LOGIN
Sore menjelang malam, suasana London masih terasa hawa dinginnya setelah hujan. Trotoar di depan apartemen modern itu berkilau oleh pantulan lampu jalan.
Serena Collins berjalan riang, penuh semangat meski rintik air hujan yang tersisa hampir saja merusak blow-dry rambutnya. Tangannya menggenggam payung kecil yang kini sudah dilipat, sementara hatinya penuh bunga. Hari ini ia dan Ethan, pacarnya, berjanji bertemu. Tidak ada momen istimewa sebenarnya, tapi Serena tipe gadis yang selalu bisa menemukan alasan untuk merasa bahagia. Mungkin karena Ethan jarang punya waktu, jadi setiap janji bertemu terasa seperti perayaan kecil. “Pasti dia sudah menunggu,” gumamnya sambil menaiki anak tangga menuju lantai tiga, tempat apartemen Ethan berada. Meski hanya beberapa lantai, apartemen ini hanya dihuni kalangan elit. Sesampainya di depan pintu nomor 3B, Serena menarik napas panjang. Tangannya terulur hendak mengetuk, tapi sesuatu menghentikannya. Entah kenapa firasatnya jadi buruk saat hendak mengetuk pintu. "Kenapa pintu ini tidak tertutup rapat?" Ia mengernyit, kemudian mendorong pintu dengan hati-hati. "Ethan tidak pernah seceroboh ini, apa mungkin dia tidak sadar kalau pintunya masih belum terkunci," gumam Serena. Ia melangkah dengan hati-hati, memasuki ruang tamu yang remang. Hanya lampu sudut yang menyala, menciptakan bayangan tanaman hias di dinding. Sofa terlihat berantakan, ada kemeja pria tergeletak di sandarannya. Jantung Serena mulai berdegup aneh. Tak hanya itu, Serena juga melihat ada gaun wanita dan pakaian dalam yang berserakan di depan pintu kamar. “Ethan?” panggilnya pelan. Tak ada sahutan. Ia melangkah lebih dalam. Suasana apartemen membuat dada Serena berdegup kencang, dan benar saja. Ketika ia hampir mendekati pintu kamar, telinganya menangkap suara. “Aahhh… lebih dalam, Ethan… jangan berhenti…” suara perempuan, renyah, penuh desahan. Tubuh Serena langsung kaku. Kemudian suara laki-laki menyusul, jelas, suaranya ia kenal di luar kepala. “Kamu gila, Marissa… tubuhmu membuatku candu.” Serena berdiri terpaku, kepalanya jadi berdenyut. Suara ranjang berderit, disusul helaan napas yang bergantian. “Ahh, Ethan… lebih cepat… aku hampir—” “Diam, biar aku yang mengendalikanmu malam ini.” Serena menutup mulutnya dengan kuat, agar napasnya tak terdengar. Ia melangkah sedikit, sampai bisa mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka beberapa centimeter. Dan di sanalah, semua keyakinannya hancur. Marissa, kakak tirinya, terbaring dengan rambut berantakan di bantal, dan tubuhnya yamg telanjang, wajahnya mabuk penuh kenikmatan. Ethan, lelaki yang menjadi tunangannya, mencumbui kakak tirinya dengan rakus. Serena mematung. Air matanya memang jatuh, tapi wajahnya tetap keras. Ia bukan gadis yang akan menangis meraung di depan pintu. Ia hanya berdiri, menelan pahit kenyataan yang menikam jantungnya. Tangannya gemetar, tapi Serena tetap menegakkan punggung tak membiarkan dirinya jatuh saat itu. Ia menolak hancur di depan mereka. Dengan sisa kekuatan, ia mundur, meninggalkan celah pintu itu. Suara mereka masih mengiris telinga, tapi Serena memilih pergi. Serena sakit hati, tapi justru pikirannya yang makin kacau. Ia lebih bingung harus bagaimana dengan hubungannya bersama Ethan. Pertunangan mereka bukan sekadar urusan cinta, melainkan kesepakatan dua keluarga besar. Jika ia membatalkannya, ayahnya bisa saja menarik semua biaya pengobatan ibunya yang sedang dirawat intensif di rumah sakit, tapi kalau ia tetap melanjutkan, ia merasa seperti menusuk dirinya