Beranda / Romansa / Gairah Membara sang CEO Muda / #8 Harga Diri Seorang Pelayan

Share

#8 Harga Diri Seorang Pelayan

Penulis: NaLaTu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-25 18:08:37

Hari pertama Naya di Hartawan Corp.

Dengan kemeja putih sederhana dan sepatu butut yang sudah dia semir berkali-kali, Naya melangkah gugup ke ruang yang ditunjuk oleh staff yang diperintahkan oleh Derren.

Meski pada akhirnya dia bekerja sebagai OB, Naya tetap bersyukur. Setidaknya, ada penghasilan yang bisa ia bawa pulang.

"Eh, lo anak baru, ya?" tegur seorang wanita berlipstik tebal dengan nada nyinyir, matanya menelusuri tubuh Naya dari atas sampai bawah.

Naya bertemu dengan wanita itu di kamar mandi.

Naya mengangguk sopan. "Iya, saya Naya."

Perempuan itu mendecak. "Pantes… aromanya beda."

Naya memilih diam.

Saat wanita itu selesai bersolek di depan cermin wastafel, ia menubruk bahu Naya sebelum pergi.

Naya tak bergeming.

***

Naya mulai diperkenalkan tugas-tugasnya dan diberi arahan. Dia mulai bekerja.

Waktu makan siang tiba, Naya duduk di salah satu bangku kosong di kantin. Di pojok ruangan, ia melihat seorang pria bertubuh gempal, mengenakan seragam OB lusuh, tengah duduk sendiri sambil melahap empat kotak nasi. Tapi tatapannya sayu.

Dari kejauhan, terdengar tawa—sekumpulan staf marketing yang sedang menunjuk-nunjuk ke arah pria itu.

"Lihat tuh, si Gendut, lagi nyuplai lagi, hahaha!"

"Buset, tuh orang makan sebanyak itu gak enek apa ya? Bisa-bisanya empat kotak. Ih! Merinding..."

"Eh, bayangin dah kalau se-lift bareng dia, pasti nyesek di dalam!"

"Amit-amit sih kalau bareng sama dia.

Pria itu mendengar ledekan mereka. Namun sepertinya ia tak memperdulikannya. Ia begitu antusias melahap makanannya.

Naya mengernyit. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri pria itu.

"Hai! Boleh duduk di sini?" tanya Naya pelan.

Pria itu menoleh. Menatap Naya dari ujung rambut sampai bawah kakinya. Tangannya kaku memegang sendok berisi makanan itu.

"Hello?"

"Eh, i-iya... silahkan, Mba."

Naya duduk berhadapan dengannya. "Panggil Naya aja."

"I-iya, Nay."

Naya melirik empat nasi kotak pria gemuk itu.

Pria itu nyengir. "Kalau kamu nggak nyaman, nggak apa-apa kok." Pria itu bergegas menutup makanannya hendak pergi.

"Eh, kamu mau kemana?" tanya Naya mencegah.

"Ka-kamu gak nyaman kan liat aku?"

"Engga, dong. Kenapa aku nggak nyaman?"

"Ah, syukurlah." Pria itu kembali membuka makanannya. "Heheh... soalnya, jarang ada orang yang mau makan bareng sama aku."

Naya tersenyum. "Aku Naya. OB juga. Baru masuk."

Dia mengulurkan tangan.

Pria itu kaget. Diam sejenak.

Naya masih menunggu, tangannya kaku di atas meja.

Pria itu sadar, langsung membalas dengan senyum lebar, dan segera membersihkan tangannya dengan mengelap ke bajunya. "A-aku Dayat. Dayat Sudrajat. Ob juga, hehehe," ucap Dayat dengan gugup.

Mereka berjabat tangan. Tangan Dayat gemetaran.

"Eh, iya, aku kan baru masuk. Kamu mau nggak, temanin aku keliling kantor? Kantor ini gede banget. Pusing."

