Mayang mendekat sambil tersenyum polos, memegang baju yang baru saja diterimanya. "Om, ini kayaknya kekecilan, ya?" tanyanya, matanya menatap Valdi dengan rasa ingin tahu yang jujur.
Valdi tersenyum tipis, mencoba mengendalikan dirinya meski matanya tak bisa lepas dari sosok Mayang. "Nggak kok, memang modelnya begitu. Kamu malah jadi kelihatan makin cantik," jawabnya dengan suara yang sedikit serak, merasa ada getaran yang tak biasa dalam dadanya.
Mayang tertawa kecil, masih dengan senyum di wajahnya. "Om beneran ini bagus dipakai sama aku?" tanyanya lagi, lalu duduk di sebelah Valdi, membuat napasnya tertahan sejenak. Dada Mayang yang masih muda dan montok nyaris menyentuh tubuhnya, dan Valdi merasa detak jantungnya semakin cepat. Valdi mengangguk, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang meskipun hatinya berdebar.
"Bagus banget, Mayang, bagus," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan betapa terpesonanya dia. Ia tidak bisa menahan diri untuk memikirkan betapa seksinya Mayang dalam pakaian itu, dan bagaimana senyumnya mampu membuat hari-harinya terasa lebih cerah.
Mayang memiringkan kepala, tersipu malu. "Ini beneran buat Mayang, Om?" tanyanya manja, mengedipkan mata dengan polos.
"Iya, buat kamu. Masa buat Om?" Valdi tertawa kecil, tetapi matanya tetap tak lepas dari tubuh Mayang. Dia merasa ada sesuatu yang semakin sulit untuk diabaikan, terutama ketika melihat bagaimana pakaian itu membentuk tubuh gadis itu dengan sempurna.
Tiba-tiba, tanpa berpikir panjang, Mayang merangkul Valdi erat.
"Terima kasih ya, Om. Om Valdi pinter banget pilih baju ceweknya," katanya dengan nada manja, kepalanya bersandar di bahu Valdi. Dadanya yang lembut menekan tubuh pria itu, membuat Valdi tersentak sejenak.
Sentuhan itu membuat darah Valdi berdesir cepat. Dia berusaha keras untuk tetap tenang meskipun sentuhan tubuh Mayang menggugah perasaan yang tak seharusnya muncul. "Kalau Mayang suka, nanti Om cari lagi model-model kayak gini," katanya sambil menepuk punggung gadis itu, berusaha terdengar santai.
Mayang tersenyum lebih lebar, “Makasih ya, Om,” ucapnya, pipinya kembali memerah. Valdi hanya bisa mengangguk, merasa semakin terhanyut dalam situasi yang tak pernah dia duga akan terjadi.
Valdi lalu mengeluarkan paket lain dari dalam box. "Nih, masih ada lagi," katanya sambil menyerahkan sebuah paket kepada Mayang.
Dengan penuh rasa ingin tahu, Mayang membuka paket itu. Matanya langsung membulat saat melihat isinya: beberapa daster tidur satin mini berwarna lembut.
"Wah, ini buat apa, Om?" tanyanya dengan nada malu-malu, pipinya langsung memerah.
"Ya buat tidur, Mayang… biar kamu nyaman," jawab Valdi, matanya menatap lurus ke arah mata Mayang. "Kelihatannya bakal cocok banget di kamu."
Mayang menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum.
“Hehe… iya, bagus, Om. Mayang belum pernah punya baju tidur kayak gini. Nanti Mayang pakai ya, Om,” katanya sambil meletakkan daster itu di sampingnya.
Valdi lalu menyerahkan paket lain yang lebih kecil. Mayang membukanya dengan cepat dan menemukan kostum maid seksi berwarna hitam dan putih. Dia tertawa kecil, menatap Valdi dengan pandangan bingung, “Om, ini... apa kalau kerja harus pakai ini?”
Valdi tertawa, “Nggak, Mayang. Itu buat seru-seruan aja, kok. Kalau kamu mau,” katanya dengan mata yang sedikit berkilau.
Mayang mengangguk sambil tertawa malu, "Om ini aneh-aneh aja pilihannya… tapi Mayang suka, sih," ucapnya, pipinya masih memerah.
Paket berikutnya berisi beberapa potong celana dalam model Cheeky. Mayang mengangkatnya dengan sedikit bingung,
"Om, perasaan kemarin Mayang nggak beli celana dalam, kok malah Om yang beli?" pipinya makin merona.
Valdi tersenyum sambil menatapnya, "Iya, maaf ya kemarin Om nggak sengaja lihat di tas kamu... banyak yang sudah nggak layak, jadi Om beliin aja yang baru. Maaf ya kalau bikin kamu nggak nyaman."
Mayang menundukkan kepala, tersipu malu. "Tapi Mayang jadi malu, Om..." ucapnya pelan, matanya tidak berani menatap Valdi.
"Mayang, urusan pakaian begini jangan malu-malu sama Om ya," ujar Valdi, sambil menepuk punggung tangan Mayang dengan lembut.
