LOGINKini, Elyssa sudah duduk di ruang tamu yang megah namun terasa dingin itu, berhadapan langsung dengan Tatiana. Bulan duduk merapat di samping Elyssa. Tangan kecilnya tak berhenti menggenggam erat jemari Elyssa karena merasa takut. Sorot mata Tatiana yang tajam dan menusuk terus mengarah pada mereka, membuat suasana semakin mencekam.“Tante, kita pulang aja yuk,” bisik Bulan dengan suara gemetar. “Bulan takut. Ibu itu kelihatan galak.”Elyssa menoleh dan menatap Bulan dengan lembut, mencoba menenangkan kegelisahan bocah itu. “Bulan jangan takut, ya. Temani Tante sebentar saja di sini, Tante ada urusan penting.”Melihat ekspresi ketakutan di wajah polos Bulan, Tatiana menghela napas panjang. Ada rasa tak tega yang tiba-tiba menyeruak di hatinya saat melihat mata yang sangat mirip dengan putranya itu berkaca-kaca. Ia pun memanggil seorang pelayan.“Bawa anak itu ke ruang bermain. Beri dia camilan dan temani dia di sana,” perintah Tatiana tanpa melepaskan pandangannya dari Elyssa.“Baik,
Pagi itu, suasana di kamar tamu terasa sangat menyesakkan. Olivia masih meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gemetar hebat. Ia menolak bicara kepada siapa pun. Setiap kali ia mencoba mengintip dari balik selimut, ia merasa melihat bayangan Albert berdiri di dekat pintu.“Bagaimana kondisinya, Mbok?” tanya Elyssa yang sudah berdiri di depan pintu.Seorang pelayan yang baru saja keluar dari kamar menyahut dengan suara rendah, “Sudah lebih tenang dibanding semalam, Non. Gak teriak-teriak lagi, tapi sampai sekarang masih diam seribu bahasa.”Elyssa hanya mengangguk pelan dengan wajah datar. Jujur saja, ia sama sekali tidak peduli pada kondisi Olivia. Dengan gerakan tanpa beban, ia membuka pintu kamar itu sedikit kasar.Brak!Bulan yang sedang duduk di tepi ranjang tersentak kaget.Melihat wajah ketakutan bocah itu, rasa bersalah seketika menyelinap di hati Elyssa. Ia sadar, meski ia membenci Olivia, ia harus tetap menjaga sikap di depan anak kecil yang tidak berdosa ini.Elyssa pun berlut
Suara napas Elyssa memburu. Nama Albert yang disebut Sean barusan bagai jangkar yang menghentikan langkahnya secara paksa. Namun, saat ia berbalik dan melihat ke arah lantai atas, amarahnya seketika luruh berganti menjadi rasa cemas.Sean terduduk di lantai lorong, wajahnya pucat pasi. Darah merah segar mengalir deras dari celah tangannya yang berusaha menekan luka di paha, membasahi lantai marmer putih yang dingin."Mas..." bisik Elyssa tercekat.Rasa penasaran dan rasa bersalah bertabrakan di dadanya. Tanpa pikir panjang, ia berlari kembali menaiki tangga. Ia mengabaikan ego dan rasa sakit hatinya saat melihat pria yang ia cintai bersimbah darah karena perbuatannya sendiri."Jangan banyak gerak!" seru Elyssa panik. Ia segera memapah lengan Sean, menyampirkan tangan pria itu di bahunya."Akhh!" Sean menjerit tertahan saat berusaha berdiri. Wajahnya meringis menahan perih yang menyengat saraf pahanya.Dengan susah payah, Elyssa membantu Sean berjalan kembali masuk ke dalam kamar.Tubu
Elyssa melangkah kembali ke kamar dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia mengira Sean masih terlelap dalam mimpi. Namun, begitu kakinya melewati ambang pintu, langkahnya langsung terhenti. Jantungnya berdegup kencang.Sean tidak sedang berbaring. Pria itu duduk tegak di tepi ranjang dalam kegelapan yang hanya diterangi sedikit cahaya lampu tidur. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Elyssa, mengintimidasi."Sudah selesai mengobrolnya?" tanya Sean. Suaranya rendah, namun bergetar oleh amarah yang tertahan.Elyssa menelan ludah, mencoba bersikap tenang."Apa maksudmu?" tanya Elyssa balik, berpura-pura tidak mengerti."Jangan berpura-pura, Elyssa. Aku tau kamu baru saja telponan dengan seseorang di luar.”Sean berdiri, melangkah perlahan mendekati Elyssa hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa sentimeter.Elyssa mundur selangkah, tangannya mendadak sedingin es. "Kamu menguntitku, Mas? Buat apa? Kamu curiga kalau aku berbuat yang macam-macam?"Sean mencengkeram l
Malam itu terasa sangat panjang dan sunyi bagi Sean maupun Elyssa. Meski mereka sudah berada di dalam kamar dan berbaring di bawah selimut tebal yang sama, namun suasana terasa begitu dingin.Mereka berbaring saling memunggungi, menciptakan jarak emosional yang jauh lebih lebar daripada jarak fisik di tempat tidur itu.Pikiran Sean berkecamuk. Ia tidak bisa tenang memikirkan sikap dingin Elyssa. Namun, di balik itu semua, bayangan bekas merah di dada Elyssa terus menghantuinya. Hatinya panas terbakar rasa cemburu, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa.Di sisi lain, Elyssa pun tidak bisa memejamkan mata. Dadanya masih terasa sesak mengingat kebohongan-kebohongan Sean. Baginya, kepercayaan yang sudah retak tidak bisa diperbaiki hanya dalam waktu semalam.Pukul 02.00 dini hari, suasana semakin senyap.Saat mendengar napas Sean mulai terdengar teratur seperti orang yang sudah tertidur pulas, Elyssa bergerak perlahan. Ia turun dari ranjang dengan sangat hati-hati, mengambil ponselnya, dan
Sepanjang perjalanan menuju mansion, suasana benar-benar kacau.Di mobil, Olivia terus berteriak histeris tanpa henti. Suaranya yang melengking membuat Bulan menangis ketakutan di sampingnya. Pengawal yang menemani mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Ia memilih diam dan mengabaikan Olivia yang terus mengamuk di kursi penumpang.Sementara itu, Elyssa dan Sean berada di mobil yang terpisah. Di dalam kendaraan mewah itu, hanya ada keheningan yang menyesakkan. Elyssa menutup mulutnya rapat-rapat, membuat Sean merasa sangat frustrasi.“Sayang, kamu beneran gak mau ngomong sama aku?” tanya Sean lirih, mencoba memecah kesunyian.“Fokus nyetir aja, Mas,” tegur Elyssa pendek tanpa menoleh sedikit pun.Sean hanya bisa menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak karena sikap dingin Elyssa. Mereka terus berdiam-diaman sepanjang jalan.****Setibanya di mansion, Olivia segera dibawa ke kamar tamu untuk diistirahatkan. Bulan terus menempel di sisi ibunya, tidak mau beranjak sedikit pun karena k







