Share

#6 Ada Harapan

Author: NaLaTu
last update Huling Na-update: 2025-03-07 20:48:08

“Halo?”

Suara laki-laki di ujung sana membuat jantung Naya melonjak.

“Ma—maaf, ini… aku Naya, perempuan yang tadi pagi ditabrak... maksudnya… bukan ditabrak... diserempet, Pak.”

Derren langsung terdiam sejenak.

“Oh. Iya, saya ingat. Ada apa?”

Naya menarik napas dalam, menahan gemetar.

“Saya... butuh pekerjaan. Tolong... saya siap kerja apapun. Saya beneran butuh bantuan.”

Suaranya nyaris pecah. Rintihan pelan itu membuat dada Derren terasa berat.

"Tapi, sebelumnya kamu bilang kamu tidak butuh dikasihani bukan? So, what's this?"

"Aku nggak minta dikasihani, aku minta diuji. Kasih aku kerja, dan nilai sendiri aku layak atau nggak.” Naya tersadar. "Ma-maaf kalau aku berlebihan."

"No no no! Itu luarbiasa! You know, I like you!!"

"Maksudnya, Pak?"

“Oke... kamu butuh pekerjaan ya? Fine! Datang ke kantor saya besok jam sembilan pagi. Saya akan carikan posisi yang bisa kamu isi dan kamu akan langsung diwawancarai. Gimana? You like it?"

Naya nyaris nggak percaya.

“I-ini seriusan?"

"Ya, ini serius!"

"Kalau begitu terima kasih... terima kasih banyak, Pak. Saya nggak tahu harus bilang apa lagi.”

"Alamat kantor saya ada di kartu itu. Kamu lihat saja dan segera ke sana besok! Saya tunggu kedatangan kamu."

"Baik, Pak! Terimakasih ya, Pak!"

"Ya, sama-sama. Oh iya luka kamu sudah diobati?"

"Sudah, Pak!"

"Bagus, kalau begitu sampai ketemu besok!"

"Baik, Pak!"

Setelah menutup telepon, Naya langsung masuk dan menggoyang pelan tubuh ibunya yang terbaring lemah di kasur. Ibunya masih trauma atas kejadian siang tadi.

“Bu..."

Ibunya membuka mata, "Naya? Ada apa, Sayang?"

"Bu... Naya senang. Naya ada kesempatan, Bu."

"Kesempatan? Apa maksudnya, Sayang?"

"Aku dapat kerjaan. Besok aku akan diwawancara!”

"Apa? Seriusan? Kamu lamar dimana, Sayang. Kok Ibu gak tau?"

"Iya, Bu! Ada orang baik yang ngasih kerjaan. Aku ketemu orang ini tadi pas nganterin Rendi ke sekolah, Bu."

“Oh ya? Alhamdulillah, Nak. Kebaikan itu memang akan selalu ada bagi siapapun. Termasuk kamu. Semoga orang yang memberi kamu kesempatan ini selalu dilindungi oleh Yang Maha Kuasa."

"Amin," ucap Naya sambil memeluk Ibunya erat.

***

Sementara itu, di sisi lain kota, di sebuah kantor mewah…

Adrian tengah fokus mengerjakan laporan yang menumpuk di depannya. Wajahnya lelah, tapi matanya masih tajam menatap layar laptop di depannya. Tangannya sibuk mengetik, hingga suara ketukan pelan membuatnya mengangkat wajah.

Pintu terbuka. Luna masuk dengan setumpuk berkas di tangan.

“Selamat malam, Tampan-, eh maksud saya, Pak!" Luna tampak sengaja. "Ini, saya bawa laporan dari bagian finance, Pak,” ucap Luna sambil berjalan genit ke arahnya.

"Kamu jangan keterlaluan!" Adrian melotot ke Luna. "Jangan tiba-tiba masuk nyelonong begitu aja di ruangan saya!"

"Ups! Siap, Pak!" Luna menghormat, "Saya akan lebih sopan lagi ke Bapak." Ia melontarkan senyum genitnya ke Adrian.

"Letakkan di sini!" tunjuk Adrian.

"Duh, Bapak... saya minta maaf ya udah buat Bapak jadi greget sama saya. Tapi tampang Bapak nggak berubah kok kalau marah. Masih tampan, rawr!" goda Luna dengan wajah memelas sambil mengibaskan rambutnya.

Adrian tak menghiraukannya lagi. Ia fokus pada apa yang tengah ia kerjakan.

Ketika meletakkan berkasnya di atas meja Adrian, tangan mereka bersentuhan. Sentuhan yang sebenarnya biasa… tapi Luna dengan sengaja mengelus jemari Adrian. Pelan. Panas.

"Pak..." Luna menggigit bibirnya sambil menggoyangkan tubuhnya dengan lembut.

"Pak, Rian..."

Adrian langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Jaga sikapmu, Luna. Ini kantor.”

Luna malah tertawa kecil. “Santai aja, Pak. Saya cuma bantu... bikin malam Bapak nggak terlalu tegang, kok.”

Ia lalu berjalan ke sofa, duduk santai, lalu menggoyang-goyangkan kaki jenjangnya.

