Share

Psikolog yang Menarik

Jalanan kota Jakarta selalu macet, Leon melirik jam tangan berlapis emas di pergelangan tangannya yang menunjukkan bahwa dia sangat terlambat dengan janji konsultasi kejiwaan dengan psikolog di RS. Siloam International. 

Dia tidak suka bila ada orang yang membuat janji dengannya terlambat datang. Sekarang sebaliknya keadaannya, dia yang terlambat datang. Leon berharap dokter ahli jiwa yang akan memeriksanya tidak marah padanya.

Akhirnya, Leon pun sampai di rumah sakit itu. Dia berjalan ke front desk rumah sakit dan bertanya dimana ruang praktik psikolog. Petugas resepsionis itu memberitahukan petunjuk arah dimana ruangan itu berada.

Leon pun segera berlari ke sana. Dia telah terlambat 1 jam. Sial!

Perawat jaga di depan ruang periksa psikolog itu menanyainya, "Selamat siang, Pak. Apa sudah membuat janji sebelumnya? Atas nama siapa?"

Leon menata napasnya yang terengah-engah akibat berlari. "Ehmm ... atas nama Vladimir Leon Indrajaya, saya sudah membuat janji sebelumnya," jawab Leon sembari mengamati perawat jaga yang sedang mengecek buku pendaftaran pasien.

"Oohh iya, ada. Silakan masuk, Pak Leon. Mari ... lewat sini," ujar perawat jaga itu mengantar Leon ke sebuah ruangan periksa dengan nama dokter yang tertera di pintu masuk 'Dokter Evita Caroline Meyers'.

Perawat jaga itu membukakan pintu ruang periksa lalu menutupnya kembali setelah Leon masuk ke dalam. 

"Selamat pagi menjelang siang. Silakan duduk di kursi itu, Tuan ... Vladimir atau Tuan Leon?" ujar dokter wanita itu pada Leon, dia sedang menulis sesuatu di bukunya di meja kerjanya.

Leon berjalan ke kursi dengan sandaran rendah yang memanjang di bagian kakinya. Dia duduk setengah berbaring di sana.

Tak lama kemudian Dokter Evita berjalan mendekat sambil membawa sebuah buku notes dan pulpen lalu duduk di samping Leon.

"Jadi sebaiknya saya panggil Tuan Vladimir atau Tuan Leon?" ulangnya.

"Leon ... dan Anda Dokter Evita?" balasnya sembari menatap wajah dokter itu.

Sebagai seorang playboy, Leon menilai wanita di hadapannya tampak sangat menarik. Rambutnya merah terang bukan merah kecoklatan dengan mata berwarna hijau seperti zamrut. Sepertinya bule asli atau keturunan blasteran dengan genetik Kaukasoid yang kuat karena bahasa Indonesianya sangat fasih.

Mata Leon langsung turun ke belahan kemeja bagian dada Dokter Evita lalu menelan salivanya 'glekk'. Dia suka ukurannya. 'Tubuh wanita itu ramping, tapi ukuran dadanya sangat mantap,' pikir Leon.

Dokter Evita merona pipinya karena sadar kemana arah pandangan pasiennya yang nakal itu. 

"Tuan Leon, bisakah fokus ke wajah saya saja?" tegur Dokter Evita.

"Ehhh ... baik, Dok. Kita mau ngapain, ya?" tanya Leon bingung salah tingkah terpergok melihat yang tidak seharusnya dilihat.

"Kita ngobrol santai, jawab pertanyaan saya, ya? Ceritakan tentang kesibukan Anda sehari-hari," jawab Dokter Evita seraya bersandar santai di kursinya menatap wajah Leon.

Leon pun berkata, "Aku seorang CEO di sebuah perusahaan properti multinational. Bekerja dari pagi hingga sore, kadang lembur hingga malam bila sedang sibuk. Kegiatanku di luar jam kerja biasanya berkencan dengan wanita cantik, mencari calon istri yang belum kutemukan ... apa Dokter Eve sudah bersuami?"

Dokter Evita terkikik mendengar pertanyaan pasiennya itu. "Belum. Pertanyaan selanjutnya, apakah pekerjaan itu membebani Anda secara mental?" tanyanya lagi.

"Tidak. Aku menikmati pekerjaanku, memang itu keahlianku dan juga bisnis warisan keluargaku yang harus kuteruskan dan kukembangkan. Ketahuilah Dok, aku waras ... tidak stres atau frustasi. Mungkin lebih baik Anda berkencan saja denganku daripada menanyaiku pertanyaan yang tidak penting seperti ini," jawab Leon lalu duduk mencondongkan tubuhnya mendekat ke wajah Dokter Evita.

"Maaf, tidak bisa. Ini adalah pekerjaan profesional, Tuan Leon harap mengerti." Evita memundurkan tubuhnya menabrak sandaran kursinya.

