Share

#10 Yes, Baby!

Author: NaLaTu
last update Last Updated: 2025-04-28 19:44:50

"Naya... Naya, bangun!"

Suara Dayat terdengar samar, mengguncang tubuh Naya yang terlelap di ruang istirahat kecil itu. Matanya mengerjap perlahan, merasakan dunia nyata kembali menariknya keluar dari mimpi indahnya.

"Na-Naya, udah waktunya pulang. A-ayo bangun," ujar Dayat lagi, kali ini lebih keras.

Naya bangkit perlahan, pandangannya masih buram. Tapi sebelum ia sempat bertanya apapun, Dayat langsung mundur dua langkah, wajahnya canggung.

"A-aku duluan ya," kata Dayat buru-buru, nyaris berlari keluar dari ruangan.

Naya tercengang. Ada rasa sakit yang menusuk. "Doy?"

Naya bangkit dengan tergesa, berusaha mengejar. Sepatunya berderap pelan di lorong gedung yang sudah mulai sepi.

"Doy tunggu! Ak-

Bruk!

"Aw!"

Tubuh Naya membentur seseorang. Kepalanya mendongak, dan matanya langsung membelalak.

Adrian.

Dan di sebelahnya, seorang wanita berpakaian rapi dengan clipboard di tangan — sekretaris Adrian — menatapnya tajam.

"Hei! Lihat jalan dong!" bentak Luna, nadanya tajam menusuk.

Naya terdiam, membeku di tempat. Dadanya berdebar keras, kakinya seolah membatu.

Adrian menghela napas pelan, menahan kesal. Tapi berbeda dengan Luna, Adrian hanya menatap Naya sebentar, lalu mengalihkan pandangan.

"Mari kita lanjut," kata Adrian dingin, melangkah pergi tanpa memberi Naya kesempatan untuk bicara.

Naya hanya bisa menunduk. Hatinya mencelos.

'Jadi... yang tadi di mobil itu... cuma mimpi,' batinnya getir.

Ia mengepalkan tangan, menahan rasa malu dan sedih yang menggerogoti.

Dengan langkah lunglai, ia turun ke lantai bawah. Hujan sudah reda, tapi udara masih basah dan dingin. Bajunya... masih kotor, masih berbau minuman manis yang mengering di serat kain.

Ia pulang.

Sampai di rumah kontrakan sempitnya, Naya membuka pintu perlahan. Ibunya, langsung menoleh dari dapur kecil.

"Nak? Kamu udah balik?" seru ibunya segera menghampiri Naya. "Lho... lho... lho... uhhuk! Kenapa bajumu kotor kayak gitu, Nay?!" seru ibunya dengan nada cemas dan marah.

"Ng-nggak kenapa-napa kok, Bu. Tadi jatuh di jalan."

"Aduh, Sayang... kamu tuh harus berhati-hati!"

Naya mengangguk dan segera masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Di dapur saat makan malam bersama. Ibu Naya meminum obatnya. Tangannya kaku memegang botol obat yang tinggal dua tersisa. Wajahnya langsung lesu.

"Bu, nanti kalau Nay udah gajian, Nay bakal beli, kok," ucap Naya sambil mengelus tangan Ibunya.

Ibu Naya tersenyum. "Iya, makasih, Sayang." Ibu menyimpan obatnya kembali. "Oh iya. Gimana?"

Naya tersenyum. "Aku diterima kerja, Bu. Awalnya aku ditempatkan jadi admin, tapi ada atasan yang menyuruh aku jadi OB. Tapi, Naya janji, gajinya cukup kok untuk-"

"Sayang... apapun pekerjaan dan seberapa pun penghasilannya, Ibu udah bersyukur. Kamu juga harus bersyukur, Sayang. Itu udah luarbiasa Ibu. Ya?"

"Iya, Bu. Makasih." Naya memeluk Ibunya.

Rendi ikutan. "Kami bakal selalu dukung Kakak!"

"Hahahah, makasih adekku!"

***

Di lantai tertinggi Hartawan Corp, lampu-lampu di ruang meeting utama menyala terang.

Adrian duduk di kursi kepala, wajahnya dingin dan berwibawa seperti biasa. Di hadapannya, Luna — sekretaris pribadinya — tengah berdiri, memegang tablet berisi data presentasi.

"Untuk laporan kuartal ini," kata Luna, suaranya tegas, "Departemen marketing mengalami kenaikan performa sebesar lima belas persen. Target untuk semester depan akan kita tingkatkan menjadi dua puluh persen."

Adrian mendengarkan dengan datar. Namun sesekali, Luna menyelipkan lirikan genit, sengaja memperlambat gerak tubuhnya saat menunjuk layar, atau mendekat sedikit lebih dari yang seharusnya.