“Aduh... panas ya di sini. AC-nya mati, ya?” katanya sambil membuka blazer-nya perlahan.

Kini, Luna hanya mengenakan tanktop ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya jelas. Ia menyilangkan kaki, matanya menatap tajam ke arah Adrian.

"Ah! Panas!" desah Luna bagai menggoda. Ia memegangi buah dadanya.

"Pak..."

Adrian memalingkan wajah. “Luna. Keluar.”

Luna tersenyum, “Yakin, Pak? Nggak pengen saya bantu relaksasi dikit?” bisiknya, menggoda, dengan senyum menggantung di bibirnya. "Bapak tuh udah capek seharian kerja, kan?"

Adrian berdiri, wajahnya memerah karena emosi.

“Keluar, sebelum saya beneran marah!”

Tapi Luna hanya menatapnya… makin dalam. Tersenyum tipis. "Bapak..."

"KELUAR!" nada Adrian naik satu oktaf.

Luna berdiri pelan, mendekat, dan berbisik ke telinganya...

“Pak, jangan terlalu memaksakan diri!" bisiknya.

Lalu ia pergi… meninggalkan aroma parfum mahal yang menusuk… dan kode mata yang sempat ia lontarkan ke Adrian bersamaan dengan senyuman licik dari wajahnya.

Setelah ia benar-benar pergi, Adrian mengusap wajahnya keras-keras. Frustasi.

"Shit!"

***

Keesokan harinya...

Cahaya pagi menelusup lewat jendela retak apartemen. Naya berdiri di depan cermin kecil yang terpasang seadanya di dinding. Tangannya gemetar merapikan rambutnya. Kakinya masih sedikit perih bekas serempetan mobil kemarin, tapi ia tetap tersenyum kecil melihat bayangannya.

Hari ini... mungkin adalah awal baru.

Ia keluar kamar, dan mendapati Ibunya sedang menyiapkan sarapan seadanya—hanya dua lembar roti bakar dan teh panas. Rendi duduk diam, wajahnya sedikit lesu.

“Bu, aku berangkat dulu ya,” ucap Naya lembut, memeluk Ibunya. "Doakan semuanya lancar."

Sang ibu membalas pelukan itu erat, walau tubuhnya sedikit goyah karena batuk yang belum reda.

“Iya, hati-hati, Nak. Jangan terlalu berharap... tapi juga jangan menyerah,” bisik ibunya sambil mengelus punggung putrinya. "Doa Ibu akan selalu ada bersamamu."

Naya mengangguk, tak sanggup berkata. Ia tak ingin menangis di depan ibunya.

Rendi menatap kakaknya dari sudut meja, seakan ingin bicara, tapi lidahnya kelu.

“Ren? Ada apa?" tanya Naya.

"Aku... aku malu ke sekolah, Kak."

"Lho, malu kenapa?"

"Aku malu karena cuma aku yang nggak ikut praktek. Terus, sepatu aku..."

Naya menghela napasnya. "Dek, its oke! Kalau kamu nggak bisa ikut praktek, bukan berarti kamu gagal. Kamu harus kuat, kamu kan anak cowok."

"Iya, Kak, tapi..."

"Kakak janji, Kakak-"

Bersambung...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #23 Naya kembali!

    Di dalam ballroom utama Mansion HartawanAcara gala tengah berlangsung megah. Di sekeliling ruangan, berjejer meja-meja bulat dengan taplak putih dan lilin tinggi menyala, diiringi alunan musik klasik dari orkestra live. Di tengah panggung, Kakek Tohari berdiri dengan gagah, memberikan sambutan kepada keluarga besar dan tamu kehormatan.> “Malam ini bukan hanya ajang silaturahmi, tapi bentuk kepedulian kita,” ujar Kakek Tohari dengan suara mantap. “Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, rumah sakit, hingga lembaga sosial di bawah yayasan keluarga Hartawan. Karena... kekayaan yang sesungguhnya adalah bisa memberi manfaat.”Semua orang bertepuk tangan sopan.Tapi Adrian hanya duduk kaku di kursinya. Di sisi kirinya, Luna semakin agresif: tangannya mencoba meraba jari Adrian, sesekali menyenderkan tubuh. Namun Adrian berusaha tetap formal, menjaga postur tubuh dan memasang wajah dingin.> “Adrian,” bisik Luna sambil tersenyum, “malam ini indah banget ya... Kita co

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #22 Gala Hartawan

    Adrian masih berdiri di tengah lobby kosong, menatap ke arah lorong panjang dengan ekspresi yang semakin tegang.Tangannya terkepal di sisi tubuh, napasnya berat.Di saat pikirannya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan buruk soal Naya, suara hak tinggi berdetak-detak mendekat."Tuk...tuk...tuk..."Adrian menoleh dengan refleks.Muncullah Luna, mengenakan dress bodycon hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan roknya tinggi, memperlihatkan paha putih mulus. Bibirnya merah menyala. Rambutnya ditata bergelombang sempurna.Dengan senyum genit, Luna mendekati Adrian."Hai, Adrian," sapanya manja, suaranya dibuat-buat lembut.Adrian mendengus pelan, tidak menyembunyikan ketidaksukaannya."Apa maumu, Luna?" gumamnya dingin.Luna pura-pura tersinggung, membentuk mulutnya cemberut kecil."Aku cuma... mau bilang," katanya sambil memutar rambut di jarinya, "Kalau kamu masih butuh pasangan buat gala nanti... aku siap kok nemenin kamu."Dia menyentuh lengan jas Adrian pelan, sengaja me

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #21 Naya menghilang!