Dayat diam, bengong.

"Dayat?"

"Eh, i-iya, tentu aja boleh. Hm... Nay, panggil aku Doy aja. Soalnya a-aku sering dipanggil begitu di sini. Jangan terlalu formal sama aku."

"Oh, iya, baik, Doy."

Mereka mulai berbincang ringan. Berbicara tentang hobi Dayat yang suka makan. Sambil bercanda, Naya berusaha menjadi teman yang baik buat lawan bicaranya itu.

"Aku pikir, daripada nyimpen dendam, mending nyimpen makanan di perut," ucapnya sambil tertawa.

Naya terkekeh. "Kamu baik orangnya, Doy."

"Ma-makasih, Nay. Kamu orang pertama yang ngomong begitu ke aku."

"Oh ya? Aku beruntung dong," jawab Naya sambil tertawa kecil.

"Ck ck ck...."

Tiba-tiba, dua perempuan yang memakai seragam yang sama seperti Dayat muncul di depan meja mereka.

"Wow, pasangan baru nih!" salah satunya mengejek. Dia adalah perempuan yang ditemui Naya di kamar mandi.

"Semoga anaknya nggak doyan makan lima piring kayak bapaknya, ya!" tambah yang lain.

"Ups, bukannya empat?" tanya perempuan satunya bagai meledek.

"Satunya lagi kan punya istri tercintanya, hahahah..."

Naya dan Dayat cuma terdiam.

"Udah, udah, cabut! Entar, makanan kita diembat juga sama dia. Cabut!"

Mereka berdua pergi.

Naya memandangi kepergian kedua wanita itu. Entah apa yang ia pikirkan.

"Na-nay? Kamu nggak apa-apa?" tegur Dayat, merasa bersalah atas kejadian Barusan.

"Ah, aku nggak apa-apa, kok. Udah biasa."

"Harusnya kamu jangan dekatin aku," ucap Dayat sambil membawa makannya dan segera pergi.

"Doy?" Naya mencoba mengejar. "Tunggu, aku!"

"Eh, anak baru!" tegur seseorang.

Langkah kaki Naya sempat terhenti. Ia ingin mengejar Dayat, tapi suara berat dari arah belakang membuatnya berbalik cepat.

“Kamu Naya?” tanya seorang pria berseragam OB dengan logo kecil ‘HR Department’ di lengan bajunya.

Naya mengangguk. “Iya, Pak.”

“Ini ada tugas buat kamu. Tolong antar makanan ini ke ruangannya Bu Sarah, asistennya Pak Derren. Jangan sampai tumpah, ya,” katanya sambil menyodorkan nampan berisi makanan dalam kotak-kotak putih.

Naya mengangguk cepat. “Baik, Pak.”

Tangannya gemetar sedikit saat ia memegang nampan itu. Langkahnya terasa berat. Nama itu… Sarah. Wanita angkuh dan cantik yang tak segan-segan menghina kemiskinannya di depan Derren. Dan sekarang… ia harus mengantar makanan padanya?

Saat tiba di depan pintu dengan label “Executive Assistant,” Naya menarik napas dalam-dalam. Ia mengetuk pelan.

“Masuk!” suara dari dalam terdengar galak dan dingin.

Naya masuk dengan langkah pelan. Di dalam ruangan serba putih itu, Sarah duduk di balik meja besar, dikelilingi parfum mahal dan rak sepatu high heels yang berjejer seperti pameran mode.

“Oh… si pelayan baru,” sindir Sarah tanpa menoleh, masih menatap layar laptopnya. “Letakkan di sana. Dan usahakan tidak menjatuhkannya. Karena kalau lo-, sorry! Karena kalau kamu lakukan satu kesalahan aja, say good bye."

Naya menggigit bibir bawahnya. Ia menaruh nampan itu perlahan di atas meja kecil di dekat jendela.

