ログインSore itu saung terlihat lebih lengang dari biasanya. Matahari sudah condong, cahayanya masuk miring di sela-sela atap. Di sana cuma ada Laura dan Cahya. Laura duduk bersandar, sementara Cahya selonjor di bangku, satu tangan memegang camilan, satu lagi memegang ponsel. Suasana santai, nyaris tanpa suara selain angin dan dengung motor sesekali dari luar gerbang.. Langkah kaki terdengar mendekat. Raga muncul dari arah gerbang, kausnya sedikit lembap karena habis bantu-bantu Tante Maya. Begitu melihat saung, langkahnya melambat. “Ga,” panggil Laura lebih dulu. “Sini bentar.” Raga mendekat. “Kenapa, Ra?” Laura menggeser badannya sedikit, memberi ruang. “Kenalin nih, Cahya.” Cahya langsung duduk lebih tegak. Ia menurunkan camilannya, menatap Raga tanpa canggung. “Cahya.” “Raga,” balas Raga sambil tersenyum tipis. “Udah dapet kamar?” “Udah,” jawab Cahya santai. “Di samping kamar Laura.” “Oh iya?” Raga mengangguk pelan. “Enak lah gak perlu naik tangga ya.” Cahya terkekeh kecil.
Matahari naik pelan, tapi anginnya masih adem. Raga duduk sendirian di ruang tamu rumah Tante Maya yang terpisah dari bangunan kosan di depan. Pintu rumah terbuka setengah, membiarkan udara masuk bercampur aroma kopi hitam di cangkirnya. Televisi menyala sekedar agar tidak terlalu sepi. Raga lebih sibuk merokok, punggungnya bersandar malas di sofa, pikirannya entah ke mana. Dari arah kamar, suara pintu terbuka terdengar. Tante Maya keluar dengan rambut masih sedikit basah, mengenakan daster rumah yang sederhana. Handuk kecil melingkar di lehernya. Ia berhenti sejenak di ambang ruang tamu sebelum bicara. “Kamu udah diinfoin nggak ama Laura?” tanya Tante Maya. Raga menoleh, mengangkat alis sedikit. “Soal temennya yang mau ngekos ya, Tan?” jawabnya. “Iya,” kata Tante Maya sambil melangkah mendekat. “Katanya siang ini datengnya.” Raga mengangguk pelan. “Oh gitu. Iya, Tan.” Tante Maya duduk di sofa di sebelah Raga. Jarak mereka dekat—cukup dekat untuk membuat Raga sed
"Kemana sih ini anak. Di rumah gak ada, di kosa juga gak ada." Ucap Laura dengan Nada sedikit kesal setelah cukup lama mencari Raga dari Rumah Tante Maya sampai seluruh kosan. Lalu Laura mengambil air dari dapur dan berjalan kembali menuju kamarnya. Disisi lain, Raga. "Gak perlu malu atau pura-pura, Mas." Ucap Elistia di sela sentuhan hangat mereka. "Aku bukan pura-pura, aku hanya memastikan apakah tadi cuma sekedar jebakan atau permintaan Mbak." Bisik Raga, yang kemudian menjatuhkan tubuh Elista ke ranjang. Elistia tersenyum, dan membiarkan Raga melepaskan kain penutup bawahnya hingga kebagian dalam. Tanpa menunggu perintah, Elistia memberikan jalan untuk Raga dapat bermain dengan kesenangan para Pria. "Uughh!!" Elistia melenguh menikmati setiap gerakan yang di berikan Raga. Raga membenamkan Wajahnya di sela jalur kenikmatan yang sengaja di buka untuk memberi akses sepenuhnya kepada Raga. Tanpa menyiakan sedetik pun Raga memulai permainan yang mungkin pertama kali di r
"Pagi, Mas.." Sapa Rahma yang berjalan menghampirinya menuju dapur. Raga yang saat itu sednag merapihkan dapur lantai satu pun menoleh ke arah Rahma yang sudah berpakaian rapih. "Pagi, Ma. tumben agak siangan berangkatnya?" Tanya Raga yang menyadari Rahma baru keluar kamar saat sudah jam delapan lewat. Rahma berjalan ke arah galon untuk mengisi air ke dalam tumblernya yang sejak tadi ia pegang. "Iya nih Mas, soalnya mau langsung ke event kantor." "Eh Iya, Mas. Nanti bantu aku pasang wallpaper di kamarku yaa." Ucap Rahma sambil menutup kembali tumblernya yang sudah terisi air. Raga mengangguk, dan berkata. "Boleh, kapan mau di pasang?" "Hmmm.. Nanti malam? gimana?" Pinta Rahma. "Yaudah nanti malam ya." Kata Raga. Tak lama Rahma pun pamit untuk segera berangkat ke kantor. Ia menuju halaman kosan dan keluar gerbang. **** Menjelang siang, kosan sudah mulai sepi. Beberapa penghuni tidak berada di kosan, hanya ada Laura yang seperti biasa berada di kamarnya menonton drakor dan
“Haaaaahhh… makasih sayaang,” ucap Tante Maya dengan napas yang masih belum sepenuhnya teratur. “Kamu selalu tau caranya buat tante merasa puas.” Tubuhnya masih menempel, lengan itu belum mau lepas. Raga hanya tersenyum tipis, menatap langit-langit kamar yang temaram, membiarkan dada itu tetap menjadi sandaran. Ia tidak banyak bicara. Tangannya hanya bergerak pelan, menenangkan, seperti kebiasaan yang sudah terlalu sering dilakukan. Di kamar itu, semuanya kembali hening, hanya sisa kehangatan yang tertinggal di udara. Di sisi lain, di kamar Elistia. Malam pertama Elistia tidur di kosan baru itu terasa aneh—bukan karena tidak nyaman, tapi karena terlalu sunyi. Ia berbaring telentang beberapa saat, lalu berbalik duduk, meraih ponselnya saat layar menyala karena panggilan masuk. “Gimana disana, enak kan, Lis?” tanya Wina dari seberang telepon. “Yaa mayan sih enak,” jawab Elistia santai. “Depan kamar gue pas kayak saung gitu.” Ia bangkit dari ranjang, berjalan
“Jadi gimana, Tan… penghuni baru kita itu, Mbak Elistia?” Tanya Raga sambil keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit lembap. Tante Maya yang sedang duduk santai di sofa menoleh. “Gimana apanya, Ga?” “Yaa… orangnya gimana?” Raga duduk di ujung sofa, merogoh saku celananya, lalu menyalakan sebatang rokok. “Kira-kira aman nggak? Ada yang mencurigakan nggak?” Tante Maya menyilangkan kakinya. “Aman. Tante udah liat KTP-nya, ID card kantornya juga ada. Tadi tante sempat cek di maps, kantornya beneran ada.” Raga mengangguk pelan sambil menghembuskan asap. “Hmmm… baguslah kalo gitu.” Tante Maya menatap Raga beberapa detik lebih lama, lalu bergeser sedikit mendekat. “Yang nggak aman itu sebenernya kamu, lho.” “Hah?” Raga menoleh sambil tersenyum tipis. Tante Maya mengangkat tangannya, jarinya mencolek pelan dagu Raga. “Iya kamu. Kamu tuh bahaya.” Raga mematikan rokoknya di asbak, lalu mendekat, jarak wajah mereka menipis. “Kenapa aku yang bahaya, Tan?”