sendiri dengan pisau yang sama. Serena menggenggam dadanya, antara ingin berteriak atau sekadar pingsan. Rasanya semua jalan yang ada di depannya membawa pada kehancuran. Ia berlari keluar dari apartemen, kepalanya terasa penuh. Ia mendorong pintu dengan tergesa. Napasnya terengah, wajahnya sudah basah oleh air mata. Serena buru-buru berjalan di lorong. Dan saat itulah ia hampir menabrak seorang pria tinggi dengan setelan jas rapi. Pria itu menatapnya dalam. Matanya gelap, penuh perhitungan pada gadis itu. Serena menunduk, melewatinya tanpa kata. Steave Alexander Whitmore, paman Ethan. Ia memperhatikan gadis itu berjalan tanpa arah dan ada air mata di pipinya. Lalu, curiga muncul. Steave melangkah ke apartemen Ethan, membuka pintu begitu saja. Dan benar dugaan hatinya, terdengar suara desahan, erangan, serta ranjang yang berderit. Sekali lihat saja, ia sudah tahu apa yang terjadi. Senyum miring muncul di bibirnya. Ia merogoh ponsel dari saku, lalu menempelkan ke telinga. “Paul,” ucapnya datar. “Rencana kita maju lebih cepat. Persiapkan semuanya.”Steave menangkap mata Serena yang mulai berkabut. Ia membawa wanita itu ke balik pohon besar di belakang mereka, lalu berciuman panas. Steave sebenarnya merasa aneh dengan Serena yang tampak selalu bergairah sekarang. Biasanya, wanita itu akan malu-malu dan membutuhkan waktu untuk membangun suasana. Tapi kali ini, Serena seolah tidak sabar dan sangat menginginkannya.Steave tidak mempermasalahkan hal itu. Ia malah senang karena Serena tidak terpaksa lagi untuk berhubungan dengannya. Setelah berpisah beberapa hari, ia merindukan sentuhan dan ciuman Serena. Bahkan gairahnya hampir tidak bisa ditahan karena mereka selalu melakukannya setiap hari. Ciuman keduanya semakin dalam dan menuntut. Tangan Steave mulai menjelajahi tubuh Serena, membelai setiap inci kulitnya dengan yang masih ditutupi pakaian. Serena mendesah, merasakan sensasi yang menjalar ke seluruh tubuhnya."Steave," desahnya, memohon lebih.Steave mengerti permintaannya. Ia mengangkat Serena dan merebahkannya di atas rumput
Ethan, berjalan dengan penampilan kusut dan mata memerah. Menggenggam erat tangannya hingga memperlihatkan urat nadinya yang panjang. Lalu membuka pintu apartemen dengan kasar, sontak saja tindakan Ethan mengejutkan Marissa yang tengah bersantai di ruang tamu.Wanita itu memang tinggal di sana sekarang karena permintaan Ethan, agar ia tidak mengacaukan pernikahannya dengan Serena. Nyatanya, video mereka berhubungan intim malah tersebar.Ethan mengira kalau wanita itu pelakunya."Apa yang sudah kau lakukan?!" bentak Ethan, suaranya menggelegar di seluruh ruangan.Marissa tersentak kaget, menatap Ethan dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura bodoh! Kau yang menyebarkan video itu, kan?!" tuduh Ethan, menunjuk Marissa dengan jari telunjuknya.Marissa membelalakkan matanya, tidak percaya dengan tuduhan Ethan. "Apa? Aku menyebarkan video apa? Kau gila ya? Kenapa aku harus melakukan itu?""Video kita saat berhubungan. Kau melakukannya karena kau cemburu! Kau tidak rela aku