"Kita tentu bisa melampaui target itu, terutama kalau Bapak Adrian bersedia... lebih sering turun tangan langsung," ucap Luna, suaranya sedikit dibuat manja namun dibungkus seprofesional mungkin. "Semua akan terjadi kalau Pak Rian yang memutuskan. Mengambil kendali karena beliau adalah sosok yang ideal, kritis dan sek-"

"Ehhem, cukup!" tegur Adrian. Alis Adrian mengernyit tipis. Ia sadar betul arah permainan Luna. Tapi setelahnya ia tetap membiarkan presentasinya selesai.

Sampai akhirnya, meeting berakhir.

Begitu semua beres, Adrian langsung meletakkan tablet di meja dengan suara ‘thak’ pelan.

"Luna," katanya dingin.

"Ya, Pak?" sahut Luna, senyumannya manis — terlalu manis.

"Tugasmu sebagai sekretaris adalah mendukung pekerjaanku, bukan mempermalukanku dengan sikap tidak pantas seperti tadi."

Luna hanya tersenyum lebih lebar, mendekat sambil berkata lembut, "Ouh... Bapak... saya tuh hanya ingin meninggikan nama Bapak. Emang aku salah? Bapak kan emang kritis dan sek-"

Adrian menghela napas berat, menahan rasa muak. Ia berdiri dari kursinya dengan gerakan tegas.

"Aku butuh sekretaris, bukan godaan murahan," katanya datar.

Tanpa menunggu reaksi Luna lagi, Adrian membuka pintu ruangan meeting itu sendiri dan keluar.

***

Di balkon luar kantornya, Adrian berdiri diam, bersandar pada pagar kaca, menatap hamparan gemerlap lampu kota malam.

Udara dingin menusuk kulit, tapi pikirannya jauh lebih kusut.

Tak lama, suara langkah santai terdengar di belakangnya.

"Heii, bro!" seru Derren sambil menepuk punggung Adrian. "Ngapain bengong kayak orang baru putus cinta aja?"

Adrian mendesah malas.

"Lu jangan kebanyakan mikir, bro. Yuk ke klub! Malam ini ladies-nya cakep-cakep, kata anak-anak," goda Derren sambil berkedip genit. "Ada banyak klien juga di sana."

Adrian menggeleng pelan, malas menanggapi.

Derren mencondongkan tubuhnya, terkekeh kecil. "Atau... jangan-jangan gara-gara si Luna, ya? Gila, gue liat dia ngelirik lu kayak pengen dinaikin sama lu!"

Sebelum Adrian sempat menjawab, suara centil Sarah — asisten pribadi Derren — muncul dari belakang.

"Eh, Sayang, jadi ke klub, nggak? Aku dah bosan nih!" kata Sarah sambil melirik nakal.

Derren menoleh dan tertawa geli. "Yes, Baby! Come on!"

Mereka berdua beradu mulut.

Adrian mendengus pelan, lalu membalikkan badan, membelakangi mereka.

"Pergi aja kalian berdua. Gue gak minat," katanya dingin.

"Yakin nih? Nyesel lho, entar."

"Shut up!" ucap Adrian, dengan nada jengkel.

Derren hanya mengangkat bahu, tertawa kecil, dan merangkul Sarah sebelum berlalu ke lift.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #23 Naya kembali!

    Di dalam ballroom utama Mansion HartawanAcara gala tengah berlangsung megah. Di sekeliling ruangan, berjejer meja-meja bulat dengan taplak putih dan lilin tinggi menyala, diiringi alunan musik klasik dari orkestra live. Di tengah panggung, Kakek Tohari berdiri dengan gagah, memberikan sambutan kepada keluarga besar dan tamu kehormatan.> “Malam ini bukan hanya ajang silaturahmi, tapi bentuk kepedulian kita,” ujar Kakek Tohari dengan suara mantap. “Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, rumah sakit, hingga lembaga sosial di bawah yayasan keluarga Hartawan. Karena... kekayaan yang sesungguhnya adalah bisa memberi manfaat.”Semua orang bertepuk tangan sopan.Tapi Adrian hanya duduk kaku di kursinya. Di sisi kirinya, Luna semakin agresif: tangannya mencoba meraba jari Adrian, sesekali menyenderkan tubuh. Namun Adrian berusaha tetap formal, menjaga postur tubuh dan memasang wajah dingin.> “Adrian,” bisik Luna sambil tersenyum, “malam ini indah banget ya... Kita co