Mayang mengangguk lagi, tersipu. "Hehe, iya deh, Om," jawabnya dengan suara pelan, masih merasa malu tapi juga senang dengan perhatian Valdi.
Valdi kemudian mengeluarkan paket lainnya dari dalam box dan menyerahkannya kepada Mayang. Ketika Mayang membukanya, matanya melebar ketika melihat kostum perawat seksi lengkap dengan rok pendek dan topi kecil. Dia menatap Valdi, “Om, ini... kenapa ada ini?”
Valdi tersenyum lebar, “Karena Mayang kan mau sekolah di akademi perawat, jadi Om pikir ini bisa jadi motivasi... atau buat seru-seruan aja.”
Mayang tertawa malu, wajahnya memerah hingga ke telinga. “Lucu, Om... nanti kalau Om Valdi sakit, Mayang pakai ini ya?”
"Boleh, kalau gitu nanti Om sering-sering pura-pura sakit nggak apa-apa, ya?" goda Valdi, suaranya terdengar sedikit serak, penuh dengan perasaan yang tertahan.
Mayang tertawa pelan, "Om bisa aja," ucapnya dengan nada menggoda. “Om kok beliin baju buat Mayang banyak banget?”
Valdi mendekat, meraih tangan Mayang dengan lembut dan menatapnya dengan serius.
“Om cuma mau bikin kamu senang, Mayang. Kalau kamu senang, Om juga senang,” ucapnya dengan nada tulus, meski dalam hatinya ada keinginan yang mulai tumbuh.
Mayang menundukkan kepalanya, merasakan hangatnya tangan Valdi di tangannya.
“Iya, Om... Mayang senang banget, terima kasih ya...” jawabnya pelan, sambil menatap Valdi dengan malu-malu.
Valdi menatap Mayang dengan tatapan yang semakin dalam, ingin menghiburnya agar tidak terlalu lama terlarut dalam kesedihan karena memikirkan ibunya yang baru saja meninggal.
"Kalau gitu, Mayang harus janji bakal senang terus di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang sama Om, ya?"
Mayang mengangguk pelan, “Iya, Om... Mayang janji.” Tapi di balik senyumannya, ada perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, perasaan yang membuat dadanya berdebar lebih cepat.
Mayang yang masih merasa gugup, mengalihkan pandangannya ke arah paket-paket lainnya yang belum dibuka di atas meja.
“Om, kok banyak banget paketnya? Om beli apa lagi?” tanyanya sambil menggeser duduknya, berusaha menenangkan diri dengan mengalihkan perhatian.
Valdi menelan ludah, merasa sedikit canggung karena dia tahu apa yang tersembunyi di dalam beberapa paket itu. Jantungnya berdebar lebih cepat, tapi dia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang.
"Oh, itu... ya, beberapa barang buat keperluan lain aja, Mayang. Nggak semua buat kamu," jawabnya sambil tertawa kecil, berusaha terdengar santai meskipun kegugupan mulai merayap ke dalam suaranya.
Mayang yang polos tidak langsung menyadari kecanggungan Valdi. Dia malah semakin penasaran, tangannya dengan cepat meraih salah satu paket yang belum dibuka dan menariknya ke pangkuannya.
"Om beli apa aja sih? Mayang jadi penasaran," ucapnya sambil tersenyum manis, lalu mulai membuka bungkus paket tersebut dengan antusias.
Valdi mencoba untuk tetap tenang, tapi kegugupannya semakin jelas terlihat. Dia tahu paket yang sedang dibuka Mayang adalah salah satu yang paling berisiko. Di dalam paket itu, tersembunyi sepasang celana dalam dengan vibrator wireless yang sangat intim dan tidak seharusnya dilihat oleh Mayang, apalagi dibuka di depan Valdi seperti ini.
“Eh, Mayang, mungkin yang itu nanti aja bukanya, ya?” Valdi mencoba menghentikan Mayang dengan suara yang sedikit serak, tapi Mayang sudah terlalu asyik untuk mendengarkan.
Sambil tersenyum, Mayang akhirnya berhasil membuka bungkus paket tersebut.