Melihat dokter cantik itu agak ketakutan dengan sikapnya yang agresif, Leon pun berkata, "Baiklah. Maaf, kita lanjutkan ...." Lalu kembali berbaring di kursi pasien itu.

"Apakah Anda memiliki kejadian tidak mengenakkan atau trauma di masa lalu?" tanya Dokter Evita sesuai alur konsultasi pasien kejiwaan.

Leon mendengkus kesal lalu menjawab, "Ya, tentu saja. Aku mengalami banyak trauma di masa kecil. Dan itu membuatku ingin marah dan membalas orang-orang yang telah menghinaku dan mamiku. Orang-orang itu seolah tahu segalanya, padahal mereka tak tahu apapun!"

Dokter Evita merasakan kenaikan emosi yang kuat dari pasiennya. Ternyata trauma masa kecil yang membuat Leon memiliki perilaku mengarah ke tindak kekerasan dan agresif. Sebenarnya trauma semacam ini bisa disembuhkan dengan terapi sugesti positif. Dia salah satu ahli terbaik di bidang post-traumatic syndrome.

Dia mengenal papi Leon sudah lama, ayahnya bersahabat dekat dengan papi Leon. Jadi ketika Om Leonard menghubunginya untuk membuat satu janji sesi konsultasi kejiwaan, Dokter Evita segera menyetujuinya.

Pria muda itu sangat tampan menurut Dokter Evita, hanya sayangnya temperamennya yang dominan dan dingin itu sedikit membuatnya takut. Sedangkan, dari data yang dia peroleh dari Om Leonard, Leon memiliki kecenderungan menyakiti orang lain secara verbal dan fisik. 

"Tuan Leon, kurasa itu akar masalah dari sifat kasar dan kerasmu. Apa kau bersedia mengubahnya? Kita bisa mengubah sifatmu menjadi lebih baik." Dokter Evita menatap Leon lurus ke matanya.

Leon menjawab setelah terdiam beberapa saat, "Sebenarnya pekerjaanku ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang tegas dan berkarakter kuat. Kadang sikapku terkesan kasar, tetapi itu konsekuensi ketika ada pihak-pihak yang menyulut kemarahanku dengan tindakan yang bodoh dan tidak bertanggungjawab."

"Tuan Leon, tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan kekerasan atau perkataan kasar apalagi secara fisik seperti bertarung atau berkelahi," balas Dokter Evita dengan tenang.

"Yaa ... yaaa ... wanita selalu berpikir begitu, bukan?" 

"Ini bukan isu gender, Tuan Leon. Aku harap bisa membuat pikiranmu lebih tenang dan damai dalam menjalani hidup. Aku mengerti kekuatiran papimu. Ketika Anda banyak bersinggungan dengan orang-orang, lebih besar kemungkinan Anda untuk terluka baik secara fisik maupun mental," balas Dokter Evita dengan tenang.

Leon terdiam dan berpikir, 'Mungkin wanita itu benar. Namun, bukan itu intinya ... sifatku tidak ada yang salah. Poin pentingnya adalah aku lebih tertarik untuk bertemu lagi dan lebih sering dengan Dokter Evita. Atau aku bisa meminta jadwal terapi pribadi di kantorku saja setiap pagi atau sore mungkin ...'

"Dokter Eve, apa kau bisa datang ke kantorku untuk memberikan sesi terapi kejiwaan untukku setiap pagi atau sore?" tanya Leon sambil duduk berhadapan dengan dokter itu.

"Maaf, tidak bisa, Tuan Leon. Namun, mungkin Anda bisa datang setiap jam 08.00 pagi ke sini, akan saya buatkan jadwal ...," jawab Dokter Evita.

"Baiklah buat saja begitu, aku yang akan datang menemuimu. Apa aku boleh meminta nomor ponselmu, Dok?" balas Leon sembari mengeluarkan ponsel dari saku jasnya.

Dokter Evita tertawa pelan dan menundukkan wajahnya yang merona. Pasiennya yang ini lebih tertarik untuk menggodanya dibanding menjalani terapi kejiwaan. 

"Haruskah aku memberikan nomor ponselku?" kata Dokter Evita.

"Ayolah ... aku ingin mengenalmu lebih dekat, apa tidak boleh?" bujuk Leon tak mau menyerah.

Dokter Evita berdiri lalu berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil kartu namanya selembar. Dia berjalan kembali ke kursinya, menyerahkan kartu nama itu kepada Leon.

"Apa ini nomor pribadimu atau nomor kantor?" tanya Leon lagi.

"Yang paling bawah itu nomor pribadiku."

Leon tersenyum gembira. "Aku pasti menghubungimu segera dan menemuimu lagi besok pagi jam 08.00, aku tak akan terlambat lagi. Kau sangat cantik, tipe wanita kesukaanku, Eve."

"...."

Dokter Evita terperangah tak tahu harus berkata apa pada pasiennya yang naksir kepadanya dan mengatakannya terang-terangan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Leon emang cenderung muka tebal.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status