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #22 Gala Hartawan

    Adrian masih berdiri di tengah lobby kosong, menatap ke arah lorong panjang dengan ekspresi yang semakin tegang.Tangannya terkepal di sisi tubuh, napasnya berat.Di saat pikirannya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan buruk soal Naya, suara hak tinggi berdetak-detak mendekat."Tuk...tuk...tuk..."Adrian menoleh dengan refleks.Muncullah Luna, mengenakan dress bodycon hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan roknya tinggi, memperlihatkan paha putih mulus. Bibirnya merah menyala. Rambutnya ditata bergelombang sempurna.Dengan senyum genit, Luna mendekati Adrian."Hai, Adrian," sapanya manja, suaranya dibuat-buat lembut.Adrian mendengus pelan, tidak menyembunyikan ketidaksukaannya."Apa maumu, Luna?" gumamnya dingin.Luna pura-pura tersinggung, membentuk mulutnya cemberut kecil."Aku cuma... mau bilang," katanya sambil memutar rambut di jarinya, "Kalau kamu masih butuh pasangan buat gala nanti... aku siap kok nemenin kamu."Dia menyentuh lengan jas Adrian pelan, sengaja me

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #21 Naya menghilang!

    Besok paginya, suasana kantor Hartawan Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan kemeja rapi dan ekspresi penuh kesibukan.Adrian, seperti biasa, berjalan masuk ke dalam lobby utama dengan langkah tegap, jas hitam membalut tubuh tegapnya, wajahnya datar dan tanpa emosi.Namun, sesuatu menghentikannya.Seorang wanita cantik berdiri di tengah lobby, mengenakan dress formal biru langit yang menonjolkan kecantikannya. Wajahnya manis, rambutnya bergelombang rapi.Dia melambai dengan malu-malu ke arah Adrian.Adrian mengernyit.Matanya melirik ke sekeliling, mencari-cari sumber masalah ini — dan benar saja, dari balik pilar, Derren muncul, dengan senyum penuh harap.Adrian langsung menghela napas panjang, matanya memicing tajam ke arah sahabatnya itu.Derren berjalan cepat ke arah Adrian sambil berbisik,"Surprise, bro! Ini... calon pasangan buat gala nanti. Namanya Jessica."Adrian menatap Derren dengan tatapan membunuh."Kamu bercanda," gumam Adrian dingin.

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #20 CEO Berkuasa

    Siang itu, kantor Hartawan Group masih sibuk.Naya baru saja keluar dari pantry, membawa tumpukan dokumen yang harus dibagikan ke beberapa ruangan.Langkahnya cepat—sedikit tergesa.Saat berbelok di lorong sempit, tanpa sengaja—Brak!Naya menabrak seseorang.Dokumen bertebaran di lantai."Aduh...!" seru Naya panik, buru-buru membungkuk.Namun sosok pria itu juga membungkuk pada waktu bersamaan, membuat wajah mereka hanya beberapa sentimeter saja.Dan dalam momen itu, karena keseimbangan Naya goyah, tubuhnya terdorong maju.Ciuman kecil.Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat dunia seakan berhenti berputar.Naya membelalak.Adrian juga membeku.Suasana hening, sangat hening.Sementara di ujung lorong, seseorang menyaksikan semuanya dengan mata melebar marah—Sarah.Senyuman sinis muncul di bibirnya.**"Maaf! Maaf banget, Pak Adrian!" seru Naya gugup sambil buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah.Adrian sendiri tampak berusaha menguasai diri. Ia berdeham pelan, kembal

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #19 Pembelaan

    Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian berjalan menyusuri lorong panjang lantai eksekutif, kemeja biru gelap membalut tubuhnya. Ada bekas luka samar di pipi kirinya, dan jalannya sedikit kaku. Namun dia tetap menjaga aura wibawanya. Dari arah berlawanan, Naya datang dengan membawa nampan berisi kopi-kopi untuk ruangan meeting. Langkahnya berhenti mendadak. Mata Naya membelalak pelan saat melihat Adrian yang tampak babak belur. Ada rasa khawatir yang otomatis muncul. "Pak Adrian...?" gumamnya lirih. Mereka saling memandang sekilas. Hening. Canggung. Suasana mendadak seperti freeze. Naya panik, dia reflek mau ke kanan. Adrian—dengan gugupnya—ikut melangkah ke kanan. Naya buru-buru ke kiri. Adrian juga geser ke kiri. Mereka hampir bertubrukan. "Ah... anu... m-mohon maaf, Pak!" kata Naya panik, menunduk dalam-dalam. Adrian mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai, walau mukanya sudah merah. "Tidak apa-apa..." Mereka akhirnya berhasil