"Ups, mana seragam pelayan kamu? Kenapa kamu belum memakainya? Padahal sangat cocok di tubuh kumuh kamu."

Naya hanya diam, fokus pada pekerjaannya. "Belum ada, Nona."

"Oh ya?" Sarah berdiri, lalu melangkah anggun ke arahnya. “Kamu tahu, Derren itu terlalu baik. Dia kasihan sama orang seperti kamu. Tapi kasihan bukan berarti pantas. You’re just a pity case.”

Naya menatap matanya. “Maaf, Nona... saya mungkin nggak punya uang, tapi saya masih punya harga diri.”

"Ahahaha... harga diri..." Sarah dengan sengaja menyenggol minuman yang baru saja diletakkan Naya.

"Ups..."

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #23 Naya kembali!

    Di dalam ballroom utama Mansion HartawanAcara gala tengah berlangsung megah. Di sekeliling ruangan, berjejer meja-meja bulat dengan taplak putih dan lilin tinggi menyala, diiringi alunan musik klasik dari orkestra live. Di tengah panggung, Kakek Tohari berdiri dengan gagah, memberikan sambutan kepada keluarga besar dan tamu kehormatan.> “Malam ini bukan hanya ajang silaturahmi, tapi bentuk kepedulian kita,” ujar Kakek Tohari dengan suara mantap. “Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, rumah sakit, hingga lembaga sosial di bawah yayasan keluarga Hartawan. Karena... kekayaan yang sesungguhnya adalah bisa memberi manfaat.”Semua orang bertepuk tangan sopan.Tapi Adrian hanya duduk kaku di kursinya. Di sisi kirinya, Luna semakin agresif: tangannya mencoba meraba jari Adrian, sesekali menyenderkan tubuh. Namun Adrian berusaha tetap formal, menjaga postur tubuh dan memasang wajah dingin.> “Adrian,” bisik Luna sambil tersenyum, “malam ini indah banget ya... Kita co

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #22 Gala Hartawan

    Adrian masih berdiri di tengah lobby kosong, menatap ke arah lorong panjang dengan ekspresi yang semakin tegang.Tangannya terkepal di sisi tubuh, napasnya berat.Di saat pikirannya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan buruk soal Naya, suara hak tinggi berdetak-detak mendekat."Tuk...tuk...tuk..."Adrian menoleh dengan refleks.Muncullah Luna, mengenakan dress bodycon hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan roknya tinggi, memperlihatkan paha putih mulus. Bibirnya merah menyala. Rambutnya ditata bergelombang sempurna.Dengan senyum genit, Luna mendekati Adrian."Hai, Adrian," sapanya manja, suaranya dibuat-buat lembut.Adrian mendengus pelan, tidak menyembunyikan ketidaksukaannya."Apa maumu, Luna?" gumamnya dingin.Luna pura-pura tersinggung, membentuk mulutnya cemberut kecil."Aku cuma... mau bilang," katanya sambil memutar rambut di jarinya, "Kalau kamu masih butuh pasangan buat gala nanti... aku siap kok nemenin kamu."Dia menyentuh lengan jas Adrian pelan, sengaja me

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #21 Naya menghilang!

    Besok paginya, suasana kantor Hartawan Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan kemeja rapi dan ekspresi penuh kesibukan.Adrian, seperti biasa, berjalan masuk ke dalam lobby utama dengan langkah tegap, jas hitam membalut tubuh tegapnya, wajahnya datar dan tanpa emosi.Namun, sesuatu menghentikannya.Seorang wanita cantik berdiri di tengah lobby, mengenakan dress formal biru langit yang menonjolkan kecantikannya. Wajahnya manis, rambutnya bergelombang rapi.Dia melambai dengan malu-malu ke arah Adrian.Adrian mengernyit.Matanya melirik ke sekeliling, mencari-cari sumber masalah ini — dan benar saja, dari balik pilar, Derren muncul, dengan senyum penuh harap.Adrian langsung menghela napas panjang, matanya memicing tajam ke arah sahabatnya itu.Derren berjalan cepat ke arah Adrian sambil berbisik,"Surprise, bro! Ini... calon pasangan buat gala nanti. Namanya Jessica."Adrian menatap Derren dengan tatapan membunuh."Kamu bercanda," gumam Adrian dingin.

