Napas Mayang terasa pendek-pendek saat ia berdiri di depan pintu kamar Valdi. Rambutnya yang masih setengah basah menetes pelan, membasahi punggung crop top putih ketat yang dikenakannya. Kain tipis itu menempel erat, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang muda. Rok mini coklat muda di pinggangnya bergoyang lembut setiap kali ia bergerak, memperlihatkan paha jenjangnya yang bersih nyaris tanpa tertutup apa pun.
Jantungnya berdebar. Bukan debaran normal, tapi debaran yang aneh—campuran gugup, rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lain yang belum ia pahami.
Dengan telapak tangan yang terasa lembab karena keringat dingin, ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu.
Tok. Tok.
&ldqu
Di tengah kekalutan dan kebingungan dengan apa yang barusan terjadi, pandangan Mayang perlahan beralih pada Valdi. Pria itu masih terbaring, memejamkan mata, tapi anehnya... wajahnya kini terlihat begitu tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah beban berat yang selama ini dilihat Mayang di wajah itu, kini telah terangkat.Melihat Valdi yang tampak begitu damai seketika menorehkan perasaan aneh di hati Mayang. Ada... kepuasan? Perasaan bahwa ia berhasil mengurangi penderitaan Valdi, menenangkannya. Dan anehnya, perasaan itu juga menenangkan Mayang, meredakan sedikit kepanikannya.Dengan tangan masih sedikit gemetar, Mayang meraih handuk kecil dari baskom di dekat ranjang. Ia mulai membersihkan noda hangat lengket itu dari telapak tangannya, mengusap di antara jemarinya, lalu dengan hati-hati membersihkan bagian yang terkena noda di tubuh Valdi.Valdi merasakan sentuhan lembut lagi. Matanya terbuka sedikit, menatap Mayang yang sedang membersihkan noda dengan tekun dan tulus.
“Kamu… ngapain?” Suara Valdi serak, terdengar penuh pertanyaan, tapi mata yang baru terbuka separuh itu memancarkan sesuatu yang lain. Bukan marah, bukan kaget, melainkan… pengamatan yang dingin.Mayang menarik tangannya seolah tersengat listrik. Wajahnya masih memerah, napasnya sedikit terengah. “Ma-maaf, Om!” Ia tergagap. “Mayang… Mayang nggak sengaja…”Ia menatap Valdi dengan mata penuh penyesalan. “Mayang cuma… heran ini apa. Keras di dalam tapi lembek di luar. Tadi waktu Mayang pegang… kok tiba-tiba tegang sendiri. Mayang pikir… sakit.”Valdi mengamati ekspresi Màyang yang masih dipenuhi kebingungan. Ada sedikit keanehan, kegugupan yang halus yang mulai muncul di mata polosnya, tetapi dibungkus erat oleh hasr
Napas Mayang terasa pendek-pendek saat ia berdiri di depan pintu kamar Valdi. Rambutnya yang masih setengah basah menetes pelan, membasahi punggung crop top putih ketat yang dikenakannya. Kain tipis itu menempel erat, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang muda. Rok mini coklat muda di pinggangnya bergoyang lembut setiap kali ia bergerak, memperlihatkan paha jenjangnya yang bersih nyaris tanpa tertutup apa pun.Jantungnya berdebar. Bukan debaran normal, tapi debaran yang aneh—campuran gugup, rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lain yang belum ia pahami.Dengan telapak tangan yang terasa lembab karena keringat dingin, ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu.Tok. Tok.&ldqu
Dua hari telah berlalu sejak kepulangannya dari rumah sakit. Valdi akhirnya kembali ke rumahnya sendiri. Sebuah bangunan besar, megah berlantai tiga, berdiri kokoh di tengah kawasan elit yang sunyi, nyaris tersembunyi dari hiruk pikuk dunia luar. Pintu gerbang besi menjulang, dijaga ketat oleh sepasang penjaga berpakaian serba hitam yang nyaris tak pernah bersuara, mereka hanya bergerak atas instruksi langsung dari Valdi.Dahulu, sekitar tiga tahun lalu, Mayang pernah mengenal rumah ini dengan nuansa yang berbeda. Saat itu, ia datang bersama ibunya, yang berstatus sebagai pembantu setia di kediaman Valdi. Namun, sekarang... segalanya terasa asing. Rumah ini kehilangan kehangatannya, tanpa kehadiran Anya, mantan istri Valdi yang dulu ceria. Tanpa Ibunya, yang menjadi satu-satunya jembatan Mayang ke tempat ini. Dan tanpa siapa-siapa lagi... hanya Valdi... dan dirinya sendiri.
"Aku... aku nggak ngerti apa maksud kamu, Valdi." Anya akhirnya bersuara, raut wajahnya dipenuhi kepanikan yang berusaha ia sembunyikan. "Aku cuma khawatir sama kondisi kamu kalau dirawat di rumah. Kamu masih butuh pengawasan ketat."Valdi mendengus. "Bullshit." Napasnya terdengar berat. "Asal kamu tahu aja, setelah aku tahu apa yang bikin aku koma selama ini, aku nggak akan diem, Anya. Dan kamu tahu itu." Ia menatap Anya tajam, seolah mampu menembus kebenaran yang disembunyikan di balik matanya."Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Valdi. Kamu pikir aku orang seperti apa? Aku nggak akan sembarangan menangani pasien, apalagi kamu..." Suara Anya bergetar, berusaha meyakinkan, tapi justru terdengar seperti pembelaan diri yang lemah.Valdi memejamkan mata sejenak, berusaha meredam amarah yang membara dalam dirinya. "Sudahlah, Anya. Aku nggak mau denger alasan ini itu dari kamu. Aku capek. Tolong keluar sekarang juga."Anya berdiri terpaku, seolah kakinya
Vina menangkap kebingungan penuh rasa ingin tahu di mata Valdi. Senyum kecilnya menyimpan rahasia, ada kerlip lucu di matanya yang seolah menantang."Your dad told me about you… and I’ve read your story," ujarnya ringan. "Tapi ketemu langsung seperti ini? Kayaknya belum. Why?" Pertanyaan sederhana itu, dilontarkan dengan kepala sedikit dimiringkan, terasa seperti Vina sedang membaca setiap inci rahasia yang tersembunyi dalam diri Valdi.Valdi perlahan melepaskan genggaman tangannya, namun jemarinya sempat menyapu punggung tangan Vina, gerakan yang sarat makna, seolah mencari jejak kehangatan yang baru saja menyelinap."Cuma penasaran aja," bisiknya pelan, nyaris gumaman. "Seems like we already knew each other… for a long time." Tatapannya dalam, intens, namun dibungkus ketenangan yang menggoda.Vina melangkah lebih dekat, keintiman di antara mereka semakin kentara. Jari-jemarinya yang lembut mengusap pipi Valdi. Nada suaran