Serena tidak percaya dengan apa yang dikatakan ayahnya. Mengapa ibunya yang berselingkuh? Selama ini, yang ia tahu, ayahnya lah yang berselingkuh dengan Claudia. Dan ibunya mengalami kecelakaan saat mengetahui hubungan gelap mereka hingga koma di rumah sakit sampai sekarang "Tidak mungkin," ucap Serena lirih, menggelengkan kepalanya. "Ibu tidak mungkin melakukan itu."Richard menghela napas panjang, menatap putrinya dengan tatapan sedih. "Ayah tahu ini sulit dipercaya, Sayang. Tapi itu kenyataannya. Ayah punya bukti-buktinya. Foto, rekaman percakapan, semuanya.""Tapi kenapa? Kenapa Ibu melakukan itu?" tanya Serena, air matanya mulai menetes."Ayah tidak tahu pasti apa alasannya. Mungkin dia tidak bahagia dengan Ayah. Dan mencintai pria lain itu lebih dari Ayah. Ayah tidak tahu pastinya," jawab Richard. "Yang Ayah tahu, Ayah sangat terpukul dan kecewa saat mengetahui kebenarannya.""Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" tanya Serena, penasaran."Ayah mencoba berbicara dengan Ibumu, me
Acara pernikahan berantakan dan langsung batal. Sontak saja, video Ethan dan Marissa langsung viral menghebohkan dunia Maya.Semua orang berkumpul di kediaman Richard Collins. Serena sudah sadar dari pingsannya sejak beberapa menit lalu dan ingin ikut untuk pembicaraan ini.Ethan dan Mamanya Evelyn juga berada di sana. Sementara Claudia, ibu tirinya Serena, duduk tak jauh dari mereka. Suasana berubah tegang dan canggung.Richard duduk di samping Serena, merangkul putrinya dengan protektif. Evelyn duduk di seberang mereka, menatap Serena dengan tatapan menyesal. Begitupun Ethan yang mengambil posisi di samping mamanya. "Serena, Sayang. Tante minta maaf atas kelakuan Ethan," ucap Evelyn, memecah keheningan. "Tante tidak tahu kalau dia bisa melakukan hal seperti ini. Kami semua sangat malu."Serena tidak menjawab, ia hanya menunduk, menatap tangannya yang saling bertaut."Serena, aku bisa jelaskan," kata Ethan, melangkah mendekat. "Video itu, itu terjadi karena tidak sengaja. Aku khilaf
Serena berdiri di depan kaca besar, memandangi dirinya yang sudah dibalut gaun pengantin. Hari ini adalah pemberkatan pernikahannya dengan Ethan. Pemberkatan itu diadakan di St. Paul's Cathedral, London. Bangunan megah dengan arsitektur klasik itu memberikan kesan sakral dan mewah. Gaun pengantin putih yang ia gunakan terasa hampa. Serena merasa seperti mengenakan topeng, menyembunyikan kebingungan dan keraguannya. Ia pernah bermimpi, pernikahan yang akan ia lakukan ada kedua orang tuanya dan pria yang akan hidup bersamanya adalah seseorang yang ia cintai.Tapi, pernikahannya yang sekarang tidak lebih dari sekedar balas dendam. Setelah itu, ia akan mengakhiri hubungan dengan ayahnya. Pergi jauh dari kehidupan Steave. Ini cara terbaik untuk melanjutkan hidup.Serena, lakukan lah yang terbaik. Batinnya."Nona Serena, sudah siap?" suara seorang pelayan membuyarkan lamunannya.Serena menoleh dan melihat pelayan itu berdiri di ambang pintu, tersenyum padanya. "Sudah," jawab Serena juju
Beberapa hari setelah dirawat di rumah sakit, Serena kembali beraktivitas seperti semula. Bekerja lagi sebagai asisten Steave, sebenarnya pria itu ingin Serena beristirahat saja dan tidak perlu memikirkan pekerjaan lagi. Namun, Serena tidak mau, ia sudah banyak bergantung pada Steave, dan tidak ingin menambah lagi yang akan memperkuat ikatan mereka.Dua hari lagi adalah pernikahannya dengan Ethan, tapi hubungan mereka justru semakin jauh. Ethan terlihat selalu bimbang setiap kali bertemu Serena, seolah ada beban yang ia sembunyikan.Namun, Ethan selalu mengiriminya pesan atau sekedar menanyakan kabar Serena melalui panggilan ponsel. Setidaknya, pria itu semakin perhatian padanya daripada dulu.Di tengah kesibukan dengan lamunannya, Serena dikejutkan oleh rekan kerjanya, Maya. Wanita itu menyodorkan sebuah tablet yang menampilkan berita terbaru.Steave dan Viviane resmi bercerai."Benarkah?" tanya Serena, matanya membulat tak percaya.Maya mengangguk, "Iya, beritanya baru saja keluar.