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #20 CEO Berkuasa

    Siang itu, kantor Hartawan Group masih sibuk.Naya baru saja keluar dari pantry, membawa tumpukan dokumen yang harus dibagikan ke beberapa ruangan.Langkahnya cepat—sedikit tergesa.Saat berbelok di lorong sempit, tanpa sengaja—Brak!Naya menabrak seseorang.Dokumen bertebaran di lantai."Aduh...!" seru Naya panik, buru-buru membungkuk.Namun sosok pria itu juga membungkuk pada waktu bersamaan, membuat wajah mereka hanya beberapa sentimeter saja.Dan dalam momen itu, karena keseimbangan Naya goyah, tubuhnya terdorong maju.Ciuman kecil.Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat dunia seakan berhenti berputar.Naya membelalak.Adrian juga membeku.Suasana hening, sangat hening.Sementara di ujung lorong, seseorang menyaksikan semuanya dengan mata melebar marah—Sarah.Senyuman sinis muncul di bibirnya.**"Maaf! Maaf banget, Pak Adrian!" seru Naya gugup sambil buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah.Adrian sendiri tampak berusaha menguasai diri. Ia berdeham pelan, kembal

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #19 Pembelaan

    Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian berjalan menyusuri lorong panjang lantai eksekutif, kemeja biru gelap membalut tubuhnya. Ada bekas luka samar di pipi kirinya, dan jalannya sedikit kaku. Namun dia tetap menjaga aura wibawanya. Dari arah berlawanan, Naya datang dengan membawa nampan berisi kopi-kopi untuk ruangan meeting. Langkahnya berhenti mendadak. Mata Naya membelalak pelan saat melihat Adrian yang tampak babak belur. Ada rasa khawatir yang otomatis muncul. "Pak Adrian...?" gumamnya lirih. Mereka saling memandang sekilas. Hening. Canggung. Suasana mendadak seperti freeze. Naya panik, dia reflek mau ke kanan. Adrian—dengan gugupnya—ikut melangkah ke kanan. Naya buru-buru ke kiri. Adrian juga geser ke kiri. Mereka hampir bertubrukan. "Ah... anu... m-mohon maaf, Pak!" kata Naya panik, menunduk dalam-dalam. Adrian mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai, walau mukanya sudah merah. "Tidak apa-apa..." Mereka akhirnya berhasil

  • Gairah Membara sang CEO Muda   #18 Perasaan Pak CEO

    Cling...Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu lift akhirnya terbuka.Naya hampir menangis lega. Ia berdiri cepat-cepat, diikuti Adrian yang tetap terlihat tenang walaupun kemejanya sudah kusut sedikit.Mereka melangkah keluar, disambut petugas teknisi dan beberapa satpam."Maafkan kami, Pak Adrian, Nona..." para teknisi membungkuk dalam-dalam.Adrian hanya mengangguk malas, satu tangannya refleks menahan punggung Naya agar tidak terinjak-injak kerumunan. Ia bahkan tidak sadar saat melakukan itu.Jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Kantor sudah sepi."Naya."Suara Adrian dalam. "Aku antar pulang."Naya langsung gelagapan. "T-tapi, Pak, saya biasa naik angkutan kok... nggak apa-apa, sungguh!"Adrian menatapnya dingin. "Tidak ada diskusi."Dengan berat hati, Naya akhirnya masuk ke dalam mobil hitam mewah milik Adrian. Selama perjalanan, mereka hanya diam. Sesekali Naya mencuri pandang, tak percaya ia satu mobil dengan pria paling dingin se-kantor.Mobil melaju me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status