Ricko menyipitkan mata. “Dan kau kira menjatuhkan Aura akan memberimu pengakuan?” Kaluna menggertakkan gigi, lalu berbisik, “Aku memang bukan siapa-siapa di keluarga Dinata. Tapi aku juga anak Robin Dinata.” Kalimat itu membuat Arga dan Ricko saling bertukar pandang cepat. “Aura tidak punya saudara. Dia putri tunggal Robin. Apa kamu punya bukti tentang itu?” tanya Arga dingin. “Tidak ada,” sahut Kaluna cepat. “Kecuali satu cincin tua yang pernah diberikan ibunya Aura pada ibu kandungku. Tapi sudah lama hilang. Linda yang merampasnya dariku.” Ricko mencondongkan tubuh. “Berarti Linda memanfaatkan fakta bahwa kamu anak Robin Dinata ... untuk menghancurkan Aura dari dalam.” Kaluna mengangguk pelan. “Awalnya aku menolak. Tapi ... aku juga ingin tahu rasanya dicintai. Aku tidak mau hidup sebatang kara lagi.” Arga menepuk meja. “Kamu tidak menjawab. Di mana Linda sekarang?” Kaluna te
Suara angin malam menyapu pelan taman belakang ballroom, membawa aroma bunga dan tanah basah. Di balik pepohonan besar yang tumbuh rapi seperti labirin, Ricko berdiri dalam diam, punggungnya bersandar ke batang pohon, tangan kiri menggenggam ponsel yang merekam seluruh percakapan Kaluna dengan Linda.Ia tidak bergerak. Nafasnya teratur. Tapi matanya tajam, menusuk setiap kata yang keluar dari mulut Kaluna yang terdengar dingin, terlatih dan penuh strategi.“Kalau kamu ingin tetap hidup dan tidak dijadikan kambing hitam resmi, ikuti saja permainanku ….”Kalimat itu menutup semuanya. Seperti paku terakhir di peti penuh kebohongan.Ricko menyentuh earbud-nya. “Rey. Aku punya sesuatu untukmu. Jangan minum lebih dari satu teguk. Ulangi. Hanya satu teguk. Kaluna bukan siapa yang kalian kira.”Tidak ada balasan suara. Tapi delay satu detik dari koneksi satelit pribadi mereka menandakan sinyal diterima.Ricko menutup jalur komunikasi dan
Langit malam telah berubah pekat. Di luar ballroom, udara dingin menyeruak pelan, membawa aroma bunga taman yang samar bercampur asap mobil dan udara basah sisa gerimis sore tadi. Langkah Kaluna tenang saat kembali dari sisi taman menuju ballroom. Tumit sepatunya beradu pelan dengan marmer lantai, dan di tangannya, sebuah gelas wine bening, dengan busa halus yang baru saja dituang bartender. Ia meniupnya ringan, seolah menguji suhu … lalu menambahkan setetes cairan bening dari vial kecil mungil yang ia selipkan di balik clutch bag-nya. Gerakannya cepat, terlatih, namun cukup elegan untuk tidak mengundang tanya siapa pun. Lalu ia masuk ke ruangan pesta, kembali menyatu dalam gelombang tamu-tamu penting yang bicara sambil tertawa kecil, diiringi musik jazz lembut dari panggung utama. Matanya langsung menangkap Rey yang tengah berdiri di dekat salah satu meja sisi, berbicara dengan pria paruh baya dari Liman Gro
Mobil hitam itu meluncur mulus menuju tempat acara, membelah senja yang mulai memudar. Di dalam kabin yang nyaman dan kedap suara, Rey duduk tenang di kursinya, sesekali melihat keluar jendela. Di sebelahnya, Kaluna duduk anggun, membenarkan lipatan gaunnya yang panjang menjuntai hingga ke lantai mobil.Gaun malam berwarna champagne dengan potongan leher V yang elegan menyempurnakan siluet tubuh Kaluna. Rambutnya digelung separuh ke belakang dengan detail jepit mutiara, persis seperti gaya Aura dalam berbagai foto resmi Dinata Group. Make up nya tipis, rapi, dan nyaris tanpa cela. Parfum mawar yang lembut kembali menguar, menyatu dengan aroma kulit mobil dan udara malam yang masuk melalui ventilasi.Rey sempat menoleh dan mengerutkan dahi tipis.Gaun itu ... rambut itu ... kilau kecil di sudut mata Kaluna, semuanya seperti membawa memori yang samar, tapi kuat.Namun ia tak mengatakan apa-apa.Sementara Kaluna menunduk sopan, tangan kecilnya menggenggam clutch bag dengan tenang.Mobil