    Besok paginya, suasana kantor Hartawan Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan kemeja rapi dan ekspresi penuh kesibukan.Adrian, seperti biasa, berjalan masuk ke dalam lobby utama dengan langkah tegap, jas hitam membalut tubuh tegapnya, wajahnya datar dan tanpa emosi.Namun, sesuatu menghentikannya.Seorang wanita cantik berdiri di tengah lobby, mengenakan dress formal biru langit yang menonjolkan kecantikannya. Wajahnya manis, rambutnya bergelombang rapi.Dia melambai dengan malu-malu ke arah Adrian.Adrian mengernyit.Matanya melirik ke sekeliling, mencari-cari sumber masalah ini — dan benar saja, dari balik pilar, Derren muncul, dengan senyum penuh harap.Adrian langsung menghela napas panjang, matanya memicing tajam ke arah sahabatnya itu.Derren berjalan cepat ke arah Adrian sambil berbisik,"Surprise, bro! Ini... calon pasangan buat gala nanti. Namanya Jessica."Adrian menatap Derren dengan tatapan membunuh."Kamu bercanda," gumam Adrian dingin.

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #20 CEO Berkuasa

    Siang itu, kantor Hartawan Group masih sibuk.Naya baru saja keluar dari pantry, membawa tumpukan dokumen yang harus dibagikan ke beberapa ruangan.Langkahnya cepat—sedikit tergesa.Saat berbelok di lorong sempit, tanpa sengaja—Brak!Naya menabrak seseorang.Dokumen bertebaran di lantai."Aduh...!" seru Naya panik, buru-buru membungkuk.Namun sosok pria itu juga membungkuk pada waktu bersamaan, membuat wajah mereka hanya beberapa sentimeter saja.Dan dalam momen itu, karena keseimbangan Naya goyah, tubuhnya terdorong maju.Ciuman kecil.Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat dunia seakan berhenti berputar.Naya membelalak.Adrian juga membeku.Suasana hening, sangat hening.Sementara di ujung lorong, seseorang menyaksikan semuanya dengan mata melebar marah—Sarah.Senyuman sinis muncul di bibirnya.**"Maaf! Maaf banget, Pak Adrian!" seru Naya gugup sambil buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah.Adrian sendiri tampak berusaha menguasai diri. Ia berdeham pelan, kembal

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #19 Pembelaan

    Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian berjalan menyusuri lorong panjang lantai eksekutif, kemeja biru gelap membalut tubuhnya. Ada bekas luka samar di pipi kirinya, dan jalannya sedikit kaku. Namun dia tetap menjaga aura wibawanya. Dari arah berlawanan, Naya datang dengan membawa nampan berisi kopi-kopi untuk ruangan meeting. Langkahnya berhenti mendadak. Mata Naya membelalak pelan saat melihat Adrian yang tampak babak belur. Ada rasa khawatir yang otomatis muncul. "Pak Adrian...?" gumamnya lirih. Mereka saling memandang sekilas. Hening. Canggung. Suasana mendadak seperti freeze. Naya panik, dia reflek mau ke kanan. Adrian—dengan gugupnya—ikut melangkah ke kanan. Naya buru-buru ke kiri. Adrian juga geser ke kiri. Mereka hampir bertubrukan. "Ah... anu... m-mohon maaf, Pak!" kata Naya panik, menunduk dalam-dalam. Adrian mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai, walau mukanya sudah merah. "Tidak apa-apa..." Mereka akhirnya berhasil

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #18 Perasaan Pak CEO

    Cling...Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu lift akhirnya terbuka.Naya hampir menangis lega. Ia berdiri cepat-cepat, diikuti Adrian yang tetap terlihat tenang walaupun kemejanya sudah kusut sedikit.Mereka melangkah keluar, disambut petugas teknisi dan beberapa satpam."Maafkan kami, Pak Adrian, Nona..." para teknisi membungkuk dalam-dalam.Adrian hanya mengangguk malas, satu tangannya refleks menahan punggung Naya agar tidak terinjak-injak kerumunan. Ia bahkan tidak sadar saat melakukan itu.Jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Kantor sudah sepi."Naya."Suara Adrian dalam. "Aku antar pulang."Naya langsung gelagapan. "T-tapi, Pak, saya biasa naik angkutan kok... nggak apa-apa, sungguh!"Adrian menatapnya dingin. "Tidak ada diskusi."Dengan berat hati, Naya akhirnya masuk ke dalam mobil hitam mewah milik Adrian. Selama perjalanan, mereka hanya diam. Sesekali Naya mencuri pandang, tak percaya ia satu mobil dengan pria paling dingin se-kantor.Mobil melaju me

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status