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #18 Perasaan Pak CEO

    Cling...Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu lift akhirnya terbuka.Naya hampir menangis lega. Ia berdiri cepat-cepat, diikuti Adrian yang tetap terlihat tenang walaupun kemejanya sudah kusut sedikit.Mereka melangkah keluar, disambut petugas teknisi dan beberapa satpam."Maafkan kami, Pak Adrian, Nona..." para teknisi membungkuk dalam-dalam.Adrian hanya mengangguk malas, satu tangannya refleks menahan punggung Naya agar tidak terinjak-injak kerumunan. Ia bahkan tidak sadar saat melakukan itu.Jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Kantor sudah sepi."Naya."Suara Adrian dalam. "Aku antar pulang."Naya langsung gelagapan. "T-tapi, Pak, saya biasa naik angkutan kok... nggak apa-apa, sungguh!"Adrian menatapnya dingin. "Tidak ada diskusi."Dengan berat hati, Naya akhirnya masuk ke dalam mobil hitam mewah milik Adrian. Selama perjalanan, mereka hanya diam. Sesekali Naya mencuri pandang, tak percaya ia satu mobil dengan pria paling dingin se-kantor.Mobil melaju me

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #17 Terjebak

    Sore itu, Adrian tiba di rumah mewah keluarga Hartawan. Langit mulai menggelap, dan hawa dingin menyeruak masuk bersama embusan angin dari taman. Di ruang tamu, Ibu Ratna sudah duduk di kursi empuk, mengenakan piyama sutra warna gading. Meski wajahnya masih tampak pucat, ada sorot tajam di matanya. Adrian menghampiri, membungkuk sedikit mencium tangan ibunya. "Bagaimana keadaan Mama?" tanyanya pelan. Ibu Ratna tersenyum lemah. "Sudah lebih baik... berkat kamu mau dengar Mama, Nak." Adrian hanya mengangguk kecil, duduk di seberangnya. "Ngomong-ngomong, Mama mau ketemu Luna." Nada suara Ibu Ratna mengeras sedikit. "Suruh dia datang makan malam ke rumah. Kita harus mulai perkenalan sebelum acara gala." Deg. Adrian mengerjap, tapi cepat-cepat menutupi keterkejutannya. Senyum tipis tersungging di wajahnya, penuh kepalsuan. "Luna... lagi sibuk, Ma. Dia ada meeting panjang. Nanti kalau dia senggang, aku ajak ke sini." Ibu Ratna menghela napas panjang. "Jangan lama-lama, Adrian. Ga

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #16 Cemburu

    Sepanjang hari itu, Adrian merasa pikirannya tidak fokus.Setiap kali ia mencoba menunduk memeriksa laporan di mejanya, bayangan wajah Naya kembali terlintas. Tatapan polos itu... tubuh mungil yang gemetar dalam dekapannya... aroma sabun sederhana yang tercium samar dari rambut gadis itu. Semua bercampur membanjiri otaknya, membuatnya tidak nyaman."Sialan," gumamnya pelan, mengacak rambutnya sendiri.Adrian memutuskan keluar dari ruangannya untuk sekadar menghirup udara segar. Ia berjalan melewati koridor, langkahnya panjang-panjang, tangan masih dimasukkan ke saku celana.Secara tidak sengaja, matanya menangkap sosok Naya yang sedang membungkuk di pojok ruangan, sibuk mengatur minuman dan makanan ringan untuk rapat sore.Gadis itu kelihatan berusaha cekatan, tapi tetap saja sesekali menjatuhkan sendok, lalu buru-buru memungutnya lagi.Bibir Adrian sedikit terangkat, sangat tipis, nyaris tak terlihat. Sesuatu dalam dirinya merasa... geli."Apa anak itu selalu ceroboh begini?" pikirny

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #15 Diam-diam Suka

    Mobil sport hitam itu berhenti mulus di depan gerbang rumah besar bergaya modern minimalis. Adrian menatap sekilas bangunan megah itu, lalu menghela napas panjang sebelum turun. Dengan langkah berat, ia berjalan ke pintu depan.Seorang pembantu muda berseragam hitam-putih membungkuk sopan."Selamat sore, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau ketemu Nona Luna," jawab Adrian dingin.Pembantu itu tersenyum kaku. "Sebentar ya, Tuan."Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Adrian menunggu di teras, merasa tidak nyaman berdiri di bawah sinar matahari sore yang hangat.Di dalam, pembantu itu berjalan ke belakang rumah, menuju area kolam renang.Di sana, Luna tengah berbaring santai di kursi berjemur, mengenakan bikini merah elegan. Dua potong timun menempel di matanya, headphone di telinganya, seolah dunia ini hanya miliknya."Nona Luna," kata pembantu itu pelan."Ada tamu—seorang pria, ingin bertemu."Luna mengangkat satu tangan malas, tanpa membuka mata. "Suruh aja masuk...

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status