Pintu mobil Alphard hitam itu bergeser menutup dengan suara mendesis yang terasa final, seolah mengunci Ella dari dunianya yang lama dan menariknya paksa ke dalam realitas baru yang asing dan memabukkan. Udara di dalam mobil terasa pekat. Aroma parfum mahal Valdi bercampur dengan wangi manis dan sedikit musk dari tubuh Farah, menciptakan atmosfer intim yang membuat tenggorokan Ella kering.Di seberangnya, Valdi duduk seperti seorang raja di singgasananya. Pria itu menyandarkan punggungnya dengan santai, satu lengannya melingkari pinggang wanita cantik yang bergelung manja di pangkuannya.Wanita itu, Farah, tampak lelah namun puas. Matanya setengah terpejam, bibirnya sedikit bengkak dan kemerahan, dan minidress santainya sedikit tersingkap, memperlihatkan paha mulusnya yang tanpa cela. Ia sesekali mendesah pelan, menyandarkan kepalanya di dada bidang Valdi, seolah mencari perlindungan sekaligus memamerkan kepemilikannya.Mata Ella tak bisa lepas dari pemandangan itu. Inikah wanita dari
“Selamat malam, Tuan Valdi. Apa ingin kami siapkan menu spesial seperti biasanya?” Ella menunduk, suaranya sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat itu. Ia berusaha menghindari kontak mata, namun ia bisa merasakan tatapan Valdi yang menusuk.Valdi menatapnya, lalu melirik Farah sekilas. Sebuah kilasan nakal melintas di matanya. “Kamu atur saja. Dan saya minta wine terbaik yang kamu punya,” jawab Valdi dengan suara santai, namun ada nada dominasi yang tak terbantahkan di sana.Ella mengangguk, lalu berbalik pergi untuk menyiapkan apa yang diminta. Ia bisa merasakan tatapan Valdi di punggungnya. Tatapan itu terasa seperti sentuhan, membuat kulitnya merinding.Beberapa waktu berlalu. Ella kembali mengantar hidangan. Ia menyaksikan mereka makan, berbicara, dan sesekali Valdi akan menggoda Farah.
- Ella -Detak jantung Ella berpacu tak karuan, darah hangat mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Sentuhan Valdi, singkat namun penuh makna, masih terasa membakar di paha dalamnya. Jemarinya yang panjang dan dingin itu—begitu berani, begitu lancang—telah menyentuh bagian paling intim yang nyaris tak pernah disentuh siapa pun selain dirinya sendiri. Sebuah sensasi asing, sekaligus familiar dari mimpinya, menyambar dirinya. Napasnya terengah-engah, bukan hanya karena langkah cepatnya, tetapi karena gelombang gairah yang tiba-tiba menggulung, mengancam untuk menelannya. Jantungnya berdentum kencang, memantulkan desakan yang mendalam. Tujuannya hanya satu: kamar mandi karyawan.Namun, baru beberapa langkah menuruni tangga spiral marmer gelap, Ella bertemu dengan Manajer Hendi, yang sedang memeriksa reservasi di meja depan. Manajer Hendi, se
Di bawah meja makan yang mewah, Farah sudah tenggelam dalam dunianya sendiri. Kegelapan dan kehangatan kain tebal itu seperti menyelimutinya, menciptakan ruang privat yang terisolasi dari keramaian restoran elit di puncak kota. Aroma wine dan hidangan lezat bercampur dengan wangi maskulin Valdi, membuatnya semakin mabuk kepayang.Jari-jemari lentiknya menyusuri permukaan keras itu, merasakan setiap urat yang menonjol, setiap denyutan kecil yang menjalar. Nafas Farah memburu, detak jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena sensasi adrenalin dan gairah yang membakar. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lakukan, apalagi di tempat umum seperti ini.Perlahan, Farah menunduk. Bibirnya yang basah dan sedikit bengkak karena ciuman Valdi, kini mendekat ke kepala kejantanan Valdi. Udara hangat menerpa kulit ujungnya, membuat
Lengan Valdi tetap melingkar erat di pinggang Farah saat mereka melangkah masuk. Restoran itu dipenuhi bisikan-bisikan lembut dan denting elegan dari peralatan makan. Aroma masakan mediterania bercampur dengan wangi bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya keemasan yang menenangkan, namun Farah merasa jantungnya berdebar tak karuan. Setiap langkah terasa berat, ia memaksa dirinya untuk tetap tegak, berusaha menyembunyikan getaran di lututnya.Tiba-tiba, sebuah pikiran menerjangnya, membuat pori-porinya meremang. Ia tidak memakai apa pun di balik minidress santainya. Tidak ada bra, tidak ada celana dalam. Selama ini, ia terlalu tenggelam dalam sensasi Valdi di mobil, lalu buru-buru memakai pakaian lagi tanpa mempedulikan isinya. Sekarang, di tengah keramaian ini, ia merasa telanjan
Farah menatap Valdi, matanya sedikit membelalak. Ia tahu apa yang Valdi maksud. Pria itu menyeringai, senyum kecilnya terlihat begitu menggoda sekaligus menuntut. Tubuh Farah sudah basah kuyup oleh keringat dan cairan mereka, namun jantungnya berdebar bukan karena kelelahan, melainkan antisipasi mendebarkan.Dengan gerakan halus namun pasti, Valdi menarik salah satu kaki Farah lebih tinggi, hingga lututnya hampir menyentuh dada. Tubuh Farah kini teregang sepenuhnya, bagian belakangnya terangkat dan terbuka lebar, mengundang. Valdi berlutut di antara kedua kaki Farah, tangannya bergerak cepat meraih tas kecil di sampingnya. Dari sana, ia mengeluarkan sebotol kecil gel pelumas transparan dan mengoleskannya ke seluruh kejantanannya yang masih berdiri kokoh dan memerah, serta ke ujung jari telunjuknya.Farah menatap Valdi dengan napas tertahan. Ada sesuatu di tatapan pria itu yang membuatnya merinding, perpaduan antara gairah buas dan senyum kemenangan. Ia tahu, Valdi akan melakukan sesua